This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 31 Oktober 2019

Sekjen KPA Dewi Kartika: Reforma Agraria, Kami Akan Tagih Presiden


Arsito Hidayatullah | Erick Tanjung
Kamis, 31 Oktober 2019 | 16:06 WIB

Ilustrasi wawancara. Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika. [Dok. KPA / Olah gambar Suara.com]

KPA juga menyesalkan masih dipertahankannya Menteri ATR/BPN dan Menteri LHK di kabinet Jokowi periode kedua ini.

Sebagai salah satu poin dalam Nawacita, target reforma agraria dinilai oleh banyak kalangan masih belum tercapai --bahkan masih jauh-- di periode pertama jabatan Presiden Joko Widodo.

Dan Jokowi bukannya tidak sadar soal itu, karena menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) misalnya, Presiden sendiri sudah mendengar langsung penjelasan capaian target 9 juta hektar pelaksanaan reforma agraria dari aktivis dan perwakilan petani, pada acara peringatan Hari Tani Nasional (HTN), 24 September 2019 lalu.

Lantas bagaimana? KPA dalam hal ini mengaku sebagai salah satu pihak yang merasa kecewa. Lebih kecewa lagi, karena Jokowi di pengumuman kabinetnya ternyata masih mempertahankan dua menteri lama, yakni Sofyan Djalil sebagai Menteri ATR/BPN dan Siti Nurbaya sebagai Menteri LHK. Di mata KPA, kedua menteri itu selama 5 tahun terakhir dinilai tidak berhasil memenuhi realisasi reforma agraria melalui redistribusi tanah dan penyelesaian konflik agraria.

Meski demikian, KPA memastikan tetap akan memantau, mendorong dan mengawal perkembangannya, terutama karena Jokowi sendiri telah berkomitmen bahwa ke depan reforma agraria akan langsung dipimpin Presiden. Bahkan KPA memastikan akan menagih komitmen Jokowi tersebut. Seperti apa, dan apa saja catatan serta masukan lainnya dari KPA? Berikut petikan wawancara Suara.com dengan Sekretaris Jenderal atau Sekjen KPA, Dewi Kartika, baru-baru ini.

Bagaimana evaluasi program sertifikasi yang selama ini digaungkan Presiden Jokowi?

Dalam pandangan kita, selama ini yang membuat capaian sertifikasi tanah Presiden Jokowi itu menjadi tidak jelas dan menghambat proses reforma agraria terjadi selama 5 tahun, karena pemerintahan ini lewat Kementerian ATR/BPN mencampuradukkan capaian sertifikasi tanah yang itu hitungannya bidang dan jumlah sertifikat di dalam klaim reforma agraria. Sementara dalam sistem program sertifikasi Jokowi, kan sekarang namanya PTSL, Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap, nah, pendaftaran tanah ini kan tidak mengacu pada UUPA.

Yang dimaksud pendaftaran tanah dalam UU Pokok Agraria (UUPA) itu kan negara wajib mendaftarkan tanah dari tingkat desa ke desa. Jadi dari desa ke desa, itu dicatat, diregister, lalu dari pencatatan desa ke desa itulah diketahui situasi agraria di lapangan. Sebenarnya situasi agraria di lapangan itu semacam apa, siapa menguasai tanah, berapa luas, dipergunakan untuk apa, pihak-pihak mana aja yang menguasai tanah, baik badan usaha ataupun warga negara.

Jadi, kita akan memiliki data tentang situasi agraria mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, sampai nasional. Sehingga kita punya situasi agraria nasional. Sementara, bukan spirit itu yang hendak dibangun oleh PTSL yang sekarang, (itu) tidak sejalan dengan UUPA.

Justru harusnya kalau spirit UUPA itu, dari data yang diambil berdasarkan registrasi, siapa punya apa dan untuk apa, itu kan bisa ketahuan. Misalnya kalau ada tumpang tindih, berarti itu harus diselesaikan sengkarut agrarianya. Kalau ada yang konflik, maka konfliknya harus diselesaikan. Ada petani gurem (yang memiliki atau menyewa lahan pertanian kurang dari 0,5 ha), petani landless, miskin, nggak punya tanah, berarti itu yang harus diakui, diregister dan seterusnya. Jadi dia jadi data reforma agraria sekaligus subyek reforma agraria.

Presiden Jokowi dalam salah satu acara pembagian sertifikat tanah kepada warga, di daerah Cempaka Putih, Jakarta Pusat. (Suara.com/Fakhri Hermansyah)

Nah, sementara PTSL yang dilakukan Jokowi itu kan sekadar administrasi saja. Dia memastikan semakin banyak tanah-tanah bisa disertifikatkan. Tapi kelemahan sistem PTSL itu, konsepnya clear and clean. Kalau clear and clean dikeluarkan sertifikatnya, kalau tidak clear and clean tidak dikeluarkan sertifikatnya. Maka dia dalam boks K2 yang itu artinya tidak bisa diselesaikan. Otomatis mentok lagi dalam PTSL itu, nggak akan ke mana-mana prosesnya.

Tetapi yang menjadi concern utama sebenarnya dari evaluasi, ini tidak hanya terjadi di era Jokowi. Di SBY kan sama ya, RA menyempit ke program sertifikasi tanah. Lalu Jokowi mengulang hal yang sama.

Kita sebenarnya menuntut ke depan, 5 tahun ke depan itu agar capaian PTSL dalam menerbitkan sertifikatnya itu sebaiknya dipisahkan dari program reforma agraria. Sehingga ke depan reforma agraria itu punya capaian yang jelas juga, tidak campur aduk dengan program sertifikasi tanah. Harus dipisahkan. Sertifikasi tanah atau yang dalam kebijakan Jokowi itu kan legalisasi aset, itu kan proyek, program rutinnya Kementerian ATR/BPN. Tanpa reforma agraria pun itu kewajiban negara mensertifikatkan tanah-tanah masyarakat.

