Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
(Jakarta, 17 Oktober 2016), Sekira 75-an orang dari Desa Surokonto
Wetan, Kabupaten Kendal mendatangi Kementrian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan
pengaduan. Mereka adalah perwakilan para petani yang terusir karena
tukar menukar kawasan hutan atas nama PT Semen Indonesia (Persero), Tbk
utuk lokasi plant site pabrik dan tambang di Kabupaten Rembang, Jawa
Tengah berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan RI nomor :
SK.643/MENHUT-II/2013 tanggal 25 september 2013 tentang penunjukan
kawasan hutan produksi tetap yang berasal dari lahan pengganti dalam
rangka tukar menukar kawasan hutan atas nama PT. SI yang terletak di
desa Surokonto Wetan, kecamatan Pageruyung, Kab. Kendal Provinsi Jateng
seluas + 127, 821 Ha.
Nur Aziz selaku perwakilan warg, secara
khusus menjelaskan kedatangan mereka diterima oleh Dirjen Planologi
Kehutanan dan Tata Lingkungan – KLHK, San Afri Awang. “Saya mendampingi
warga saya, bertemu Pak San Afri Awang karena mendengar kabar dari
dulur-dulur kami di Rembang, bahwa Mahkamah Agung dalam perkara dengan
nomor register 99 PK/TUN/2016 mengabulkan Peninjauan Kembali warga
Rembang sehingga ijin lingkungan PT Semen Indonesia batal demi hukum.”
“Kami merasa perlu bertemu Pak San Afri Awang, karena desa kami menjadi
lokasi tukar guling PT Semen Indonesia, Desa kami ditetapkan menjadi
kawasan hutan. Padahal warga kami sudah dari tahun1972 mengelola tanah
secara produktif. Akibat dari penetapan kawasan hutan itu, 26 orang
petani dilaporkan ke Polres kendal dengan tuduhan Pasal 94 jo 19
Undang-Undang nomor 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan
pengrusakan hutan. Saat ini ada 3 orang menjadi terdakwa dan sedang
menjalani sidang di Pengadilan Negeri Kendal.” tuturnya.
Berdasarkan pusat data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang lokasi lahan
pengganti dalam rangka tukar menukar kawasan hutan itu diduga belum
clear and clean. Lokasi lahan pengganti itu adalah eks tanah Hak Guna
Usaha (HGU) yang menjadi sengketa antara Sekecer Wringinsari dan PT
sumurpitu. Sementara itu, lahan tersebut juga telah dikelola dan
ditanami tanaman musiman oleh warga sejak tahun 1972.
“Negara
kita adalah negara hukum, dengan batalnya ijin lingkungan PT Semen
Indonesia, maka seharusnya Kementrian Lingkungan Hidup segera
membatalkan keputusan Menteri Kehutanan RI nomor: SK.643/MENHUT-II/2013
tanggal 25 september 2013.“ tutup Atma , LBH Semarang. *** NUR AZIZ : 0812-2900-4869
Sabtu 15 Oct 2016, 18:41 WIB Erliana Riady - detikNews
Puluhan petani di Blitar ditangkap/Foto: Erliana Riady
Blitar - Puluhan petani dari Desa Ngadirenggo RT 01/RW 15
Kecamatan Wlingi Kabupaten Blitar, ditangkap polisi saat menanami lahan
yang diklaim milik leluhurnya, Sabtu (15/10/2016).
Sis, salah
satu petani yang ikut diamankan mengaku bingung kenapa dirinya
ditangkap. Padahal dia hanya menanam ketela pohon di lahan yang sudah
puluhan tahun digarap keluarganya.
"Saya ini menanam ketela, lha
kok tiba-tiba ditangkap ini kenapa. Kalau memang tidak boleh ditanami
mbok ya dijaga polisi. Kami dikasi tahu, jangan ditangkap seperti ini,
wong keluarga saya sudah puluhan tahun nanami lahan ini," katanya.
