This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jumat, 28 Agustus 2015

Bahaya Militerisme Menggrogoti Kehidupan Masyarakat

28/08/2015
Jakarta, bantuanhukun.or.id – Minggu (23/8) Lembaga Bantuan Hukum (LBH Jakarta) bersama Koalisi Masyarakat Sipil desak pemerintah untuk mengembalikan posisi TNI kepada fitrahnya di dalam undang-undang. Desakan ini disampaikan dalam bentuk Konferensi Pers yang diselenggarakan di Gedung LBH Jakarta dengan tajuk “Menyoal MoU TNI dan Keterlibatan Militer Dalam Wilayah Sipil (Keamanan Dalam Negeri).
Militerisme di Indonesia beserta seluruh implikasinya, baik berupa kekerasan, penguasaan, serta berbagai posisi fungsional di bidang politik, ekonomi,sosial dan budaya, mempunyai peran yang sangat dominan dan strategis dalam mengendalikan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan. Kehadiran militer ke ranah sipil juga merupakan persoalan yang tak kunjung selesai dihadapi bangsa ini, hal tersebut tentunya diperkuat dengan fakta-fakta yang tidak dapat dipungkiri.
Sejalan dengan tuntutan dan cita-cita demokrasi Indonesia, realitas militerisme telah menjadi agenda penting yang tidak terlewatkan dalam berbagai dialog publik. Gencarnya tuntutan, sampai dengan upaya-upaya yang lebih bersifat praksis telah, dan tengah dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat yang kritis dan peduli. Hal tersebut dilakukan untuk mendorong Tentara agar menjadi militer-profesional.
Menurut direktur Imparsial, Al Araf manuver-manuver yang menyeret TNI ke ranah sipil sudah sangat sepantasnya dipandang sebagai kebijakan usang sejarah Republik ini (sebut saja masa orde baru). Apalagi, reformasi keamanan masih mengalami kendala serius dengan belum dilakukannya revisi UU Peradilan Militer. Tak hanya di sektor kehidupan masyarakat sipil dan sektor penegakan hukum, di sejumlah lembaga pemerintah telah terjadi pelibatan TNI.
“Menurut catatan setidaknya ada 31 MoU TNI dengan lembaga ataupun kementerian”, ujar Al Araf.
Bahrain dari YLBHI menambahkan, agar patut ada evaluasi berbagai kerja sama tersebut karena jelas telah melanggar Pasal 7 ayat (3) UU TNI. “Pasal itu menyebutkan untuk menjalankan operasi militer selain perang, TNI hanya bisa melakukan tugasnya jika ada keputusan politik negara, dalam hal ini presiden,” tegas Bahrain.
Bangsa ini secara umum dan pemimpin-peminpin negara ini harus sepakat TNI sebagai alat pertahanan negara mempunyai tugas pokok untuk menjaga wilayah pertahanan Indonesia. Lebih baik negara ini mendukung TNI untuk melaksanakan tugasnya bukan menyeretnya keluar dari barak, seperti ikut campur dalam penggusuran, memberi izin pertambangan, menjaga pos-pos kereta api bahkan membersihkan kali. Setelah tugas TNI kacau pemerintah mendadak menjadi bisu, buta dan tuli ketika kekerasan-kerasan terjadi dilakukan oleh oknum-oknum TNI. Karena membiarkan terjadi pelanggaran HAM sama seperti melakukan pelanggaran tersebut (Respect, protect and fullfiled tugas wajib negara dalam menegakan HAM). (Ayu)
http://www.bantuanhukum.or.id/web/blog/bahaya-militerisme-menggrogoti-kehidupan-masyarakat/

Bahaya Militerisme Menggrogoti Kehidupan Masyarakat

28/08/2015

Jakarta, bantuanhukun.or.id – Minggu (23/8) Lembaga Bantuan Hukum (LBH Jakarta) bersama Koalisi Masyarakat Sipil desak pemerintah untuk mengembalikan posisi TNI kepada fitrahnya di dalam undang-undang. Desakan ini disampaikan dalam bentuk Konferensi Pers yang diselenggarakan di Gedung LBH Jakarta dengan tajuk “Menyoal MoU TNI dan Keterlibatan Militer Dalam Wilayah Sipil (Keamanan Dalam Negeri).
Militerisme di Indonesia beserta seluruh implikasinya, baik berupa kekerasan, penguasaan, serta berbagai posisi fungsional di bidang politik, ekonomi,sosial dan budaya, mempunyai peran yang sangat dominan dan strategis dalam mengendalikan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan. Kehadiran militer ke ranah sipil juga merupakan persoalan yang tak kunjung selesai dihadapi bangsa ini, hal tersebut tentunya diperkuat dengan fakta-fakta yang tidak dapat dipungkiri.
Sejalan dengan tuntutan dan cita-cita demokrasi Indonesia, realitas militerisme telah menjadi agenda penting yang tidak terlewatkan dalam berbagai dialog publik. Gencarnya tuntutan, sampai dengan upaya-upaya yang lebih bersifat praksis telah, dan tengah dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat yang kritis dan peduli. Hal tersebut dilakukan untuk mendorong Tentara agar menjadi militer-profesional.
Menurut direktur Imparsial, Al Araf manuver-manuver yang menyeret TNI ke ranah sipil sudah sangat sepantasnya dipandang sebagai kebijakan usang sejarah Republik ini (sebut saja masa orde baru). Apalagi, reformasi keamanan masih mengalami kendala serius dengan belum dilakukannya revisi UU Peradilan Militer. Tak hanya di sektor kehidupan masyarakat sipil dan sektor penegakan hukum, di sejumlah lembaga pemerintah telah terjadi pelibatan TNI.
“Menurut catatan setidaknya ada 31 MoU TNI dengan lembaga ataupun kementerian”, ujar Al Araf.
Bahrain dari YLBHI menambahkan, agar patut ada evaluasi berbagai kerja sama tersebut karena jelas telah melanggar Pasal 7 ayat (3) UU TNI. “Pasal itu menyebutkan untuk menjalankan operasi militer selain perang, TNI hanya bisa melakukan tugasnya jika ada keputusan politik negara, dalam hal ini presiden,” tegas Bahrain.
Bangsa ini secara umum dan pemimpin-peminpin negara ini harus sepakat TNI sebagai alat pertahanan negara mempunyai tugas pokok untuk menjaga wilayah pertahanan Indonesia. Lebih baik negara ini mendukung TNI untuk melaksanakan tugasnya bukan menyeretnya keluar dari barak, seperti ikut campur dalam penggusuran, memberi izin pertambangan, menjaga pos-pos kereta api bahkan membersihkan kali. Setelah tugas TNI kacau pemerintah mendadak menjadi bisu, buta dan tuli ketika kekerasan-kerasan terjadi dilakukan oleh oknum-oknum TNI. Karena membiarkan terjadi pelanggaran HAM sama seperti melakukan pelanggaran tersebut (Respect, protect and fullfiled tugas wajib negara dalam menegakan HAM). (Ayu)

http://www.bantuanhukum.or.id/web/blog/bahaya-militerisme-menggrogoti-kehidupan-masyarakat/