Sementara, reforma agraria itu kan untuk mengatasi masalah struktural. Apa itu masalah struktural? Masalah yang dihadapi masyarakat dari tingkat desa, kampung, atau wilayah ataupun perkotaan, yang mereka itu hak atas tanahnya terdiskriminasi atau terlanggar hak konstitusinya karena ada terbit konsesi-konsesi, izin-izin oleh pejabat publik, apakah itu oleh Kementerian ATR, izin tambang, izin HTI oleh KLHK, dan seterusnya. Ini kan bukan membutuhkan legalisasi aset. Yang ada adalah rekognisi dan pengakuan terhadap wilayah-wilayah masyarakat di tingkat desa, kampung. Sebaiknya memang dikeluarkan dari kawasan hutan, kan campur aduk dengan program sertifikasi tanah.

Sebenarnya, bagaimana sih konsepsi reforma agraria pemerintah? Apakah sudah pro petani penggarap, atau justru menguntungkan tuan tanah besar dan perusahaan swasta?

Sebenarnya begini. Kan reforma agraria itu restrukturisasi penguasaan tanah yang timpang menjadi lebih berkeadilan. Jadi ada segelintir kelompok yang menguasai tanah, itu harus mulai dievaluasi dan ditertibkan. Kemudian diredistribusikan kepada kelompok masyarakat yang termarjinalkan dalam struktur agraria kita. Siapa itu? Petani, masyarakat miskin di kota, di desa, dan seterusnya.

Tetapi kan reforma agraria yang sedang dijalankan kebijakannya oleh Jokowi itu kan masih tidak taat pada tujuan. Kalau dia taat pada tujuan, memperbaiki ketimpangan agraria menjadi lebih adil, menyelesaikan konflik agraria, menjadi sumber kesejahteraan baru bagi masyarakat. Pasti sasarannya, subyeknya akan tepat sasaran.

Selama ini kan, saya ambil contoh begini, ada kasus di Jambi, lahan diusulkan oleh masyarakat untuk direalisasikan lewat reforma agraria. Tiba-tiba yang menerima pelepasan kawasan hutan itu bukan masyarakat di empat desa, tetapi penerimanya itu koperasi bentukan bupati. Nah, berarti ini kan distorsi penerima manfaat reforma agraria itu. Ada banyak penyusup yang memanfaatkan kebijakan yang seharusnya orientasinya kepada rakyat, bukan kepada elite-elite pejabat atau elite politik di daerah yang memainkan juga tanah obyek agraria.

Karena memang pemahaman reforma agrarianya masih parsial, itu dianggap tidak ada prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam reforma agraria. Termasuk misalnya, capaiannya sampai sekarang (adalah) sebanyak-banyaknya terbit sertifikat, itu dianggap capaian RA. Padahal bukan itu. Capaian RA itu sejauh mana tepat subyek, sejauh mana tepat obyek. Subyeknya siapa? Subyeknya kalau capaian yang benar itu, petani gurem makin sejahtera, artinya pemilikan tanahnya tidak lagi gurem tapi ideal; buruh tani landlees yang tidak punya tanah, jadi punya tanah. Harusnya indikatornya ke situ, bukan jumlah sertifikat.

Lalu obyek tanah, misalnya wilayah-wilayah mana yang menjadi prioritas RA. Nah, seharusnya pendaftaran tanah itu sinerginya dengan RA itu. Dari pendaftaran tanah itu, akan diketahui wilayah-wilayah mana RA itu harus dijalankan. Wilayah yang banyak kemiskinannya karena tidak punya akses hak atas tanah, (yang) petani guremnya banyak. Maka itu harus direforma agraria-kan, dan seterusnya.

Koreksi ke depan soal arah dan tujuan reforma agraria: tidak boleh disimpangkan lagi menjadi sekadar bagi-bagi sertifikat tanah. Bagi sertifikat tanah itu sebaiknya dipisah, karena membagikan sertifikat tanah itu proyek rutinnya BPN. Lalu yang di kawasan hutan, harus segera ada pelepasan dari konsesi-konsesi.

Kita berharap ke depan, karena kemarin di peringatan Hari Tani Nasional, Jokowi berkomitmen kepada kita akan memimpin proses reforma agraria langsung di tangan Presiden, maka kita akan tunggu itu. Karena selama ini kan di bawah Kementerian ATR/BPN atau Menteri Kehutanan, target Nawacita ke-5 soal 9 juta tanah untuk distribusi itu kan nggak jalan. Yang ada (itu) tadi, campur aduk dengan hitungan proyek sertifikasi tanah. Jadi clear, kebijakannya kebijakan reforma agraria, tetapi realisasinya sertifikasi tanah, lalu diklaim itu sebagai capaian RA.

Berarti reforma agraria selama ini baru menghasilkan distribusi lahan ke petani sebesar 0 persen, benarkah begitu?

Kita sempat merilis 0 persen capaian pelepasan kawasan hutan, jadi 3 bulan dikejar sama Kehutanan itu. Jadi capaiannya 19.000 hektare, itu klaim mereka. Jadi 19.000 hektare dari janji 4,1 juta hektare pelepasan kawasan hutan untuk didistribusikan kepada rakyat. Artinya hanya 0,58 persen, masih di bawah 1 persen realisasinya. Sementara dari HGU yang kadaluarsa, itu klaimnya kan besar, lebih dari 100 persen bahkan. Tapi kan nggak pernah dibuka, yang mana konsesi-konsesi yang sudah didistribusikan kepada rakyat itu. Nggak pernah dibuka itu. Jangan-jangan itu masih campur aduk dengan program sertifikasi tanah, karena nggak pernah dibuka daftar perusahaan mana yang sudah didistribusikan kepada rakyat, kalau memang itu HGU kadaluarsa dan dari HGU yang ditelantarkan.

