This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jumat, 16 Oktober 2015

Bela Rakyat Yes, Bela Negara No!

Mastono | Harian Indoprogress
Foto diambil dari http://gema-nurani.com
SUATU pagi tiga tahun yang lalu, seorang gadis menelpon saya. Dia adalah sahabat saya sedari kecil. Parasnya cantik. Tapi bukan ini persoalannya. Dia menelpon saya dengan menangis. Kemudian bercerita pahitnya menjadi buruh. Dia menceritakan, tenaga dikuras tapi upah masih belum cukup menghidupi diri dan keluarga di rumah. Bukan cuma itu, katanya, waktu istirahat yang disediakan hanya bisa digunakan untuk makan. Sementara untuk sholat, seringkali waktu tak mengijinkan. Dalam batin saya berkata: ‘pahit sekali, tenaga habis-upah tak mencukupi, bahkan bertemu Tuhan saja susah’.
Cerita sahabat tadi hanya satu saja contoh sulitnya hidup di negeri ini. Banyak orang-orang di sekeliling saya yang mengeluhkan itu: masalah harga kebutuhan semakin mahal, tapi harga hasil kerja pertanian mereka semakin anjlok, biaya sekolah yang terancam tak terbayar, mencari kerjaan susah, panen terancam gagal, sampai pada hutang. Di tengah situasi ini, bagi mereka, negara tak pernah terasa pertolongannya. Malahan yang terjadi sebaliknya, negara sengaja membiarkan penderitaan ini terus berlanjut. Pemerintah dipandang hanya berceloteh, mencomot nama rakyat sana-sini, membenarkan kebijakan, namun hasilnya tak pernah terasa di bawah.
Belakangan ini, cerita kepahitan hidup di negeri ini justru semakin menjadi-jadi. Lihatlah, ketenteraman warga kampung Pulo dengan ekonomi, sosial dan budayanya harus digulung paksa. Di Papua, penyiksaan bahkan seolah menjadi hal yang lumrah. Di Urut Sewu, petani yang sudah manunggaling dengan tanahnya harus dipukul mundur dengan bayonet oleh tentara. Salim Kancil, petani yang berjuang untuk menyelamatkan alam di Lumajang, bahkan harus merenggang nyawa. Bisa jadi masih banyak kasus-kasus lain yang serupa tapi tak tersorot media.
Bukankah itu saja sudah cukup menjelaskan, betapa susah hidup di negara ini? Bertahan hidup memenuhi kebutuhan material sulit, sarana produksi bahkan direbut, sudah begitu ketika mempertanyakan dan menolak langsung dihajar. Tidak segan-segan, bukan hanya fisik yang dihajar tapi label pun disarangkan. Seolah-olah yang melawan adalah komunis, dan komunis adalah pemecah integrasi bangsa. Singkatnya, sudah sulit mendapatkan hidup, ketika menuntut segera dituduh menganggu stabilitas negara.
***
Namun, nampaknya, bagi sebagian kalangan ini belum menjadi fakta-fakta yang memuaskan dan menyadarkan. Ironinya ini juga terjadi pada gerakan, terutama gerakan pelajar: masih banyak anggota gerakan mahasiswa yang bilang buruh tak ditindas. Orang-orang seperti ini melihat ketertindasan sebagai suatu realitas yang harus mengaktual dan bisa dilihat secara kasat mata. Bagi aktivis-aktivis ini, buruh yang makan di McD dan KFC serta membeli Samsung adalah buruh yang sejahtera, dengan demikian tidak pantas disebut tertindas. Apalagi jika sepeda motor kendaraan si buruh lebih mewah dari punyanya, maka semakin tak ada alasan untuk mengatakan buruh itu tertindas. Ditambah lagi, kata manusia-manusia ini, buruh kerja dengan suka rela tanpa keterpaksaan berarti tanpa penindasan!
Ironi sekali bukan? Ketertindasan hanya dipahami sebagai yang nampak oleh indera dan dirasakan oleh pikiran. Mungkin manusia-manusia ini tidak pernah membaca rubrik LogikaDede Mulyanto dan Martin Suryajaya. Pandangan begini jelas bermasalah. Ketertindasan itu perkara objektif yang keberadaannya terlepas dari sadar atau tidaknya subjek. Mau buruh itu merasa ditindas atau tidak, tidak mengubah apapun: bahwa nilai kerjanya diambil menjadi nilai lebih oleh pemegang modal. Lagi pula, apa dengan buruh makan di McD dan KFC serta punya Samsung itu menjadi variabel untuk menentukan ketertindasan? Lah, sahabat saya itu punya Samsung, pernah makan di KFC dan McD tapi nyatanya justru lebih sering dia menangis karena merasa menderita menjadi buruh.
Selain itu, memangnya jika mereka buruh, apa mereka tidak diperkenankan untuk makan di McD atau KFC? Apa mereka tidak boleh punya telepon genggam sekelas Samsung Galaxy S6? Bukankah justru McD, KFC, Samsung dan sejenisnya itu tak pandang bulu ketika memasang iklan? Bukankah barang-barang ini juga memang diproduksi secara massal? Mana peduli perusahaan-perusahaan itu dengan kelas, untuk mendapatkan konsumen di pasar? Siapa punya uang dia bisa beli barang-barang itu, tak urusan dari mana dan seperti apa dia dapat uang. Buruh juga ingin senang, pengen sama seperti yang lainnya menikmati ayam goreng KFC, burger di McD, dan kecepatan yang dijanjikan di era digital dengan menggunakan hp canggih. Menjadi buruh tak harus makan singkong rebus dan komunikasi dengan surat yang disampaikan oleh burung merpati, bukan? Ini perkembangan jaman. Kalau mau disalahkan itu bukan buruh tapi kapitalisme itu sendiri. Sementara kapitalisme tak akan mati dengan membakar KFC, McD atau menggunakan surat via merpati.
