This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 29 Juni 2016

Propaganda Hiperbolis Gerakan Anti-Tembakau Dikendalikan Asing

29 June 2016
oleh Membunuh Indonesia
 
Gerakan anti-tembakau melakukan propaganda hiperbolis yang dikendalikan oleh perusahaan asing untuk mematikan sektor tembakau yang strategis di Indonesia. Demikian disampaikan Ketua Panja RUU Pertembakauan, Firman Subagyo, menepis tudingan gerakan anti-tembakau yang menyatakan industri rokok di balik RUU Pertembakauan yang saat ini dibahas DPR. Tuduhan tersebut merupakan propaganda hiperbolis yang mengancam semangat nasionalisme di Indonesia.

Firman menganggap ancaman gerakan anti-tembakau dari dalam negeri jauh lebih berbahaya daripada ancaman lansung dari negara asing. Menurut dia, orang atau para aktivis anti-tembakau dapat merusak tatanan negara dari dalam, dan itulah yang dimanfaatkan pihak asing. Mereka mengendalikan orang-orang penting di negara ini untuk merusak Indonesia.

RUU Pertembakauan merupakan aspirasi dan kebutuhan hukum berbagai pemangku kepentingan, diharapkan dapat memperbaiki regulasi dari berbagai aspek. Seperti pengelolaan tembakau baik dari sisi budidaya, kepentingan petani, produksi, tata niaga, penerimaan negara, ketenagakerjaan, maupun aspek kesehatan.

RUU Pertembakauan masuk dalam RUU Prolegnas Prioritas tahun 2015 dan 2016. Baleg sudah cukup mendapatkan masukan dari berbagai pihak, seperti Komnas Pengendalian Tembakau, pelaku usaha pabrik, kelompok tani, serta kepala daerah. Meski demikian, sejak awal Baleg belum mengesahkan di Paripurna DPR kali ini.

RUU itu nantinya bertujuan untuk melindungi rakyat terutama petani tembakau. UU ini tidak berpihak kepada kepentingan pengusaha, tapi mengatur hulu dan hilirnya pertembakauan di Indonesia. RUU Pertembakauan ini semata-mata untuk rakyat, untuk menjamin keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. UU tidak boleh diskriminatif. Tidak boleh mematikan tembakau, karena petani punya hak untuk hidup.

Gerakan anti-tembakau bagai lagu yang diputar berulang-ulang yang rutin terus-menerus diperdengarkan. Mereka mengatakan bahwa RUU Pertembakauan semakin menjauhkan Indonesia dari upaya ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Indonesia akan semakin dipermalukan di dunia internasional karena belum meratifikasi FCTC.

FCTC bicara soal kesehatan pada kulit muka, namun bicara soal penyeragaman pada intinya. Produk tembakau harus diseragamkan, sesuai dengan produk internasional (rokok putih). Tidak akan ada lagi kretek, yang khas Indonesia. 
Apakah salah jika RUU Pertembakauan ingin melindungi produk khas dalam negeri?

Apakah tidak semakin malu negeri ini ketika industri yang 100% berwajah dalam negeri, baik dari hulu hingga hilir, akan dimatikan asing. 
Bicara soal malu, Amerika Serikat juga memproduksi tembakau dan produk rokok di tingkat global, notabene merupakan inisiator lahirnya FCTC sekaligus lokasi WHO bermarkas, toh ternyata hingga kini juga belum meratifikasi/mengaksesi FCTC.

Sumber gambar: Ryan
http://membunuhindonesia.net/2016/06/propaganda-hiperbolis-gerakan-anti-tembakau-dikendalikan-asing/

Senin, 27 Juni 2016

Pelajaran Strategi dan Kreativitas Aksi dari Buruh Perancis


 
(Bagaimana aksi bisa kreatif dan strategis? Pelajaran dari penolakan RUU Ketenagakerjaan di Perancis mungkin menjawab. RUU itu mirip dengan PP Pengupahan) 

Peristiwa-peristiwa di Perancis menunjukan tingkat kemarahan kelas yang tinggi, ledakan taktik pertarungan kreatif, dan krisis yang sangat dalam di sosial demokrasi. Kamis, 23 Juni adalah hari ke-11 aksi melawan Undang-undang Ketenagakerjaan yang kejam. Massa di seluruh negara membuktikan niat terus menerus tidak melawan pengesahan Rancangan Undang-undang itu. Unjuk rasa yang hidup terjadi di jalan-jalan kota kecil, termasuk sebuah kota yang tidak pernah terjadi unjuk rasa selama lima puluh tahun. Pemungutan suara di kantor dalam “referendum warga negara” tentang RUU itu terjadi di seluruh Perancis pekan ini, dan sejumlah depot minyak masih diblokade. Meskipun demikian, gerakan tersebut lebih lemah dan beberapa pekan ke depan sangatlah mendesak. 

Latar belakang krisis adalah keberhasilan relative kelas pekerja Perancis dalam tiga puluh tahun terakhir dalam memperlambat serangan-serangan neoliberal. Efeknya sangat nyata. Putri saya, ketika ia masuk kuliah di sini, akan membayar 200 poundsterling setahun; keponakan saya di Inggris, 9 ribu poundsterling. (UMP di Paris dalam satu jam adalah 8,29 pundsterling pada 2015. pent). Istri saya, pensiunan guru SD di Paris, dapat pensiun pada usia 60; saudara saya, perawat di Inggris, pada usia 67. Kemiskinan pensiunan jauh lebih tinggi di Inggris ketimbang Perancis, rumah susun terus dibangun, dan banyak contoh lainnya. 

Jadi bos-bos Perancis, terlepas semua uluran tangan yang mereka dapatkan dari pemerintah yang disebut Sosialis, tidak sabar untuk melangkah lebih jauh. RUU ini memungkingkan PKB mengangkangi UMP nasional – perhitungan lembur atau lama waktu kerja seminggu, contohnya. Para bos sangat girang, karena mereka dapat melihat hukum semacam ini dapat melumpuhkan kekuatan kesepakatan serikat di tingkat nasional selamat lima puluh tahun atau lebih. Inilah penyebab unjuk rasa dan mogok selama tiga bulan. 
Gerakan ini sangat politik, tidak tentang kepentingan ekonomi di depan mata; banyak dampak dari undang-undang baru itu tidak terasa dalam beberapa tahun ke depan, dan sejumlah kelompok dalam mogok nasional sehari, seperti guru, tidak terdampak oleh RUU ini, tapi memahami bahwa luka satu kelompok adalah sakit bagi semua. 

Perdana Menteri Valls ingin menjadi Tony Blair dalam peroplitikan Perancis dan menggeser Partai Sosialis Perancis se-anan Partai Buruh Baru. Untuk melakukan ini, ia siap kehilangan basis emilu saat ini (popularitasnya turun 16 persen), dan bahkan kalah dalam pemilu depan. Perdana Menteri Vallsa merasa kelas pekerja yang kalah akan membiarkannya kembali berkuasa pada pemilu berikutnya. RUU Ketenagakerjaan adalah pertarungan kunci bagi dia. 
Itulah kenapa, dalam beberapa pekan terakhir, ia membuat konsesi atau kelonggaran di wilayah-wilayah lain (kenaikan upah pertama bagi guru setelah bertahun-tahun baru saja diumumkan dan tuntutan panjang persatuan pelajar untuk pelatihan diakui, begitu juga kelonggaran bagi pekerja kereta api). Pada waktu yang sama, represi negara ditingkatkan. Unjuk rasa serikat pada 1 Mei diserang oleh polisi untuk pertama kalinya sejak akhir 1970an. Tingkat kekerasan polisi dianggap lebih tinggi ketimbang biasanya: sekarang menjadi kebiasaan memasukan P3K di unjuk rasa – staf medis untuk merawat yang dipukuli polisi. 