Salah satu aksi unjuk rasa kalangan petani terkait reforma agraria, di depan Istana Merdeka, Jakarta. [Suara.com]

Situasi umum kaum tani saat ini bagaimana? Karena kaum aktivis mengatakan kategori buruh tani atau petani tanpa tanah mendominasi. Apa solusinya?

Jadi, 56 persen petani kita di seluruh Indonesia rata-rata gurem, kepemilikannya di bawah setengah hektar. Kemudian sisanya adalah tunakisma (tidak punya tanah), landlees, buruh tani. Solusinya ya, jalankan reforma agraria sesuai prinsip dan tujuannya. Artinya, subyek reforma agraria ke depan itu tidak boleh lagi salah sasaran, hanya program sertifikasi kepada masyarakat umum. Atau salah sasaran, tiba-tiba misalnya bagi tanah ke karyawan PTPN, bagi tanah ke tentara (TNI), dan seterusnya.
 Padahal, ada kelompok petani yang harus diprioritaskan tadi, (yaitu) kelompok gurem, landlees, buruh tani. Kalau salah sasaran, nanti angka petani guremnya akan semakin mengecil (kepemilikan lahannya), bukan semakin membesar dari tahun ke tahun.

Terhadap masih banyaknya kasus konflik agraria di Indonesia, apa solusinya menurut Anda?

Solusinya tetap harus ada penyelesaian konflik agraria dalam rangka reforma agraria. Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Kehutanan ke depan tidak boleh lagi mengabaikan dan menghindari konflik-konflik struktural, karena jumlahnya sudah sangat besar. Zaman Presiden Jokowi dari 2015 sampai 2018 saja, kita mencatat ada 1.700 lebih kejadian konflik agraria. Itu lebih tinggi dari 5 tahun pemerintahan SBY. SBY itu 5 tahun pemerintahan ada 1.300 konflik agraria. Artinya, eskalasi konflik semakin meningkat. Karena selama ini tidak ada kanal penyelesaian konflik agraria yang sifatnya utuh, betul-betul tanah-tanah itu kembali ke tangan masyarakat.

Artinya ke depan, sesuai janji Perpres No 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria itu, tujuan reforma agraria salah satunya selain mengatasi ketimpangan adalah menyelesaikan konflik agraria. Artinya, pemerintah ke depan tidak boleh lagi tebang pilih, pilih-pilih lokasi clear and clean konsepnya BPN itu. Itu tidak bisa. Namanya reforma agraria, harus bekerja menyelesaikan konflik agraria itu. Masalah-masalah berat itu tidak bisa dihindari, (tapi) harus ada jaminan kepastian hukum kepada masyarakat.

Ada penilaian banyak orang bahwa Menteri ATR/BPN tidak pro reforma agraria, terutama dalam aspek land reform ke petani penggarap. Menurut Anda?

Kami ada kekecewaan, karena Menteri ATR/BPN yang lama masih dipilih, begitu pula Menteri Kehutanan yang lama juga dipilih lagi. Karena reforma agraria (itu) tidak hanya di Kementerian ATR/BPN, (tapi) ada 4,1 juta hektar kawasan hutan. Nah, ternyata dua menteri ini terus dipertahankan. Tetapi kami akan terus menagih, karena kemarin Jokowi berkomitmen bahwa ke depan reforma agraria akan langsung dipimpin Presiden.

Ya, itu yang akan kita tagih. Seberapa sanggup Jokowi memastikan menteri-menterinya itu konsekuen dan menjalankan keputusan Presiden dalam setiap rapat kabinet terbatas. (Soal) Klaim konsesi di wilayah masyarakat yang tumpang tindih dengan desa, kampung, wilayah garapan masyarakat, pertanian, kebun rakyat, dan seterusnya.

Menurut saya, ke depan begitu. Meskipun tantangannya, cara lama itu akan tetap dipertahankan oleh dua menteri itu; enggan menyelesaikan konflik agraria, enggan melakukan penertiban terhadap konsesi-konsesi. Tetapi kita akan terus menagih itu sesuai komitmen Presiden.

Sabtu, 26 Oktober 2019

KPA Ragu Kabinet Jokowi Jilid II akan Jalankan Reforma Agraria


Oleh: Haris Prabowo - 26 Oktober 2019


Presiden Joko Widodo didampingi Wapres Ma'ruf Amin berfoto bersama jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju yang baru dilantik dengan didampingi istri dan suami mereka di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/10/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/foc.

Jika tak ada perubahan fundamental yang dilakukan presiden, KPA menilai agenda reforma agraria kembali akan jalan di tempat.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengatakan pihaknya menyayangkan susunan Kabinet Indonesia Maju yang baru saja dibentuk Presiden Joko Widodo.

Ia menilai jajaran kabinet periode kedua Jokowi yang telah dibentuk sangat kuat mengakomodasi kepentingan partai politik dan pengusaha. Sementara kalangan profesional yang direkrut pun, kata Dewi, tidak memiliki rekam jejak kerja-kerja kerakyatan.

Dalam konteks bidang agraria Jokowi masih mempertahankan dua menteri lama, yakni Sofyan Djalil sebagai Menteri ATR/BPN dan Siti Nurbaya sebagai Menteri LHK. Padahal kedua menteri tersebut dalam catatan KPA, selama lima tahun terakhir tidak berhasil memenuhi realisasi reforma agraria melalui redistribusi tanah dan penyelesaian konflik agraria.
"Alhasil konflik agraria masih marak dan ketimpangan agraria masih tinggi [...] Terdapat catatan buruk kinerja Kementerian ATR/BPN dan Kementerian LHK dalam menjalankan reforma agraria sebagaimana dijanjikan Nawacita nomor lima," kata Dewi lewat pers rilisnya yang diterima wartawan Tirto, Sabtu (25/10/2019) pagi.
Dewi mengatakan selama pemerintahan Jokowi periode pertana, tak terhitung Rapat Kabinet Terbatas (Ratas) yang dilakukan Presiden, begitu pun Rapat Tingkat Menteri (RTM), untuk membahas percepatan reforma agraria dan penyelesaian konflik agraria melalui penertiban konsesi-konsesi perkebunan dan kehutanan yang terbit di atas tanah masyarakat. 
"Namun instruksi Presiden selalu menguap tanpa ada tindakan yang konkrit di level kementrian," katanya.
Dewi juga mengingatkan Presiden Jokowi agar tidak gegabah menginstruksikan para menterinya permudah izin-izin investasi seperti disampaikan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.