Nalar seperti ini, sama saja dengan nalar penguasa penentu UMR dan KHL. Bagi pejabat-pejabat ini, buruh tak usah makan enak, tak perlu bergizi bagus yang terpenting cukup buat besok bisa kerja lagi. Makanya, bagi pemerintah, upah buruh tidak perlu tinggi. Jika pemerintahnya begini, sementara kader gerakan mahasiswa yang selalu berteriak menyuarakan rakyat juga seperti itu, kemudian pertanyaannya: pada siapa hidup sulit buruh itu dicurahkan?
Jelas sekali, pandangan ini membuat semakin sulit saja hidup di negeri ini. Cari makan sulit, menuntut hak dihajar, ingin mencari pertolongan pada sang pahlawan gerakan ketertindasannya tidak dipercaya. Seharusnya kalian, para anggota gerakan ini, menyadarkan bahwa ada keterindasan dan mengajak untuk bersama melawan, bukan malah nyinyir hanya karena buruh terlihat hidup enak.
***
Belum berhenti cerita sulitnya hidup di negera ini. Kemaren ada pahlawan tiba-tiba datang dengan menggaungkan bela negara. Siapa dia? Tentu kita sudah tahu, dialah Menteri Pertahanan kita. Sang Jenderal (Purn) itu berkata: kalau semua warga-bangsa Indonesia harus bela negara, wajib hukumnya. Tak tanggung-tanggung, bagi Menhan, bela negara ini harus diterapkan semenjak TK sampai usia 50 tahun, semua kena. Bagi aktivis yang nyinyir soal keterindasan buruh tadi, gagasan bela negara versi Menhan ini pasti dibilang heroik sekali. Bela negara! Bagaimana tidak heroik, kita dituntun membela negara kita? Apalagi si Menhan berkata, dengan bela negara ini nantinya persoalan dari konflik tukang ojek sampai masalah asap yang lagi ramai itu akan dengan mudah terselesaikan. Di benak si Menhan, bela negara adalah koentji atas semua persoalan di negeri ini.
Akan tetapi, benarkan begini? Soal apa yang hendak dibangun dan apa nalar di balik bela negara versi Menhan ini harus dijawab. Jadi tolong bagi para aktivis yang nyinyir jangan mudah kagum dengan hal-hal begini. Ragukan dulu, ragukan dan bertanyalah!
***
Dalam bayangan Menhan, masalah di negara ini disebabkan oleh kurangnya nasionalisme dan patrotisme. Oleh karena itu, dengan bersemangat ia memberikan bela negara sebagai kunci jawaban atas persoalan-persoalan itu. Dia bahkan menyebut ini adalah penerjemahan atas Revolusi Mental Jokowi. Baiklah, apa yang bermasalah dari bela negara model Menhan ini?
Connie Rahakundini Bakrie dalam tulisan berjudul Pertahanan nan Hilang Arah telah mengkritik sang Menhan bahwa ia telah gagal menerjemahkan visi kemaritiman Jokowi. Alih-alih membuat sistem yang memperkuat pertahanan laut dengan disokong udara, Menhan justru sibuk memiliterkan sipil. Sebenarnya hal ini tidak aneh, mengingat Menhan adalah Jenderal dari Angkatan Darat. Sejarah negeri ini mencatat, Angkatan Darat memang lebih sibuk ngurusi persoalan di dalam, sehingga dalam persepsi mereka ancaman stabilitas dan pertahanan negara justru datang dan diganggu oleh komponen dalam negeri. Siapa komponen dalam negeri yang dipandang menjadi musuh? Jawabannya mudah, lihat saja siapa yang sering dihajar oleh AD: rakyat-rakyat yang justru menuntut hak hidupnya.
Nasionalisme, Pancasila dan Patriotisme yang diajarkan bela negara versi Menhan tentu dapat dilihat dengan mudah sebagai versi militer (konkritnya: AD). Dengan begitu, warga akan diajak untuk memiliki nalar seperti militer. Setelah bernalar begitu, warga akan mudah dibuat tertib. Jika masih ada yang melawan tinggal tuduh saja kadar bela negaranya lemah, mengganggu stabilitas negara dan berpotensi untuk memecah integritas bangsa, maka semangat sipil yang dimiliterkan itu akan naik dan ikut menghajar yang melawan itu. Hal ini sudah dapat dilihat dari ungkapan Menhan sendiri ketika berkata siapa yang tidak mau bela negara tinggal diusir saja. Ungkapan ini jelas ancaman, begitu mudahnya seseorang akan dicap tidak membela negara dan harus diusir minimal dipukuli. Mirip Orde Baru sekali, bukan?
Jangan berharap Pancasila, nasionalisme dan patriotrisme yang diajarkan itu seperti gagasan Soekarno. Pancasila, nasionalisme dan patriotisme Soekarno itu tujuannya menyelamatkan kaum Marhaen. Musuhnya jelas: kapitalisme-imperialisme-kolonialisme dan feodalisme. Jika pun yang dibawa adalah gagasan Soekarno, tak mungkinlah Menhan mendahulukan bela negara daripada kesejahteraan rakyatnya. Padahal jelas-jelas, selama ini negara yang dimaksud itulah yang memiskinkan, menelantarkan dan menyusahkan rakyat.
Akankan kita membela yang selama ini membuat kita hidup susah? Akankah kita membela yang selama ini melantarkan kita? Kalau saya ogah.***
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Filsafat UGM
http://indoprogress.com/2015/10/bela-rakyat-yes-bela-negara-no/?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+indoprogress-feed+%28IndoPROGRESS%29