Kapolres
Blitar AKBP Slamet Waloya menyebut dua warga dinyatakan sebagai
provokator. Sedangkan 42 petani lainnya diberikan pasal tipiring.
"Dua
orang atas nama SJ dan DR kami tetapkan sebagai provokator. Penangkapan
ini kami lakukan setelah ada mediasi antara dua pihak dan memberikan
penjelasan hukum kepada warga. Namun mereka bersikeras menyatakan jika
itu merupakan tanah leluhurnya," ungkapnya.
Penangkapan dilakukan
atas laporan Suparto (71) warga Dusun Popoh RT 02/RW 01 Kecamatan
Selopuro Kabupatena Blitar. Pelapor yakni pimpinan di PT Dewi Sri
Perkebunan Sengon yang memegang sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) No 13
yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang berlaku hingga
tahun 2036.
PT Dewi Sri selama ini menanam karet, kopi dan
cengkeh. Dalam laporannya dinyatakan bahwa selama ini terdapat
sekelompok orang warga dekat kebun dipimpin SJ dan DR yang berusaha
menguasai tanah kebun.
Dan pada hari Selasa (11/10) sekitar pukul
09.00 WIB di rumah DR beralamat di Dusun Sumberarum RT 01/RW 10 Desa
Tegalasri Kec. Wlingi sebanyak kurang lebih 50 petani dikumpulkan.
DR,
kata Suparto, mengajak orang-orang tersebut menanami tanah milik PT
Dewi Sri Perkebunan Sengon dengan tanaman Palawija yang sedianya
dilakukan 15 Oktober 2016.
Saat ini, 42 petani yang terkait
tipiring sudah dipulangkan dengan sanksi wajib lapor. Sementara dua
orang diduga sebagai provokator masih diperiksa polisi. Mereka terancam
pasal 160 tentang penghasutan.
Sementara, Trianto selaku penggiat reforma Agraria Blitar mengecam penangkapan terhadap puluhan petani yang dilakukan polisi.
"Ini
adalah ekses dari perlunya segera dilakukan reforma agraria,
penangkapan itu tidak perlu dilakukan. Seharusnya negara hadir disaat
seperrti ini sebagai mediator antara warga dan pemegang HGU untuk
mendapatkan kesepakatan bersama," pungkasnya.
(fat/fat)
ilustrasi oleh Andreas Iswinarto (kerja.pembebasan)
KULONPROGO merupakan salah satu wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) yang terletak di wilayah selatan Samudra Hindia. Awal mula
lahirnya Kulonprogo tidak terlepas dari peristiwa penyerangan Raden
Trunojoyo ke kerajaan Mataram yang kala itu dipimpin oleh Amangkurat I.
Peristiwa penyerangan itu terjadi sekitar tahun 1674, dengan
kekalahan di kubu kerajaan Mataram. Amangkurat I pun melarikan diri dan
meminta bantuan ke Belanda. Karena wilayah Mataram yang kosong, maka
dipimpinlah oleh Adipati Anom yang kala itu mendeklarasikan dirinya
menjadi raja Mataram dengan gelar Amangkurat II. Tak lama berselang,
raja baru ini kemudian berhasil menundukkan pemberontakan Tronojoyo
melalui bantuan Bupati Ponorogo dengan pasukan khusunya para Warok.
Keberhasilan penumpasan disambut dengan pemberian hadiah istimewa kepada
Warok, berupa lahan yang berada di sebalah barat kraton Mataram.
Wilayah tersebut kemudian diberi nama Kulon Ponorogo lalu berubah
menjadi Kulon Progo.
