Kamis, 09 Juli 2015

Konflik Lahan Urut Sewu | TNI Pasang Pagar di Lahan yang Diaku Milik Rakyat



KEBUMEN, KOMPAS — Konflik tanah di kawasan Urut Sewu, pesisir selatan Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, terus berlanjut. Ribuan petani, Rabu (8/7), berunjuk rasa di depan Gedung DPRD Kebumen, menolak pemagaran lahan Urut Sewu oleh TNI Angkatan Darat.

Dari hasil audiensi dengan DPRD, mereka sepakat membawa persoalan tersebut ke pemerintah pusat.

Di Palembang, empat anggota tim mediasi konflik lahan yang terdiri dari perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mengalami pemukulan saat menengahi konflik lahan antara warga Desa Bumi Mekar dan PT Musi Hutan Persada di Kabupaten Musirawas, Sumatera Selatan. Peristiwa itu terjadi saat tim meminta petugas dari PT Musi Hutan Persada menunda penggusuran kebun karet garapan masyarakat.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan Hadi Jatmiko mengatakan, keempat anggota tim tersebut ditangkap dan ditahan tangannya di punggung serta dipukul, Selasa (7/7). Mereka adalah Hairul Sobri dan M Syarifuddin dari tim basis data pemetaan Walhi serta Daru Adianto dan Yuli Prasetya Nugroho dari tim konflik tenurial dan hutan adat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

"Saat itu mereka tengah mendekati lokasi ekskavator yang tengah meratakan kebun karet untuk meminta agar penggusuran lahan ditunda dan didiskusikan kembali," katanya di Palembang, Sumsel, Rabu.

Dihentikan

Sedikitnya 1.000 petani mendatangi kantor DPRD di kawasan alun-alun Kebumen dengan motor dan truk. Mereka membawa puluhan spanduk bertuliskan pesan protes atas pemagaran lahan Urut Sewu oleh TNI yang sudah dilakukan beberapa bulan terakhir. Petani mengklaim pemagaran dilakukan di atas tanah mereka.

Sengketa tanah antara petani dan TNI AD berlangsung sejak 2009. Kawasan yang disengketakan mencakup tanah selebar 500 meter dari garis pantai sepanjang 22,5 kilometer dari Sungai Luk Ulo hingga Sungai Wawar.
TNI mengklaim kawasan tersebut sebagai wilayah pertahanan dan keamanan sehingga dijadikan areal latihan perang serta uji coba senjata. TNI juga membangun kantor di lokasi itu.

Sementara itu, petani juga mengklaim tanah tersebut dengan bukti letter C dari desa. Mereka menginginkan kawasan tersebut dijadikan areal pertanian dan wisata. Puncak ketegangan antara TNI dan petani terjadi April 2011 saat konflik fisik yang menimbulkan jatuhnya korban luka.

Dalam Rancangan Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kebumen 2011-2031, wilayah Urut Sewu difungsikan bagi kawasan pertahanan dan keamanan dan juga pengembangan agrowisata serta pertanian.

Ketua Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS) Seniman mengatakan, pemagaran wilayah Urut Sewu seluas 1.150 hektar dilakukan tanpa persetujuan warga. Sejak ada pemagaran, petani kesulitan mengerjakan lahan pertaniannya.

Massa petani akhirnya diterima untuk beraudiensi dengan DPRD. Berdasarkan pantauan Kompas, petani kecewa karena DPRD ternyata juga mengundang massa pro pemagaran yang datang dikawal satu regu TNI AD bersenjata laras panjang.

Ketua Komisi A DPRD Kebumen Yudi Tri Hartanto mengatakan, pihaknya hanya bisa memfasilitasi petani untuk bertemu dengan instansi di pemerintah pusat yang bisa menyelesaikan sengketa tersebut.

Koordinator Urut Sewu Bersatu Widodo Sunu Nugroho menuntut proses sertifikasi tanah yang saat ini dilakukan TNI dihentikan.
Komandan Distrik Militer 0709/Kebumen Letnan Kolonel Infanteri Putra Widya Winaya mengatakan, pemagaran tahap kedua akan tetap dilaksanakan sepanjang 8 kilometer di lima desa. Total lahan yang dipagar 23 kilometer.

Menurut Putra, pagar dibuat untuk membatasi lahan untuk latihan dengan tanah milik rakyat. (GRE/IRE)

0 komentar:

Posting Komentar