Kamis, 31 Oktober 2019

Sekjen KPA Dewi Kartika: Reforma Agraria, Kami Akan Tagih Presiden


Arsito Hidayatullah | Erick Tanjung
Kamis, 31 Oktober 2019 | 16:06 WIB

Ilustrasi wawancara. Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika. [Dok. KPA / Olah gambar Suara.com]

KPA juga menyesalkan masih dipertahankannya Menteri ATR/BPN dan Menteri LHK di kabinet Jokowi periode kedua ini.

Sebagai salah satu poin dalam Nawacita, target reforma agraria dinilai oleh banyak kalangan masih belum tercapai --bahkan masih jauh-- di periode pertama jabatan Presiden Joko Widodo.

Dan Jokowi bukannya tidak sadar soal itu, karena menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) misalnya, Presiden sendiri sudah mendengar langsung penjelasan capaian target 9 juta hektar pelaksanaan reforma agraria dari aktivis dan perwakilan petani, pada acara peringatan Hari Tani Nasional (HTN), 24 September 2019 lalu.

Lantas bagaimana? KPA dalam hal ini mengaku sebagai salah satu pihak yang merasa kecewa. Lebih kecewa lagi, karena Jokowi di pengumuman kabinetnya ternyata masih mempertahankan dua menteri lama, yakni Sofyan Djalil sebagai Menteri ATR/BPN dan Siti Nurbaya sebagai Menteri LHK. Di mata KPA, kedua menteri itu selama 5 tahun terakhir dinilai tidak berhasil memenuhi realisasi reforma agraria melalui redistribusi tanah dan penyelesaian konflik agraria.

Meski demikian, KPA memastikan tetap akan memantau, mendorong dan mengawal perkembangannya, terutama karena Jokowi sendiri telah berkomitmen bahwa ke depan reforma agraria akan langsung dipimpin Presiden. Bahkan KPA memastikan akan menagih komitmen Jokowi tersebut. Seperti apa, dan apa saja catatan serta masukan lainnya dari KPA? Berikut petikan wawancara Suara.com dengan Sekretaris Jenderal atau Sekjen KPA, Dewi Kartika, baru-baru ini.

Bagaimana evaluasi program sertifikasi yang selama ini digaungkan Presiden Jokowi?

Dalam pandangan kita, selama ini yang membuat capaian sertifikasi tanah Presiden Jokowi itu menjadi tidak jelas dan menghambat proses reforma agraria terjadi selama 5 tahun, karena pemerintahan ini lewat Kementerian ATR/BPN mencampuradukkan capaian sertifikasi tanah yang itu hitungannya bidang dan jumlah sertifikat di dalam klaim reforma agraria. Sementara dalam sistem program sertifikasi Jokowi, kan sekarang namanya PTSL, Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap, nah, pendaftaran tanah ini kan tidak mengacu pada UUPA.

Yang dimaksud pendaftaran tanah dalam UU Pokok Agraria (UUPA) itu kan negara wajib mendaftarkan tanah dari tingkat desa ke desa. Jadi dari desa ke desa, itu dicatat, diregister, lalu dari pencatatan desa ke desa itulah diketahui situasi agraria di lapangan. Sebenarnya situasi agraria di lapangan itu semacam apa, siapa menguasai tanah, berapa luas, dipergunakan untuk apa, pihak-pihak mana aja yang menguasai tanah, baik badan usaha ataupun warga negara.

Jadi, kita akan memiliki data tentang situasi agraria mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, sampai nasional. Sehingga kita punya situasi agraria nasional. Sementara, bukan spirit itu yang hendak dibangun oleh PTSL yang sekarang, (itu) tidak sejalan dengan UUPA.