Seiring bergantinya kepemimpinan kerajaan Mataram, belum terusik
secercak nasib Kulon Progo. Hingga tiba pada suatu masa lahirlah sebuah
perjanjian Giyanti yang melibatkan VOC dan kerajaan Mataram pada tanggal
13 Februari 1755. Perjanjian tersebut melahirkan beberapa kesepakatan,
diantaranya adalah pembagian wilayah Mataram menjadi dua bagian, yakni
wilayah di sebelah timur dan wilayah sebelah barat, yang selanjutnya
menyebabkan kerajaan pecah menjadi dua bagian. Lebih jelasnya, untuk
wilayah Kali Opak-melintasi daerah Prambanan
dikuasai oleh pewaris tahta Mataram (yaitu Sunan Pakubuwana III) yang
berkedudukan di Surakarta. Adapun untuk bagian wilayah di sebelah barat –
wilayah pusat kerajaan Mataram yang sesungguhnya, diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Yogyakarta.
Jika kita menelisik lebih dalam akan Perjanjian Giyanti 1755 sebagai
asal-usul Kasultanan dan Perjanjian Paku Alam-Rafles 1813 sebagai
asal-usul Pakualaman, sebenarnya tidak ada sama sekali yang menyebutkan
bahwa Kraton adalah pemilik sah dari seluruh tanah di wilayah DIY. Kedua
perjanjian tersebut justru menyatakan bahwa Kasultanan Yogyakarta
(1755-1945) dan Kadipaten Pakualaman (1813-1945) adalah Badan Hukum
Swapraja Feodal, berada di bawah kedaulatan Pemerintah Kolonial, tunduk
pada Hukum Kolonial (Rijksblad), dan sejak semula tidak pernah memiliki tanah, sehingga tidak pernah mewariskan tanah
Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Pada tahun 1961, bekas tanah-tanah swapraja telah menjadi objek Reforma Agraria (landreform)
melalui PP No 224 /1961. Kemudian Pada 1984, melalui Keputusan Presiden
33/1984 tentang Pemberlakuan UUPA sepenuhnya di DIY, diterbitkan karena
desakan Sri Sultan HB IX (Kepala Daerah) dan DPRD, aturan ini pun mulai
berlaku sejak 1 April 1984.
Selain itu, hal yang juga tidak bisa dilewatkan adalah adanya
dinamika politik yang tercatat dalam serpihan sejarah ihkwal penerbitan
Keputusan Presiden. Yakni diterbitkanya Perda DIY No 3 Tahun 1984.
Melalui Kemendagri No 66/1984 dan Perda DIY No 3/1984 yang isinya
menghapuskan Rijksblad-rijksblad yang jadi dasar hukum Sultan
Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG). Bisa diartikan bahwa sejak
1984, secara resmi dan atau bisa diastikan jika sudah tidak ada SG/PAG
lagi di DIY. Bukti bahwa SG/PAG tidak berlaku kemudian diterbitkanya
sertifikat hak milik dari tanah dari letter C/D/E yang pada tahun 1918
tidak bersertifikat.
Ketika SG dan PAG sudah dinyatakan tidak berlaku oleh HB IX, banyak
warga di wilayah pesisir Kulonprogo dan sekitarnya kemudian membuka
lahan baru, yang awalnya merupakan alas dan semak- semak tak
berpenghuni. Tak hanya itu, banyak warga juga yang mendiami wilayah
pesisir mulai bercocok tanam, karena melihat lahan kosong tak
berproduksi. Maka rakyat itu kemudian menyulap lahan kosong tersebut
menjadi lahan pertanian untuk menunjang kehidupan masyarakat.
Namun apa yang terjadi saat ini? Di wilayah Kulonprogo hampir
seluruhnya diklaim sebagai tanah SG dan PAG melalui produk Undang-Undang
Kesitimewaan nomor 13 tahun 2012 yang dilahirkan kembali sebagai sebuah
upaya untuk menguasai tanah di seluruh DIY. Hal tersebut bisa dilihat
dari pasal- pasal yang mempunyai kekuatan besar dalam menghidupkan
kembali roh tanah Sultan dan Pakualaman, di antaranya pasal 5, 7, 32 dan
33 yang menyatakan jika semua tanah yang ada di DIY adalah milik
Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman. Tidak sampai di situ, Sultan HB X
juga pernah dengan tegas mengungkapkan jika di DIY tidak ada tanah
Negara.