Presiden Jokowi kata dia harus memahami bahwa tingginya letusan konflik dan ketimpangan agraria disebabkan oleh terbitnya izin-izin investasi perkebunan, tambang, pembangunan infrastruktur, perluasan wilayah industri dan bisnis, real estate, dan industri pariwisata di atas tanah-tanah masyarakat.
"Instruksi semacam ini, tanpa memahami akar masalah agraria, hanya akan memperparah eskalasi konflik, kekerasan dan kriminalisasi terhadap rakyat yang mempertahankan tanahnya," lanjutnya.
Kata Dewi, tanpa menteri-menteri yang memiliki keberanian melakukan koreksi atas akar masalah agraria dan keberpihakan kepada rakyat mustahil reforma agraria dapat berjalan.
"Jika tak ada perubahan fundamental yang dilakukan presiden, KPA menilai agenda reforma agraria kembali akan jalan di tempat, mengulang kembali cara-cara lama, langkah bussiness as usual, tanpa terobosan hukum yang diperlukan reforma agraria yang genuine," katanya.
Selain Menteri BPN/ATR dan Menteri LHK, Dewi juga menilai dalam lima tahun ke belakang tidak ada keberpihakan Menteri Desa, Menteri Pertanian, dan Menteri BUMN terhadap realisasi reforma agraria.

 Termasuk kata dia Polri dan TNI yang ikut memperparah situasi konflik agraria di lapangan, mengambil posisi membela perusahaan, vis a vis dengan rakyat, dan/atau melakukan kekerasan terhadap petani, masyarakat adat dan aktivis agraria.
"Ditambah personel menteri lama yang masih dipertahankan, yang tercatat tidak pro terhadap aspirasi rakyat yang menuntut reforma agraria," lanjutnya.
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Irwan Syambudi

Jokowi mempertahankan dua menteri yang dinilai memiliki catatan buruk dalam agenda reforma agraria



Rabu, 23 Oktober 2019

Kabinet Baru Jokowi, Bagaimana Nasib Lingkungan dan Reforma Agraria?


Oleh Indra Nugraha [Jakarta] di 23 October 2019


·         Kabinet baru jilid II Presiden Joko Widodo, sudah tersusun. Untuk menteri yang berhubungan dengan sumber daya alam ada wajah baru, tetapi beberapa orang lama. Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mendapat kepercayaan kembali menjadi menteri Jokowi pada periode II, begitu juga Sofyan Djalil, Menteri ATR/Kepala BPN. Juga, Menteri Koordinator Maritim, dengan berubah nomenklatur menjadi Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, tetap dipegang Luhut B Pandjaitan. Kemudian, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, dari Ignasius Jonan, ke Arifin Tasrif. Menteri Pertanian dari Amran Sulaiman, beralih ke mantan Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo. Menteri Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan, berganti dengan wajah baru politisi Partai Gerindra, Edhy Prabowo.

·         Berbagai kalangan organisasi lingkungan menilai, beberapa nama yang dilantik jadi menteri Presiden Joko Widodo, erat kaitan dengan oligarki bisnis ekstraktif, tambang, dan batubara sampai sawit.

·         Dengan sosok-sosok berkait erat oligarki ini, kalangan organisasi masyarakat sipil khawatir, masa depan lingkungan negeri ini makin buram. Begitu juga soal reforma agraria, yang digadang-gadang sebagai prioritas Presiden Joko Widodo, bisa jalan di tempat. Salah satu tantangan besar dalam pembenahan tata kelola sumber daya alam dengan kabinet seperti ini adalah sejauh mana presiden mampu mengendalikan oligarki.

·         Organisasi masyarakat sipil mengingatkan, jangan sampai pemerintah mati-matian menggenjot investasi tetapi saat bersamaan justru kehilangan pasar. Tren global, katanya, konsumen mau membeli produk-produk berkelanjutan atau produk-produk dari sumber jelas dan bertanggung jawab.

“Orang baik pilih energi baik.” Begitu spanduk yang dibentangkan di patung Monumen Selamat Datang di Bundara Hotel Indonesia, Jl MH Thamrin, Jakarta, Rabu (23/10/19). Di Patung Pancoran, spanduk raksasa juga terbentang. “Lawan Perusak Hutan” dengan tambahan hashtag #ReformasiDikorupsi. Dua pesan ini ingin Greenpeace sampaikan kepada Presiden Joko Widodo, tepat di hari pengumuman menteri berlabel, Kabinet Indonesia Maju.

Ya, pagi hari itu, Jokowi merilis susunan kabinet barunya. Kalangan aktivis lingkungan menilai, sosok-sosok menteri kental nuansa oligarki. Untuk menteri yang berhubungan dengan sumber daya alam ada wajah baru, tetapi beberapa orang lama. Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mendapat kepercayaan kembali menjadi menteri Jokowi pada periode II, begitu juga Sofyan Djalil, Menteri ATR/Kepala BPN. Juga, Menteri Koordinator Maritim, dengan berubah nomenklatur menjadi Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, tetap dipegang Luhut B Pandjaitan.