Pemerintah terkejut oleh kekuatan gerakan ini. Mogok nasional sehari di seluruh kegiatan ekonomi, disertai “mogok-mogok terbarukan” di sebagian besar kawasan militant, tempat pertemuan para pemogok memutuskan setiap beberapa hari akan melanjutkan atau tidak. Mogok terjadi di perusahaan-perusahaan transportasi, maskapai, pengumpulan sampah, kilang minyak, pembangkit listrik, dan PLN. Dinamika, taktik-taktik baru telah digunakan. 
Loket jalan tol diduduki, membiarkan mobil masuk dengan gratis, dan mengumpulkan uang untuk pemogok, terminal bus, jalur kereta, dan depot BBM diblokade. 
Dana mogok online terkumpul lebih 400 ribu euro (UMP per jam 2015 10,41 euro di Paris). Barikade pelajar di SMA dan universitas. Dan gerakan Up all night baru menduduki alun-alun kota di berbagai belahan negara selama beminggu-minggu dan, bersama dengan aksi pelajar, melahirkan generasi aktivis baru, terlibat dalam forum-forum masssa tapi juga dalam aksi solidaritas dengan pengungsi dan dengan para pemogok, baik yang bertindak melawan RUU Ketenagakerjaan dan yang mogok untuk isu lainnya, seperti pekerja harian di Perpustakaan Nasional di Paris. 

Ke arah mana gagasan-gagasan aktivis generasi baru ini merupakan salah satu pertanyaan paling penting tahun ini. Mereka tentu terpapar dengan banyak pilihan. Dalam Up All Nigh Anda dapat melihat banyak politik pembelaan terhadap gaya hidup: Jadilah vegetarian, tentukan mata uang lokal atau sistem barter untuk menggulingkan kapitalisme, kampanye menentang gagasan kerja, dsb. Yang lainnya mendesak bahwa melawan pasukan-pasukan negara (seperti memerangi polisi) harus menjadi pusat strategi politik. Tapi gaya hidup yang berubah membuat kapitalisme utuh, dan negara akan selalu lebih baik dalam pertarungan jalanan ketimbang gerakan (tanpa menyebutkan elitism yang melibatkan sekelompok kecil pertarungan jalanan yang disiapkan untuk anak muda)

Untungnya, akar sejati Up All Night, dalam perjuangan kelas tentang hak-hak bekerja, menbawa sekelompok besar gerakan untuk menempatkan kelas pekerja di pusat. Bekerja dengan aktivis serikat pekerja setempat untuk memblokade terminal bus pada hari pemogokan, mengunjungi garis piket, mengumpulkan uang untuk para pemogok telah menjadi kegiatan popular. (Garis piket adalah barisan massa aksi di depan kantor membentuk garis manusia yang meminta buruh tidak menyeberangi garis itu menuju kantor ketika mogok.pent)

Gerakan melawan RUU Ketenagakerjaan sudah melewati tiga fase. Pada Maret dan April, siswa SMA adalah pusat. Musim ujian kini menghentikan blokade sekolah, meski masih ada banyak pemuda dalam unjuk rasa. Pada April, pendudukan alun-alun Up All Night adalah bagian gerakan yang paling mencolok. Pada Medi, ketika Perdana Menteri menggunakan dekri khusus untuk membatalkan debat RUU di parlemen dan mendorong RUU itu melalui pembacaan pertama tanpa diskusi, mogok yang terbarukan, khususnya di transportasi dan pengumpulan sampah, meledak. 

Sektor-sektor yang melakukan mogok terbarukan tidak dapat bertahan sendiri selama lebih dari dua atau tiga pekan, dan para pemimpin serikat di tingkat nasional sungguh tidak ingin mogok nasional berlanjut lebih dari satu hari. Ini karena para pemimpin serikat adalah perunding profesional dan melihat pemogokan-pemogokan sebagai cara menguatkan tangan mereka dalam perundingan untuk sebuah tujuan, tapi juga karena para pemimpin serikat tidak ingin melihat pemerintahan Partai sosialis digulingkan dan digantikan dengan pemerintahan sayap kanan yang akan memangkas pengaruh para pemimpin serikat pekerja. 

Kita tampakanya berada di jalan buntu pekan ini. Hollande lemah: Ketika ada pertanyaan apakah rakyat ingin Holande kembali menjadi presiden tahun depan, hanya 14 persen populasi menjawab ya! Ia gagal memenangkan opini publik seperti ia harapkan: Bahkan setelah kampanye busuk melawan serikat pekerja dan unjuk rasa, jajak pendapat masih menyimpulkan 67 persen menentang RUU Ketenagakerjaan, dan 60 persen mengatakan gerakan ini “dibenarkan.” Padahal, ada kampanye propaganda menjjikan melawan serikat pekerja, yang menggunakan peristiwa jendela kaca rumah sakit anak-anak (yang terkena lemparan batu.pent) di rute barisan Selasa lalu untuk menggambarkan para pengunjuk rasa sebagai anarkis tak berperasaan. (Meski, tahun ini, pemerintah memangkas 20 ribu pekerjaan di rumah sakit kita!) 

Opini publik, bagaimanapun, membuahkan keberhasilan penuh sendiri. Sebagian besar mogok terbarukan kii berhenti, bahkan jika massa pengunjuk rasa sangat marah dan tidak ada atmosfir kekalahan sama sekali. RUU itu harus melalui pembacaan kedua dan hari lain aksi direncakan pada 28 Juni. Anggota parlemen Partai Sosialis terbelah, dan kita melihat beberapa dari mereka mengajukan mosi tidak percaya terhadap pemerintah jika pemerintah menerapkan dekrit 49.3 yang mengiiznkan RUU disahkan tanpa perdebatan. 

Taktik pemerintah sendiri tidak lagi dapat kompak. Pekan ini adalah saksi sirkus konyol ketika Perdana Menteri Vallsa meminta serikat pekerja meredam unjuk rasa karena jendela-jendela pecah dank arena polisi bekerja terlalu keras akibat kejuaraan sepak bola Piala Eropa (Euro 16). Ketika serikat menolak, unjuk rasa dilarang. Di hadapan kutukan yang luas terhadap keputusan ini (bahkan oleh CFDT, satu-satunya konfederasi yang mendukung RUU Ketenagakerjaan) pemerintah mundur, tapi hanya mengizinkan rute unjuk rasa yang sangat singkat.

Kelamahan di sisi kita adalah strategi kepemimpinan serikat. Meski mereka mendukung unjuk rasa sektor yang menyerukan mogok, mereka bahkan tak ingin membangun mogok nasional sehari, yang secara realistis dapat diorganisir dalam isu ini. Dan tidak ada kepemimpinan laternatif bagi kelas pekerja. 


Hal serupa terjadi di fron politik. Di seluruh anggota-anggota gerakan kelompok antikapitalis (Seperti Ensemble, kelompok tempat saya berabung, atau Partai Antikapitalis baru) sangat terlibat membangun aksi. Dan partai komunis an partai Kiri bergerak secara menyeluruh. Sayangnya, tidak ada organisasi memberikan kepemimpinan yang tampak dan jelas tentang bagaimana memenangkan pertarungan. Bagi organisasi-organisasi anti-kapitalis, ini terutama karena kedua organisasi itu sangat federal dengan kemerdekaan setiap cabang memutuskan aksi. 

