23 April 2014 - Dwicipta
Prolog
IDE penyelenggaraan Pentas Budaya Rakyat untuk
memperingati tiga tahun tragedi penembakaran petani Urutsewu oleh TNI di
Lapangan Setrojenar, lahir dari pertemuan tak sengaja antara Sunu Widodo, Angga
Palsewa Putra, Reza, dan Bosman Batubara dalam serial diskusi tentang RUU Desa
di kantor Karsa pada 31 Januari 2014.
Sekedar pengingat, tragedi penembakan petani 16 April
2011 bermula dari kemarahan para petani dan warga Urutsewu atas klaim sepihak
TNI pada lahan desa milik mereka dan tindakan pematokan tanah secara
sewenang-wenang oleh tentara.
Demonstrasi petani dan warga ditanggapi tentara dengan
pemuntahan peluru (karet dan tajam) serta tindakan kekerasan lainnya. Akibat
perstiwa itu, enam petani dikriminaliasasi (pasal pengrusakan dan
penganiayaan), 13 orang luka-luka, enam orang di antaranya luka akibat tembakan
peluru karet, dan di dalam tubuh seorang petani lainnya bersarang peluru karet
dan timah; 12 sepeda motor milik warga dirusak dan beberapa barang, seperti
ponsel, kamera, dan data digital dirampas secara paksa oleh tentara.
Kriminalisasi dan
tindakan brutal tersebut sampai sekarang tak jelas penyelesaiannya. Yang
membuat warga Urutsewu semakin resah, Kodam IV Diponegoro justru terus
melanjutkan pemagaran tanah warga sampai radius 1000 meter dari garis pantai.
Pertemuan tak sengaja antara Sunu Widodo —kepala desa
Wiromartan, Kecamatan Ambal, Kebumen— dengan teman-teman dari Yogya tersebut
memunculkan gagasan untuk menyelenggarakan acara peringatan tragedi penembakan
petani tersebut. Sesudah diskusi RUU Desa di kantor Karsa, keempat orang
tersebut melanjutkan diskusi tentang konflik tanah di Urutsewu secara lebih
intensif dengan satu tujuan: menemukan strategi baru bagi perluasan isu konflik
tanah di pesisir selatan Kebumen tersebut.
Angga Palsewa Putra, Reza, dan Bosman Batubara
mengusulkan agar warga Urutsewu menyelenggarakan kegiatan kesenian/kebudayaan
sebagai sarana konsolidasi yang lebih riil menuju gerakan ekonomi-politik
mereka. Sunu Widodo, kepala desa Wiromartan dan sekaligus ketua Forum Paguyuban
Petani Kebumen Selatan (FPPKS), tertarik dengan usulan tiga orang tersebut
meskipun belum jelas bentuk kegiatan riilnya seperti apa.
Kerjasama antara beberapa elemen gerakan petani dan warga
urutsewu dengan GLI dan FNKSDA ini kemudian bergerak semakin riil setelah
diadakan pertemuan lanjutan di LkiS, pada Februari 2014. Elemen gerakan dari
Urutsewu, GLI, FNKSDA, Etnohistori, Sanggar Nusantara, Komunitas Rupa Seni
Rangka Tulang, dan Mantra Merah Putih menyepakati terbentuknya aliansi Solidaritas
Budaya Untuk Masyarakat Urutsewu, sebagai sebuah aliansi gerakan
kebudayaan yang akan menyelenggarakan kerja-kerja kesenian di pesisir Kebumen
Selatan.
Untuk memperkuat kerja kebudayaan ini, dirasakan
kebutuhan mendesak untuk melibatkan elemen gerakan sosial dan kebudayaan lain
yang memiliki kepedulian pada masyarakat pinggiran yang hak-haknya
dieksploitasi oleh penguasa lalim dan militer. Road Map acara
disusun, pihak-pihak yang terlibat dalam aliansi mulai menyusun program kerja
dan orang-orang yang akan melaksanakannya, serta sumber pendanaan didskusikan.
