This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 24 September 2019

KPA: Jokowi Kaget Reforma Agraria Beri Nol Hektare ke Petani


CNN Indonesia | Selasa, 24/09/2019 13:26 WIB

Aksi demo petani depan Istana Negara. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Description: https://newrevive.detik.com/delivery/lg.php?bannerid=0&campaignid=0&zoneid=2403&loc=https%3A%2F%2Fwww.cnnindonesia.com%2Fnasional%2F20190924131831-20-433364%2Fkpa-jokowi-kaget-reforma-agraria-beri-nol-hektare-ke-petani&cb=173ff68b52
Jakarta - Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyampaikan hasil pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara terkait tuntutan petani yang berdemonstrasi di depan Istana Negara sekaligus memperingati Hari Tani Nasional.

Dewi menyebut Jokowi sama sekali tidak tahu soal tak ada satu sentimeter lahan dari program Reforma Agraria yang telah dibagikan kepada petani. Padahal saat program digaungkan lima tahun lalu, pemerintah menjanjikan akan mendistribusikan 9 juta hektare lahan bagi para petani.
"Kita sampaikan Reforma Agraria itu macet. Janji itu macet. Hasilnya adalah nol hektare yang sampai ke masyarakat. Tidak ada. Beliau tadi kaget masih nol hektare padalah sudah lima tahun berjalan," kata Dewi di Silang Monas seberang Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa (24/9) usai bertemu dengan Jokowi.

Saat mendengar itu, Jokowi yang didampingi Kepala Kantor Staf Kepresidenan, Moeldoko itu pun langsung menelepon Meteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar.

Jokowi, kata Dewi, langsung menanyakan perihal tak ada satu sentimeter pun lahan yang telah didistribusikan dari total 9 juta hektare itu. Selama percakapan Jokowi tampak berulang kali mengernyitkan dahi.

Selama percakapan telpon antara Jokowi dan Siti Nurbaya berlangsung, Dewi mengaku sempat mencuri dengar lantaran Jokowi memang menelpon langsung di hadapan mereka.

Siti dalam telepon itu memang mengkui belum ada lahan yang mereka distribusikan. Selama ini semuanya masih dalam proses.
"Via telepon langsung. [Jokowi tanya] Betul enggak kata petani 4,1 juta hektare dari 9 juta selama lima tahun cuma nol hektare. Beneran kosong. Dari respons-respons Pak Jokowi beliau kaget dan benar itu kan baru SK SK saja yang diurus," kata Dewi.

Dari percakapan telepon itu pun Jokowi mengakui memang hingga saat ini belum ada sejengkal tanah pun yang tekah didistribusikan kepada petani. Dewi pun meminta agar soal Reforma Agraria ini tak lagi dipegang kendalinya oleh kementerian di bawah presiden.

Dewi pun secara terang-terangan menyampaikam bahwa Kementerian yang dipercaya mengurusi hal ini justru tak kompeten dan sama sekali tak menjalankan fungsi dan tugas sebagaimana mestinya.
"Terbukti bahwa menko perekonomian tidak bisa secara efektif mengkoordinasikan kementrian-kementerian terkait. Apakah itu menteri agraria tata ruang, kehutanan, menteri desa dan seterusnya," kata dia.
"Nah kami tadi mengusulkan badan pelaksana reforma agraria itu harus langsung dipimpin oleh presiden gak bisa lagi sama selevel menteri," katanya.

"Pak Jokowi setuju bahwa ini memang harus saya yang ambil alih." (tst/asa)

Senin, 23 September 2019

Menuju Penyelesaian Konflik Urut Sewu


Mon, 23 Sep 2019 - 02:57 WIB
Arif Widodo, M Arif Prayoga

SM/Arif Widodo - MELAKUKAN PEMAGARAN : Pekerja melakukan pemagaran di Urut Sewu Kebumen beberapa waktu lalu. (55)

Konflik Urut Sewu Kebumen terus berulang sejak 2011. Bentrokan antara warga dan TNI pun berlanjut terkait perebutan lahan. Seperti tidak ada akhirnya, bentrokan berlanjut pada 2015 dan 2019 ini.

BENTROKAN antara warga dan TNI yang terjadi belakangan ini, tepatnya 11 September lalu, berlokasi di Desa Brecong, Kecamatan Buluspesantren. Kendati tidak ada korban jiwa dari serentetan bentrokan tersebut, namun konflik yang terjadi itu sudah sangat melelahkan. Apalagi berbagai upaya untuk menyelesaikan konflik itu sudah dilakukan.

Bahkan penyelesaian secara hukum sebenarnya sudah ditempuh hingga menghasilkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 P/HUM/2011. Putusan tersebut menolak permohonan keberatan terkait hak uji materiil terhadap Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah tahun 2009-2029.

Berdasar perda, Urut Sewu Kebumen merupakan kawasan pertahanan keamanan. Wilayah tersebut mencakup Kecamatan Mirit, Ambal, dan Kecamatan Buluspesantren. Lokasi sepanjang 22,7 kilometer tersebut telah dipagar sekitar 17,8 kilometer dan akan diselesaikan tahun ini.

Bentrokan di Brecong beberapa waktu lalu terjadi saat pemagaran tinggal 4,9 kilometer lagi. Padahal jika merunut proses penyelesaian sebelumnya sudah ada kesepakatan dari tiga desa yang meliputi Desa Brecong, Ayamputih, dan Desa Setrojenar, yang masing-masing masih berada di Kecamatan Buluspesantren.

Kesepakatan yang tertuang dalam dokumen forum tiga kepala desa Urut Sewu (Setrojenar-Ayamputih-Brecong) Nomor 03/B/SMD-FTKDUS/X/2013 itu antara lain menyatakan mengakui, menerima, dan siap bekerja sama dengan TNI untuk menjadikan kawasan pesisir Urut Sewu sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) pertahanan dan keamanan yang diperuntukkan sebagai lokasi latihan TNI dan uji coba alutsista.

Bukti Pembayaran Pajak

Pernyataan yang ditandatangani oleh masing-masing kepala desa dan ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) setempat pada 1 Oktober 2013 itu juga menerima dan siap bekerja sama dengan TNI untuk melaksanakan proyek pemagaran aset tanah negara sebagai batas wilayah latihan dan uji coba alutsista dan keamanan aktivitas warga.