Peristiwa-peristiwa terbaru membangkitkan banyak pertanyaan-pertanyaan politik bagi para antikapitalis. Pertanyaan tentang bagaimana anggota-anggota Partai Sosialis dan para pemberi suara contohnya. Banyak aktivis revolusionare telah, sedihnya, secara terbuka memuji tindakan sdan mendukung kampanye seperti janji-janji berjudul “Saya tidak akan pernah lagi mencoblos Partai Sosialis.” Pendekatan ini salah. 
Menyerang pemerintahan Partai Sosialis membuat tugas Hollande lebih mudah, dengan menyatukan Partai Sosialis, tempat ada perlawanan berarti terhadap RUU ini. Kampanye tidak pernah lagi mendukung Partai Sosisalis meletakan garis pembelah di tempat yang salah, antara mereka yang membenci Partai Sosialis seluruhnya, dan mereka yang mungkin mencoblos mereka (untuk membendung kandidat fasis mungkin, atau untuk memimpin wali kota sosialis yang setidaknya membangun perumahan dengan sewa murah). Kita perlu membelah masyarakat berdasarkan kepentingan kelas, tidak berdasarkan siapa yang masih punya sedikit ilusi terhadap sosial demokrasi atau dan yang tidak punya sama sekali. Kebingungan ini menghasilkan serangan sekelompok anarkis pada markas serikat CFDT (satu-satunya serikat yang mendukung RUU Ketenagakerjaan) dua hari lalu, Kiri radikal tidak mengutuk aksi-aksi ini. 

Akankan pemerintah dapat memaksakan RUU ini melewati pembacaan kedua di DPR, meski pemberontakan anggota parlemen di luar pimpinan partai dan aksi yang direncanakan serikat pekerja kelak? Dalam pembacaan pertama mereka menggunakan peraturan khusus untuk membatlkan perdebatan. 

Ketidakhormatan bahkan atas demokrasi formal borjuis ini mebuat marah jutaan rakyat dan faktor kunci dalam memperkuat gerakan. Berani melakukan lagi? Dan dapatkah Up All Night bangkit lagi dari keadaan sekarang yagn melemah tapi masih aktif? Akankan pemerintah berhasil menggunakan liburan musim panas ini untuk mengesahkan RUU ini? Kedua sisi punya kekuatan dan kelemahan, dan kita harus mengerahkan seluruh kemampuan kita agar kemenangan ada di pihak kita. 

John Mullen adalah anggota kelompok antikapitalis (Ensemble) dan aktif di wilayah Paris. 

Sumber terjemahan http://johnmullenagen.blogspot.co.id/…/class-struggle-in-fr…)
Terimakasih pada kawan Budi Wardoyo yang memberikan artikel ini. Mari sebarkan artikel ini guna kemajuan gerakan sosial Indonesia.

Minggu, 26 Juni 2016

Tolak Serahkan Tanah Adat, Tokoh Adat Diancam Dibunuh




Seorang tokoh adat di Muara Tae, Jempang, Kutai Barat, Kalimantan Timur, mendapat ancaman pembunuhan dari pihak yang disokong oleh PT Borneo Surya Mining Jaya (PT. BSMJ).

Penyebabnya, Petrus Asuy, nama tokoh ada tersebut, menolak menandatangani dokumen verifikasi lahan yang dilakukan Pengurus Kampung dan PT BSMJ. Nantinya, dokumen itu akan menjadi dasar pembayaran ganti rugi lahan untuk perkebunan sawit PT BSMJ.

“Kami sekeluarga memang mendapat ancaman pembunuhan dari Pak Songkeng (pihak yang di belakanya PT BSMJ),” ujar Masrani, anak Petrus Asuy, melalui pesan pendek yang diterima oleh berdikarionline.com, Sabtu (25/6/2016).

Diceritakan Masrani, pada 22 Juni 2016, Petrus Asuy mendapat panggilan Kapolsek Kutai Barat atas permintaan mediasi terkait konflik agraria antara warga adat PT Muara Tae dengan seorang yang mengklaim tanah tersebut bernama Pak Songkeng. Di bekalang Pak Songkeng ini adalah PT BSMJ.

Dalam medias itu, Petrus Asuy diminta untuk menanda-tangani dokumen verifikasi  lahan yang dilakukan pengurus kampung dan PT.BSMJ sebagai dasar pembayaran ganti rugi lahan untuk perkebunan sawit PT. BSMJ.

Petrus Asuy menolak mediasi. Dia beralasan, bukti kepemilikan yang dipegang oleh Pak Songkeng tidak valid. Buktinya, ada anak-anak di bawah umur dimasukkan sebagai pemilik lahan.

Tanggal 23 Juni, Asuy mengirim surat ke Polres berisi pemberitahuan dirinya tidak akan menghadiri proses mediasi. Ketidakhadiran Asuy itulah yang membuat Songkeng dan anaknya berang.

“Pak Songkeng  mengancam secara lisan akan menghabisi Pak Asuy dan keluarga kalau tidak mau menanda tangani pada dokumen verifikasi lahan,” ungkap Masrani.

Masrani juga menyesalkan sikap Polsek Jempang yang sangat berpihak pada PT BSMJ. Pasalnya, jika Petrus Asuy terus menolak mediasi, aparat Polses mengancam akan melakukan pemanggilan paksa.

Sejak memanasnya kasus ini, Petrus Asuy memang kerap menerima teror. Seperti pada 24 Juni 2016, rumah Petrus Asuy didatangi orang tak dikenal saat tengah malam. Beruntung, gonggongan anjing dan teriakan Petrus Asuy membuat orang tak dikenal itu kabur.

Kawan-kawan pembaca sekalian dapat mencegah intimidasi terhadap Petrus Asuy dan keluarganya dengan mengirim SMS kecaman ke nomor: Kapolsek Jempang: Toni Joko Purnomo di +628125818455 dan Manajer PT BSMJ: Harsoyo di 082350752418

Muhammad Idris

Jumat, 24 Juni 2016

Penertiban dan Penataan Tanah Sultan Ground: Mengapa Negara Mau dan Bisa Dikontrol Keraton?

 | 


Betapa pun mengerikan isi dan dampaknya bagi masyarakat, Perjanjian Kerjasama Penertiban dan Penataan Tanah (yang dikategorikan) Sultan Grond (SG) di seluruh Kabupaten Gunungkidul, yang juga  akan direproduksi di seluruh Kabupaten/Kota di DIY, sesungguhnya BUKAN peraturan perundang-undangan, hanya produk kepanikan penguasa dan fakta bahwa negara dikendalikan swasta. Apalagi yang diharapkan dari persekongkolan jahat ini selain keruntuhannya?