Surat untuk Serdadu di Urut Sewu

 Eko Prasetyo | Harian Indoprogress

Kekerasan adalah senjata orang-orang berjiwa lemah (Mahathma Gandhi)
TAK BISAKAH engkau melihat kenikmatan orang bercocok tanam? Diawali dari benih lalu perlahan-lahan berbuah. Di atas tanah yang kauinjak-injak itu banyak orang berhutang harapan. Di sana semangka, melon hingga lombok berbuah. Pada tanah itu penduduk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan. Puluhan tahun mereka melayani tanah dengan kecintaan yang mendalam. Hingga tanah itu merekam jejak kaki dan jerih payah warga. Ikatan mereka bersama tanah itu tak bisa kalian mengerti. Sulit imaginasi kalian meyentuh dunia rohani yang kaya itu. Sukar buat kalian memahami mengapa mereka mencintai tanah itu begitu rupa. Tanah itu telah jadi saksi kehidupan mereka dan mengikat harapan atas masa depan. Di atas tanah itulah mereka lahir dan dimakamkan. Hingga ketika kalian tiba-tiba datang dan ingin menanam beton, tentu saja mereka menolak dengan sengit.
Alasanmu saat itu simpel dan seperti biasanya. Katamu tanah ini milik negara. Artinya tanah itu milikmu. Negara dan serdadu seperti saudara kembar. Dimana ada negara pasti di dalamnya ada serdadu. Saat serdadu datang maka itu artinya negara ada. Kemudian dengan ringan peryataan itu kau sebut berulang-ulang. Di depan penduduk dengan memakai baju seragam. Di hadapan warga dengan bawa senjata. Pendapatmu itu kemudian dibantah. Tanah ini milik warga negara. Yang telah merawat, menanam dan hidup di atasnya. Para petani itu bukan gerombolan bandit. Mereka punya sertifikat. Mereka memiliki alat bukti. Mereka punya cerita mengenai tanah itu. Tapi kau seperti biasa: tak mau diskusi dan tak mau didebat. Argumenmu selalu sama dan diulang berkali-kali: tanah ini milik negara! Sungguh tak habis pikir aku apa maksudmu dengan negara? Bukankah tugas negara adalah melindungi dan menyejahterakan rakyatnya?
Jika negara itu adalah bangunan pagar tentu mencekam sekali wujudnya. Kau bilang pagar itu dibangun setinggi 2 meter dengan total panjang 8 km. Kalian bahkan berencana membuat pagar itu sepanjang 22,5 km. Terdapat tujuh desa yang akan dilintasi pagar: desa Mirit, Petikusan, Tlogo Depok, Tlogo Pronogo, Lembu dan desa Wiromartan. Ketujuh desa itu ada di tiga kecamatan. Tiga kecamatan itulah yang tanahnya mau jadi sasaran: kecamatan Bulupesantren 500 ha, kecamatan Ambal 300 ha dan kecamatan Mirit 350 ha. Total tanah yang mau kaujadikan latihan perang itu 1150 ha yang berada kurang lebih 500 meter dari pantai yang membentang 23 km. Tentu himpunan angka ini nampak sederhana dan gampang. Tapi kalian tahu di atas tanah itulah kehidupan telah lama terajut: petani menanam, anak-anak bermain dan penduduk menyiangi rumput. Kebanyakan di antara mereka warga desa yang sudah terbiasa hidup tentram dan aman. Jika kini akan ada ladang yang dijadikan latihan tempur, kalian sebenarnya harus menjelaskanya dengan sederhana. Siapa yang mau jadi musuh di pertempuran itu? Kenapa tanah mereka yang dipakai? Kondisinya apa memang darurat sehingga latihan harus dilakukan di sana? Rentetan pertanyaan polos itu semustinya kalian jawab terlebih dulu.
Tak suka dengan debat kau memutuskan untuk bertahan dengan keyakinanmu. Pokoknya tanah itu harus di pagar. Sawah itu mau disulap jadi area latihan tempur. Tempat dimana kalian akan coba gunakan senjata dan kerahkan pasukan. Di sana tiap serdadu akan dilatih menembak, memukul dan mempertahankan kedaulatan. Sungguh menakjubkan anggapan kalian tentang diri-sendiri. Hingga dengan tanpa malu pasukan berdatangan untuk mendirikan pagar. Dikawal pasukan dan senjata kalian ingin menciptakan pertempuran. Saat pertanyaan dan gugatan tak digubris, penduduk kemudian datang. Tanpa senjata, tanpa perisai dan tanpa sepatu. Diantarkan oleh lurah pemberani dengan seragam kebesaran negara: kopyah hitam dengan baju coklat. Seragam PNS itu digunakan untuk tugas mulia: bertanya dan menyanggah keinginanmu. Lurah bernama Sunu itu memegang megaphone dan berdiri di hadapan pasukan bersenjata. Lurah Sunu adalah petugas negara dan kalian juga mengaku mewakili negara. Hari itu atribut negara hendak berduel: seragam coklat bertarung seragam serdadu!
22 Agustus 2015: pasukan negara berhadap-hadapan dengan warga negara. Andai Soekarno dan Hatta diberi kesempatan melihatnya: keduanya pasti sedih dan malu. Tak mereka sangka bunyi proklamasi itu dikhianati isinya. Penduduk desa yang berpakaian sederhana dengan baju ala kadarnya itu ingin bertanya pada barisan serdadu: atas dasar apa pemagaran ini berlangsung? Kalian diam dan tak memberi jawaban. Mirip patung kalian hanya berdiam diri tapi geram. Hingga lurah Sunu tiba-tiba dipukul dan kalian tendang. Terkejut, bingung dan takut warga berlarian. Kening Lurah Sunu berdarah hingga pingsan. Segera penduduk membopong lurah yang dicintai oleh warga. Seperti srigala kalian buru lurah Sunu yang tak sadarkan diri. Kelak terbukti: Sunu dipukul hingga keningnya berdarah dan jarinya patah. Seperti kawanan yang haus darah: teman-teman yang membawa Sunu kalian pukuli juga. Pukulan itu memakai apa saja yang kalian bawa: pentungan dan bayonet. Kian kalap, semua yang ada di sekitar sana diburu hingga jarak 300 meter. Perempuan hamil empat bulan ditendang. Pria tua dipukuli. Anak muda dihajar babak belur. Sepeda motor yang ada ikut ditendang. Hari itu penduduk menyaksikan serdadu bertempur beneran. Lawanya bukan siapa-siapa: rakyat kecil yang tak punya senjata apa-apa. Total hampir lebih 20 orang luka-luka.
22 Agustus 2015: kalian bukan latihan tempur tapi kalian sudah bertempur. Melawan penduduk yang tak punya senjata. Menghajar warga yang tak punya apa-apa. Hari itu penduduk menyaksikan beton pagar yang isinya kawat itu seperti masuk dalam tubuh kalian: memburu, memukul dan menghajar petani yang bisanya menanam saja. Tak hanya petani ada 2 lurah yang jadi korban: Sunu lurah Wiromartan dan Mukhlisin lurah Kaibon Petampuran. Mereka tak bawa apa-apa, kecuali pertanyaan dan kekuatiran. Kini penduduk tahu semua jawaban dari pertanyaan mereka: tanah itu adalah medan pertaruhan. Dipertahankan bukan untuk kesejahteraan dan perlindungan tapi untuk kepentingan kekuasaan. Kekuasaan itu ujudnya jelas dan makin terang: senjata, perisai dan pukulan. Kini bangunan kesadaran warga terbit bahwa pertarungan untuk mendapatkan hak harus diperjuangkan dengan darah. Kini mereka seperti disulut keyakinan baru bahwa untuk mempertahankan martabat ternyata bukan melalui jalan debat.