Hal inilah kemudian menjadi titik awal munculnya konflik agraria
dengan desa-desus polemik hak atas tanah yang kini diklaim oleh
kasultanan dan Kadipaten Pakualaman melalui legitimasi UUK dengan
simbol-simbol (SG) dan (PAG).
Jika memang dalih-dalih Sultan adalah tinjauan historikal “sejarah
kerajaan”, maka harusnya tanah di Kulonprogo itu bukan lagi milik Sultan
atau Pakualaman. Itu punya kerajaan Mataram dan kerajaan Mataram pun
sudah memberikan hadiah kepada Warok yang berjasa atas penuntasan Raden
Trunojoyo. Warok tersebutlah yang menempati tanah-tanah pemberian
Amangkurat II untuk dihuni. Diperkuat lagi dengan penghapusan SG dan PAG
oleh HB IX. Sehingga tanah di atas tanah yang kini diduduki warga
Kulonprogo sebenaranya tidak ada hubunganya dengan Sultan Ground dan
Pakualaman Ground. Perlawanan Petani di Kulonprogo
Setelah kurang lebih 20 tahun berlalu, gerakan tani kembali bangkit
sebagai aktor yang memainkan peran penting dalam menggerakkan
sektor-sektor pertanian lokal. Para petani berdiri di garis terdepan
untuk melakukan perlawanan terhadap rezim kapitalis-neoliberal. Seperti
halnya yang dilakukan oleh gerakan-gerakan petani di Brazil.
Upaya- upaya perlawanan terus mengelora, bak riak gelombang ombak
yang berderu dari hari ke hari. Tak pernah surut, apalagi behenti. Hal
ini menjadi pertanda jika amuk gerakan petani berbasis lokal memang
menjadi motor penggerak. Mereka (kaum tani) ini secara serentak
melakukan mobilisasi massa, kemudian melakukan pendudukan atas tanah
yang mereka inginkan. Seperti yang dilakukan oleh MST (buruh tani yang
tak bertanah di Brazil), kemudian gerakan petani di Bolivia dan daerah
sekitarnya yang berhasil menurunkan penguasa yang korup dan bahkan mampu
melawan rezin perdangan bebas yang diciptakan oleh Negara
Adidaya-Amerika.
Sampai saat ini cara-cara yang dirasa masih efektif dari perjuangan
petani dengan basis lokal ialah melakukan tindakan turun langsung ke
jalan melalui aksi massa dan menyuarakan suara-suara yang diresahkan
oleh petani. Banyak di antara mereka memlih jalan turun langsung
ketimbang mengupayakan sistem elektoral yang, bagi petani, tidak akan
menyelesaiakn persoalan utama. Sebab tidak ada jalan lain, tipu-tipu
muslihat kaum borjous sudah melekat diigatannya para petani. Ketika kaum
tani sudah bergerak, maka jalan satu-satunya yang dapat mengubah tata
sosial-kultural rakyat adalah dengan turun ke jalan, melakukan blokade,
menduduki pemerintahan, dan kampanye langsung isu-isu yang
diperjuangkan.
Selain itu, kaum tani yang berada di sektor desa pada khusunya, kini
sudah banyak yang menyadari dampak yang diterima jika lahan produktif
mereka diambilalih dan atau diubah menjadi sebuah lahan produksi yang
jauh dari pekerjaan petani. Kesadaran kolektif tersebut kemudian
mengonstruksi stigma perlawanan yang mengakar.
Di wilayah Kulonprogo yang sebagian warganya merupakan petani,
riak-riak perlawanan sudah mulai diteriakkan untuk memperjuangkan hak
atas petani sendiri. Kenapa itu dilakukan? Sebab ruang hidup petani
sudah direbut oleh rezim penguasa yang sudah melahirkan kembali SG dan
PAG.