Selasa 21 Juni 2016 merupakan hari bersejarah bagi warga Kabupaten Gunungkidul pada khususnya. Pada hari itu, di lapangan Pemda Kabupaten Gunungkidul, diselenggarakan apel dan penandatangan kerjasama penertiban dan penataan tanah SG antara Keraton dan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul. Pihak Keraton diwakili oleh Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan (KHP) Wahonosartokriyo/Panitikismo, KGPH Hadiwinoto (Ibnu Prastawa). Sedangkan Pihak Pemerintah Kabupaten Gunungkidul diwakili oleh Bupati, yaitu Hj. Badingah, S.Sos—setiap bupati dan walikota di Yogyakarta ialah abdi dalem Keraton. Upacara tersebut dipimpin oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X (Herjuno Darpito, SH.) sebagai Pembina Apel. Di barisan utama berjajar GKR Mangkubumi (Nurmalita Sari), GKR Condrokirono (Nurmagupita), dan penasihat hukum Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Dr. Achiel Suyanto, SH, MH, MBA alias Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Nitinegoro. Di barisan peserta upacara, tertib berjajar Kodim, Polres, Satpol PP, Dinas Perhubungan, Lurah dan Perangkat Desa, Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS), Hisbul Wathon Muhammadiyah, SAR, dan Paksi Katon (Paguyuban Seksi Keamanan Keraton), masing-masing tak kurang 50 personil.

Menjelang pukul 09.00, apel dimulai dengan dua acara inti, yaitu Pembacaan dan Penandatanganan Perjanjian Kerjasama serta Pembacaan Amanat Gubernur DIY. Secara prinsip, Perjanjian Kerjasama itu didudukkan sebagai pedoman penertiban dan penataan tanah yang dikategorikan SG, dan mengatur bahwa Pemerintah Kabupaten (negara) adalah pihak yang diberi hak dan kewajiban oleh Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (swasta) untuk melakukan penertiban yang bersifat administratif, berupa; 
1) Mendata Tanah Kasultanan; 
2) Memverifikasi kekancingan;  
3) Memroses dan mengajukan usulan rekomendasi permohonan kekancingan; dan 
4) Mengusulkan pembatalan dan/atau mengusulkan tidak memperpanjang surat kekancingan. Juga melakukan penertiban fisik berupa:
  1. Memberikan penjelasan/sosialisasi/musyawarah/pemberitahuan secara tertulis.
  2. Melakukan penghentian pembangunan tanpa ijin yang dilakukan di atas Tanah Kasultanan.
  3. Melakukan pembongkaran bangunan secara paksa yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Gunungkidul dibantu oleh pihak Polri dan TNI.
  4. Melaporkan atau mengadukan kepada penegak hukum atas perbuatan menguasai Tanah Kasultanan, membangun tanpa hak /tanpa ijin.
Adapun Kasultanan berhak untuk; 
1) Menerima dokumen penertiban dan penataan Tanah Kasultanan di wilayah Kabupaten Gunungkidul yang dibuat Pemerintah Kabupaten Gunungkidul; 
2) Menyetujui atau menolak pemohonan kekancingan yang direkomendasikan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul; 
3) Menerima laporan secara tertulis dari Pemerintah Kabupaten Gunungkidul tentang kegiatan penertiban dan penataan Tanah Kasultanan di wilayah Kabupaten Gunungkidul secara berkala; dan 
4) Memberikan tanggapan tertulis atas pemohonan kekancingan Tanah Kasultanan di wilayah Kabupaten Gunungkidul yang direkomendasikan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul.

Perjanjian Kerjasama ini juga menyebutkan bahwa pendanaan penertiban dan penataan tanah yang dikategorikan tanah SG dibebankan pada Dana Keistimewaan (APBN) dan APBD Pemerintah Provinsi DIY serta APBD Pemerintah Kabupaten Gunungkidul. Jelas di sini, bahwa uang negara nyata-nyata digunakan oleh pemerintah untuk memperkaya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan landasan Perjanjian Kerjasama yang kedudukannya bukan produk perundang-undangan menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Kegiatan penertiban dan penataan tanah yang dikategorikan SG tersebut dilakukan oleh Tim, di mana sebagai pelindung yaitu Raja, Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai Penasehat yaitu KGPH Hadiwinoto, Bupati, GKR Mangkubumi (calon penerus HB X), GKR Condrokirono (penghageng yang mengepalai urusan abdi dalem), Dr. Achiel Suyanto, dan Ketua Pelaksana ialah Asisten Sekretaris I Daerah Kabupaten Gunungkidul (Asek I) yaitu H. Tommy Harahap, SH.


Kekancingan

Konsekuensi dari Penandatanganan Perjanjian Kerjasama itu ialah siapapun yang menempati tanah yang dikategorikan SG di seluruh Kabupaten Gunungkidul wajib mengurus surat kekancingan sebagai dasar penerbitan ijin pendirian bangunan dan ijin menempati. Dengan pertimbangan tertentu oleh Keraton, permohonan kekancingan tersebut bisa saja tidak dikabulkan.

Di lapangan, pengurusan kekancingan menyuburkan praktik makelar tanah, baik yang berhubungan dengan Panitikismo maupun pihak keturunan Hamengku Buwono VII sebagai pihak penerbit kekancingan (versi ini tidak diakui Keraton). Pengurusan kekancingan bisa kolektif maupun individu, sebagaimana terjadi di Samas (kolektif) dan Watukodok (individu). 
Di Watukodok, pengurusan kekancingan dikoordinasi oleh ketua POKDARWIS setempat (WH Suwarno) yang mempunyai koneksi dengan kerabat keraton baik yang dianggap resmi oleh Kasultanan maupun tidak,  dengan biaya Rp. 3,2 juta. Adapun di Samas, setidaknya 6 pemegang HGB dari 142 KK atas bidang tanah sedang dalam proses pengurusan kekancingan oleh abdi dalem (Siskardi dan Bambang Suryanto) dengan biaya Rp. 500 ribu per bidang. 
Bidang tanah HGB yang sudah didaftar kini sudah dipatok. Ketidaktahuan warga atas makna kekancingan dan risikonya melengkapi tekanan psikologis yang dilancarkan oleh Kasultanan dan Pemerintah, bahwa tanpa kekancingan mereka rawan tergusur, membuat pengurusan kekancingan lancar.

Kekancingan adalah surat ijin pinjam pakai yang diterbitkan oleh Panitikismo atas tanah-tanah yang dikategorikan sebagai SG, yaitu tanah yang tidak dibebani hak apapun (tanah negara) dan tanah-tanah dengan hak yang asal-usulnya bukan Eigendom (Hak Milik menurut Agrarische Wet 1870). Artinya, jika seseorang tidak dapat menunjukkan sertifikat Eigendom maka status tanahnya akan dikembalikan menjadi SG sehingga wajib mengurus kekancingan. Termasuk non-Eigendom ialah HGB (asalnya Recht Van Opstal/RVO), Hak Pakai (Anganggo/anggaduh), HGU (asalnya Erfpacht), dan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang terbit dari tanah negara dengan dasar UUPA. Wajar, apabila pada 2008, sebanyak 100 SHM warga Pundungsari, Semin, Gunungkidul dibatalkan sepihak oleh BPN menjadi Hak Pakai di atas tanah SG atas perintah Panitikismo melalui surat No. 138/W&K/2000.
Pasal 11 Kekancingan (versi manapun) berbunyi, “setelah perjanjian ini habis masa berlakunya, PIHAK KEDUA (masyarakat) sanggup mengembalikan tanah tersebut kepada PIHAK PERTAMA (Keraton) dalam keadaan utuh dan baik, serta tidak akan minta ganti rugi atas bangunan/gedung dan tanaman yang berada di atas tanah tersebut.”