ekoPetani Urut Sewu berhadap-hadapan dengan pasukan TNI. Foto diambil dari http://www.mongabay.co.id

23 Agustus 2015. Seperti biasa kalian tuduh warga kena provokasi. Pernyataan yang jitu dan benar: pasukanmu dan pagar betonmu yang menyulut provokasi itu. Provokasi itu meledak dengan aneka bentuk: memutar sound dangdut dengan maksud menindih suara demonstran, mendatangkan pasukan bersenjata di atas lahan sawah, memakai cangkul hingga buldoser untuk menyapu tanaman hingga muncul preman yang ikut menghardik warga. Provokasi itu makin menjadi-jadi ketika pasukan kalian meyerbu, memukul dan menganiaya warga. Tak terhitung stigma yang coba dicangkokkan pada warga: PKI, Kiri hingga diprovokasi. Entah mengapa begitu gemar kita menjatuhi rakyat sederhana dengan tuduhan dan kecaman. Sedang jika kita mau sedikit melihat kasusnya tentu ada banyak yang bisa dirundingkan: pemagaran itu menggunakan landasan apa? Kepemilikan tanah itu dibuktikan melalui dokumen seperti apa? Dan yang utama, bisakah kita membenarkan lahan subur dipakai untuk menjajal senjata?
Tapi debat dan bicara bukan porsimu. Nyalak senjata dan tuduhan sudah terlanjur jadi dasar kebenaran. Kini warga tak lagi takut untuk bertanya. Bukan karena dihadapi oleh senjata tapi karena mereka tahu kebenarannya. Kekuatan kebenaran bukan karena dukungan tapi juga tekanan dan kekejaman. Kian beringas kau ancam dengan senjata dan penthungan: mereka kian tahu kalau kebenaran itu harus dipertarungkan. Di balik kekuatan protes warga itu ada dukungan yang terus mengalir deras. Sejumlah mahasiswa kini sibuk menggelar aksi, banyak organisasi mulai mengumpulkan data dan catatan kekerasan terus didokumentasi. Yang menakjubkan, bukti-bukti yang merujuk pada kepemilikan warga kini terus disatukan. Buat mereka senjata bukan dilawan dengan peluru tapi oleh sikap kesadaran bersama bahwa mereka punya hak atas tanah itu. Pernyataan mengenai hak itulah yang membuat mereka kini mengail banyak dukungan. Gelombang dukungan itulah yang mungkin tak bisa kalian pukul dan larang. Mirip umpan, kalian semua telah jadi penghuni dari penjara yang bernama kekerasan dan stigma.
Maka jauh lebih baik kalau kalian segera mundur. Robohkan pagar yang merusak tanaman. Singkirkan pasukan yang terus menerus mencoba mengancam. Dan biarkan mereka hidup seperti sediakala: menanam dan percaya kalau tugas sawah itu menghasilkan makanan bukan kekerasan. Karena jika tak kalian biarkan maka warga juga tak mau diam. Bukan kekerasan yang membuat mereka bertahan tapi sikap patriotik membela apa yang dianggap sudah benar. Puluhan tahun bahkan ada yang memiliki kesaksian sahih: tanah itu sejak lama digunakan untuk bercocok-tanam. Kesaksian itu diberikan oleh para tetua desa yang usianya melebihi usia pasukan kalian. Tapi bila kalian tak percaya biarkan pengadilan memutuskannya: mana yang punya alat bukti otentik. Selama belum ada persidangan maka tanah itu sebaiknya dikembalikan pada fungsi utama: bercocok tanam. Dis itu yang menginjak harusnya kaki petani bukan sepatu serdadu. Di sana yang ditanam adalah benih bukan beton.
Itu sebabnya butuh pengusutan. Tak mungkin lurah dipukuli sedang yang mukul boleh pergi sesukanya. Tak bisa lurah ditendang sedang yang melakukan dibiarkan pergi seenaknya. Terlebih ada korban perempuan hamil segala. Sudah jelas Urutsewu bukan kawasan medan laga: rakyat tak layak diburu apalagi dipukuli. Sebab rakyat yang memberi makan serdadu. Mereka hingga hari ini makan nasi yang ditanam oleh padi petani. Mereka pakai senjata yang dibeli dari pajak petani. Mereka pakai seragam yang dibiayai oleh hasil petani. Serdadu tak bisa punya segalanya tanpa rakyat yang biayai. Jika mengingat itu mustinya kalian minta maaf segera. Dari temuan hasil investigasi muka penduduk lebam semua: lenganya kena pukul, jarinya retak, kepalanya ditambal. Kalian tahu siapa mereka? Mereka adalah mayoritas penduduk negeri ini yang selayaknya kalian lindungi. Mereka bukan kumpulan pasukan bersenjata yang mau membangkang pada negara. Mereka orang biasa yang ingin mempertahankan harta miliknya yang sudah lama.
Kini kami tahu harus bersikap seperti apa pada kalian. Menuntut pengusutan itu pasti. Meminta pertanggung jawaban itu juga yang seharusnya. Dan kami ingin katakan pada kalian kalau penduduk dusun itu tak merasa gentar sama sekali. Mereka belajar banyak dari peristiwa ini: kebenaran itu harus dipertaruhkan dengan luka dan pertarungan. Tak ada kamus ketakutan dalam diri mereka. Kini sepertinya mereka mempercayai bahwa mengambil sikap jujur, teguh dan percaya atas apa yang mereka yakini ternyata mahal harganya. Harga itulah yang kemaren mereka bayar: luka-luka. Kini luka itu mungkin beberapa sudah sembuh dan kalian masih juga membangun pagar. Seakan tak terusik dengan guncangan yang ada di sekitar: seolah tak terganggu dengan kecaman yang beredar: sepertinya juga tak peduli dengan pemberitaan. Hingga aku kadang ingin bertanya: kau itu terbuat dari bahan apa?Sehingga benar-benar seperti besi yang tak mau peduli dan bersikap seperti ingin menang sendiri. Jika begitu mungkin memang saatnya kita berhenti bicara dan waktunya kita untuk tak lagi bertegur sapa. Karena jika itu yang terjadi maka prasangka, curiga dan stigma akan hidup dengan leluasa. Jika itu terjadi, pertanyaanya kemudian, apa guna ada negara dan aparatnya?***
Penulis adalah aktivis  Social Movement Institute, Yogyakarta
http://indoprogress.com/2015/08/surat-untuk-serdadu-di-urut-sewu/?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+indoprogress-feed+%28IndoPROGRESS%29