Rabu, 14 Oktober 2015

Kronologi Kriminalisasi Petani dan Aktivis Serikat Petani Karawang

Af | On 14, Okt 2015

MESTAKUNG (Semesta Mendukung)
Nestapa Petani Karawang

Kriminalisasi petani dan aktivis petani adalah kejahatan kemanusiaan. Kriminalisasi aktivis petani kembali terjadi di negara ini, dua aktivis Serikat Petani Karawang (1) Engkos Koswara SEKJEN Serikat Petani Karawang dan Odang Rodiana Kepala Departemen Pendidikan Serikat Petani Karawang telah di kriminalisasi oleh salah seorang CABUP Karawang nomor Urut 1 Nace Permana, yang juga ketua LSM Lodaya. Nace Permana selama ini juga dikenal memiliki peranan sebagai beking PERHUTANI.

Kriminalisasi kedua aktivis Serikat Petani Karawang berdasarkan pada Laporan Kepolisian Resort Karawang pada Tanggal 12 Oktober 2015 dengan tuduhan pencemaran nama baik berdasar UU ITE No 11 tahun 2008. Namun benarkah tuduhan tersebut?

Sebagaimana diketahui oleh Serikat Petani Karawang dan juga petani anggota Serikat Petani Karawang, Nace Permana adalah ketua dari LSM Lodaya yang selama ini bersama PERHUTANI telah melakukan upaya-upaya penjegalan perjuangan kaum tani. Upaya Penjegalan-penjegalan tersebut diantaranya adalah :

1. Pemindahan patok-patok batas PERHUTANI ke tanah-tanah petani.

2. Intimidasi /ancaman terhadap petani berupa larangan pemanfaatan hasil tanaman, membakar gubuk serta ancaman kriminalisasi.