Belajar dari kasus yang menimpa Pedagang Kaki Lima Gondomanan (berakhir 2015) dan warga miskin Suryowijayan (berakhir 2012), yaitu konflik pertanahan berupa sengketa kekancingan dengan pihak pemodal, yang mana Kasultanan sebagai penyebabnya, kekancingan ditolak di beberapa tempat, misalnya Parangkusumo, Blunyahgede, Watukodok, dan pesisir Kulonprogo dengan alasan bahwa SG dan PAG sudah dihapus oleh UUPA Diktum IV, PP No. 224 Tahun 1961, Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984, Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 66 Tahun 1984, dan Perda DIY No. 3 Tahun 1984.


Penataan Ruang Pesisir

Seusai turut menandatangani Perjanjian Kerjasama sebagai saksi, Gubernur DIY selaku Pembina apel menyampaikan amanat, yang isi pokoknya:
1) Perjanjian Kerjasama itu akan dibuat dan diterapkan di seluruh kabupaten dan kota di DIY, 
2) Menegaskan bahwa sempadan pantai, yang diukur dari titik pasang tertinggi sejauh 100 m ke darat, adalah zona terbuka yang tidak boleh didirikan bangunan apapun, karenanya zona terbuka disebut kepentingan umum, 
3) Dikarenakan keterbatasan lahan dan klaim penguasaan lahan yang tidak sah oleh warga dan pemerintah (tanpa ijin dari Keraton), warga yang menempati harus mau “berbagi ruang” dengan kepentingan para pihak, berlapang dada jika “digeser” ke lain tempat, dan “membuang egoisme diri” demi kepentingan umum, 
4) Pemerintah sebagai regulator sekaligus pelaku bisnis harus berkompeten dan tidak berbuat curang, 
5) Penertiban dan penataan tanah SG cukup diatur dengan Perda atau SK Bupati, 
6) Bahwa Pemerintah Provinsi DIY sudah membentuk dinas khusus yang menangani tanah-tanah yang dikategorikan SG dan PAG, yaitu Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (di luar BPN). 
Apabila ada persoalan di pesisir, Gubernur menghimbau supaya mengacu pada UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Menurut pemahaman Keraton dan Pemerintah Provinsi DIY, sempadan pantai termasuk wedhi kengser atau tanah tanpa beban hak, karenanya berstatus SG atau PAG. Padahal, sempadan pantai adalah tanah negara di mana berlaku hak mengusai negara, bukan hak milik swasta. Buktinya, di wilayah sempadan pantai hanya dapat diterbitkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) bukan Hak Milik, sekalipun itu berstatus Tanah SG maupun PAG.

Gumuk Pasir Parangkusumo merupakan salah satu contoh pengklaiman tanah negara menjadi hak milik oleh Kasultanan dengan alasan zonasi kawasan konservasi. Pematokan tanah SG di kawasan Gumuk Pasir Parangkusumo telah menjadi perhatian KOMNAS HAM melalui Focused Group Discussion (FGD) Sengketa Pertanahan DIY dan Solusinya pada 2-3 Juni 2016 lalu. Dalam agenda tersebut, tim mediasi KOMNAS HAM (Ketua Nur Cholis, SH) menekankan penyelesaian Win-Win Solution bagi sengketa pertanahan di DIY terkait SG dan PAG, termasuk pematokan tanah SG yang ditentang oleh Aliansi Keutuhan Republik Indonesia (beranggotakan ARMP Parangkusumo, PWKTAU Sleman, PKPM Watukodok, GRANAD Yogyakarta, FORPETA NKRI, dan PAKUBANGSA Yogyakarta). Win-Win Solution yang ditawarkan KOMNAS HAM ditolak oleh AKRI karena bertentangan secara prinsip dengan UUPA, UU HAM, dan UUD 1945, bahwa menghidupkan SG—yang berdasar Rijksblad (aturan hukum Kolonial)—sama saja meniadakan UUPA dan UUD 1945. Pada kesempatan itu, ARMP mengingatkan agar KOMNAS HAM tidak melanggar HAM dengan turut mendukung SG dan PAG.

Rupanya, FGD tersebut tidak menghentikan aksi sepihak Keraton dan Pemerintah Provinsi DIY di lapangan. Pada 20 Juni 2016 lalu, atas perintah Pemerintah Provinsi DIY (Surat No.180/3557, 12 April 2016 dan Disposisi Pemkab. Bantul 31 Mei 2016), Satpol PP Bantul dengan dikawal Polri dan TNI melakukan pendataan terhadap rumah dan bangunan yang akan direlokasi pascalebaran tahun 2016. Sejumlah 57 dari 100-an bangunan sudah terdaftar ketika ARMP menghadang pendataan.

Perjanjian Kerjasama di Gunungkidul turut diresahkan warga Grogol, Parangtritis. Sebanyak 256 orang pewaris tanah hak milik yang dirampas penjajah Jepang menuntut pengembalian status tanah (1.066.530 m2) yang kini mereka garap, dari SG menjadi Hak Milik. Tanah itu dikenal sebagai Tanah Tutupan, karena pemerintah Jepang pada waktu itu menutup akses warga ke lahan mereka. Sebagian besar tanah itu kini terlintasi Proyek Jalan Lintas Selatan Jawa, parahnya, dalam buku catatan tanah desa, nama pemegang hak atas tanah tutupan telah dicoret dan diganti: DIY. Kasultanan sebagai “pemilik” Tanah Tutupan yang baru sudah dipastikan akan menerima ganti kerugian (sewa) dari negara atas pemanfaatan tanah SG, tanpa pelepasan hak sebelumnya. Hal inilah yang juga dinikmati oleh Kadipaten Pakualaman atas tanah Paku Alamanaat Grond (PAG) di lokasi New Yogyakarta International Airport (NYIA), baik dari ganti kerugian langsung tanah PAG maupun dari pelepasan Hak Milik penduduk Pro Bersyarat yang kini berstatus PAG.

“Tidak ada tanah negara di DIY!”, tegas Gubernur DIY pada 15 September 2015 lalu, memperjelas rute kebijakan agraria DIY ke depan, yang ditegaskan lagi oleh KRT. Nitinegoro (21 Juni 2016), “bahwa ke depan dimungkinkan di DIY hanya ada HGB bagi masyarakat!”

“Apa saya tidak boleh punya tanah pribadi?” jawab Sultan Hamengku Buwono X ketika ditanya mengenai kedudukan Sultan Grond yang menjadi obyek Perjanjian Kerjasama itu. UU Keistimewaan DIY memang mengatur Tanah Kasultanan, disebut Sultanaat Grond yang maknanya tanah institusi, bukan Sultan Grond yang maknanya tanah pribadi. Di DIY kedua istilah itu rancu dan sering tertukar, meskipun bagi masyarakat dampaknya sama: hapusnya hak-hak atas tanah yang dijamin UUPA, termasuk pembatasan penguasaan dan pemilikan tanah melebihi batas maksimum (7 ha).


Sertifikasi Tanah SG an PAG

Pada 16 Juni 2016 lalu, BPN Kanwil DIY telah menyerahkan sertifikat tanah SG kepada Kasultanan (500 bidang tanah) dan sertifikat PAG kepada Kadipaten (150 bidang tanah), meskipun tanpa dasar hukum apapun. Baik KRT. Nitinegoro maupun  Tommy Harahap, SH (21 Juni 2016) mengaku tidak mengetahui luas dan lokasi 500 bidang tanah SG tersebut, meskipun untuk wilayah Gunungkidul. Adapun tanah yang dikategorikan PAG paling luas berada di pesisir Kabupaten Kulon Progo, yang dijadikan lokasi proyek NYIA dan Pertambangan Pasir Besi PT. Jogja Magasa Iron (milik keluarga Kadipaten dan Kasultanan). Jika pada waktu lalu penerbitan kekancingan belum memiliki dasar, maka sertifikat SG dan PAG tersebut saat ini dijadikan dasar “resmi” bagi penerbitan kekancingan.