Dandim 0709 Kebumen Letkol Inf Zamril Philiang mengemukakan, berdasarkan Surat DJKN Kanwil Provinsi Jawa tengah Nomor S- 825/KN/2011 tanggal 29 April 2011 disebutkan bahwa tanah kawasan latihan TNI seluas 1.150 hektare itu diperoleh dari peninggalan KNIL tahun 1949. Senada, Kepala Penerangan Kodam IV Diponegoro Letkol Kav Susanto menegaskan lahan tersebut bukan tanah warga seperti yang telah diklaim.

Selain itu, lanjut dia, pihak Kodam IV/Diponegoro memberikan kesempatan kepada warga untuk bisa membuktikan surat kepemilikan yang sah atas lahan tersebut. Pemagaran yang merupakan program pusat itu telah masuk tahap ketiga dan merupakan kelanjutan dari apa yang dilakukan pada 2013 dan 2015.

Lokasinya di tiga desa meliputi Desa Entak Kecamatan Ambal, Desa Brecong, dan Desa Setrojenar. Zamril menegaskan, pemagaran yang diamankan TNI itu bukan berarti menutup akses. Namun sebagai batas atau tanda aman saat digunakan uji coba menembak laboratorium Dislitbangad.

”Masyarakat pun diberi pintu masuk dan jalan ke lokasi. Dan apabila bertani juga dipersilakan. Karena TNI sangat pro untuk membantu ekonomi masyarakat,” tegasnya.

Salah satu warga Desa Setrojenar Asnawi mengungkapkan, konflik tanah itu mencuat karena ada bukti pembayaran pajak letter C yang dikeluarkan desa.

Bahkan ada yang mengklaim memiliki sertifikat di tanah Urut Sewu. Padahal siapa pun mengetahui bahwa tanah tersebut adalah berasenagaja(dibiarkan tidak dipakai). Asnawi menyebut gelagat adanya konflik itu sudah tercium sejak 2007 saat kelompok dari luar datang untuk mengumpulkan warga setiap malam Minggu. Selanjutnya benarbenar pecah konflik tahun 2011 berlanjut pada 2015 dan 2019.

Sementara itu, Bupati Kebumen Yazid Mahfudz mengaku sudah menyampaikan kepada Presiden dalam menyelesaikan konflik Urut Sewu tersebut. Sebelumnya, dia sudah membicarakannya dengan pihak BPN, Pangdam IV Diponegoro, serta Gubernur Jawa Tengah.

“Penyelesaiannya dengan mendata warga yang memiliki bukti seperti letter C maupun sertifikat tanah. Nanti setelah terkumpul akan kita beli dan kemudian kita serahkan kepada TNI,” jelasnya. Bagi yang tidak memiliki bukti, lanjut Yazid, tentu tidak wajar jika akan menuntut ganti rugi.

Langkah penyelesaian tersebut ditempuh setelah pihaknya meminta warga yang keberatan agar menempuh jalur hukum di pengadilan ternyata tidak dilakukan. ìPada prinsipnya kita membela rakyat. Terutama warga yang memiliki hak milik tanah di Urut Sewu,î jelas Yazid yang meminta penghentian sementara pemagaran tersebut.

Kumpulkan Data

Adapun Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyatakan masih mengumpulkan data-data kepemilikan lahan untuk menuntaskan konflik agraria di kawasan Urut Sewu. Menurutnya, bentrok terjadi karena ada pihak yang tak sabar.

Ia tidak mengira di tengah proses pengumpulan data, bentrok pecah antara warga Desa Brecong dengan TNI pada Rabu (11/9). Ganjar mengklaim, sepekan sebelum bentrokan masing-masing pihak telah sepakat menghimpun data terlebih dulu.

”Sebenarnya satu minggu sebelum kejadian kami sudah ketemu, makanya saya kaget. Hasil pertemuannya itu minta kami mengumpulkan data masing-masing agar BPN bisa memverifikasi satu-satu, karena itu cara yang paling fair tho,” kata Ganjar .

Ganjar meminta Pangdam IV Diponegoro untuk memerintahkan penghentian sementara proses pemagaran.

”Rabu langsung menelepon Pangdam. Bahkan saya sudah ketemu Kasad, ketemu Panglima TNI untuk menyampaikan ini, maka saya minta hari itu untuk menghentikan pemagaran dan Panglima setuju, Kasad setuju, Pangdam setuju saya rasa itu cara yang paling bagus untuk sementara waktu bisa meredam.” Ia pun menyayangkan insiden tersebut.

Menurut Ganjar, permasalahan sengketa lahan ini bisa diselesaikan jika masing-masing pihak duduk bersama, membahasnya dengan kepala dingin dan menyandingkan data. Dengan membeberkan seluruh data yang ada, maka menurutnya pemerintah dapat memverifikasi dan memutuskan dengan bijak. Selama proses menghimpun data dan verifikasi tersebut, Ganjar mengimbau agar masing-masing pihak menahan diri.

Kalaupun tak sabar, ia menyarankan kelompok yang keberatan lebih baik mengajukan gugatan hukum. Sementara Koordinator Tim Advokasi Perjuangan Urutsewu Kebumen (TAPUK) Teguh Purnomo membenarkan proses pemagaran di kawasan tersebut memang telah dihentikan untuk sementara. Setelah itu, warga pun mulai beraktivitas seperti biasa.

Meski demikian, masyarakat tetap waspada guna mengantisipasi jika ricuh kembali terjadi. Teguh menambahkan, warga berharap pemerintah daerah dan seluruh pemangku kepentingan bisa segera menuntaskan konflik lahan yang sudah menahun tersebut. Ia juga meminta pemerintah tak melulu membebankan tanggung jawab pembuktian kepada warga.

”Warga sebenarnya sudah berkali-kali diminta buktinya, dan sudah menyerahkan itu. Jadi jangan dibebani pembuktian terus, toh warga juga bukan lembaga peradilan. Kalau dulu sudah ada, ya sudah. Jadi jangan rakyat dibuat jenuh,” keluh dia. Pada Rabu (11/9), bentrok kembali terjadi antara TNI dan warga Desa Brecong di kawasan Urut Sewu.