3. Pemerasan yang dilakukan oleh mantri-mantri kehutanan yang juga dibekingi oleh LSM LODAYA.

4. Penolakan atas Peraturan Bersama 4 menteri tentang Iventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) yang diajukan oleh petani bersama Serikat Petani Karawang.

5. Kriminalisasi terhadap Petani Anggota Serikat Petani Karawang

6. Kriminalisasi terhadap Aktivis Serikat Petani Karawang.
Kriminalisasi terhadap kedua aktivis Serikat Petani Karawang ini berawal dari tertuduhnya saudara Karsim yang merupakan salah satu anggota Serikat Petani Karawang atas sejumlah balok kayu yang ditemukan digubuknya pada tanggal 8 Oktober 2015. Sebagaimana diketahui masyarakat bahwasanya sejumlah balok kayu tersebut adalah milik mutlak saudara karsim yang ia tanam dan kelola di tanah miliknya sendiri bahkan bibitnya-pun ia beli sendiri dari daerah Cikampek.

Paska ditemukannya sejumlah balok kayu di gubuk Karsim tersebut, pihak PERHUTANI serta LODAYA mulai arogan. Sebagaimana yang di ungkapkan saudara Karsim bahwa pihak LODAYA mengintimidasi akan membakar gubuk-gubuk petani, begitupun pula dengan intimidasi dari pihak PERHUTANI. Masalah-pun berlanjut. Sekembalinya Karsim kerumah, Okim seorang Mantri Hutan mendatangi Karsim dirumahnya dan menyampaikan bahwasanya masalah tersebut sudah dilaporkan oleh LSM LODAYA kepada pihak terkait sebagaimana pembicaraan tersebut terekam oleh telepon seluler saudara Karsim. Pada sore harinya, Akew, yang merupakan orang suruhan saudara Okim (Mantri Hutan) mendatangi keluarga Karsim meminta uang agar masalah ini tidak sampai ke Kepolisian, namun dengan tegas keluarga Karsim menolak hal tersebut karena sungguh saudara Karsim adalah seorang petani yang menanam di tanahnya sendiri.

Pada malam hari sekitar pukul 21:00 WIB, pengurus serikat Petani Karawang di Kabupaten menerima laporan dari Hilman dan Wahyu, pengurus yang datang ke lokasi desa Medalsari, mereka melaporkan bahwa telah terjadi upaya kriminalisasi oleh pihak PERHUTANI dengan LODAYA kepada petani di desa Medalsari.

Setelah laporan diterima, Engkos (SEKJEN), Odang (DEP. Pendidikan), Inong (Dep. Propaganda) yang pada saat itu berada di Sekretariat Kabupaten melakukan rapat darurat yang melibatkan ketua umum. Hasil dari rekomendasi rapat darurat tersebut adalah statement/pernyataan sikap terkait apa yang telah dilakukan oleh PERHUTANI dan LODAYA. Pernyataan sikap tersebut ditindak lanjuti oleh tim propaganda dalam bentuk kritik melalui berbagai media (gambar poster, karikatur, tulisan gambar) terkait PERHUTANI, LODAYA dan Nace Permana sebagai representasi LODAYA di berbagai jaringan facebook.

Pada keesokan harinya 9 Oktober 2015, ratusan masyarakat Desa Medalsari mendatangi kantor RPH Pangkalan – Karawang menolak kriminalisasi yang di lakukan oleh PERHUTANI dan LODAYA. Namun petani yang melakukan aksi dikantor RPH tersebut hanya menemui kantor yang tak berpenghuni, lalu massa aksi-pun bertolak aksi ke Bupati Karawang dan lagi-lagi tak bisa bertemu dengan pejabat yang dituju dan akhirnya petani pulang ke desa tanpa mendapat perhatian dari Pemerintah Kabuoaten Karawang.

Pada sore harinya atas desakan dari KAPOLSEK Pangkalan melalui BABINKAMTIBMAS Medalsari, Brigpol Dudin Suhabudin, meminta dilakukan mediasi antara warga dengan pihak PERHUTANI yang juga dihadiri oleh beberapa pengurus Serikat Petani Karawang. Pertemuan mediasi tersebut begitu alot dengan berbagai macam bantahan oleh pihak PERHUTANI yang berakhir dengan buntu, karena akhirnya pihak PERHUTANI menolak semua rumusan berita acara yang awalnya disepakati berbagai pihak.