Kamis, 27 Agustus 2015

Aksi Solidaritas Warga Jogja untuk Petani Urut Sewu

27 Agustus 2015 in BERITA, SEPUTAR DIY

Massa aksi menyanyikan lagu Indonesia Raya versi lengkap mengawali aksi solidaritas. (Foto : Alfin Fadhilah)
SOLIDpress.co, Yogyakarta – Empat hari setelah terjadinya aksi brutal dari aparat tentara bersenjata lengkap kepada petani Urut Sewu membuat beberapa masyarakat jogja menjadi geram. Akibatnya, pada malam kamis (26/8), beberapa masyarakat Jogja dan aktivis yang tergabung dalam Solidaritas untuk Petani Urutsewu Kebumen (SPUK) melakukan aksi solidaritas untuk petani Urut Sewu, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.
Aksi yang berlokasi di KM. 0 tersebut di lakukan atas inisiasi dari masyarakat Jogja yang merasa perlu melakukan aksi ini setelah sebelumnya saling berbagi informasi di media sosial. “Sebenarnya awalnya aksi ini karena ada beberapa teman yang nge-share informasi ini di Facebook, terus aku ajak satu-satu yang nge-share, ‘Ayo kita aksi nyata’,” ungkap Imam Abdul Azis selaku koordinator aksi tersebut.
Selain itu, kekerasan yang menimpa petani Urut Sewu sendiri sebenarnya bukanlah isu yang baru. Tindakan semena-mena dari aparat militer TNI tersebut seperti mengorek luka lama yang pernah terjadi 16 april 2011 silam di bumi Setrojenar, Kebumen. “Pada tahun 2011 pernah terjadi kekerasan juga, penembakan, penahanan kemudian juga ada kriminalisasi warga di Urut Sewu,” tambah Imam.
Beberapa seniman juga ikut andil dalam aksi solidaritas tersebut. Di antaranya adalah Tj Umaruzaman yang membaca dua buah puisi berjudul Anak Wiromartan dan Aku (Ganjar) Pasti Begitu. Pun Agustin dan Slav yang membawakan musikalisasi puisi serta beberapa seniman Jogja yang lainnya.
Aksi solidaritas yang di sudahi dengan menyanyikan lagu Darah Juang itu diharapkan dapat mengangkat isu perampasan tanah oleh militer tersebut kembali ke permukaan dan dapat menarik banyak orang untuk berpartisipasi di dalamnya. “Kami nanti coba kontak kepala desa Urut Sewu Wiromartan, kita coba buat diskusi publik di Jogja,” tutur imam usai selesainya aksi solidaritas.
Pada aksi solidaritas malam itu, SPUK menuntut empat hal. Pertama, mengusut tuntas kasus kekerasan fisik petani dan warga Urut Sewu di desa Wiromartan, Kecamatan Mirit, Kabupaten Kebumen. Kedua, menghukum berat aparat TNI AD yang melakukan kriminalisasi warga dan copot Dandim Kebumen atas tindakan anak buahnya. Ketiga, merobohkan pagar yang membatasi petani Urut Sewu dari tanahnya. Keempat, menjadikan wilayah Urut Sewu sebagai kawasan wisata dan pertanian.

(Alfin Fadhilah)

http://www.solidpress.co/aksi-solidaritas-warga-jogja-untuk-petani-urut-sewu/

Selasa, 25 Agustus 2015

Warga Urut Sewu dipaksa terima ganti rugi lahan Rp 5 ribu per meter

Reporter : Chandra Iswinarno | Selasa, 25 Agustus 2015 10:10


Usai bentrok TNI dan warga di Urut Sewu. ©2015 Merdeka.com



Merdeka.com - Setelah terjadinya bentrokan antara warga Urut Sewu dan anggota TNI AD di Desa Wiromartan, Kecamatan Mirit Kebumen Jawa Tengah, Sabtu (22/8), membuat petani yang memiliki lahan di sekitar lokasi tersebut tidak nyaman.