Justru harusnya kalau spirit UUPA itu, dari data yang diambil berdasarkan registrasi, siapa punya apa dan untuk apa, itu kan bisa ketahuan. Misalnya kalau ada tumpang tindih, berarti itu harus diselesaikan sengkarut agrarianya. Kalau ada yang konflik, maka konfliknya harus diselesaikan. Ada petani gurem (yang memiliki atau menyewa lahan pertanian kurang dari 0,5 ha), petani landless, miskin, nggak punya tanah, berarti itu yang harus diakui, diregister dan seterusnya. Jadi dia jadi data reforma agraria sekaligus subyek reforma agraria.

Presiden Jokowi dalam salah satu acara pembagian sertifikat tanah kepada warga, di daerah Cempaka Putih, Jakarta Pusat. (Suara.com/Fakhri Hermansyah)

Nah, sementara PTSL yang dilakukan Jokowi itu kan sekadar administrasi saja. Dia memastikan semakin banyak tanah-tanah bisa disertifikatkan. Tapi kelemahan sistem PTSL itu, konsepnya clear and clean. Kalau clear and clean dikeluarkan sertifikatnya, kalau tidak clear and clean tidak dikeluarkan sertifikatnya. Maka dia dalam boks K2 yang itu artinya tidak bisa diselesaikan. Otomatis mentok lagi dalam PTSL itu, nggak akan ke mana-mana prosesnya.

Tetapi yang menjadi concern utama sebenarnya dari evaluasi, ini tidak hanya terjadi di era Jokowi. Di SBY kan sama ya, RA menyempit ke program sertifikasi tanah. Lalu Jokowi mengulang hal yang sama.

Kita sebenarnya menuntut ke depan, 5 tahun ke depan itu agar capaian PTSL dalam menerbitkan sertifikatnya itu sebaiknya dipisahkan dari program reforma agraria. Sehingga ke depan reforma agraria itu punya capaian yang jelas juga, tidak campur aduk dengan program sertifikasi tanah. Harus dipisahkan. Sertifikasi tanah atau yang dalam kebijakan Jokowi itu kan legalisasi aset, itu kan proyek, program rutinnya Kementerian ATR/BPN. Tanpa reforma agraria pun itu kewajiban negara mensertifikatkan tanah-tanah masyarakat.

Sementara, reforma agraria itu kan untuk mengatasi masalah struktural. Apa itu masalah struktural? Masalah yang dihadapi masyarakat dari tingkat desa, kampung, atau wilayah ataupun perkotaan, yang mereka itu hak atas tanahnya terdiskriminasi atau terlanggar hak konstitusinya karena ada terbit konsesi-konsesi, izin-izin oleh pejabat publik, apakah itu oleh Kementerian ATR, izin tambang, izin HTI oleh KLHK, dan seterusnya. Ini kan bukan membutuhkan legalisasi aset. Yang ada adalah rekognisi dan pengakuan terhadap wilayah-wilayah masyarakat di tingkat desa, kampung. Sebaiknya memang dikeluarkan dari kawasan hutan, kan campur aduk dengan program sertifikasi tanah.

Sebenarnya, bagaimana sih konsepsi reforma agraria pemerintah? Apakah sudah pro petani penggarap, atau justru menguntungkan tuan tanah besar dan perusahaan swasta?

Sebenarnya begini. Kan reforma agraria itu restrukturisasi penguasaan tanah yang timpang menjadi lebih berkeadilan. Jadi ada segelintir kelompok yang menguasai tanah, itu harus mulai dievaluasi dan ditertibkan. Kemudian diredistribusikan kepada kelompok masyarakat yang termarjinalkan dalam struktur agraria kita. Siapa itu? Petani, masyarakat miskin di kota, di desa, dan seterusnya.

Tetapi kan reforma agraria yang sedang dijalankan kebijakannya oleh Jokowi itu kan masih tidak taat pada tujuan. Kalau dia taat pada tujuan, memperbaiki ketimpangan agraria menjadi lebih adil, menyelesaikan konflik agraria, menjadi sumber kesejahteraan baru bagi masyarakat. Pasti sasarannya, subyeknya akan tepat sasaran.