Warga dikabarkan terkena pukulan anggota TNI. Kodam IV Diponegoro mengakui tindakan represif aparat kepada warga. Namun, Kapendam Letkol Kav Susanto berdalih tindakan keras aparat di lapangan dilakukan karena warga tak bisa dikendalikan. Dia mengklaim pihaknya terpaksa mengambil langkah represif agar warga mau meninggalkan area tersebut. (Arif Widodo, M Arif Prayoga-23)

Jumat, 20 September 2019

Pakar UGM: RUU Pertanahan Abaikan Hak Bangsa dan Buka Peluang Korupsi

Selasa 03 September 2019, 07:15 WIB | Usman Hadi

Ilustrasi, kasus sengketa tanah (Ari Saputra/detikcom)

Yogyakarta - Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan, yang rencananya akan segera disahkan, dianggap masih inkonsisten dan tak berpihak kepada masyarakat kecil. RUU ini justru dinilai berpotensi mengabaikan hak bangsa dan membuka peluang korupsi.
"RUU ini (RUU Pertanahan) belum berpihak pada masyarakat yang lemah posisi tawarnya," tutur Guru Besar Fakultas Hukum UGM Yogyakarta Prof Maria SW.
Hal itu disampaikan Maria dalam diskusi RUU Pertanahan di gedung seminar University Club UGM bertajuk 'ATR/BPN Goes to Campus', Senin (2/8/2019). Hadir dalam acara tersebut Sekjen Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) Himawan Arif.

Maria mengatakan RUU Pertanahan yang hendak disahkan kalangan legislatif terkesan ingin mereduksi pasal-pasal yang ada di Undang Undang Pokok Agraria (UUPA). Ia mencontohkan dalam RUU Pertanahan tidak disebutkan hak bangsa.
"Di RUU ini tidak mengatur hak bangsa, meski negara punya hak mengatur dan mengolah, (tetap) bertanggung jawab untuk bangsa," sebutnya.
Bukan hanya itu, dalam RUU ini juga disebutkan bahwa menteri berhak mengolah dan memanfaatkan tanah negara lewat aturan yang dibuatnya. Maria menganggap aturan tersebut membuka peluang munculnya penyelewengan dan korupsi.

"RUU ini bisa membuka peluang korupsi, bahkan kewenangan pelaksanaan (pemanfaatan tanah negara) tidak menyebut oleh siapa. Artinya, objek yang diatur ada, dan subjek yang mengatur kok nggak ada," ungkapnya.


Pakar agraria UGM lainnya, Prof Nur Hasan Ismail, menyebut masih ada sejumlah inkonsistensi dalam RUU Pertanahan. Sementara itu, isi RUU Pertanahan tidak menyinggung soal kepemilikan bersama hak atas tanah.

"Harus ada tim khusus yang mencermati konsistensi pasal-pasal dalam RUU ini," terangnya.

Himawan Arif menyebutkan kini hanya tinggal dua item yang akan didiskusikan sebelum RUU Pertanahan disahkan. "Presiden meminta agar, sebelum periode DPR ini selesai, RUU sudah disahkan," ujarnya.

Himawan mengklaim keberadaan RUU Pertanahan ini akan memperkuat UUPA, dan RUU ini diyakini bisa mengatasi berbagai permasalahan pertanahan, seperti persoalan ketimpangan lahan, sengketa pertanahan, dan konflik perbatasan.
(ush/mbr)

Rabu, 11 September 2019

Bagaimana Islam Memandang Perampasan Tanah di Urutsewu?


Oleh: Umi Ma'rufah - 11/09/2019

Kiai Imam Zuhdi, tokoh agama Urutsewu, memimpin aksi demonstrasi warga di depan Kantor Bupati Kebumen beberapa jam setelah penyerangan warga-petani oleh TNI AD (Foto: Dokumentasi Urut Sewu Bersatu)

Rabu, 11 September 2019, bentrok antara petani dengan TNI AD terjadi di Desa Brencong, Kecamatan Bulus Pesantren, Kabupaten Kebumen. 

Sebanyak 16 orang korban jatuh di pihak warga, sebagian besar petani. Satu orang warga, Haryanto (38 Tahun) terkena tembakan peluru karet. Satu video yang berhasil direkam oleh warga memperlihatkan pemukulan brutal sepasukan TNI AD berseragam terhadap petani.

Bentrokan ini adalah puncak dari eskalasi konflik yang memanas sejak pertengahan Juli 2019 di wilayah pesisir selatan Kabupaten Kebumen yang lebih dikenal sebagai Urutsewu. Sebelumnya, sejak tanggal 18 Juli 2019, TNI AD berupaya melakukan pemagaran tahap akhir menggunakan beton—yang sebelumnya berupa pagar kawat bertulang di tiga Desa, Desa Entak, Desa Brecong, dan Desa Setrojenar. Upaya ini mendapatkan perlawanan warga.

Pada 27 Juli 2019, sehari setelah warga melaporkan upaya pemagaran sepihak kepada Beka Ulung Hapsara. Komisioner Komnas HAM di Yogyakarta, ratusan warga berkumpul di Desa Brencong. Mereka berhasil memukul mundur satu bego yang dikawal oleh serdadu TNI AD.

Sejarah Perampasan Urutsewu: Klaim Tentara dan Dukungan Negara

Konflik warga dan TNI AD yang terjadi di wilayah Urutsewu pada 11 September 2019 dan pertengahan sampai akhir Juli 2019 tersebut bukanlah konflik baru. Di atas tanah seluas 1.150 hektar yang melintasi 15 desa di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Mirit, Kecamatan Buluspesantren, dan Kecamatan Ambal, masyarakat Urutsewu sejak lama berjuang melawan perampasan tanah yang dilakukan oleh pihak TNI AD. Berulangkali warga berunjuk rasa dan melakukan audiensi untuk mendapatkan kembali haknya.