Seorang pemilik lahan yang terkena patok pemagaran di Desa Wiromartan Kecamatan Wiromartan, Sumedi (36) mengakui usai bentrok lahan pertanian yang semestinya tidak terkena daerah pemagaran malah dirusak.

"Setelah kejadian itu, mereka lebih arogan lagi sananya. Area yang seharusnya tidak kena dampak (pemagaran) pun semakin leluasa dilalui alat berat yang sebenarnya bukan untuk lalu lalang," katanya saat ditemui, Senin (24/8).

Selain itu, dia mengemukakan ada anggota TNI AD yang menemuinya di lahan untuk menerima ganti rugi senilai Rp 5 ribu per meter persegi. Dia mengatakan ganti rugi tersebut baru-baru ini dilakukan kepada warga yang lahannya terkena pemagaran tersebut.

"Itu ganti rugi (waktunya) dekat-dekat ini. Saya sendiri nggak setuju dan belum terima itu," ucapnya.

Lebih lanjut, dia mengemukakan saat di lahan pertanian pada Senin siang, didatangi aparat yang memaksanya agar menerima pembayaran saat itu juga.

"Tadi siang, pihak TNI ngotot harus kelar hari ini, pembayaran ganti rugi harus diterima hari ini," ucapnya.

Dia mengemukakan untuk saat ini beberapa temannya belum menerima ganti rugi tersebut. Selain itu, dia juga merasa aneh karena untuk pembayaran ganti rugi tersebut, pemilik lahan harus melakukan transaksinya di kamp Pasir Besi.

"Saya kemudian bertanya, kenapa nggak melalui desa, orangnya menjawab nggak berani kalau melalui desa ada alasan nunggu Pak Lurah untuk menerima itu (pembayaran ganti rugi lahan)," tuturnya.

Diakuinya, jika tidak menerima pembayaran tersebut, pihak aparat mengancam tidak akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu hal dengan lahan miliknya. Senada dengan Sumedi, tetangga lahannya, Parman (40) juga mengaku didatangi aparat TNI AD saat berladang beberapa waktu lalu.

"Saya ditawari uang untuk mengganti lahan pertanian Rp 5 ribu per meter persegi, tetapi saya menolaknya. Karena itu tidak sesuai dan saya ingin tetap bertani di lahan saya," tuturnya.
[cob]


http://www.merdeka.com/peristiwa/warga-urut-sewu-dipaksa-terima-ganti-rugi-lahan-rp-5-ribu-per-meter.html

Senin, 24 Agustus 2015

Bentrok TNI dengan Warga di Kebumen, DPR Bentuk Panja

Syamsul Anwar Khoemaeni | Jurnalis

JAKARTA - Insiden bentrokan antara TNI dengan warga di Desa Wiromarta, Kecamatan Mirit, Kebumen, Jawa Tengah, Sabtu 22 Agustus 2015 menambah daftar konflik tanah militer dengan warga.

Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Sidiq mengatakan, pihaknya telah membentuk panitia kerja (Panja) tanah dan perumahan untuk membantu penyelesaian bentrokan tersebut. Mengingat permasalahan tanah dan perumahan kedua elemen negara itu sudah semakin berlarut-larut.

"Sudah berlarut-larut dan sering picu konflik antara aparat TNI dengan warga," ujar Mahfudz saat dikonfirmasi awak media, Senin (24/8/2015).

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menambahkan, akar permasalahan kedua belah pihak selama ini disebabkan status tanah dan penempatan rumah yang telah melewati jangka waktu yang ditetapkan. Alhasil, muncul saling klaim terhadap status tanah dan rumah dari keduanya.

"Persoalannya dari status tanah dan penempatan rumah dinas yang lewat waktu," imbuhnya.

Seperti diketahui, konflik di Kebumen dua hari lalu dipicu oleh pemasangan pagar di area pertanian warga. Akibatnya, sembilan orang menjadi korban atas insiden tersebut.

Sementara itu, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Moeldoko menyebut lahan militer yang bersertifikat hanya 28 persen di seluruh Indonesia. Hal tersebut ia sampaikan saat meminpin Rapim TNI se-Indonesia pada Senin dan Selasa 22-22 Desember 2014.

"Permasalahan (sertifikat) berkaitan dengan anggaran," ujar Moeldoko.
(Ari)

Minggu, 23 Agustus 2015

TNI Latihan Perang Kok di Sawah!

Minggu, 23 Agustus 2015 - 16:37 wib Reni Lestari | Jurnalis
Ilustrasi TNI (Foto: Okezone)
JAKARTA - Kemarin, ratusan warga Urut Sewu, Kabupaten Kebumen yang berdemonstrasi damai diserang oleh TNI, enam orang terluka parah akibat bentrokan itu.
Bentrok warga dengan TNI tersebut disebabkan pemagaran lahan pertanian warga yang sejak lama dipinjam untuk latihan militer. Belakangan, TNI mengklaim tanah tersebut sebagai aset mereka. Menanggapi hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil angkat bicara dan mengecam keras tindakan TNI.
"Menurut saya ini adalah simbol kesewenang-wenangan yang luar biasa," kata Iwan Nurdin, ketua umum Konsorsium Pembaruan Agraria di kantor YLBHI, Jakarta, Minggu (23/08/2015).
Iwan menyayangkan kejadian serupa terjadi setelah warga diperlakukan sama pada 27 April 2011 lalu. TNI yang tidak mempunyai hak pakai atas tanah tersebut, menambah arogansinya dengan memagarinya. Tanah ini telah lama dijadikan area latihan militer oleh TNI.
Hal yang menjadi pertanyaan besar, kata Iwan, adalah mengapa latihan perang yang menggunakan senjata mematikan, digelar di area masyarakat sipil. Aktivitas militer di kawasan ini diduga telah memakan korban seorang anak.
Diketahui area Urut Sewu merupakan lahan yang mengandung pasir besi. Iwan menduga ada upaya dari pihak TNI untuk menguasai lahan ini demi kepentingan ekonomi mereka. Iwan juga mencatat, sebagian besar pengambilan paksa lahan sipil oleh TNI didasari oleh motif ekonomi.
"Latihan militer kok di sawah-sawah rakyat!" tegas Iwan.
Karenanya, Konsorsium Pembaruan Agraria bersama Koalisi Masyarakat Sipilmendesak empat hal. Pertama, Presiden dan DPR melakukan evaluasi dan koreksi atas semua MoU TNI dengan kementerian dan instansi lainnya, karena bertentangan dengan UU TNI.
Kedua, bagi kementerian dan instansi lainnya agar tidak menarik-narik TNI untuk masuk dalam ranah sipil untuk menjaga keamanan. Ketiga, bagi Panglima TNI agar mengevaluasi berbagai MoU yang sudah dibuat.
Terakhir, DPR segera membentuk Undang-Undang tentang perbantuan militer yang sesuai dengan tata kehidupan politik negara yang demokratis.
(fid)
http://news.okezone.com/read/2015/08/23/337/1201057/tni-latihan-perang-kok-di-sawah

