Reporter: Petrik Matanasi | 05 Oktober, 2017
Sebagai kekuatan militer terbesar, angkatan darat Indonesia memiliki pabrik senjata sendiri sedari zaman kolonial.
Sedari zaman kolonial, Angkatan Darat adalah angkatan perang terbesar di Hindia Belanda. Laut luas memang harus dijaga, tetapi bagi pemerintah di zaman kolonial, keamanan dan ketertiban serta ketundukan rakyat di daratan adalah yang utama.
Buat menjaga kawasan jajahannya dari gelombang perlawanan dan pemberontakan, pasokan senjata pasukan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) diimpor dari negeri Belanda. Salah satunya adalah senapan laras panjang rancangan Edouard de Beaumont (1841-1895) dari Maastricht.
Menurut John Walter dalam Rifles of the World (1993), senapan Beaumont berisi lima peluru dalam magazin Vitali pada 1870 adalah pengganti dari senapan isi satu peluru Dutch Snider. Senjata itu dikapalkan ke Hindia Belanda dan dipakai dalam Perang Aceh yang meletus sejak 1873.
Pada masa awal Perang Aceh, belum semua serdadu KNIL memakai senapan Beaumont, menurut wartawan asal Belanda, Paul van't Veer dalam Perang Aceh: Kegagalan Snouck Hurgronje (1985). Ada batalion yang masih memakai senapan lawas, yang pelurunya harus diisi dari depan. Meski senapan-senapan harus diimpor, sebenarnya sudah ada pabrik senjata di Hindia Belanda.
“Tahun 1808, selama Perang Napoleon dan blokade Inggris, Gubernur Jenderal Deandels menjadikan Surabaya sebagai tempat gudang persenjataan, yang belakangan berkembang menjadi industri penting,” tulis Haword Dick dalam Surabaya, City of Work: A Socioeconomic History, 1900-2000 (2002).
Menurut Robert E. Walker dalam Cartridges and Firearm Identification (2012), arsenal itu berfungsi sebagai bengkel perbaikan alat-alat militer. Sejak 1 Januari 1851, nama Artillerie Constructie Winkel mulai dipakai untuk menyebut bengkel tersebut.
Dalam laman sejarah Pindad, bengkel pembuatan amunisi dan bahan peledak untuk Angkatan Laut didirikan pada 1850 di Surabaya dengan nama Pyrotechnische Werkplaats. Dua pabrik itu disatukan di bawah bendera Artillerie Constructie Winkel.
Pabrik di Surabaya kemudian dipindah ke Bandung. Begitu juga instalasi lain seperti pabrik mesiu di Ngawi, pabrik proyektil dan laboratorium kimia di Semarang, serta lembaga pendidikan pemeliharaan dan perbaikan senjata di Jatinegara (Jakarta). Kesemuanya disatukan dalam Artillerie Inrichtingen.
Setelah pabrik senjata serta amunisinya dipindah ke Bandung, pernah ada percobaan dari serdadu-serdadu KNIL Minahasa meledakannya.
Minahasa Courant edisi 1 Oktober 1927 mencatat ada serdadu-serdadu asal Minahasa yang ditahan karena dituduh hendak mengadakan penyerangan ke Pyrotechnische Werkplaats. Salah satu tokohnya adalah serdadu bernama Woentoe. Sebelum penyerangan, menurut catatan M. Balfast dalam Dr. Tjipto Mangunkusumo: Demokrat Sejati (1952), seorang kopral asal Minahasa pernah mendatanginya. Kopral itu lalu diberi uang oleh Cipto karena hendak mengunjungi keluarganya sebelum penyerangan.
Sebelum Bernama Pindad
Pabrik senjata di Bandung itu punya ribuan pegawai. Menurut kesaksian Kek Beng Kwee dalam Doea Poeloe Lima Tahon Sebagi Wartawan: 1922-1947 (1948), kenaikan penting jumlah pegawai itu setelah Negeri Belanda diserang oleh balatentara fasis Jerman pada 10 Mei 1940.
“Selewatnya, 10 Mei 1940, pegawai-pegawai dari Pyrotechnische Werkplaats di Bandung ditambah, dari 2.300 sampai 25.000. Artillerie Constructie Winkel punya punggawa, naik dari 750 sampe 5.000,” tulis Kek Beng Kwee.
Setelah Hindia Belanda kalah, pabrik senjata di Bandung beralih ke tangan militer Jepang dan dinamai Daichi Ichi Kozo. Setelah Indonesia merdeka, 9 Oktober 1945, pabrik senjata ini jatuh ke tangan Republik dan dinamai Pabrik Senjata Kiaracondong. Namun, ketika kota Bandung diduduki tentara Belanda, pabrik senjata itu jatuh ke tangan Belanda.
Tentara agresi Belanda menamakan kompleks pabrik tersebut sebagai Leger Produktie Bedrijven alias Perusahaan Produksi Angkatan Darat.
Ketika Belanda menguasai pabrik senjata di Bandung, pihak Republik pun mengusahakan pabrik senjata sejak 1946, yakni Medari dan Demak Ijo—keduanya di sekitar Yogyakarta. Ketika Belanda menyerbu Yogyakarta, pabrik-pabrik itu dimusnahkan sendiri oleh pihak Republik.
Setelah pengakuan Kedaulatan 1949, pabrik senjata di Bandung pun diserahkan ke Republik Indonesia. Pabrik itu kerap ganti nama. Dari Pabrik Senjata dan Mesiu pada 1950; Pabrik Alat Peralatan Angkatan Darat pada 1958; Perindustrian TNI Angkatan Darat (Pindad) pada 1962; Komando Perindustrian TNI Angkatan Darat pada 1972, dan kembali bernama Pindad pada 1976. Pabrik ini telah menghasilkan pelbagai jenis peluru untuk meriam, mortir, senapan, granat tangan, dan bom.
Pada 1983, pabrik senjata Pindad menjadi perusahaan negara dan Angkatan Darat adalah satu-satunya angkatan militer yang punya pabrik senjata. Sebagai angkatan dengan personel terbanyak, tentu saja banyak senjata ringan buatan Pindad dipakai prajurit Angkatan Darat.
Meski Pindad sudah memproduksi pistol, senapan ringan untuk infanteri (SS) hingga panser, tetapi tak semua peralatan tempur untuk TNI betul-betul dipasok dari produk dalam negeri alias buatan Pindad.
0 komentar:
Posting Komentar