Kemudian, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, dari Ignasius Jonan, ke Arifin Tasrif. Menteri Pertanian dari Amran Sulaiman, beralih ke mantan Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo. Menteri Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan, berganti dengan wajah baru politisi Partai Gerindra, Edhy Prabowo.

Khalisah Khalid, Koordinator Desk Politik Walhi Nasional mengatakan, beberapa nama yang dilantik jadi menteri, erat kaitan dengan oligarki bisnis ekstraktif, tambang, dan batubara sampai sawit, seperti Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto dan lain-lain.
“Kita khawatir dengan orang-orang yang masuk dalam lingkar oligarki itu ada di lingkar kekuasaan, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin jadi makin berat tantangan. Akan makin buram masa depan lingkungan,” katanya di Jakarta, Rabu (23/10/19).
Dia bilang, tantangan besar dalam pembenahan tata kelola sumber daya alam dengan kabinet seperti ini adalah sejauh mana presiden mampu mengendalikan oligarki. “Prediksi kita akan makin buram. Presiden tak mau mengeluarkan Perppu KPK juga karena tekanan parpol. Sejauh mana bisa keluar dari hal ini?” katanya.

Belum lagi, menghadapi investasi. Pada akhirnya, kata Alin, sapaan akrabnya, lagi-lagi lingkungan hidup jadi nomor kesekian.

Kekhawatiran ancaman lingkungan karena oligarki berkuasa juga muncul dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Merah Johansyah, Koordinator Jatam mengatakan, menteri-menteri yang mengisi kabinet Indonesia Maju sebagai kemenangan oligarki. Ia menambah kabar buruk bagi masa depan rakyat dan lingkungan di Indonesia di tengah denyut dan brutalitas penghisapan kekayaan yang makin massif.

Sebelumnya, kata Merah, lebih dari 500 anggota DPR terpilih, atau 45% terafiliasi sejumlah bisnis. “Hari ini, kita kembali disuguhkan kabar buruk yang sama, para menteri diumumkan, sebagian juga terkait bisnis, termasuk sektor tambang dan energi. Ini sumber ancaman,” katanya.

Sisi lain, katanya, DPR, bersama pemerintah, telah megamputasi sejumlah kewenangan penting Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Belum usai, beberapa revisi UU juga mengancam seperti RUU Pertanahan, RUU Pertambangan Minerba, RUU KUHP, RUU Ketenagakerjaan, dan lain-lain.
Belum lagi, rencana berbahaya melalui Omnibus Law, yakni, penyesuaian 74 peraturan perundang-undangan guna mendorong investasi. Kini, para menteri dalam Kabinet Indonesia Maju, sebagian diisi orang-orang lama pembuat masalah.
“Orang-orang ini pebisnis sektor ektraktif, juga berlatar belakang polisi dan militer yang berpotensi besar membawa kepentingan pribadi dan kelompoknya selama menjabat,” katanya.
Merah menyebut, beberapa menteri terpilih Jokowi berelasi bisnis tambang, energi dan migas.

Spanduk yang dibentangkan aktivis Greenpeace di jakarta, mendesak pemerintahan baru peduli energi bersih. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

Tak jauh beda dengan pandangan Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan. Dia mengatakan, sejak awal Madani sudah memetakan aktor-aktor yang terlibat dalam lingkaran Jokowi-Ma’ruf Amin. Mulai dari Tim Kemenangan Nasional (TKN), orang-orang terdekat Jokowi, para menteri, hingga ketua parpol pengusung.

Menurut Teguh, di lingkaran kekuasaan Jokowi-Ma’ruf Amin, erat kaitan dengan bisnis sumber daya alam, baik minerba, sawit, migas dan kehutanan.
“Kami memukan paling besar kecenderungan sektor sawit dan minerba. Banyak aktor-aktor besar mendukung pemenangan Jokowi ini memiliki bisnis dan pembiayaan politik rata-rata melalui sektor perkebunan sawit dan minerba,” katanya.
Kondisi ini, katanya, jadi tantangan besar sekaligus menimbulkan kebingungan bagi agenda penyelamatan lingkungan hidup. Dia contohkan, keberadaan Erick Thohir, Bahlil Lahadalia, Luhut BInsar Pandjaitan, maupun Fachrul Razi. “Itu kan banyak sekali aktor-aktor utama yang punya akses langsung sekaligus aktor utama bisnis ekstraktif.”

Dengan mereka duduk dan jadi aktor kunci di pemerintahan, maka bisa jadi memegang kekuatan, penentu arah kebijakan dan lain-lain.

Menurut dia, tak heran kalau pemerintah terus membahas RUU Minerba, terlebih berkaitan dengan bakal berakhir beberapa kontrak karya minerba pada 2020-2021.
“Agak berat bagi Jokowi melindungi lingkungan. Karena besarnya oligarki bisnis di sekitar dia. Kita percaya kepada Jokowi sebagai presiden terpilih dengan suara terbanyak, dengan komposisi kabinet ini, kekhawatiran terbesar kami, ini gak akan kemana-mana. [perbaikan lingkungan] berjalan di tempat.”
Siti Nurbaya, masih tetap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Meskipun begitu, kata Teguh, tantangan akan makin berat kalau melihat komposisi menteri dalam kabinet saat ini. Antara lain, dia sebutkan, Fachrul Razi, latar belakang militer dan pengusaha tambang jadi Menteri Agama.

Ada Erick Thohir, antara lain, pebisnis tambang batubara, sebagai Menteri BUMN. Juga, Sofyan Djalil tetap Menteri Agraria dan Tata Ruang, pada periode pertama saja tak mendukung keterbukaan informasi terkait data hak guna usaha.
“Formasi kabinet ini membingungkan. Banyak oligarki.”
Belum lagi nomenklatur Kementerian Koordinator Maritim yang berubah jadi Maritim dan Investasi, kata Teguh, justru makin mengkhawatirkan bagi agenda penyelamatan lingkungan.
“Lingkungan hidup bukan hanya jadi anak tiri lagi, seperti mau dihilangkan. Investasi jadi raja.”
Dia mengingatkan, jangan sampai pemerintah mati-matian menggenjot investasi tetapi saat bersamaan justru kehilangan pasar. Tren global, katanya, konsumen mau membeli produk-produk berkelanjutan atau produk-produk dari sumber jelas dan bertanggung jawab.