 Seperti pada 12 Juli 2019, warga melakukan audiensi dengan Bupati Kebumen dan pihak TNI AD yang diwakili oleh Dandim 0709/Kebumen di Pendopo Kabupaten Kebumen. Pertemuan itu tidak menghasilkan kesepakatan apapun karena TNI AD bersikukuh tetap membangun pagar sedangkan warga tetap tidak merelakan tanahnya dirampas oleh TNI AD.

Kasus perampasan tanah di Urutsewu bermula dari kedatangan TNI AD di kawasan ini pada tahun 1962. Ketika itu, TNI AD meminta izin kepada pemerintah desa setempat untuk menggunakan tanah warga di kawasan pesisir sebagai tempat latihan militer dan uji coba senjata berat. Kemudian pada 1982 TNI AD mendirikan mess Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI AD di Desa Setrojenar, di atas bekas tanah bengkok dan tanah rakyat seluas 100 meter kali 200 meter yang mereka beli dari Kepala Desa (Cahyati, 2014). Lambat laun, TNI menggunakan tanah-tanah warga di sekitar mess tanpa melalui proses perizinan. TNI AD hanya memberitahu akan ada latihan sehingga warga diminta untuk tidak beraktifitas di area tersebut.

Pada 1998 TNI AD melakukan pemetaan wilayah secara sepihak dan meminta tandatangan kepala desa dengan berbagai alasan. Menurut catatan kronologi yang dimiliki Urut Sewu Bersatu, hasil pemetaan sepihak itulah yang kelak menjadi dasar yang dipakai TNI AD dalam menguatkan klaim dan membodohi masyarakat.

Pada 2007, TNI AD mengklaim memiliki wilayah pesisir hingga radius 1000 meter dari bibir pantai ketika ada rencana pembangunan JLSS (Jalur Lintas Selatan Selatan). TNI AD ikut meminta ganti rugi atas tanah yang dibebaskan. Tetapi setelah mendapat protes keras dari warga klaim itu berkurang menjadi 500 meter dari bibir pantai.

Peristiwa 16 April 2011 menandai perjuangan berdarah warga Urutsewu dalam mempertahankan tanahnya. Ketika itu warga melakukan aksi blokade jalan masuk tempat latihan. TNI AD membalas aksi warga dengan tindak kekerasan bersenjata. Dikutip dari berita yang diterbitkan oleh mongabay.co.id pada 12 Maret 2015, akibat peristiwa itu, enam petani kena pasal perusakan dan penganiayaan, 13 orang luka-luka, enam luka tembakan peluru karet. Di dalam tubuh petani bersarang peluru karet dan timah. Sebanyak 12 sepeda motor warga dirusak dan beberapa barang, seperti handphone, kamera, dan data digital dirampas paksa tentara.
Kebrutalan ini, dikenal dengan Tragedi Urutsewu.

Tahun 2013 TNI AD mulai membangun pagar permanen. Penolakan yang dilakukan oleh warga tidak digubris oleh TNI dengan tetap melakukan pemagaran. Puncaknya 8 Juli 2015 kembali peristiwa berdarah terulang. Petani yang menolak pemagaran lahan konflik digebuki tentara bersenjata lengkap. Empat menderita luka berat dan belasan lainnya mengalami luka ringan.

Peristiwa demi peristiwa ini membekas dalam ingatan warga sebagai trauma yang menakutkan. Setiap kali ada rencana pemagaran yang hendak dilakukan TNI AD, Kyai Imam Zuhdi dan Kyai Seniman, dua orang yang menjadi korban kekerasan TNI AD seringkali bergidik karena mengingat peristiwa lampau itu. Tetapi yang lebih menakutkan dari itu adalah ancaman hilangnya hak atas tanah yang mereka kelola sebagai sumber penghidupan.

Sebelum kedatangan TNI AD, warga biasa menggembalakan ternak dan bercocok tanam di lahan tersebut. Kini ternak tidak mungkin lagi digembalakan di tanah itu karena kurang aman. Adanya aktivitas latihan tembak pun menyebabkan sering terjadi kerusakan tanaman akibat ledakan peluru. Selain itu ada juga nelayan yang beraktivitas di area pesisir dilarang melaut selama latihan tembak. Tentu hal ini berpengaruh pada penghasilan warga yang berprofesi sebagai petani dan nelayan.

Selain dampak terhadap penghidupan para petani dan nelayan, jarak lokasi latihan dengan pemukiman yang terbilang cukup dekat membuat suara tembakan dan ledakan mengganggu aktivitas belajar. Namun, yang paling berbahaya dari jarak tembak ke pemukiman yang kurang dari 700 meter ini adalah adanya peluru nyasar atau amunisi sisa latihan yang tidak diamankan menyebabkan korban jiwa meninggal dan cacat permanen.

Pada 1998, akibat bekas peluru yang tidak diamankan, lima orang anak meninggal. Seorang warga Desa Entak juga meninggal dunia akibat rumahnya terkena peluru/bom nyasar.

Dengan kondisi yang demikian, Pemerintah justru seperti mengakomodir kepentingan pihak militer. Merujuk pada Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 23 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kebumen Tahun 2011–2031, wilayah Kecamatan Buluspesantren, Ambal, dan Mirit  diperuntukkan sebagai kawasan pertahanan dan keamanan di samping juga diperuntukkan sebagai kawasan pertambangan, kawasan pertanian, dan pariwisata. Peruntukan wilayah sebagai kawasan pertambangan ini merupakan angin segar bagi pihak TNI AD yang sebelum adanya Perda RTRW telah memberikan izin kepada PT. MNC (Mitra Niagatama Cemerlang) untuk menambang pasir besi.

Pemerintah pun menyambut baik pengusaha tambang ini dengan menerbitkan IUP Operasi Produksi kepada PT. MNC selama sepuluh tahun.
Pemberian izin ini tentu sangat mengejutkan warga karena sebelumnya tidak ada sosialisasi. Warga kemudian menolak karena mengkhawatirkan dampak lingkungan yang akan terjadi apabila penambangan pasir besi berlangsung. Kekhawatiran ini sangat beralasan karena sesuai Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah 2009–2029 Pasal 55, pantai selatan Jawa masuk di dalam kategori kawasan rawan tsunami (Cahyati, 2014).