Ganjar Gubernur yang Ngapusi Rakyat

 
Aksi mahasiswa dari berbagai daerah menuntut Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, agar mengutuk kekerasan yang dilakukan oleh TNI AD tehadap para petani di Urutsewu, Kebumen. Ganjar Pranowo tidak menggubris tuntutan mahasiswa. Foto: Ahmad Syifa.
Oleh Ahmad Syifa
Pada Minggu (23/8/ 2015) mahasiswa mekakukan aksi damai di depan gerbang utama Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Unsoed Purwokerto. Aksi mahasiswa ini menuntut agar Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, mengambil tindakan tegas mengutuk perampasan tanah milik petani Urutsewu dan pemagaran oleh TNI AD, serta rangkaian aksi kekerasan terhadap para petani Urutsewu, termasuk penganiyaan oleh anggota TNI AD terhadap para petani sehari sebelumnya.
Aksi tersebut merupakan aksi solidaritas mahasiswa dari berbagai daerah berbagai pulau yang ada di Indonesia dengan dipimpin oleh Takiuddin, mahasiswa Unsoed. Aksi ini berlangsung dua kali, yaitu pada saat Ganjar masuk ke gerbang kampus, dan pada pukul 01.00 WIB karena dijanjikan Ganjar untuk bertemu lagi setelah mengisi kuliah umum bagi mahasiswa baru Unsoed. Namun, Gubernur Ganjar berbohong (ngapusi), persis sebagaimana ia berbohong dan melanggar janjinya sendiri dimana ia menyatakan akan menjadi pemimpin yang berteman dengan kaum Marhaen.
Padahal, slogannya pada saat kampanye adalah ora ngapusi (tidak berbohong). Ganjar juga pernah menyatakan akan menyelesaikan kasus Urutsewu ini ketika ia masih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Namun semuanya hanya omong-kosong.
Pada aksi tersebut mahasiswa bermaksud menghadang Ganjar begitu ia selesai mengisi kuliah umum. Ganjar sempat keluar dari mobil dan menghadap ke massa aksi. Tetapi, anehnya dia justru menekan mahasiswa untuk meminta bukti kepemilikan tanah petani Urutsewu. Ika, salah satu peserta aksi dari Perempuan Mahardika diminta untuk menunjukkan surat-surat bukti kepemilikan tanah siang itu juga. “Gila, ngapain aja tuh BPN sampai saat ini tidak mau mengukur dan mengurus data pertanahan di Urutsewu? Masa Mba Ika disuruh ngukur-ngukur tanah, nggak ngotak..” teriak salah seorang mahasiswa dari barisan saat negosisasi, yang kemudian juga disebutkan Takiuddin di sela-sela orasinya. 

Ganjar juga menyatakan bahwa sebagai gubernur ia menyesalkan terjadinya kasus kekerasan TNI AD terhadap petani Urutsewu. Namun, bentuknya hanyalah penyesalan. Dia tidak berani secara tegas mengutuk atau melakukan tindakan konkret atas telah jatuhnya korban nyawa, tindakan kekerasan, dan penembakan yang telah dilakukan TNI AD terhadap rakyat Urutsewu yang bukan hanya terjadi pada 22 Agustus 2015 kemarin. Gubernur Ganjar Pranowo pada kenyataannya tidak menggubris aspirasi mahasiswa dan tidak mau menandatangani pernyataan mengutuk TNI AD atas kebiadaban yang mereka lakukan terhadap rakyat. Setidaknya, Ganjar semakin jelas memperlihatkan ketidakberpihakannya kepada rakyat.[] 
http://literasi.co/ganjar-gubernur-yang-ngapusi-rakyat/

Sabtu, 22 Agustus 2015

Seragam Kades ini Basah Oleh Darah

KEBUMEN (kebumenekspres.com)-Widodo Sunu Nugroho (36) menjadi salah satu korban paling parah di antara 10 korban lainnya dalam aksi unjuk rasa berujung bentrok antara TNI AD versus warga di Desa Wiromartan Kecamatan Mirit, Sabtu (22/8/2015). Kening pria yang juga Kepala Desa Wiromartan Kecamatan Mirit itu bocor terkena pukulan tentara.

Akibatnya, darah mengalir dari keningnya. Karena lumayan banyak, darah itu lantas membasahi bajunya. Padahal, saat itu, Widodo Sunu mengenakan seragam Kades. Jadi, seragam kades itu terlihat "basah" oleh darah. Sementara pergelangan tangan kirinya retak saat berusaha menangkis pukulan tentara yang berupaya menghalau demonstran.

Menurut Widodo Sunu, luka itu diperolehnya saat tengah melakukan orasi. "Kami datang dan meminta penjelasan mengenai legalitas pemagaran oleh TNI AD. Ketika sedang orasi, tentara-tentara itu menyerbu. Kepala saya terkena pukulan tongkat. Tangan saya yang berusaha menangkis pukulan ikut kena dan terasa sakit," kata Widodo Sunu saat dirawat di Puskesmas Kecamatan Mirit.

Sejumlah warga mengatakan, Widodo Sunu sampai harus ditarik ke luar kerumunan agar tidak sampai terjadi sesuatu yang lebih buruk. Lalu, Sunu dilarikan ke Puskesmas Mirit dengan menggunakan sepeda motor. Sunu sendiri pingsan saat itu. Dari hasil pemeriksaan sementara, tangan Widodo Sunu diduga mengalami fraktur. "Untuk memastikan, pasien dirujuk ke RSUD Dr Soedirman," kata Kepala Puskesmas Kecamatan Mirit, Yamoto SKM MSi.