Sejak awal kami sadar bahwa Kodam IV Diponegoro atau TNI
AD adalah pihak yang akan kebakaran jenggot lantas bereaksi keras terhadap
pelaksanaan acara ini. Namun kami membayangan bahwa kegiatan kesenian—yang
hanya berisi pertunjukan teater, tari, parade ogoh-ogoh, dan musik—tak akan
membuat mereka memberikan reaksi berlebihan atas apa yang sedang kami
rencanakan.
Anggota Solidaritas Budaya untuk Masyarakat Urutsewu dari
bidang tari, sedang melatih tari Laskar Caping pada anak-anak dari desa Kaibon
Petangkuran, Kecamatan Ambal, Kebumen
Intimidasi awal
Kedatangan kelompok kecil Solidaritas Budaya Untuk
Masyarakat Urutsewu (selanjutnya akan disingkat eSBuMuS), yang terdiri dari
perwakilan bidang seni, peneliti, dan akademisi ke wilayah Urutsewu,
dilaksanakan pada 9 Maret 2014. Mereka bertemu dengan perwakilan warga Urutsewu
dari beberapa desa di rumah Seniman, seorang tokoh masyarakat berpengaruh yang
mencurahkan hampir seluruh tenaga dan pikirannya untuk membela petani dan warga
yang tanahnya dirampas TNI.
Di momen ini, Seniman yang didampingi Sunu Widodo,
Muchlisin dan perwakilan warga mempresentasikan kondisi sosial budaya
masyarakat Urutsewu pada rombongan aliansi eSBuMuS.
Momen ini, selain menjadi ajang perkenalan kedua belah
pihak, juga menjadi ajang untuk menyadarkan siapa pun bahwa pihak yang mereka
tuntut bukan main-main: TNI AD, khususnya Kodam IV Diponegoro. Seniman dan Sunu
Widodo mengingatkan bahwa intimidasi atau pun teror bisa dilakukan
sewaktu-waktu oleh aparat agar acara yang kami gagas bersama tak terlaksana.
Kami setengah tak mempercayai para pemegang bedil di era
reformasi masih mau merecoki kegiatan kesenian. Kalau pun intelijen dan Babinsa
berseliweran di sekitar rumah Seniman, hal itu lebih dikarenakan mereka mengira
kami sedang melakukan konsolidasi politik massa untuk menuntut dikembalikannya
hak tanah Urutsewu pada warga sebagai pemilik sahnya.
Survey pertama ini
tak menciptakan kegaduhan yang berarti. Tiap kelompok seni berhasil menentukan
di mana mereka bisa bekerja, kelompok masyarakat seperti apa yang disasar
sebagai rekan kerja, siapa koordinator desa yang bisa mereka kontak
sewaktu-waktu, dan kebutuhan peralatan apa saja yang harus tersedia. Rombongan
yang mengunjungi lokasi bekas penembakan petani dan warga Urutsewu di lapangan
Setrojenar juga tak mengalami intimidasi dari pihak militer. Gedung Dinas
penelitian dan Pengembangan TNI AD yang dicat hijau daun berdiri angkuh di
depan lapangan. Kami akan melaksanakan kegiatan di depan muka mereka.
Benar-benar pertaruhan nyali!
Dalam kunjungan kedua, 28-30 Maret 2014, basecamp tempat
kami menginap berpindah ke Wiromartan, di rumah sang kepala desa Sunu Widodo.
Rapat koordinasi berjalan lancar. Masing-masing kelompok seni mulai menyebar ke
beberapa desa yang menjadi sasaran kerjanya. Warga Urutsewu, mulai dari
anak-anak hingga orang tua, berlatih menari, bermain teater, menyablon baju,
dan beberapa permainan dari Maluku. Dua hari kami keluar masuk jalan dan gang
wilayah Urutsewu, keluar masuk rumah-rumah penduduk, dan berinteraksi dengan
warga di pesisir Kebumen Selatan ini. Di malam terakhir, kami mengadakan
pertunjukan kecil-kecilan bersama warga Mirit.