Alasan lain ditolaknya penambangan pasir yang masuk ke wilayah Urutsewu oleh warga adalah masuknya Kecamatan Buluspesantren, Ambal, dan Mirit ke dalam kawasan sempadan pantai. Artinya di wilayah ini tidak boleh dilakukan pembangunan kawasan terbangun atau kegiatan yang dapat merusak lingkungan pantai dan sekitarnya. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.10/Men/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, sempadan pantai adalah daerah sepanjang pantai yang diperuntukkan bagi pengamanan dan pelestarian pantai (Cahyati, 2014). Oleh sebab itu, pemanfaatan dan pengelolaan wilayah ini difokuskan untuk kegiatan yang berkaitan dengan fungsi konservasi dan harus steril atau terbebas dari kegiatan pembangunan.

Tanah Urutsewu: Milik Siapa?

Sudah hampir delapan tahun sejak peristiwa berdarah 16 April 2011 belum ada kepastian untuk masyarakat Urutsewu dalam memperoleh haknya atas tanah.

Perjuangan semakin berat ketika BPN pun tanpa penjelasan yang memadai merevisi luasan tanah yang dimiliki oleh warga Desa Entak Kecamatan Ambal sehingga banyak yang berkurang. Dari sebanyak 1193 warga yang mengajukan PTSL pada Bulan Oktober 2018 yang hasilnya diterima pada awal Desember 2018 dan ditarik kembali pada akhir bulan itu juga, baru 33 sertifikat yang dikembalikan dan direvisi.  Seorang warga bernama Sarimin, misalnya, tanahnya berkurang 777 m2, dari semula seluas 922 m2 menjadi 145 m2. Seorang lainnya, Watijo juga demikian. Tanahnya yang sebelumnya adalah seluas 1481 m2, dalam sertifikat yang baru luasannya menjadi 849 m2, berkurang 632 m2. Pihak desa yang merasa apa yang diterima tidak sesuai dengan apa yang diajukan tentu menolak sertifikat hasil revisi itu dan mengembalikannya ke BPN. Sebab desa pun memiliki Letter C sebagai bukti kuat kepemilikan tanah yang juga diakui oleh BPN.

Kronologi kepemilikan tanah di wilayah ini bisa dirunut dari masa pemerintahan Bupati Ambal, R. Poerbonegoro (1830-1871). Pada masa itu telah dilakukan kebijakan yang cukup mendasar yang dalam istilah kebijakan tanah modern disebut sebagai kebijakan landreform sekaligus konsolidasi tanah. Kebijakan yang dimaksud adalah penataan tanah dengan sistem “galur larak”. 

Dalam  peta bidang  tanah yang ada sampai  sekarang,  tampak  sekali sistem  galur larak ini, yakni pembidangan selebar  2-4 meter memanjang  mulai dari tengah  desa hingga  ke selatan  sampai pesisir (banyu asin).   Bidang-bidang tanah tersebut kemudian dibagi kepada masyarakat.

Pada tahun 1920 terjadi kebijakan penggabungan desa-desa di Urutsewu. Sejumlah 2  sampai dengan 4 desa digabung menjadi satu.  kebijakan ini adalah bagian dari kebijakan  Agrarische  Reorganisastie  atau reorganisasi  agraria  yang mengakhiri sistem tradisional apanase-bekel di vorstenlanden (wilayah kerajaan). Atau dalam bahasa lokal kebumen disebut dengan istilah Blengketan. Pada tahun 1922 dilakukan pengukuran pemetaan serta pengadministrasian tanah pada masing-masing desa hasil blengketan yang dikenal dengan istilah klangsiran siti (pengukuran tanah) yang  meliputi pencatatan  tanah milik perorangan,  tanah bengkok  dan kas desa  yang dalam perkembangannya dimasukan dalam Buku Desa  atau yang dikenal Dengan istilah Buku C DESA.  Kemudian dikenal istilah tanah D I, DII, DIII, DIV dan DV.

Klangsiran dilakukan per-sepuluh tahun. Pada tahun 1932 dilakukan pengukuran kembali atau klangsiran tahap II. Pengukuran kali ini dilakukan oleh mantri klangsir, dengan pelibatan masyarakat Urutsewu. Kali ini pengukuran dimaksudkan untuk membuat klasifikasi tanah  berdasarkan penggunaannya sehingga dari situ diketahui besaran pajaknya. 

Klangsiran ini menghasilkan 4 kelas nilai tanah yakni tanah pekarangan (kategori ati), tanah sawah/lahan basah (kategori daging), tanahpesisir/lahan  kering  (kategori  balung),  dan  tanah  batas  desa  (kategori  kulit).

Demikian kategorisasi tanah yang oleh masyarakat dimaknai sebagai kesatuan tubuh bumi.  

Penamaan  dan  pemaknaan  tersebut  adalah  bentuk  kedekatan  akses  dan interaksi atas tanah oleh masyarakat, baik dalam bentuk penguasaan maupun pemilikan. Dari sini kemudian tanah-tanah tersebut dikeluarkan pajaknya (tanah pemajegan). Penarikan pajak terus dilakukan menggunakan pethuk sampai dengan tahun 1960-an. Sebagai misal, di Setrojenar, tanah pesisir masuk dalam Klas D V.

Apa yang dilakukan TNI AD sebetulnya hanya melanjutkan penguasaan illegal kawasan pesisir selatan untuk kawasan militer, sebagaimana dilakukan oleh Pemerintah Belanda pada 1937 dan tentara Jepang pada 194–dua penjajah utama Bangsa Indonesia. Ketika itu, Pemerintah kolonial Belanda menggunakan hasil klangsiran tahun 1937 untuk mengklaim tanah di sepanjang pesisir selatan Urutsewu dengan ditandai pal.

Masyarakat Urutsewu menyebutnya sebagai “tanah kumpeni”. Klaim tanah dari pal ke selatan dengan jarak +- 150-200 meter tersebut ditolak oleh warga sehingga mereka menjuluki penanda tersebut sebagai pal budheg (‘pal yang tidak didengarkan’).