Kelahirannya tersebut kemudian menuai kontroversi dan bahkan
perlawanan dari rakyat sendiri. Betapa tidak, misi besar dari kelahiran
bayi dengan mengklaim seluruh tanah di DIY sudah menyengsarakan rakyat.
Warga yang menempati tanah mereka sejak dulu, kini mulai mendapatkan
represi yang sangat tinggi dari pemerintahan. Mereka dipukul, ditendang,
dirampas haknya bahkan ada yang sampai di penjara. Kemunculan SG dan
PAG inilah yang menjadi muara dari lahirnya konflik agraria di DIY.
Menurut catatan Pemda DIY, tanah-tanah SG dan PAG yang berhasil
diinventarisir pada 2014 lalu sebanyak 744 bidang, dengan rincian 166
bidang di Kota Jogja, 471 bidang di Bantul, 216 bidang di Kulonprogo, 54
bidang di Gunungkidul dan 137 bidang di Sleman.
Jika dibandingkan dengan tahun 2013, setahun setelah UU disahkan, DIY
juga berhasil menginventarisasi 2.000 bidang di Gunungkidul, 1000
bidang di Bantul. Inventarisir tanah-tanah ini terus dilakukan oleh
pemerintah sampai seluruh tanah berhasil dikuasai. Proses penjarahan tanah besar-besaran yang dilakukan pihak kerajaan
atas nama pemerintah ini kemudian menimbulkan keresahan rakyat.
Ketenangannya diusik, ketentramannya diberangus, sumber kehidupanya
dirampas.
Menyaksikan penderitaan yang kian hari kian menjadi-jadi, rakyat
Kulonprogo kemudian membentuk gerakan sosial yang berorientasi hak atas
tanah dengan misi melawan penguasa yang merampas tanah-tanah rakyat
dengan cara feodalistik. Tak sampai di situ, mereka juga menyusun
agenda-agenda perlawanan baik jangka pendek, menengah dan panjang.
Maka pada 1 April tahun 2006, warga pesisir dari 4 kecamatan dan 10
desa membentuk Paguyuban Petani Lahan Pesisir Kulon Progo (PPLPKP),
dengan misi menolak penambangan pasir besi yang dikelola oleh PT JMI
yang kini sebagian sahamanya dikelola oleh keluarga Sultan HB X.
Perlawanan dengan aksi-aksi langsung kemudian diterapkan oleh gerakan
petani di Kulonprogo, seperti menduduki kantor Lurah, kantor Bupati
sampai Kantor Gubernur. Tidak berhenti di situ, gerakan petani ini
kemudian melakukan kampanye besar-besaran di sepanjang jalan raya yang
menjadi basis perjuangan mereka. Mereka juga tetap menanam walaupun
lahan mereka akan digusur. Bagi warga PPLP “Menanam adalah Melawan”
Melihat reaksi petani yang kencang, pemerintah pada tahun 2014
kemudian mengkriminalisasi Tukijo, salah satu warga PPLP. Tak berselang
lama ia kemudian ditangkap dan dicebloskan ke dalam penjara dengan masa
kuruangan 3 tahun. Tidak sampai di situ, rezim monarki-fasis ini juga
melakukan intimidasi yang kian kuat, agar petani menyerahkan tanahnya.
Namun hal tersebut tidak menyurutkan proses perjuangan petani untuk
terus berjuang. Sampai detik ini, PPLP terus melakukan perlawanan dengan
misi mengembalikan hak yang sepenuhnya dimiliki oleh warga dan menolak
penambangan pasir besi.
Tak hanya PPLP, Wahana Tri Tunggal (WTT) yang juga merupakan gerakan
petani yang lahir atas luapan-luapan kebengisan sang Raja, juga
melakukan perlawanannya. Misi utamannya jelas penolakan bandara
internasional yang akan dibangun di atas lahan pertanian produktif warga
seluas 634,5 hektar.