Namun, “keresmian” sertifikat SG dan PAG dipertanyakan oleh beberapa ahli, mengingat UUPA berlaku sepenuhnya di DIY dan aturan pelaksanaan UU Keistimewaan DIY belum ada.

Terkait dasar hukum penerbitan sertifikat tanah SG tersebut, KRT. Nitinegoro (21 Juni 2016) menyatakan tidak masalah karena merupakan amanat langsung dari UUPA, yaitu tanah hak milik harus disertifikatkan. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Dianto Bachriadi, Komisioner KOMNAS HAM, dalam kesempatan Diskusi Publik Pertanahan yang diselenggarakan oleh DPW PAN DIY 9 Juni 2016 lalu, bahwa Perdais Pertanahan merupakan dasar hukum pelaksanaan inventarisasi, identifikasi, dan sertifikasi tanah-tanah yang masuk kategori sebagai SG, yang terbatas pada fungsi kebudayaan atau tanah keprabon. Masalahnya, Perdais Pertanahan hingga saat ini belum dibahas oleh DPRD DIY. Dr. Ni’matul Huda, seorang pakar Tata Negara Universitas Islam Indonesia, juga berpendapat bahwa Kasultanan dan Kadipaten bukanlah badan hukum yang dapat memiliki hak milik tanah sebagaimana ditunjuk oleh PP No. 38 Tahun 1963. Ketentuan UU Keistimewaan DIY yang menempatkan Kasultanan dan Kadipaten sebagai “badan hukum khusus” masih menjadi perdebatan, apakah termasuk badan hukum publik (tidak dapat dilekati hak milik, kecuali bank pemerintah) atau swasta (dapat dilekati hak milik). Pendapat itu dikuatkan Kus Antoro, peneliti agraria FKMA, bahwa sertifikat tanah SG dan PAG itu justru menjadi bukti otentik pelanggaran hukum oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proses penerbitannya.

“DIY adalah teladan sukses praktik negara di dalam negara yang direstui pemerintah Indonesia,” ujar Ibu Kawit pedagang soto kecil-kecilan sekaligus koordinator AKRI seusai mendiskusikan Perjanjian Kerjasama bersama warga, “kami tak sudi tunduk pada persekongkolan Keraton dan Pemerintah, kami akan lawan!”

Kontributor data dan Reporter: Sri, Edwin, dan Wahyu

Rabu, 22 Juni 2016

Perjanjian Kerjasama antara Pemkab Gunungkidul dengan Kasultanan tentang Penertiban dan Penataan Tanah Sultan Ground

By  | 


Berikut ini surat perjanjian kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul dengan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat bernomor 103/W&K/06/2016: Tentang Penertiban dan Penataan atas Tanah Kasultanan (Sultan Ground) di wilayah Kabupaten Gunung Kidul.

Pada hari ini Selasa tanggal 21 bulan Juni tahun 2016 bertempat di Wonosari, Gunungkidul, yang tersebut di bawah ini:
  1. Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, berkedudukan di Jalan Brigjen Katamso No 1 Wonosari. Dalam perbuatan hukum ini, diwakili oleh Hj Badingah S.Sos. selaku Bupati Gunungkidul berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No 131.34.94 tahun 2011 tanggal 7 Februari 2011. Dan dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Pemerintahan Kabupaten Gunungkidul selanjutnya dalam perjanjian ini disebut Pihak Kesatu.
  2. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, berkedudukan di kompleks Keraton Yogyakarta. Dalam perbuatan hukum ini, diwakili oleh Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto, selaku Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan Wahonosartokriyo. Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat selaku dalam perjanjian ini disebut Pihak Kedua.
Menindaklanjuti Nota Kesepahaman antara Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dengan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat No 415.4/KB/11/2014 dan No 126/W&K/2014 tentang Penertiban dan Penataan Tanah Kasultanan atau Sultan Ground di kawasan obyek wisata dan tanah Sultan Ground lainnya di wilayah Kabupaten Gunungkidul,  tertanggal 10 November 2014. Pihak Kesatu dan Pihak Kedua yang untuk selanjutnya disebut Para Pihak telah setuju dan sepakat untuk menandatangani perjanjian kerjasama tentang Penertiban dan Penataan Tanah Kasultanan atau Sultan Ground.


Pasal 1
Dasar Perjanjian

Dasar hukum pelaksanaan perjanjian kerjasama ini adalah sebagai berikut:
a. UU No 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan UU No 9 Tahun 1955.
b. UU No 15 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta.
c. UU No 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
d. PP No 31 Tahun 1950 Tentang Berlakunya UU No 2, 3, 10, dan 11 Tahun 1950.

Pasal 2 

Maksud dan Tujuan

Maksud perjanjian kerjasama ini adalah sebagai :
a. Pedoman dan pegangan dalam melaksanakan kegiatan penertiban dan penataaan Tanah Kasultanan atau Sultan Ground serta tertib administrasi di wilayah Kabupaten Gunungkidul.
b.Tujuan kerjasama-kerjasama ini adalah untuk mewujudkan tertib pengelolaan dan tertib penataan Tanah Kasultanan atau Sultan Ground di Kabupaten Gunungkidul.

Pasal 3 

Objek Perjanjian

Objek perjanjian dari kerjasama ini adalah seluruh Tanah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang berada di wilayah Kabupaten Gunungkidul.

Pasal 4 

Ruang Lingkup
Ruang lingkup kerjasama ini adalah penertiban dan penataan Tanah Kasultanan di wilayah Kabupaten Gunungkidul.

Pasal 5 

Hak dan Kewajiban Para Pihak Kesatu dalam Bidang Penertiban
Pihak Kesatu diberikan hak dan kewajiban oleh Pihak Kedua untuk melaksanakan penertiban tanah Pihak Kedua di wilayah Kabupaten Gunungkidul, mencakup penertiban yang bersifat administratif dan penertiban yang bersifat fisik.
  1. Penertiban yang bersifat administratif adalah:
    a. Mendata Tanah Kasultanan
    b. Memverifikasi kekancingan
    c. Memproses dan mengajukan usulan rekomendasi permohonan kekancingan
    d. Mengusulkan pembatalan dan/atau mengusulkan tidak memperpanjang surat kekancingan
2.Penertiban yang bersifat fisik adalah:
a. Memberikan penjelasan/sosialisasi/musyawarah/pemberitahuan secara tertulis
b. Melakukan penghentian pembangunan tanpa ijin yang dilakukan di atas Tanah Kasultanan
c.Melakukan pembongkaran bangunan secara paksa yang dilakukan oleh
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Gunungkidul dibantu oleh pihak Polri dan TNI
d.Melaporkan atau mengadukan kepada penegak hukum atas perbuatan menguasai
Tanah Kasultanan, membangun tanpa hak /tanpa ijin.