Masyarakat telah menguasai tanah di bibir pantai itu untuk membuat garam yang memang terkenal sejak dulu di wilayah ini. Terlebih pernah terjadi transaksi jual-beli atas tanah pesisir ini pada masa itu serta telah dikenalnya bukti kepemilikan tanah berupa “Letter C” (Cahyati, 2014). Tanah yang sah menjadi milik TNI AD hanya bekas tanah bengkok dan tanah rakyat yang dibeli dari kepala Desa Setrojenar di mana mess Dislitbang TNI AD berdiri.

Respon Islam Atas Konflik Urutsewu

Menurut pandangan Islam, apa yang dilakukan oleh TNI AD dalam hal ini perampasan tanah adalah tindakan yang haram dan sangat tidak dibenarkan oleh Agama. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW berikut ini.

Yahya bin Ayyub, Qutaibah bin Sa’id, dan Ali bin Hujr telah memberitahukan kepada kami, mereka berkata, Isma’il –Ibnu Ja’far- telah memberitahukan kepada kami, dari Al-‘Ala’ bin Abdurrahman, dari Abbas bin Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi, dari Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nufail, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa mengambil sejengkal tanah dengan zhalim, maka Allah akan mengalungkan tujuh lapis bumi kepadanya di Hari Kiamat”. (HR. Muslim: 4108).

Imam An-Nawawi dalam syarahnya mengatakan, hakekat pengalungan dalam hadits di atas terdapat beberapa kemungkinan mengenai maknanya; Pertama, orang tersebut akan dipaksa mengangkat tanah yang dirampasnya; 

Kedua, tanah itu akan diubah oleh Allah menjadi semacam kalung yang diletakkan di lehernya. Arti ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala: “…Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat…” (QS. Ali Imran: 180); 

Ketiga, dosa orang yang merampas tanah itu akan melekat pada dirinya sebagaimana kalung yang melekat di leher pemakainya. Hadits ini mengandung beberapa pelajaran berharga, yaitu pengharaman perbuatan zhalim, pengharaman merampas sesuatu di mana pelakunya mendapat dosa besar, dan penjelasan bahwa adanya perampasan tanah.

Hadits ini merupakan bentuk gugatan Nabi –dan tentu saja Agama Islam terhadap siapa saja yang bertindak zhalim dan merampas tanah milik orang lain. Maka TNI AD yang mengklaim secara sepihak tanah milik warga di kawasan Urutsewu merupakan perampas tanah. Terlebih, itu dilakukan secara paksa dan diwarnai tindak kekerasan maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan zhalim. Oleh sebab itu apa yang dialami oleh warga Urutsewu ini patut mendapat pembelaan dari semua pihak terutama kaum muslimin.

Bagi penulis, membela kaum yang lemah atau dilemahkan adalah sebuah bentuk jihad. Sebagaimana firman Allah SWT: Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo`a: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!” (Annisa: 75).

Tafsir Lengkap Departemen Agama menjelaskan, dalam ayat ini terdapat dorongan yang kuat agar kaum Muslimin berperang di jalan Allah untuk membela saudara-saudara mereka yang tertindas dan yang berada dalam cengkeraman musuh, karena mereka lemah dan tidak berdaya baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak. Keamanan mereka terancam. Mereka tidak mampu membebaskan diri dari cengkeraman musuh, mereka ditindas dan dianiaya oleh penguasa-penguasa yang zalim, mereka tidak berbuat apa-apa selain berdoa memohon pertolongan dan perlindungan dari Allah. Allah mendorong untuk berperang dengan cara yang lebih mendalam, mengetuk pintu hati nurani setiap orang yang masih memiliki perasaan dan keinginan yang baik, dengan menyebutkan keuntungan dan tujuan murni dari peperangan menurut Islam.

Selain itu, dalam hal penggunaan tanah, Islam sangat menganjurkan agar tanah lebih dimanfaatkan untuk menanam tanaman yang memberikan manfaat bagi semua makhluk hidup. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang muslim menanam pohon atau menanam tanaman, lalu tanaman tersebut dimakan oleh burung atau manusia atau hewan ternak, melainkan hal itu bernilai sedekah baginya.” (HR. Bukhari).

Ibn Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa hadis di atas menunjukkan keutamaan menanam tanaman dan mengelola tanah bagi kemanfaatan manusia. Lebih jauh lagi ia menjelaskan bahwa manfaat dari tanaman dan tanah yang dikelola akan membawa pahala dan kebaikan bagi penanam atau pengolahnya jika dimanfaatkan oleh orang lain, bahkan hewan sekalipun (Akmaluddin, 2017).

Betapa pentingnya kita menjaga lingkungan dan dianjurkan untuk tetap menanam bahkan ketika kiamat telah ada di depan mata. dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Jika tiba hari kiamat sedang pada tangan dari kalian bibit pohon kurma maka tanamlah” (HR. Ahmad). Al- Ṣan‘ānī (w. 1182 H) mengatakan bahwa hadis di atas merupakan anjuran dan dorongan agar seseorang melestarikan lingkungannya dan menjaganya sampai akhir hayat, bahkan hingga dunia ini musnah (Akmaludin, 2017).

Dengan demikian benarlah dalam pandangan Islam, mengenai sikap warga yang tetap mempertahankan tanahnya agar senantiasa dapat ditanami dan memberikan manfaat bagi semua makhluk hidup. Dan tetap benar bahwasanya sikap masyarakat untuk menolak tambang pasir besi di wilayah Urutsewu karena itu merupakan bagian dari upaya menjaga lingkungan dari kerusakan. Maka kita pun harus yakin bahwa apa yang diperjuangkan oleh masyarakat Urutsewu adalah hal yang benar dan wajib dibela. Jika mengingat ucapan Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari bahwa petani adalah penolong negeri, maka sudah seharusnya kita membersamai para petani yang memperjuangkan hak atas tanahnya.

Sumber Tulisan:

Wawancara langsung ke Kyai Seniman dan perangkat Desa Entak.
Catatan Kronologi milik Urutsewu Bersatu diperoleh dari Kang Widodo Sunu Nugroho).
Devy Dhian Cahyati, Konflik Agraria di Urut Sewu Pendekatan Ekologi Politik, Yogyakarta: STPN Press, 2014.
Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim (Jilid 7), Terj: Darwis, Muhtadi, Fathoni Muhammad, Jakarta Timur: Darus Sunnah Press, Cet. 2, 2013.
Akmaluddin, Pesan Profetik Lingkungan dalam Hadits, Jurnal Penelitian Vol. 14 No. 2, 2017.
Tafsir Lengkap Departemen Agama dalam Aplikasi Qur’an in Word.