Kami mengira kunjungan kedua ini tak mendapatkan cobaan
berarti. Malam itu kami tidur dengan tenang di rumah Kepala Desa Sunu Widodo.
Pagi tanggal 30 September, salah seorang penduduk Tlogo Pragoto berencana
mengadakan ritual di batas terakhir pembangunan pagar TNI yang membelah lahan
warga dan lahan yang diklaim milik TNI AD. Bosman, Reza, dan Tahdia bersama
Sunu Widodo selaku ketua FPPKS menghadiri acara ritual yang dilakukan oleh Pak
Bolot dan kelompok tani Wong Bodo Duwe Karep dari Tlogo Pragoto.
Di sinilah persinggungan pertama kami dengan pihak
militer. Babinsa dari desa Tlogo Pragoto, beberapa tentara, dan beberapa orang
yang menjadi antek-antek penguasa militer berusaha menghalang-halangi proses
ritual Pak Bolot. Di sini terjadi perdebatan keras antara Pak Bolot dan
kawan-kawannya dengan Babinsa dan tentara. Mereka juga meminta Sunu Widodo untuk
tak ikut campur dengan persoalan di desa Tlogo Pragoto. Tentara dan kaki
tangannya ini meminta Bosman, Tahdia, dan Reza bersama Sunu Widodo meninggalkan
lokasi ritual.
Bosman, Tahdia, dan Reza kembali ke desa Wiromartan dan
bersiap-siap pulang. Sementara Sunu Widodo yang belum tidur semalam suntuk
beristirahat di rumah Pak Bolot. Siang saat kami bersiap-siap pulang ke Yogya,
tiba-tiba dikagetkan dengan kedatangan dua tentara ke rumah Kepala Desa
Setrojenar. Sembari berbisik, Bu Lurah memberitahu bahwa dua tentara itu adalah
anggota Babinsa yang selalu rutin mendatangi rumahnya. Jelas sudah kalau
kehadiran mereka merupakan imbas dari aksi Pak Bolot di Tlogo Pragoto. Mereka
bertanya asal dan maksud kedatangan kami ke Urutsewu. Interogasi halus ini
berlangsung kurang lebih dua jam. Mereka pulang tanpa menemukan jejak informasi
yang berarti dari kami.
Berita pencemar nama baik di harian Suara Merdeka
Penyebaran kebohongan lewat media dan intimidasi menuju
puncak acara
Guna meyakinkan keberhasilan acara tanggal 16 April 2014,
sejak tanggal 11 April 2014 eSBuMuS memutuskan untuk turba selama
enam hari di wilayah Urutsewu Kebumen. Kehadiran kami di malam tanggal 11 April
langsung disambut oleh serangkaian jurnalisme menyesatkan dari koran Suara Merdeka. Wartawan Suara Merdeka yang
bekerja di wilayah Kebumen dan menyuplai berita di halaman Suara Kedu,
Arif Widodo, menuliskan reportase-reportase palsu tentang gerakan kami dan
warga urutsewu secara sistematis.
Beberapa di antaranya adalah bahwa gerakan kami
mendapatkan dana sebesar 9 Milyar dari salah seorang pejabat eselon II
pemerintah Kabupaten Kebumen. Dari kalangan masyarakat Urutsewu, wartawan yang
sama juga melakukan usaha pencemaran nama baik secara sistematis terhadap Kyai
Imam Zuhdi. Usaha ini dilakukan lewat pemberitaan nama Imam Zuhdi sebagai ketua
organisasi Wong Parkiran, yang melakukan pemerkosaan terhadap
pengunjung pantai Setrojenar. Seiring berlalunya waktu, lewat lembaran Suara
Kedu, Suara Merdeka memberitakan kunjungan Pangdam Diponegoro ke
Kebumen serta himbauan dan intimidasi warga agar tak menghadiri acara
mujahadahan serta pentas budaya rakyat tanggal 16 April, dan meminta agar
gerakan atau LSM tak memprovokasi warga.