Pasal 6

Hak dan Kewajiban Pihak Kesatu dalam Bidang Penataan
  1. Pihak Kesatu berkewajiban membuat dokumen perencanaan atas Tanah Kasultanan di wilayah Kabupaten Gunungkidul.
  2. Menyusun Detail Engineering Design atau DED sebelum pembangunan di atas Tanah Kasultanan.
  3. Memberikan laporan tertulis secara berkala kepada Pihak Kedua tentang kegiatan penertiban dan penataan Tanah Kasultanan di wilayah Kabupaten Gunungkidul.
Pasal 7 

Hak dan Kewajiban Pihak Kedua

Hak dan kewajiban Pihak Kedua:
  1. Berhak menerima dokumen penertiban dan penataan Tanah Kasultanan di wilayah Kabupaten Gunungkidul yang dibuat Pihak Kesatu.
  2. Berhak menyetujui atau menolak pemohonan kekancingan yang direkomendasikan Pihak Satu.
  3. Berhak menerima laporan secara tertulis dari Pihak Kesatu tentang kegiatan penertiban dan penataan Tanah Kasultanan di wilayah Kabupaten Gunungkidul secara berkala.
  4. Memberikan tanggapan tertulis atas pemohonan kekancingan Tanah Kasultanan di wilayah Kabupaten Gunungkidul yang direkomendasikan Pihak Kesatu.
Pasal 8 

Pelaksanaan

a.Dalam pelaksanaan penertiban dan penataan dibentuk tim.
b. Tim mempunyai sekretariat dan struktur terdiri atas:
1.Ngarso Dalem
Sri Sultan Hamengku Buwono X
2. Penasehat:
a. KGPH Hadiwinoto
b. Hj. Badingah S.Sos.
c. Dr. Achiel Suyanto SH, MH. MBA.
d. GKR Mangkubumi
e. GKR Condrokirono
3. Dan Tim Pelaksanaan terdiri atas:
a. Ketua: H. Tommy Harahap, SH. MHum.
b. Wakil Ketua 1: Winaryo, SH., MSi
c. Wakil Ketua 2:  Julaedi Rastiyanto, SH.
d.Sekretaris: Aris Suyanto, S.Sos.
e.Wakil sekretaris 1: Iskandar SIP, MPA.
f.Wakil Sekretaris 2: Badri Abdani dibantu oleh tim yang ditunjuk oleh Bupati atas usulan Ketua Tim.

c. Tugas Tim Pelaksana adalah:
  1. Melaksanakan tata laksana kesekretariatan.
  2. Menyelesaikan sengketa kepemilikan kekancingan.
  3. Menyusun rencana kerja tahunan dan anggaran tahunan.
  4. Melakukan pemantauan, pemeriksanaan dan pengawasan terhadap penertiban dan penataan tanah Pihak Kedua.
  5. Melakukan penertiban sebagaimana yang tersebut pada pasal 5.
  6. Melaporkan kegiatan dan penggunaan anggaran kepada Pihak Kedua dengan tembusan Pelindung dan Penasihat.
Pasal 9

Pembiayaan

Segala biaya yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan perjanjian kerjasama ini dibebankan pada sumber Dana Keistimewaan serta didukung oleh APBD Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta dan APBD Kabupaten Gunungkidul
Pasal 10 

Jangka Waktu

Perjanjian kerjasama ini berlaku selama 5 (lima) tahun sejak ditandatanganinya perjanjian kerjasama ini dan setelah itu dapat diperpanjang lagi.
Pasal 11 

Pengakhiran Perjanjian
  1. Karena berakhirnya masa perjanjian.
  2. Berakhirnya karena kesepakatan Para Pihak.
  3. Berakhirnya dengan sendirinya karena batal demi hukum disebabkan oleh ketentuan perundang-undangan dan/atau kebijaksanaan pemerintah yang tidak memungkinkan berlangsungnya perjanjian kerjasama ini.
  4. Dalam hal perjanjian kerjasama ini berakhir dan/atau diakhiri sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b tidak menyebabkan berakhirnya hak dan kewajiban yang belum selesai dilaksanakan.
Pasal 12

 Penutup
  1. Hal-hal yang belum diatur dalam perjanjian kerjasama ini akan diatur di kemudian hari oleh Para Pihak yang akan dituangkan dalam addendum dan/atau amandemen yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam perjanjian kerjasama ini.
  2. Perjanjian kerjasama ini dibuat dalam rangkap 2 bermeterai cukup yang masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama.

Tertanda Kedua Pihak
Pihak Kesatu                                                          Pihak Kedua 

(Hj. Badingah, S.Sos.)                                    (KGPH Hadiwinoto)                                                        

Turut menyaksikan:

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
(Sri Sultan Hamengku Buwono X)

Sumber: Rekaman Suara Apel dan Penandatangan Kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dengan Keraton untuk Penertiban dan Penataan Tanah Sultan. Selasa, 21 Juni 2016, di Lapangan Pemda Kabupaten Gunungkidul, Provinsi DIY. Direkam dan ditransliterasi oleh: Tim Redaksi


Selasa, 21 Juni 2016

185 Aktivis Lingkungan Tewas Dibunuh Tahun 2015

Selasa, 21 Juni 2016 | 10:21 WIB

Massa yang tergabung dalam aliansi Sedulur Tunggal Roso melakukan aksi solidaritas terhadap pembunuhan petani penolak tambang pasir Lumajang bernama Salim (52) alias Kancil yang terjadi pada Sabtu 26 September 2015 di depan Gedung DPRD Kota Malang, 28 September 2015. TEMPO/Aris Novia Hidayat 
 
TEMPO.CO, Jakarta - Jumlah pembunuhan terhadap aktivis lingkungan hidup mencatatkan rekor pada 2015. Berdasarkan laporan Global Witness, setidaknya tercatat 185 aktivis lingkungan hidup telah dibunuh pada tahun lalu. Hal itu meningkat 60 persen dari tahun sebelumnya sekaligus menjadi rekor angka kematian aktivis tertinggi per tahun.

Billy Kyte, juru kampanye senior untuk Global Witness, mengatakan pembunuhan ini sejalan dengan meningkatnya permintaan barang tambang,�kayu, dan minyak kelapa sawit.

Pemerintah, perusahaan, dan kelompok-kelompok kriminal merebut tanah warga yang tinggal di atasnya dengan paksaan.�"Warga yang melawan menjadi sasaran tembak petugas keamanan perusahaan, aparat, dan pembunuh bayaran," ucapnya, seperti dilansir Guardian, Selasa, 21 Juni 2016.

Kyte menuturkan tiap pembunuhan didokumentasikan, tapi banyak yang tidak dilaporkan. "Pemerintah harus segera turun tangan mengatasi kekerasan ini," ujarnya.


Global Witness telah mendokumentasikan beberapa serangan mematikan di 16 negara. Brasil menjadi yang terparah dan menyebabkan 50 kematian. Banyak di antara mereka yang terbunuh adalah aktivis yang berusaha memerangi pembalakan liar di Amazon.

Filipina menjadi negara kedua terbanyak dengan total 33 kematian, disusul Kolombia dengan 26 kematian, Peru (12), Nicaragua (12), dan Republik Demokratik Kongo (11).

Kyte memaparkan, industri yang paling mematikan bagi mereka yang menentang adalah perusahaan pertambangan. Tercatat 42 kematian pada 2015 akibat aksi menolak aktivitas pertambangan.

Ada pula industri agribisnis, bendungan tenaga listrik, dan pembalakan. Global Witness menemukan banyak dari pembunuhan tersebut terjadi di desa-desa terpencil jauh di dalam hutan hujan tropis.