Bupati Kebumen Minta Warga Kumpulkan Surat-Surat Tanah


Gatra.com | 11 Sep 2019 19:42

Warga Urut Sewu mengadu kepada Bupati Kebumen, Yazid Mahfudz, di Pendopo Bupati, usai insiden kekerasan oleh TNI di Desa Brecong, Kebumen. (GATRA/Ridlo Susanto/ar)

Kebumen, Gatra.com – Bupati Kebumen, Yazid Mahfudz meminta agar warga di kawasan sengketa lahan antara warga dengan TNI di Urut Sewu, Kebumen, mengumpulkan surat-surat tanah yang dimiliki.

Yazid mengatakan, pengumpulan surat tanah itu dilakukan untuk penyelesaian konflik tanah antara warga dengan TNI yang sudah terjadi selama 18 tahun.

Bupati Kebumen, Yazid Mahfudz menemui demonstran di pendopo bupati kebumen, Rabu (11/9). (GATRA/Ridlo Susanto/ar)

Yazid mengklaim telah memerintahkan tiga camat di wilayah Urut Sewu untuk berkoordinasi dengan 15 kepala desa untuk secepatnya mengumpulkan surat-surat tanah ini. Bentuk surat tanah bisa sertifikat, leter C, SPPT, maupun surat-surat keterangan lain yang menunjukkan bahwa tanah tersebut merupakan milik warga.
“Saya sudah memerintahkan beberapa camat yang ada di situ ya. Yakni Kecamatan Buluspesantren, Kecamatan Ambal dan kecamatan Mirit. Dan desa yang terlibat di situ ada 15 desa, Mas,” katanya kepada gatra.com.
Setelah terdata, pihaknya akan berkoordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mencocokkan data tersebut. Selanjutnya, Pemda Kebumen akan berkoordinasi dengan Gubernur Jawa Tengah yang akan melanjutkan penyelesaiannya kepada presiden.
“Tanah-tanah itu yang bersertifikat, ber leter C, atau apapun itu lah namanya, yang warga merasa memiliki. Itu sedang dalam pendataan kami. Nanti data itu kalau sudah terkumpul akan kita cocokkan dengan BPN. Dan akan kita sampaikan kepada gubernur. Ini loh, Pak Gub, masyarakat yang merasa tanahnya dirampas, sekian hektare,” ujarnya.
Dia meminta agar warga kooperatif dengan skema penyelesaian yang tengah dilakukan oleh Pemda Kebumen ini. Dengan begitu, sengketa tanah yang terjadi antara warga dengan TNI bisa secepatnya diselesaikan.
“Warga kalau mau masalah ini selesai juga harus cepat mengumpulkan surat-surat tanah,” ucapnya.
Dia mengakui, sengketa lahan antara warga dengan TNI telah lama terjadi. Warga mengakui bahwa tanah tersebut adalah tanah milik. Tetapi, di sisi lain, TNI pun mengklaim bahwa kawasan tersebut merupakan tanah milik TNI. Konflik mulai terjadi sejak 2001 atau 18 tahun lalu.
“Memang sudah lama. Ini akan mungkin akan kami minta untuk diselesaikan oleh presiden,” ucapnya.
Diketahui, Bentrokan antara warga dengan TNI kembali terjadi di Desa Brecong, Kecamatan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Rabu (11/9). Dalam insiden ini sedikitnya 16 warga terluka.

Sebanyak 15 orang terluka karena pukulan, tendangan dan kekerasan lainnya. Adapun satu korban lainnya terluka akibat tembakan peluru karet.

Reporter: Ridlo Susanto
Editor: Budi Arista

Surat dari Urutsewu untuk PBNU dan Seluruh Nahdliyin soal Konflik Lahan Rabu


11 September 2019 19:15 WIB

Tangkapan layar video: sejumlah oknum TNI tampak beramai-ramai menghantam warga dengan benda tumpul.

Jakarta, NU Online Sebuah video yang menampakkan aksi kekerasan oknum TNI terhadap sejumlah petani menyebar luas di media sosial, Rabu (11/9).

 Beberapa prajurit yang membawa pentungan dan prisai terlihat memukuli dan menendangi warga sipil. Video berdurasi 16 detik itu disebar salah satunya oleh akun Instagram @fnksda (Front Nahdliyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam).  

"Naudzubullah, kekerasan demi kekerasan terhadap rakyat tani semakin masif. Di Sumberanyar Pasuruan, di Urutsewu Kebumen, militer melawan rakyat tani yang mempertahankan tanah untuk maan sehari-hari," tulis akun @fnksda.

Dikutip dari Merdeka, sebanyak 11 warga sipil dikabarkan mengalami luka-luka akibat terlibat bentrok dengan sekelompok prajurit TNI di Desa Brecong, Buluspesantren, Kebumen, hari ini. Bentrokan terjadi karena warga yang sebagian besar petani, berusaha menghalangi TNI yang ingin memagari lahan yang menjadi sengketa antara warga dengan TNI.

Konflik sengketa lahan TNI dan warga sudah terjadi sejak lama.   NU Online, Rabu (11/9), menerima surat terbuka dari Forum Petani Paguyuban Kebumen Selatan (FPPKS).

Mereka mengundang hadirnya simpati dan uluran tangan dari PBNU dan seluruh Nahdliyin.

Berikut bunyi surat selengkapnya:  

Kepada Yth: Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Seluruh Warga Nahdliyin   Assalamualaikum wr. wb.  Dengan hormat, Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi perjuangan kaum mustadl’afin.  