Total ada 10 pengunjuk rasa mengalami luka pada insiden bentrokan Sabtu siang. Enam diantaranya, termasuk Widodo Sunu, dirujuk ke RSUD Kebumen. Hingga tadi siang, suasana di Desa Wiromartan masih mencekam.

Bentrok TNI AD dan warga bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya pada tahun 2011, pecah bentrok hingga mengakibatkan belasan warga luka-luka. Konflik berkepanjangan ini sendiri sudah dimulai pada tahun 2007 saat warga menyatakan penolakan kawasan Kebumen selatan (urut sewu) ditetapkan menjadi kawasan pertahanan dan keamanan dan menjadi tempat latihan tembak untuk TNI AD.

Warga menginginkan, kawasan tersebut dijadikan kawasan wisata dan pertanian. (cah/mam)

http://www.kebumenekspres.com/2015/08/seragam-kades-ini-basah-oleh-darah.html

Bentrok Warga vs TNI , Puluhan Pengunjuk Rasa Mengalami Luka

cahyo/ekspres

 KEBUMEN (kebumenekspres.com)-Unjuk rasa menolak pembangunan pagar TNI AD di kawasan pantai Desa Wiromartan, Kecamatan Mirit, Sabtu (22/8/2015) berakhir bentrok. Dalam insiden itu, sepuluh orang pengunjuk rasa dilarikan ke Puskesmas Kecamatan Mirit.

Kesepuluh orang itu masing-masing, Parman (40), Samingan (35), Widodo Sunu Nugroho (36), Ratiman (36), Prayoga (49), Rajab (27), Kusnanto (29), Sri Rohani (18) Pawit (37) dan Kuwat (39). Para korban rata-rata mengalami cedera pada bagian kepala akibat pukulan anggota TNI AD.

Menurut keterangan Kepala Puskesmas Mirit, Yamoto SKM MSi, dari ke-10 orang tersebut enam diantaranya dirujuk ke RSUD Dr Soedirman Kebumen. Mereka adalah Parman (40), Samingan (35), Widodo Sunu Nugroho (36), Ratiman (36), Prayoga (49), Rajab (27).

Widodo Sunu Nugroho mengalami luka paling parah. Selain cedera di kepala, tangan kiri pria yang juga Kepala Desa Wiromartan Kecamatan Mirit itu mengalami retak tulang di tangan kiri.

"Mereka dirujuk karena mengeluhkan pusing di kepala akibat cedera kepala ringan terkena benda tumpul. Dan satu orang yakni Widodo Sunu Nugroho kemungkinan patah tulang (fraktur). Untuk memastikannya, kami merujuk mereka ke RSUD untuk mendapat perawatan lebih lanjut," kata Yamoto kepada kebumenekspres.com, tadi siang.

Sementara itu, hingga tadi siang, masing ada dua orang yang masih menjalani perawatan di Puskesmas Mirit. Keduanya adalah Kusnanto yang mengeluhkan pusing di kepala. Sementara satu lainnya, Siti Rohani diketahui sedang dalam keadaan hamil.

"Dengan demikian, dari 10 orang yang dirawat di Puskesmas Mirit enam diantaranya dirujuk ke RSUD. Sementara dua orang masih menjalani perawatan dan lima lainnya berobat jalan," imbuh Yamoto,

Salah satu pengunjuk rasa, Muhlisin mengatakan, insiden bentrok bermula saat warga menggelar unjuk rasa menolak pembangunan pagar oleh TNI AD di kawasan Desa Wiromartan Kecamatan Mirit sekitar pukul 09.00. Saat itu, sekitar 150 pengunjuk rasa yang sebagian besar merupakan warga Desa Wiromartan ditambah warga Desa Petangkuran Kecamatan Ambal dan Desa Setrojenar Kecamatan Buluspesantren mendatangi lokasi pembangunan pagar TNI AD.

"Begitu kami datang, bentrok terjadi. Kami dipukul dan ditendang oleh anggota TNI AD," kata Muhlisin yang juga Kepala Desa Petangkuran Kecamatan Ambal itu. Muhlisin sendiri mengalami luka lebam pada pipi kirinya akibat pukulan. Menurut Muhlisin, saat kejadian ada polisi, namun para petugas itu tidak bertindak. (cah)  

http://www.kebumenekspres.com/2015/08/bentrok-warga-vs-tni-puluhan-pengunjuk.html

TNI: Aparat Bentrok dengan Petani Urut Sewu Akibat Provokasi

Sabtu, 22 Agustus 2015 | 14:58 WIB 

Sejumlah polisi wanita ikut berjaga saat ribuan petani kawasan Urut Sewu menggeruduk gedung DPRD Kebumen, Jawa Tengah, 8 Juli 2015. TEMPO/Aris Andrianto

TEMPO.CO, Kebumen - Komandan Distrik Militer 0709 Kebumen Letnan Kolonel Infanteri Putra Widya Winaya mengatakan TNI Angkatan Darat hanya melakukan penjagaan dengan cara memagari lahan konflik Urut Sewu, Kebumen. Penjagaan, kata dia, merupakan bagian dari pelaksanaan program pemerintah atas lahan yang dijadikan tempat latihan militer tersebut.  "Memang ada dorong-dorongan. Ada yang luka karena dorong-dorongan," kata Putra saat dihubungi Tempo, Sabtu, 22 Agustus 2015.

Menurut Putra, para petani memaksa menghentikan pemagaran sehingga TNI terpaksa menghentikan aksi mereka. TNI, kata dia, sudah melakukan prosedur sosialisasi dan memberi ganti rugi terhadap tanaman petani yang terkena pemagaran. "Kami tidak ingin melukai masyarakat," kata dia membatah sengaja melakukan kekerasan terhadap petani.

Bentrok kembali pecah di tanah Urut Sewu, Kebumen, pada Sabtu pagi ini. Petani yang menolak pemagaran lahan konflik digebuki tentara bersenjata lengkap. Empat orang menderita luka berat, belasan lainnya luka ringan.