Rakyat yang sudah sejak dulu menanam, kini harus menerima kenyataan
jika saat ini ada bahaya besar melanda. Pembangunan bandara akan
menggusur 2.87 5KK dengan populasi 11.501 jiwa di 6 desa. Tak hanya itu,
adanya bandara juga akan menghilangkan penghasilan pertanian sebanyak
30 ton semangka, 50 ton cabai, 7, 5on jagung dan 2500 buah melon
permusim tanam dalam hitungan satu hektar tanah warga.
Akumulasi dari keresahan-keresahan rakyat itulah kemudian
mengonstruksi pikiran rakyat untuk terus bertahan dan melawan. Hal ini
selanjutnya menciptakan landasan perjuangan gerakan petani di
Kulonprogo, sehingga mereka masih tetap konsisten berdiri di atas tanah
mereka sendiri. Tak hanya itu, WTT dan PPLP juga merumuskan strategi dan
taktik pelawanan yang konkrit untuk menolak SG dan PAG.
WTT dengan sikapnya tidak mengikuti semua agenda dari pemerintah yang
berkaitan dangan bandara serta membangun propaganda berupa perayaan
hari perjuangan untuk menstimulus perjuangan WTT. Pun hal yang sama
dilakukan oleh PPLP, dimana mereka coba menyuarakan suara-suara rakyat
dengan membuat pamflet-pamflet perjuangan menolak SG dan PAG di
pinggir-pinggir jalan dan membangun jaringan solidaritas kepada seluruh
warga yang terdampak penggusuran oleh rezim penguasa.
Kesamaan misi untuk menolak SG dan PAG menjadikan gerakan petani di
Kulonprogo semakin kuat. Ditambah lagi dengan solidaritas dari
Akademisi-NGO-aktivis, dan kaum miskin kota, sehingga membuat gerakan
petani di Kulonprogo semakin merasakan kepercayaan diri untuk terus
melakukan penolakan atas SG dan PAG.
Hidup manusia memang tidak ada yang abadi. Satu-satunya yang akan
terus ada sampai keturunan yang akan datang hanyalah tanah. Jika tanah
kaum tani sudah dirampas, maka jangan salahkan ketika gelombang
perlawanan muncul dengan jumlah yang besar.
Lantas yang menjadi pertanyaan yang masih terngiyang-ngiyang dalam
benak pikiran, apakah gerakan petani di Kulonprogo akan terus bertahan
dan semakain kuat membendung serangan investor dan penguasa
kapitalis-neoliberalis? Ataukah ini memang menjadi sebuah pertanda akan
muncul Warok-Warok baru untuk melawan penguasa? Bait lagu Dialita dalam album “Dunia Milik Kita” pada judul
lagu ‘Salam Harapan’ mengingatkan kita akan perjuangan WTT dan PPLP yang
gigih berjuang untuk merebut hak hidup mereka. Rakyat pasti akan
menang. Yakinlah!!! Bagai gunung karang di tengah lautanTetap tegak didera gelombangLajulah laju p’rahu kita lajuPasti ‘kan capai pantai cita Penulisaktif di lembaga Komunitas Penikmat Senja Kepustakaan: Sejarah dan Hukum Pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta Berita harian Jogja http://harianjogja.bisnis.com/read/20150807/1/2679/berapakah-luas-sultan-ground-dan-paku-alam-ground, 22 September 2016 Sejarah Kerajaan TrunoJoyo https://id.wikipedia.org/wiki/Trunojoyo, 22 September 2016 Rekam Jejak erjuangan Masyarakat Pesisir Kulonprogo: https://kulonprogotolaktambangbesi.wordpress.com/2011/02/10/rekam-jejak-perjuangan-masyarakat-pesisir-kulon-progo-versi-singkat/, 22 September 2016