Penyebaran kebohongan lewat media yang kemungkinan
diarahkan militer bekerjasama dengan wartawan Arif Widodo itu gagal ditangani
selama kami di Urutsewu, karena padatnya kegiatan orang-orang yang terlibat di
acara pentas budaya rakyat. Tidak ada serangan balik dari kami, baik lewat
media sosial maupun pengajuan hak jawab. Lagipula, yang paling penting,
pemberitaan negatif tentang acara peringatan tiga tahun tragedi Setrojenar tak
berhasil menghentikan aktivitas kami. Semua kelompok seni, tim dokumentasi, dan
warga terus menjalankan kegiatannya masing-masing guna mensukseskan acara
puncak tanggal 16 April. Tim tari bekerja bersama pemuda dan anak-anak melatih
tari Laskar Caping di halaman SDN Petangkuran.
Tim ogoh-ogoh dari desa Lembu Purwo, Wiromartan, dan
Tlogo Pragoto terus merampungkan pembuatan ogoh-ogoh. Tim sastra keluar-masuk
SD Petangkuran dan Wiromartan untuk memberi workshop menulis cerita
dan puisi pada para siswa SD. Karina Rima Melati dan tim Etnohistori,
memberikan workshop membatik pada ibu-ibu di Petangkuran. Tim musik bekerja
sama dengan kelompok musik Lesung dari desa Mirit berusaha memadukan seni musik
Lesung tradisional dengan permainan Toki Gaba-Gaba dari Maluku. Dan tim Seni
Rupa memberikan workshop menggambar pada para siswa SDN Wiromartan. Dan sebagai
pamungkas dari persiapan ini adalah gladi bersih bersama dari desa-desa yang
terlibat dalam penyiapan pentas budaya rakyat di lapangan desa Petangkuran.
Puncak intimidasi dan provokasi: praktek militer khas
Orde Baru di era reformasi
Begitu malam tanggal 15 mulai turun dan peserta gladi
bersih sudah pulang ke rumah masing-masing, para aktivis seni eSBuMuS yang
tinggal di rumah kepala desa Wiromartan menjadi saksi beberapa orang
hilir-mudik di jalan depan rumah sambil menggeber-geber motornya sampai jam dua
dini hari. Mobil patroli dan satu dua motor tentara berseliweran. Situasi
di basecamp Petangkuran, dekat rumah Kepala Desa Petangkuran, tak
mengalami intimidasi seperti yang terjadi di Wiromartan. Semua orang yang
terlibat dalam kegiatan keesokan siangnya, tak diperbolehkan berkeliaran
semaunya guna menghindari kemungkinan kekerasan fisik dari orang yang tak
bertanggungjawab.
Esok paginya, kami sudah bangun sejak subuh. Bosman,
saya, dan Teuku Reza bersama kelompok musik harus berangkat pagi-pagi ke
lapangan Setrojenar untuk memasang tali pembatas area pertunjukan serta
memasang alat-alat musik di panggung. Saya mengambil inisiatif pribadi untuk
menyisir area di sekitar lapangan Setrojenar, guna mengantisipasi
kejadian-kejadian yang tak diinginkan. Sejak pukul tujuh pagi tentara telah
menyebar dari depan kantor camat Bulus Pesantren hingga lapangan Setrojenar. Di
Timur, Selatan dan Barat lapangan sejumlah tentara dan polisi berjaga-jaga.
Penjagaan paling longgar hanya di sebelah Selatan dan Barat. Seandainya situasi
kacau tercipta, akan sangat mudah bagi tentara dan polisi untuk menguasai medan
Setrojenar dan menggiring anggota aliansi eSBuMuS ke arah Barat dan
Selatan yang sepi.