Di Brasil, ribuan kamp pembalakan liar telah dibentuk dan banyak menebang kayu-kayu keras dan berharga, seperti mahoni, kayu hitam, dan jati. Diperkirakan 80 persen kayu dari Brasil adalah ilegal dan menyumbang 25 persen dari kayu ilegal di pasar global.

AHMAD FAIZ | GUARDIAN

 
https://m.tempo.co/read/news/2016/06/21/121781726/185-aktivis-lingkungan-tewas-dibunuh-tahun-2015

Jumat, 17 Juni 2016

Ingin Percepatan Bandara Kulon Progo, Tahukah Presiden Kalau Lokasi Pembangunan Itu Lumbung Pangan?

Minggu, 12 Juni 2016

Kronologi Penembakan Warga Oleh Aparat Saat Demo Tolak Tambang

June 12, 2016 | Jaringan Anti-Tambang

Ratusan warga saat melakukan demontrasi di depan kantor Bupati Bengkulu Tengah untuk menolak tambang. Foto oleh CikalNews.com

Bengkulu, Sejumlah warga tertembak saat melakukan demo tolak tambang di lokasi PT. Cipta Buana Seraya (CBS) Kecamatan Merigi Kelindang, Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu. Demo yang terjadi sekitar pukul 10.00 wib hari ini, Sabtu, 11 Juni 2016, mengakibatkan 4 orang warga harus dirujuk ke rumah sakit M. Yunus kota Bengkulu. Menurut warga, ada 2 lagi korban yang tertembak namun tidak dirujuk ke rumah sakit M. Yunus.

Keempat korban tersebut adalah Marta Dinata (20) warga desa Kembring, tertembak diperut hingga menembus. Yudi (28) warga desa Kembring, tertembak dibagian perut. Alimuan (65) warga desa Durian Lebar, tertembak ditangan, dan Badrin (45) warga desa Durian Lebar tertembak di bagian leher dan paha. Alimuan, korban, menjelaskan kronologi kejadian, “Aksi warga kali ini karena beberapa kali aksi tidak ada tanggapan dari pemerintah kabupaten Bengkulu Tengah. Sebelumnya Koordinator Forum Anak Rejang Gunung Bungkuk dipanggil sama pihak pemerintah, katanya hari ini itu bupati mau datang dan memutuskan apakah tambang dilanjutkan atau tidak.

Ketika warga datang kelokasi PT. CBS sudah banyak polisi, brimob, dan tentara yang jaga. Aparat yang berjumlah 500 orang lebih bersenjata lengkap. Brimob jaga di bagian depan, dekat pagar dengan senjata peluru karet, dan gas air mata. Aparat jaga di barisan kedua, dekat tebingan di lokasi. Saya di barisan tengah dengan beberapa korban yang lainnya. Saya tidak begitu tahu apa yang terjadi di depan, tiba-tiba chaos. Marta Dinata korban pertama yang tertembak oleh polisi yang berada di belakang brimob, aparat yang menggunakan peluru tajam, makanya sampai menembus perut Marta Dinata.”

Hal yang sama juga dijelaskan oleh Kasrawati, warga desa Susup (36), "kejadian hari ini adalah luapan kemarahan warga atas ketidakjelasan dan ketidakberpihakan pemerintah kepada masyarakat selama ini. Apalagi pagi itu masyarakat dijanjikan bahwa akan ada pejabat yang mau datang jam 10 tadi pagi ternyata sudah banyak aparat di lokasi. Nurdin, koordinator forum dan sekaligus korlap tidak mampu membendung kemarahan warga akhirnya aksi menjadi tidak terkendali. Warga memaksa masuk kelokasi pertambangan namun dihadang oleh aparat. Aparat menembakkan gas air mata dan tembakan peluru karet dan timah panas.”

Kasrawati juga menjelaskan kronologi perjuangan yang telah dilakukan warga.

Pada saat pertemuan di Badan Lingkungan Hidup provinsi Bengkulu pada tanggal 15 Januari yang lalu warga sudah mengatakan menolak. Walaupun ada tiga kades yang setuju, itupun karena desa mereka jauh dari lokasi pertambangan underground.

Tanggal 7 Mei 2016 warga melakukan aksi dengan jumlah 1300 orang. Aksi memasang tombak dengan bendera dan plakat yang bertuliskan “masyarakat menolak sistem underground” sebagai simbol penolakan.

Tanggal 6 Mei 2016 pihak BLH provinsi turun ke lokasi untuk melihat kondisi lapangan dan lobang tambang yang tidak direklamasi yang mengakibatkan 1 korban anak meninggal dunia. Pihak BLH berjanji akan memberikan keputusan apakah tambang tetap beroperasi atau tidak, dengan deadline waktu tanggal 4 Juni 2016. Ada beberapa tuntutan yang disampaikan warga, salah satu poinnya jika pemerintah tidak memihak warga dengan mencabut izin tambang, warga akan turun untuk aksi kembali.

Hingga tanggal 4 Juni tidak ada kabar dari pemerintah. Warga mendapat informasi pada tanggal 5 kalau hasil dari perjanjian tersebut pemerintah tidak memihak warga dengan tetap melanjutkan pertambangan. Pemerintah tidak menepati janji, dan masyarakat merasa ditipu. Hingga tanggal 10 Juni, Nurdin dipanggil pihak kepolisian sekaligus mengantarkan surat pemberitahuan demo tanggal 10 Juni 2016. Hingga pukul 24.00 wib, Nurdin baru kembali. Kepolisian menyampaikan warga kiranya mau menahan aksi hingga minggu depan, tetapi Nurdin tidak dapat mengambil keputusan.

11 Juni 2016, warga melakukan aksi di lokasi PT. Cipta Buana Seraya (CBS) dengan melibatkan kurang lebih 500 orang. Warga dijanjikan bahwa pukul 10.00 wib akan ada pejabat yang datang. Setibanya di lokasi, sudah banyak aparat kepolisian, brimob dan tentara yang menjaga lokasi. Merasa ditipu dan dikhianati oleh pemerintah, akhirnya warga tidak mampu menahan kemarahan dan aksi akhirnya pecah, kerusuhan terjadi.

Akhirnya warga yang berasal dari 12 desa, Desa Susup, Penembang, Lubuk Unem 1 dan 2, Taba Durian Sebakul, Talang Ambung, Raja Sesi 1 dan 2, Kombring 1 dan 2, Taba Gematung, dan Durian Lebar berhamburan kedua arah yaitu arah Susup, satu lagi arah Lubuk Unen. Warga yang berlari kearah Lubuk Unen lah yang banyak menjadi korban penembakan oleh aparat. Selain korban penembakan, satu buah motor warga juga terbakar.
Info terakhir adalah korban Marta Dinata yang dalam kondisi kritis telah dioperasi di rumah sakit M. Yunus pada pukul 20.00 wib yang lalu. Hingga saat ini warga masih satu suara untuk menutup PT. Cipta Buana Seraya (CBS).

Korban penembakan aparat saat dirujuk ke RSUD M Yunus Bengkulu. Foto oleh OkeZone.com

Narahubung:
Sony Taurus (085273762037)
Uli Arta Siagian (082182619212)
Fery Fadli (082377752229) kontak posko
 
http://www.koran-gerak.com/#!Kronologi-Penembakan-Warga-Oleh-Aparat-Saat-Demo-Tolak-Tambang/cjds/575cff7f0cf2316791515e18