Melalui surat ini kami sampaikan kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan seluruh warga Nahdliyinmengenai apa yang menjadi keresahan hati kami selama ini. Kami segenap warga Nahdlatul Ulama (NU) di Kawasan Urutsewu saat ini tengah menghadapi permasalahan yang tak kunjung dapat terselesaikan. Sejak tahun 2011, kami berjuang agar apa yang menjadi hak kami dapat dikembalikan. Adalah tanah yang selama ini menjadi sumber penghidupan dan aktivitas warga di kawasan pesisir selatan Urutsewu yang diklaim menjadi milik negara/Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (AD)/proyek pemerintah membuat warga harus berjuang untuk mendapatkannya kembali.   Berawal dari izin menggunakan tempat untuk latihan uji coba senjata, sejak tahun 1982, TNI AD perlahan tidak lagi menghormati kami sebagai pemilik tanah.

Hingga akhirnya mengklaim bahwa tanah itu merupakan tanah negara. Terakhir TNI AD mengatakan bahwa pemagaran yang telah dan sedang dilakukan merupakan proyek dari Kementerian Keuangan. Menghadapi TNI AD yang berlaku sewenang-wenang atas tanah kami tidak membuat kami diam dan merelakan tanah kami begitu saja. Sebab tanah itu memang milik masyarakat Urutsewu sejak sebelum kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Bukti sertifikat semuanya ada.  

Berulangkali kami sampaikan dalam forum-forum pertemuan maupun mediasi ke Bupati, Dandim, dan Komnas HAM bahwa kami hanya ingin tanah yang telah dirampas oleh TNI AD bisa kembali ke tangan masyarakat. Tetapi sampai saat ini tidak ada itikad baik dari TNI AD untuk melepaskan tanah tersebut. Bahkan di lapangan, kami terpaksa berhadapan dengan senjata TNI AD ketika menolak upaya pemagaran yang mereka lakukan pada tahun 2015.

TNI AD pun tak segan menembaki warga yang melawan. Trauma atas kejadian tersebut tentu sangat kami rasakan sampai sekarang.  

Bulan Juli 2019, TNI kembali melanjutkan pemagaran, yang sebelumnya berupa pagar kawat dan sekarang menggunakan beton di atas tanah warga, masih tanpa persetujuan pemilik tanah. Penggunaan beton jelas bertujuan supaya tidak ada yang dapat merubuhkan pagar yang dibangun TNI AD. Meskipun kami masih dapat mengelola tanah yang kami miliki dengan jalan memutar yang semakin jauh, ketakutan kami bahwa suatu saat tanah itu akan benar-benar diambil oleh TNI AD benar-benar kami rasakan.   

Perampasan itu semakin jelas dilakukan ketika tahun lalu, tepatnya bulan Oktober 2018 masyarakat Desa Entak Kecamatan Ambal melakukan pendaftaran sertipikat tanah (PTSL). Oleh BPN sertipikat yang telah jadi pada awal bulan Desember ditarik kembali pada akhir bulan itu juga. Penarikan dengan alasan revisi itu tidak menyertakan apa alasan revisi. Dan setelah warga menerima hasil revisi, rupanya tanah warga telah banyak berkurang terutama untuk yang berbatasan langsung dengan pesisir. Kami menduga ini juga merupakan upaya TNI AD untuk pelan-pelan merampas tanah kami. Karena itulah dengan kondisi lembaga negara yang mudah ditekan sedemikian rupa, kami pun menghindari upaya hukum dan mengedepankan langkah non-litigasi. Sebab apabila kami membawa kasus ini ke ranah hukum, ketika hukum telah dibeli, kemungkinan kami akan kalah dan kehilangan tanah, dan apa yang telah kami lakukan selama ini sia-sia saja.  

Hari ini, tepatnya pada 11 September 2019, kami berusaha menghentikan proses pemagaran di Desa Brecong. Upaya kami dibalas oleh TNI AD dengan hantaman senjata, pukulan tangan, dan injakan kaki bersepatu lars. Belasan warga menjadi korban kekerasan tersebut. Karena ketidaksanggupan kami menghadapi para serdadu itu, kamipun pergi mengadu ke Bupati. Beliau berjanji akan menghentikan pemagaran tetapi tanpa bukti tertulis.  

Maka, selain meminta kepada Allah Maha Kuasa melalui doa-doa dalam berbagai amalan NU seperti istighotsah, kami juga memohon kepada seluruh masyarakat Indonesia, terkhusus kepada NU secara organisasi untuk dapat membantu kami dalam menyelesaikan masalah ini agar apa yang kami perjuangkan mendapat keberhasilan. Sebab hampir semua lembaga di bawah, mulai dari tingkat kecamatan sampai daerah seolah lumpuh.

Dandim yang sering bermediasi dengan kami, selalu berdalih bahwa ini merupakan perintah pusat yang harus dijalankan sehingga tidak dapat lagi diajak untuk bermusyawarah.  

Kami warga NU tentu tidak lupa dengan amanat atas berbagai keputusan Bahtsul Masail yang selalu berpihak kepada kemaslahatan umat, terutama dalam masalah agraria. Seperti dalam keputusan Bahtsul Masail al-Diniyah al-Maudlu’iyyah NU di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri pada 21-27 November 1999, bahwa NU merekomendasikan kepada pemerintah untuk memberikan hak tanam kepada petani yang kekurangan atau tak memiliki lahan pada tanah negara dalam jangka panjang, supaya mereka bisa mengambil manfaat darinya.

Dan untuk mencapai tujuan itu pemerintah harus memberdayakan dan melindungi hak rakyat miskin dari eksploitasi dan agresi kelompok yang lebih kuat. Dalam hal ini jelas posisi warga NU di kawasan Urutsewu merupakan kelompok lemah yang menghadapi kekuatan besar seperti angkatan militer TNI AD.  

Maka kepada PBNU, kami mohon supaya dapat sekiranya membantu kami para warga NU yang lemah ini agar dapat segera menyelesaikan permasalahan tersebut.

Dan kepada seluruh warga Nahdliyin untuk turut mendukung dan mendoakan perjuangan kami agar tanah tempat kami menggantungkan hidup tidak dirampas oleh siapa pun.  

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq  
Wassalamualaikum wr. wb.  

Urutsewu, 11 September 2019
  
TTD.  
Ketua Forum Petani Paguyuban Kebumen Selatan (FPPKS)
Seniman Marto Dikromo

nu.or.id