"Saat sedang menyampaikan aspirasi, tiba-tiba kami diserang," kata Kepala Desa Petangkuran, Kecamatan Mirit, Kebumen, Muchlisin, Sabtu, 22 Agustus 2015. Ia menderita memar saat dipukuli tentara di depan seorang polisi yang tak berani melerai. Padahal ia sudah lari menjauh dari lokasi bentrokan. (Baca: Warga Urut Sewu Diserang TNI AD Saat Demonstrasi , 4 Luka Berat)

Putra mengatakan, tak ada benturan antara masyarakat dan TNI. Bentrok dianggap terjadi karena ada provokasi pihak ketiga. "Masyarakat ikut karena terpaksa dan takut," kata dia. TNI sudah memagari lahan sepanjang dua kilometer di Lembupurwo dan 300 meter di Wiromertan.

Menurut dia, TNI dan masyarakat sudah bertemu pada 18 Agustus lalu. Kedua pihak sepakat tidak melakukan aksi. Selain itu, TNI dan masyarakat diminta menunjukkan sertifikat kepemilikan paling lambat 14 September ke Pemerintah Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. "Sudah ada kesepakatan tidak ada demo, tapi tetap dilanggar," katanya.

ARIS ANDRIANTO

 


http://nasional.tempo.co/read/news/2015/08/22/058694137/tni-aparat-bentrok-dengan-petani-urut-sewu-akibat-provokasi

Warga Urut Sewu Diserang TNI AD Saat Demonstrasi , 4 Luka Berat

Sabtu, 22 Agustus 2015 | 13:48 WIB

Ribuan petani kawasan Urut Sewu menggeruduk gedung DPRD Kebumen, Jawa Tengah, 8 Juli 2015. TNI AD telah melakukan pemagaran di lahan konflik sepanjang 22,5 kilometer dan lebar 500 meter untuk latihan militer. TEMPO/Aris Andrianto

TEMPO.CO, Kebumen - Bentrok kembali pecah di tanah Urut Sewu, Kebumen. Petani yang menolak pemagaran lahan konflik digebuki tentara bersenjata lengkap. Empat menderita luka berat dan belasan lainnya mengalami luka ringan.

"Saat sedang menyampaikan aspirasi, tiba-tiba kami diserang," kata Kepala Desa Petangkuran, Kecamatan Mirit, Kebumen, Muchlisin, Sabtu, 22 Agustus 2015. Ia menderita memar saat dipukuli tentara di depan seorang polisi yang tak berani melerai. Padahal ia sudah lari menjauh dari lokasi bentrokan.

Kepala Desa Wiromartan Widodo Sunu Nugroho bocor kepalanya kena pentungan. Tangannya retak. "Ia tiba-tiba dipukul saat sedang mempertanyakan legalitas pemagaran lahan," ujar Muchlisin.

Konflik Urut Sewu bermula ketika ada saling klaim tanah sepanjang 22,5 kilometer di pesisir Kebumen. Tanah yang dimanfaatkan untuk lahan pertanian itu belakangan dipagari oleh TNI AD untuk latihan militer.

Masih menurut Muchlisin, petani tidak membawa apa-apa saat menghadang pemagaran. Massa mulai berkumpul sejak pukul 07.00. Jumlahnya sekitar 150 orang.

Saat melakukan orasi, tentara bertambah banyak dan mengepung massa. Mereka lalu digebuki. Massa pun kocar-kacir menyelamatkan diri. Tentara terus mengejar. "Ibu-ibu hanya bisa menangis saat dibentak tentara," tuturnya.

Warga yang mengalami luka berat adalah Widodo Sunu Nugroho, Ratiman, dan Prayogo. Ketiganya dari Desa Wiromartan. Sedangkan seorang lagi, Rajab, berasal dari Desa Petangkuran. Lima belas korban lainnya mengalami luka ringan. Kini mereka dirawat di Puskesmas Mirit.

Agam, aktivis agraria yang ikut aksi, mengatakan, pada pukul 07.00, massa sudah berkumpul untuk melakukan penolakan pemagaran lahan. "Kami aksi damai dan hanya mempertanyakan dasar pemagaran," ucapnya.

Kepala Dinas Penelitian dan Pengembangan TNI AD Setrojenar Mayor Infanteri Kusmayadi mengatakan ia sudah melakukan sosialisasi sebelum pemagaran. "Itu bukan tanah rakyat, tapi tanah negara," katanya dengan nada tinggi.

Ia mengaku sudah jenuh dengan konflik itu. Menurut dia, masyarakat telah dibohongi sehingga melakukan perlawanan. "Silakan lewat jalur hukum. Jika kami kalah, kami akan angkat kaki," ujarnya.

Komandan Distrik Militer 0709 Kebumen Letnan Kolonel Infanteri Putra Widya Winaya mengatakan ia tidak melarang petani melakukan demo. Kedatangan personel TNI AD bersenjata laras panjang, menurut dia, hanya untuk pengamanan. "Bukan untuk menakuti, tapi untuk mengamankan," tuturnya.

Ia menambahkan, pemagaran tahun ini akan tetap dilaksanakan sepanjang 8 kilometer di lima desa. Pada tahap pertama, pemagaran dilakukan 8 kilometer di enam desa. Total lahan yang akan dipagar mencapai 23 kilometer dengan lebar 500 meter.

Menurut dia, hingga saat ini TNI terus melakukan komunikasi dengan petani tentang status tanah tersebut. Ia mengatakan, dari surat Kementerian Keuangan tahun 2011, tercatat tanah itu adalah aset TNI AD. Sertifikasi juga masih dilakukan.

Putra mengatakan bukti sertifikat tanah sudah dimiliki TNI AD. "Saya tanya, mana bukti yang dimiliki masyarakat? Tidak ada, kan? Mereka hanya bilang punya letter C," ucapnya.

Menurut dia, masyarakat bisa menggugat lewat jalur hukum jika punya bukti. Tidak usah melakukan demonstrasi.

Masih menurut Putra, pemagaran dibuat guna membatasi lahan untuk latihan dengan tanah milik rakyat. Dengan batas yang jelas, ada prosedur hukum jika terjadi pelanggaran.

ARIS ANDRIANTO



http://nasional.tempo.co/read/news/2015/08/22/058694127/warga-urut-sewu-diserang-tni-ad-saat-demonstrasi-4-luka-berat