Senin, 03 April 2017

Petani Tetap Menolak Tambang Pasir Besi

03-04-2017


KULONPROGO – Petani pesisir selatan Kulonprogo yang tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) konsisten menolak rencana penambangan pasir besi. 

Bahkan kini mereka menolak rencana airport city sebagai pengembangan bandara baru, NYIA. PPLP khawatir airport city sebagai bagian dari pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) bakal merusak kehidupan sosial masyarakat setempat. Hal ini dikemukakan warga saat menggelar peringatan 11 tahun PPLP. Mengusung tema Gesik Kanggo Panguripan (pasir untuk kehidupan), peringatan dihadiri 2.000-an warga pesisir. Mereka mengarak gunungan hasil bumi mulai dari Jembatan Ngremang menuju ke lokasi acara di Pedukuhan III Garongan. Acara ini juga dihadiri perwakilan petani dari Jawa Timur, Jawa Barat, dan beberapa wilayah lainnya. 

“Perjuangan PPLP selama ini telah berjalan 11 tahun dan tetap konsisten menolak rencana penambangan pasir besi,” ungkap Ketua PPLP Supriyadi, kemarin. Warga sepakat lahan pertanian merupakan sumber penghidupan petani. Untuk itu mereka tetap berjuang mempertahankan hak atas tanahnya. Meski banyak yang melakukan upaya inkonstitusional dalam mempertahankan tanah Sultan Ground/Pakualaman Ground (SG/PAG), PPLP tidak mau melakukannya karena bertentangan dengan UU Pertanahan yang berlaku. 

Humas PPLP, Widodo mengatakan, penambangan pasir besi dan bandara tidak ada bedanya mengingat dampaknya yang merampas ruang bagi petani. Konsep airport city justru akan menjadikan petani sebagai penilik dan penggarap lahan terusir. “Airport city akan merampas ruang hidup kami sebagai petani,” katanya khawatir. Perwakilan LBH Yogyakarta, Yogi Zulfandi mengucapkan selamat kepada PPLP yang sudah memasuki tahun ke-11. Selama ini perjuangan masih sesuai dengan harapan. Hanya patut diwaspadai karena rezim yang berkuasa tidak berpihak kepada rakyat dan petani. 

“Mari bersama berjuang untuk mempertahankan hak para petani atas penghidupan yang layak dari pertanian,” ucapnya. Perwakilan petani Lumajang, Ridwan mengatakan, sejak 2010 mereka telah berjuang mempertahankan ruang hidup. Bahkan di Lumajang, Salim Kancil telah menjadi korban pembunuhan yang berorientasi pada penambangan pasir. “Salim Kancil akan tetap menjadi tolak ukur perjuangan warga Lumajang,” katanya menegaskan. 

Kuntadi 


http://www.koran-sindo.com/news.php?r=5&n=26&date=2017-04-03

0 komentar:

Posting Komentar