Selama ini kan, saya ambil contoh begini, ada kasus di Jambi, lahan diusulkan oleh masyarakat untuk direalisasikan lewat reforma agraria. Tiba-tiba yang menerima pelepasan kawasan hutan itu bukan masyarakat di empat desa, tetapi penerimanya itu koperasi bentukan bupati. Nah, berarti ini kan distorsi penerima manfaat reforma agraria itu. Ada banyak penyusup yang memanfaatkan kebijakan yang seharusnya orientasinya kepada rakyat, bukan kepada elite-elite pejabat atau elite politik di daerah yang memainkan juga tanah obyek agraria.

Karena memang pemahaman reforma agrarianya masih parsial, itu dianggap tidak ada prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam reforma agraria. Termasuk misalnya, capaiannya sampai sekarang (adalah) sebanyak-banyaknya terbit sertifikat, itu dianggap capaian RA. Padahal bukan itu. Capaian RA itu sejauh mana tepat subyek, sejauh mana tepat obyek. Subyeknya siapa? Subyeknya kalau capaian yang benar itu, petani gurem makin sejahtera, artinya pemilikan tanahnya tidak lagi gurem tapi ideal; buruh tani landlees yang tidak punya tanah, jadi punya tanah. Harusnya indikatornya ke situ, bukan jumlah sertifikat.

Lalu obyek tanah, misalnya wilayah-wilayah mana yang menjadi prioritas RA. Nah, seharusnya pendaftaran tanah itu sinerginya dengan RA itu. Dari pendaftaran tanah itu, akan diketahui wilayah-wilayah mana RA itu harus dijalankan. Wilayah yang banyak kemiskinannya karena tidak punya akses hak atas tanah, (yang) petani guremnya banyak. Maka itu harus direforma agraria-kan, dan seterusnya.

Koreksi ke depan soal arah dan tujuan reforma agraria: tidak boleh disimpangkan lagi menjadi sekadar bagi-bagi sertifikat tanah. Bagi sertifikat tanah itu sebaiknya dipisah, karena membagikan sertifikat tanah itu proyek rutinnya BPN. Lalu yang di kawasan hutan, harus segera ada pelepasan dari konsesi-konsesi.

Kita berharap ke depan, karena kemarin di peringatan Hari Tani Nasional, Jokowi berkomitmen kepada kita akan memimpin proses reforma agraria langsung di tangan Presiden, maka kita akan tunggu itu. Karena selama ini kan di bawah Kementerian ATR/BPN atau Menteri Kehutanan, target Nawacita ke-5 soal 9 juta tanah untuk distribusi itu kan nggak jalan. Yang ada (itu) tadi, campur aduk dengan hitungan proyek sertifikasi tanah. Jadi clear, kebijakannya kebijakan reforma agraria, tetapi realisasinya sertifikasi tanah, lalu diklaim itu sebagai capaian RA.

Berarti reforma agraria selama ini baru menghasilkan distribusi lahan ke petani sebesar 0 persen, benarkah begitu?

Kita sempat merilis 0 persen capaian pelepasan kawasan hutan, jadi 3 bulan dikejar sama Kehutanan itu. Jadi capaiannya 19.000 hektare, itu klaim mereka. Jadi 19.000 hektare dari janji 4,1 juta hektare pelepasan kawasan hutan untuk didistribusikan kepada rakyat. Artinya hanya 0,58 persen, masih di bawah 1 persen realisasinya. Sementara dari HGU yang kadaluarsa, itu klaimnya kan besar, lebih dari 100 persen bahkan. Tapi kan nggak pernah dibuka, yang mana konsesi-konsesi yang sudah didistribusikan kepada rakyat itu. Nggak pernah dibuka itu. Jangan-jangan itu masih campur aduk dengan program sertifikasi tanah, karena nggak pernah dibuka daftar perusahaan mana yang sudah didistribusikan kepada rakyat, kalau memang itu HGU kadaluarsa dan dari HGU yang ditelantarkan.