Pada perjalanan kembali ke sekretariat di Karawang, Engkos (Sekjen SEPETAK) mendapat pesan dari Hendra Supriyatna, salah satu kuasa hukum Nace Permana, untuk bisa bertemu terkait beberapa statement dan gambar di facebook yang memuat Nace Permana. Dengan berbagai alasan, pertemuan tersebut akhirnya menuai kesepakatan bahwa Serikat Petani Karawang akan menghapus gambar-gambar serta statement tersebut asalkan Nace Permana memberikan pernyataan bahwa :

1. Nace Permana harus memberikan pernyataan sikap di media sosial (facebook), bahwa Nace Permana mendukung Peraturan Bersama 4 menteri tentang Iventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) yang diajukan oleh petani.

2. Nace Permana harus memberikan pernyataan di media sosial (facebook), bahwa Nace Permana pro terhadap petani.
Namun, setelah 2 hari, Serikat Petani Karawang menunggu pernyataan dari Nace Permana, tepatnya pada tanggal 12 oktober 2015, malah berakhir dengan laporan Kepolisian dengan tuduhan bahwa Serikat Petani Karawang melakukan pencemaran nama baik dengan dua aktivis Serikat Petani Karawang sebagai terlapor.

Karawang, 13 Oktober 2015
SERIKAT PETANI KARAWANG
 
http://selamatkanbumi.com/kronologi-kriminalisasi-petani-dan-aktivis-serikat-petani-karawang/

Sabtu, 03 Oktober 2015

LIPI: Kebijakan Soal Izin Lahan Tak Pro Petani

, CNN Indonesia | Sabtu, 03/10/2015 03:09 WIB
 
Petani menunjukkan tanaman padi yang sudah kering di Desa Hadiwarno, Jekulo, Kudus, Jawa Tengah, Selasa (30/6). (AntaraFoto/Yusuf Nugroho)  
 
Jakarta, CNN Indonesia -- Adanya konflik agraria menjadi salah satu permasalahan yang menyebakan belum majunya pertanian di Indonesia. Kebijakan pro pertanian pun dibutuhkan untuk mengatasi masalah ini.

Lilis Mulyani, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan konflik agraria terjadi struktural. Dia mengatakan kebijakan pemerintah dinilai lebih mendukung pemilik modal industri dibandingkan dengan pemilik lahan pertanian.
 
"Kebijakan pemerintah timpang, akses rakyat kecil sulit untuk mendapatkan lahan pertanian sedangkan perusahaan-perusahaan pemilik modal lebih mudah ketika mendapatkan izin industri," kata Lilis, kepada CNN Indonesia, Jumat (2/10).

Timpangnya kebijakan ini membuat petani dan perusahaan akhirnya bentrok di lapangan. Banyak perusahaan yang mengklaim punya izin untuk mengeksploitasi lahan pertanian.

"Sehingga terjadi perampasan lahan, perusahaan merasa punya izin, sementara masyarakat atau petani merasa itu merupakan lahan turun temurun," ujar Lilis.

Lilis menyarankan seharusnya pemerintah melihat kondisi lapangan sebelum memberikan izin kepada perusahaan sehingga konflik di lapangan bisa diminimalisir. Dia menambahkan, cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan mengumumkan kepada masyarakat perusahaan-perusahaan yang mendapatkan izin untuk menggunakan lahan.

"Selama ini pemerintah masih menganggap perusahaan lebih baik untuk mengelola Sumber Daya Alam di Indonesia sehingga kebijakan yang dikeluarkan tanpa melihat kondisi lapangan," ujarnya.

Sementara itu, terkait peran pemuda yang ikut dalam konflik agraria, Lilis mengatakan hal tersebut terjadi karena pola pikir anak muda yang masih menganggap pertanian bukan merupakan bidang yang menjanjikan untuk menunjang masa depan mereka. Akibatnya, banyak pemuda di Indonesia terutama di pedesaan lebih memilih masuk dan mendukung perusahaan-perusahaan.

Lilis mengatakan peran pemerintah untuk melakukan pendidikan kepada pemuda desa dan bantuan terhadap bidang pertanian seperti kebijakan dan anggaran sangat diperlukan untuk memajukan pertanian di Indonesia. (utd)
 
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151002215410-20-82509/lipi-kebijakan-soal-izin-lahan-tak-pro-petani/

Jumat, 02 Oktober 2015

Sengketa Lahan Harus Selesai Paling Lama 10 Tahun

02 Oktober 2015 20:21 Yuyuk Sugarman

Lahan perkebunan yang HGU-nya tak diperpanjang akan digunakan untuk lahan pertanian atau persawahan. 