Adapun beberapa nama masuk sorotan Jatam, antara lain, Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi.

Dia pendiri dan pemegang saham PT Toba Bara Sejahtera Grup, bergerak sektor pertambangan dan energi, migas, perindustrian, properti, pembangkit tenaga listrik, serta kehutanan dan sawit.

Politically expose persons (PEP) jaringan Luhut dalam militer dan birokrasi yang terlibat dalam bisnis pertambangan batubara adalah Jendral (Purn) Fachrul Razi. Dia Komisaris di PT Toba Sejahtera Bersama dengan Letjen (Purn) Sumardi. Letjen (Purn.) Suaidi Marasabessy merupakan Direktur Kutai Energi dan Presiden Direktur Utama TMU, dan Letjen (Purn) Sintong Hamonangan Panjaitan menjadi Komisaris ABN.
“Saat ini, terdapat 16 perusahaan di bawah payung Toba Sejahtera dengan pertambangan batubara di Kutai Kartanegara, sebagai bisnis pentingnya.
Meskipun Kutai Energi, sebut Merah, merupakan konsesi pertambangan batubara terbesar dalam kelompok ini, tiga anak perusahaan pertambangan batubara di bawah Toba Bara Sejahtera (Toba)-ABN, IM, dan TMU, merupakan perusahaan yang tumbuh pesat di dalam kelompok ini.

Laporan Global Witness, 2 April 2019, menyebut, Luhut menjual 62% saham Toba Bara Sejahtwra ke pembeli yang diduga perusahaan cangkang, pada 2016.

Merah bilang, tiga anak perusahaan Toba Bara meninggalkan 36 lubang tambang, masing-masing di areal PT Adimitra Baratama Nusantara (15), PT Trisensa Mineral Utama (14),dan PT Kutai Energi (8). Bahkan Kutai Energi, terlibat dalam konflik lahan, kriminalisasi petani, dan pencemaran di Sungai Nangka (Loa Janan), Kutai Kartanegara dan Sungai Nangka, Muara Jawa, Kukar, Kalimantan Timur.

Selain itu, PT PT ABN yang beroperasi dekat pemukiman, telah menyebabkan ruas jalan Sanga-Sanga – Muara Jawa putus, dan rumah-rumah warga amblas.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, kembali menduduki posisi sama di kabinet jilid II Jokowi. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Kemudian, Menteri Agama, Fachrul Razi. Dia menjabat sebagai Presiden Komisaris di PT Central Proteina Prima (PT CP Prima) dan Komisaris Utama di PT Antam Tbk sejak 2015. Beberapa wilayah operasi PT Antam, mulai dari Pulau Gebe, Pulau Gee, Pulau Pakal, Halmahera di Maluku Utara. Antam juga beroperasi di Bogor, Jawa Barat, Cibaliung, Banten, dan beberapa daerah lain.   Dia juga menjabat sebagai Komisaris di PT Toba Sejahtera.

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Dia tercatat sebagai pemilik Nusantara Energy Resources, menaungi 17 anak perusahaan yang bergerak di berbagai bidang, seperti kehutanan, kertas dan bubur kertas, sawit, tambang batubara, dan perusahaan jasa.

Nusantara Energy Resources masuk dalam investigasi International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ) yang diberi judul Paradise Paper. Isinya merinci orang kaya di seluruh dunia menimbun uang di negara bebas pajak.

Selain masalah pajak, kata Merah, Nusantara Energy Resources juga diduga perebutan lahan konsesi tambang batubara Churchill Mining dan Ridlatama di Kutai Timur.

Semua itu, terjadi atas relasi politik dan bisnis antara Bupati Kutai Timur saat itu Isran Noor dengan Prabowo Subianto. Isran Noor yang kini menjadi Gubernur Kalimantan Timur berpindah perahu politik dari Demokrat dan PKPI ke Partai Gerindra.

Ada Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. Pada 2007, politisi Partai Gerindra ini mendirikan perusahaan jasa keamanan, PT Garuda Security Nusantara. Dia juga Presiden Direktur dan Komisaris PT Kiani Lestari Jakarta, perusahaan kertas milik Prabowo Subianto. Dalam bisnis tambang ini, dia terhubung dengan PT Nusantara Energi, tambang dan batubara sebagai Asisten Direktur Utama tahun 1998-2004.

Lalu, Menteri ESDM, Arifin Tasrif. Arifin pada 16 Juni 2019 di Jepang, mendampingi mantan Menteri ESDM Iganisius Joan dalam kerjasama Indonesia-Jepang terkait pengembangan energi hijau melalui turunan sawit. Arifin sebagai Dubes Indonesia untuk Jepang saat itu, ikut andil terkait proyek migas raksasa di Indonesia, terutama dalam merampungkan kesepakatannya.
“Proyek itu adalah pengelolaan Blok Migas Masela. Perusahaan asal Jepang, Inpex, menjadi kontraktor utama proyek bernilai US$20 miliar atau tak kurang dari Rp280 triliu.” Kata Merah.
Proyek ini dikerjakan Inpex Corporation sebagai operator dengan hak kelola 65% dan Royal Dutch Shell 35%. 
 “Mereka bekerja sama dalam satu perusahaan gabungan, bernama Inpex Masela Ltd.”
Menteri BUMN, Erick Thohir. Dia adalah pemilik bisnis Mahaka Group dan bagian dari Keluarga Thohir. Saudara kandungnya, Garibaldi Thohir adalah Presiden Direktur Adaro Energy Tbk, salah satu perusahaan tambang batubara terbesar di Indonesia.

Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. Menurut Merah, Airlangga kontroversial karena rekam jejak terhubung dengan sebagai saksi yang dihadirkan Komisi pemberantasan korupsi (KPK) dalam kasus korupsi PLTU Riau 1. Dana korupsi pembangkit listrik tenaga batubara itu diduga kuat mengalir ke musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) Partai Golkar.

Airlangga juga pernah tercatat sebagai komisaris di perusahaan tambang batubara, PT. Multi Harapan Utama di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Perusahaan PKP2B ini dalam proses mengurus perpanjangan izin eksploitasi.
Menurut catatan Jatam dan Dinas ESDM Kaltim pada 2017, PT MHU meninggalkan 56 lubang bekas tambang terserak di Kutai Kartanegara dan salah satu lubang bekas tambangnyadi Kelurahan Loa Ipuh Darat Kilometer 14, menewaskan Mulyadi, pada Desember 2015.

Kemudian, Bahlil Lahadia, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Dia pemilik grup bisnis PT Rifa Capital. Perusahaan ini menjelma menjadi holding dari 10 anak perusahaan antara lain PT Ganda Nusantara (shipping), PT Pandu Selaras (pertambangan emas) dan PT MAP Surveilance (pertambangan nikel).

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berganti dengan Eddy Prabowo, politisi Gerindra. Foto : DJPB KKP/Mongabay Indonesia

Reforma agraria dan hak adat makin berat

Beni Wijaya, dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, kalau melihat susunan kabinet, belum ada gebrakan berarti, terutama isu reforma agraria. Apalagi, Jokowi masih menugaskan Sofyan Djalil sebagai Menteri ATR/BPN.
“Kita tahu periode pertama, Sofyan ini tak punya prestasi apa-apa dalam konteks reforma agraria seperti redistribusi aset dan penyelesiaan konflik. Yang didorong sertifikasi.”
Dengan terpilih kembali Sofyan, sebagai menteri ATR/BPN, KPA bisa menebak arah periode kedua. 
“Sama saja dengan periode pertama.”
Persoalan agraria hingga kini masih begitu banyak, dari konflik, perampasan tanah rakyat hingga kriminalisasi warga yang berupaya mempertahankan ruang hidup mereka.
“Potret ini terjadi karena abai menjalankan reforma agraria. Konflik agraria semacam ini warisan masa lalu juga praktik di masa pemerintahan Joko Widodo periode pertama,” katanya, seraya bilang, ketimpangan kuasa lahan ini menciptakan kemiskinan masyarakat, dan kerusakan ekologis.
Periode 2014 – 2018, KPA mencatat, ada 1.769 konflik agraria di seluruh Indonesia. Tindakan refresif dan kekerasan aparat di wilayah konflik mengakibatkan banyak korban warga. Sekitar 940 warga yang mempertahankan agraria dan petani mengalami kriminalisasi, 546 orang alami penganiayaan, 51 orang tertembak dan 41 tewas.
“Selama lima tahun, pemerintah belum sungguh-sungguh bekerja menjawab krisis agraria. Realisasi janji Nawacita reforma agraria terbilang mangkrak.”
KPA, katanya, sampaikan langsung kepada presiden bahwa capaian reforma agraria di bidang redistribusi tanah dari pelepasan kawasan hutan realisasi nol hektar. Bahkan, kata Beni, jutaan hektar yang ditetapkan sebagai identifikasi calon tanah untuk obyek agraria (tora) dari kawasan hutan berpotensi besar diselewengkan karena subyek penerima dan rencana pengembangan ke depan tak jelas.

Situasi tak menggembirakan juga terjadi di Kementerian ATR/BPN, yang nyata-nyata menyelewengkan reforma agraria jadi pekerjaan sertifikasi tanah. Tinggallah, rakyat tak bertanah takk terlayani. Lebih lagi, kementerian dapat proyek utang dari Bank Dunia berlabel reforma agraria.

Menghadapi keadaan ini, katanya, presiden dan wakil harus memimpin langsung reforma agraria. Tugas utamanya, seperti redistribusi tanah kepada rakyat yang berhak, menyelesaikan konflik agraria struktural, pemberdayaan dan pengembangan kawasan pada wilayah reforma agraria.

Presiden dan wakil, katanya, juga harus mengajak lembaga lembaga negara seperti MPR, DPR, DPD termasuk mahkamah Agung Mahkamah Konstitusi, maupun Komisi Yudisial, memahami agenda ini.

Rukka Sambolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, menteri yang ditunjuk Jokowi kuat nuansa militer dan bisnis. Dia cukup khawatir dengan penunjukan kembali Sofyan Djalil sebagai Menteri ATR/BPN. Menurut Rukka, realisasi pengakuan wilayah adat dari kementerian ini masih nol.
“Reforma agraria bukan yang seharusnya. Justru lebih mengedepankan sertifikasi tanah individual. Bukan menyelesaikan masalah-maslaah wilayah dan sumber daya alam yang dihadapi masyarakat adat.”
Jadi, katanya, bagi masyarakat adat, kabinet ini akan makin berat.
Meski begitu, Rukka berharap dengan Siti Nurbaya kembali sebagai Menteri LHK, bisa mempercepat pengakuan wilayah adat. Selama lima tahun kepemimpinan Siti, meski sudah mulai jalan, tetapi realisasi masih minim, baru 24.000 hektar.