Salah satu aksi unjuk rasa kalangan petani terkait reforma agraria, di depan Istana Merdeka, Jakarta. [Suara.com]

Situasi umum kaum tani saat ini bagaimana? Karena kaum aktivis mengatakan kategori buruh tani atau petani tanpa tanah mendominasi. Apa solusinya?

Jadi, 56 persen petani kita di seluruh Indonesia rata-rata gurem, kepemilikannya di bawah setengah hektar. Kemudian sisanya adalah tunakisma (tidak punya tanah), landlees, buruh tani. Solusinya ya, jalankan reforma agraria sesuai prinsip dan tujuannya. Artinya, subyek reforma agraria ke depan itu tidak boleh lagi salah sasaran, hanya program sertifikasi kepada masyarakat umum. Atau salah sasaran, tiba-tiba misalnya bagi tanah ke karyawan PTPN, bagi tanah ke tentara (TNI), dan seterusnya.
 Padahal, ada kelompok petani yang harus diprioritaskan tadi, (yaitu) kelompok gurem, landlees, buruh tani. Kalau salah sasaran, nanti angka petani guremnya akan semakin mengecil (kepemilikan lahannya), bukan semakin membesar dari tahun ke tahun.

Terhadap masih banyaknya kasus konflik agraria di Indonesia, apa solusinya menurut Anda?

Solusinya tetap harus ada penyelesaian konflik agraria dalam rangka reforma agraria. Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Kehutanan ke depan tidak boleh lagi mengabaikan dan menghindari konflik-konflik struktural, karena jumlahnya sudah sangat besar. Zaman Presiden Jokowi dari 2015 sampai 2018 saja, kita mencatat ada 1.700 lebih kejadian konflik agraria. Itu lebih tinggi dari 5 tahun pemerintahan SBY. SBY itu 5 tahun pemerintahan ada 1.300 konflik agraria. Artinya, eskalasi konflik semakin meningkat. Karena selama ini tidak ada kanal penyelesaian konflik agraria yang sifatnya utuh, betul-betul tanah-tanah itu kembali ke tangan masyarakat.

Artinya ke depan, sesuai janji Perpres No 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria itu, tujuan reforma agraria salah satunya selain mengatasi ketimpangan adalah menyelesaikan konflik agraria. Artinya, pemerintah ke depan tidak boleh lagi tebang pilih, pilih-pilih lokasi clear and clean konsepnya BPN itu. Itu tidak bisa. Namanya reforma agraria, harus bekerja menyelesaikan konflik agraria itu. Masalah-masalah berat itu tidak bisa dihindari, (tapi) harus ada jaminan kepastian hukum kepada masyarakat.

Ada penilaian banyak orang bahwa Menteri ATR/BPN tidak pro reforma agraria, terutama dalam aspek land reform ke petani penggarap. Menurut Anda?

Kami ada kekecewaan, karena Menteri ATR/BPN yang lama masih dipilih, begitu pula Menteri Kehutanan yang lama juga dipilih lagi. Karena reforma agraria (itu) tidak hanya di Kementerian ATR/BPN, (tapi) ada 4,1 juta hektar kawasan hutan. Nah, ternyata dua menteri ini terus dipertahankan. Tetapi kami akan terus menagih, karena kemarin Jokowi berkomitmen bahwa ke depan reforma agraria akan langsung dipimpin Presiden.

Ya, itu yang akan kita tagih. Seberapa sanggup Jokowi memastikan menteri-menterinya itu konsekuen dan menjalankan keputusan Presiden dalam setiap rapat kabinet terbatas. (Soal) Klaim konsesi di wilayah masyarakat yang tumpang tindih dengan desa, kampung, wilayah garapan masyarakat, pertanian, kebun rakyat, dan seterusnya.

Menurut saya, ke depan begitu. Meskipun tantangannya, cara lama itu akan tetap dipertahankan oleh dua menteri itu; enggan menyelesaikan konflik agraria, enggan melakukan penertiban terhadap konsesi-konsesi. Tetapi kita akan terus menagih itu sesuai komitmen Presiden.

0 komentar:

Posting Komentar