Perkebunan teh di Cianjur.

YOGYAKARTA - Banyaknya sengketa tanah yang tak kunjung selesai menyebabkan tanah atau lahan tersebut kurang produktif. Selama ini negara terkesan tidak mau melindungi dan cenderung melakukan pembiaran terhadap kasus sengketa lahan sehingga banyak tanah yang seharusnya bisa produktif jadi berkurang manfaatnya.

Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Mursyidan Baldan mengemukakan hal itu saat menjadi pembicara kunci dalam Seminar Nasional Pertanian Revolusioner “Selamatkan Pertanian Indonesia” di Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (1/10).

Melihat kenyataan itu Ferry akan membuat aturan yang membatasi waktu penyelesaian sengketa lahan yaitu kurang dari sepuluh tahun. “Penyelesaian sengketa dibatasi hingga sepuluh tahun dan jangan sampai lebih dari itu, atau kalau bisa diselesaikan dalam waktu lima tahun saja,” katanya.

Ferry mengemukakan, saat ini tengah mendorong penyusunan tata ruang wilayah yang mengutamakan lahan-lahan yang memiliki potensi tanah subur dan lahan pertanian produktif. Lahan-lahan tersebut nantinya akan digunakan sebagai pertanian.

“Kita lakukan koordinasi dan pemetaan sawah nasional, menjaga lahan pertanian pangan berkelanjutan, dan mencegah terjadinya konversi lahan sawah produktif untuk digunakan di luar pertanian,” ujarnya.

Tidak hanya itu, upaya reformasi agraria juga dilaksanakan melalui reformasi aset dengan legalisasi tanah berupa sertifikasi. Kemudian ditindaklanjuti dengan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan potensi tanahnya sebagai bagian dari reformasi akses.

Terkait dengan kebakaran hutan, Ferry akan mengeluarkan kebijakan antara lain dengan mewajibkan perusahan atau industri di kawasan hutan maupun lahan yang terbakar untuk berperan aktif melaksanakan upaya pencegahan. "Apabila kewajiban tersebut tidak bisa dipenuhi kami tidak akan segan melakukan pengurangan hak guna usaha," tegasnya lagi.

Alih Fungsi

Menteri ATR/Kepala BPN, Fery Mursyidan Baldan, juga mengatakan perlu ada pengontrolan penggunaan lahan pertanian agar lahan-lahan itu tak beralih fungsi menjadi lahan lain dan bangunan rumah atau resort.

"Kita katakan bahwa lahan yang digunakan oleh masyarakat untuk lahan pertanian dilarang untuk dijual dan dialihfungsikan. Itu komitmennya," katanya. Bahkan, dalam pembuatan sertifikat lahan pertanian, pemilik lahan tak diperkenankan untuk mengalihfungsikan lahan tersebut, tak boleh dijual kepada orang yang bukan petani, dan tidak boleh diwariskan kepada keluarganya yang bukan petani.

Kebijakan sudah ada, namun akan efektif manakala dilakukan pengontrolan guna mendesain negara ini dalam pemanfaatan tanah dan ruang. Menurut Ferry, pengontrolan tanah tak boleh dipahami sebagai hak mutlak dan hak ekslusif, dimana seseorang menyatakan tentang kepemilikan hak tanahnya yang bisa digunakan semaunya.

Keberadaan areal persawahan atau pertanian bukan hanya sumber kehidupan bagi orang perorangan, namun seluruh masyarakat di suatu negara. Masyarakat yang bekerja sebagai petani harus meyakini bahwa menjadi petani akan sejahtera.

"Bila lahan pertanian sudah diberikan kepada petani, namun tak ada dukungan infrastruktur, tempat penggilingan padi dan kemudahan transportasi, maka pada akhirnya lahan tersebut akan dijual kepada para pemilik modal (pengusaha). Oleh karena itu, tak boleh ada rantai yang terputus ketika kita bangun pertanian, baik makro maupun mikro," kata politikus Partai Nasdem ini.

Upaya yang dilakukan oleh Kementerian ATR untuk mengatasi kekurangan lahan pertanian adalah lahan-lahan perkebunan yang Hak Guna Usaha (HGU)-nya tak diperpanjang akan digunakan untuk lahan pertanian/persawahan. 

Sumber : Sinar Harapan
 
http://www.sinarharapan.co/news/read/151002185/sengketa-lahan-harus-selesai-paling-lama-10-tahun