Harapannya, kabinet ini bisa mempercepat pengesahan RUU Masyarakat Adat. Selama ini, katanya, yang menghambat pembahasan RUU Masyarakat Adat adalah pemerintah. Hingga kini, pemerintah belum menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM), sebagai syarat pembahasan RUU di DPR.
“Sofyan Djalil, Siti Nurbaya dan Pratikno, masih punya utang RUU Masyarakat Adat.”
Dia juga soroti perubahan nomenklatur Kemenko Maritim dengan penambahan ‘investasi’, makin menunjukkan Pemerintahan Jokowi berwajah neolib. Penyaturan maritim dan investasi, katanya, akan jadi ancaman.
“Kalau kita lihat di pulau-pulau kecil dan pesisir, justru itu terancam kalau tak ada paket-paket kebijakan yang memastikan masyarakat hidup di pesisir dan pulau-pulau kecil itu betul-betul haknya didahulukan.”
Selain RUU Masyarakat Adat, desakan AMAN soal kelembagaan khusus masyarakat adat, untuk meninjau ulang berbagai peraturan sektoral, membentuk mekanisme nasional penyelesaian sengketa, jalankan putusan Mahkamah Konstitusi MK 35/2012 dan memulihkan korban-korban kriminalisasi. 
“Hingga kini, komitmen itu tak terlaksana.”
Keterangan foto utama: Sosok-sosok di kabinet banyak berelasi bisnis ekstraktif, salah satu tambang batubara. Bermasalah dari hulu. Kondisi lubang tambang batubara yang ditinggalkan begitu saja, jaraknya dekat dengan pemukiman warga. Foto: dok Jatam Kaltim


Sawit. Komoditas dengan tata kelola masih bermasalah. Pemerintah berupaya benahi tata kelola dengan berbagai aturan dan kebijakan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Selasa, 22 Oktober 2019

Jokowi Minta Sofyan Djalil Tuntaskan Reforma Agraria


CNN Indonesia | Selasa, 22/10/2019 18:48 WIB

Menteri Agraria dan Tata Ruang periode 2014-2019 Sofyan Djalil. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari).

Jakarta - Menteri Agraria dan Tata Ruang periode 2014-2019 Sofyan Djalil diminta kembali membantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam kabinet jilid kedua.
"Rasanya sih yang melanjutkan pekerjaan yang belum selesai, masalah agraria, redistribusi, reforma agraria," ujar Sofyan usai bertemu dengan Jokowi di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (22/10).
Sofyan mengungkapkan Presiden Jokowi ingin dirinya menyelesaikan target sesuai peta jalan (roadmap) pemerintah, yakni seluruh tanah harus sudah terdaftar pada 2025.
"Presiden beri (jabatan menteri) itu sudah kehormatan. Mungkin pak presiden merasa tugas yang belum selesai dan harus diselesaikan," ungkap Sofyan.

Dalam kesempatan tersebut, Sofyan mengaku berdiskusi dengan Presiden Jokowi terkait persoalan tanah berkeadilan, dan reforma agraria. Kendati demikian, keduanya tak membahas persoalan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla),

Selain itu, keduanya juga membahas soal kepastian hukum hutan dan lahan serta mempercepat program penyediaan tanah rakyat.

Sejauh ini, Sofyan mengungkapkan nomenklatur kementerian tak akan berubah dalam kabinet kerja jilid kedua.

KPA: Menteri Pertanian Harus Berpihak Kepada Petani dan Pertanian Rakyat


Selasa , 22 Oktober 2019 | 16:39

Dewi Kartika [Sumber Foto: Istimewa]

JAKARTA - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang agraria, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tidak mempersoalkan latar belakang calon Menteri Pertanian (Mentan) yang besok akan diumumkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Bahkan dari dua nama calon yang santer dikabarkan bakal menduduki kursi Mentan seperti politisi Partai Gerindra Edhy Prabowo dan mantan Gubernur Sulawesi Selatan dari Partai Nasdem Syahrul Yasin Limpo, KPA hanya berpesan siapa pun yang dipilih Jokowi besok, diharapkan memiliki keberpihakan pada petani dan pertanian rakyat.
"Mengenai menteri ke depan, apakah berasal dari parpol atau kalangan profesional, keduanya mungkin saja, karena tidak ada jaminan juga.
Terpenting harus sosok yang memiliki keberpihakan pada petani dan pertanian rakyat, sekaligus mampu menerjemahkan visi pertanian Indonesia ke depan," kata Sekretaris Jendral KPA Dewi Kartika saat dikonfirmasi sinarharapan.co, Selasa (22/10/2019).

Menurut Dewi, selama 5 tahun ke belakang kinerja Kementerian Pertanian di bawah kepemimpinan Amran Sulaiman sama sekali tidak memperhatikan hak-hak petani.
"Pertama, Menteri Pertanian dalam catatan KPA tidak pernah membicarakan hak-hak petani atas alat produksinya yang utama, yakni tanah pertanian. Padahal 56 persen petani kita adalah kelompok petani gurem dengan pemilikan lahan di bawah 0,5 hektar. Sisanya banyak petani penggarap, yang menggarap tanah bukan miliknya, serta buruh tani," papar Dewi.
Di sisi lain, lanjut Dewi, konversi tanah pertanian ke nonpertanian semakin cepat dan meluas.

Jika melihat data dari Kementerian Pertanian yang disampaikan Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian Sarwo Edhy pekan lalu, hingga September 2019 kemarin baru sebanyak 5 juta hektare lahan pertanian yang dijadikan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), lebih sedikit dari jumlah hasil statistik pertanian yang sebanyak 7,76 juta hektare.

Di samping itu, Sarwo juga menyebutkan, pemerintah daerah di Jawa Tengah meminta pengalihfungsian lahan pertanian seluas 214 ribu hektare untuk kebutuhan industri.

Kenyataan itu disayangkan oleh KPA. Sebab menurut Dewi, Menteri Pertanian sebagai leading sector di bidang pertanian dan perkebunan, seharusnya bisa mengimplementasikan reforma agraria.
"Sayangnya, sepanjang 5 tahun ke belakang, Menteri Pertanian kita tak pernah membicarakan reforma agraria," tegasnya. (Ryo)