Menjelang pukul 08.00 pagi, koordinatur umum eSBuMuS,
Angga Palsewa Putra, yang mengendarai motor sendirian dari desa Petangkuran
menuju Setrojenar, dicegat oleh seorang oknum tentara dan seorang lelaki tegap
berbaju sipil. Keduanya memaksa Angga menghentikan motornya. Di pinggir jalan
antara desa Brecong dan Setrojenar itulah oknum tentara yang memaksa Angga
berhenti mengeluarkan ancaman.
‘Kamu bukan penduduk Urutsewu jangan macam-macam di sini.
Kalau macam-macam, siap-siap saja menerima akibatnya. Kita akan bertemu di
lapangan dan bertarung di sana. Kita lihat siapa yang mati di sana!’
Dengan tenang Angga menerima tantangan mereka. Ia
berjanji pada tentara berbaju dinas kalau ia tak akan lari selama di lapangan
nanti. Angga kembali menyalakan motor dan memacunya menuju lapangan Setrojenar.
Ketika sampai di sekitar lokasi dan memarkir motor, dua lelaki berbadan
kekar menunjuk-nunjuk ke arahnya.
‘Itu dia orangnya’ ujar salah seorang dari mereka.
Kedua pria itu bergerak cepat menghampiri Angga, yang segera paham bahwa
dirinya akan sasaran kriminalisasi agar memancing kerusuhan. Melihat gelagat
mengancam itu, ia segera berlari cepat ke arah rombongan yang duduk di bawah
tenda di depan panggung, menyelinap ke barisan pemuka wilayah Urutsewu dan
duduk di samping Seniman. Kedua preman yang akan melakukan tindakan
kriminal itu kemudian menjauh dari lokasi dan hilang entah kemana.
Aparat diturunkan untuk membubarkan acara Solidaritas Budaya untuk
Masyarakat Urutsewu
Pukul sembilan pagi, jumlah tentara dan polisi yang
berada di sekitar lapangan hingga jalan depan Kecamatan Bulus Pesantren semakin
banyak. Rombongan pembawa ogoh-ogoh yang dipimpin kepala desa Wiromartan, Sunu
Widodo, memasuki jalan depan kecamatan. Di perempatan yang berjarak 30 meter
dari lapangan Setrojenar, rombongan pembawa ogoh-ogoh dari desa Tlogo Pragoto,
Mirit, Lembu Purwo, dan Petangkuran ini dihentikan langsung oleh Dandim
Kebumen, Letnan Kolonel Inf Dany Rakca A. S.AP. Mereka meminta rombongan dari
luar Setrojenar hanya boleh masuk ke lapangan kalau memiliki surat ijin
dari kepala desa. Inilah pengakuan Sunu Widodo saat dihentikan serombongan
tentara yang menutup jalan menuju lapangan Setrojenar:
‘Ketika rombongan kami memasuki ruas jalan menuju
Setrojenar, Urutsewu, tempat kegiatan mujahadah dan pentas budaya rakyat
diselenggarakan, tiba-tiba sekelompok tentara menghadang kami. “Berhenti dulu
mas. Kami lapor komandan dulu apakah boleh masuk atau tidak.” Aku bingung
sendiri… Apa urusannya sama tentara? Bukankah yg mengurus keamanan sipil
harusnya Polisi? Yang Lebih membingungkan lagi waktu ketemu komandannya. Dia
bilang “Sebentar, jangan masuk dulu. Kita tanya dulu kepada kepala desa, apakah
mengijinkan atau tidak….” Lho… Sejak kapan tentara jadi “satpam”nya kepala
desa, yang kalau ada tamu harus distop dulu, terus ia bertanya sama juragannya
apakah sang tamu bisa masuk atau tidak?’
Para wartawan dan fotografer daerah tampak segan untuk
mendekat dan menyorongkan kamera ke arah Dandim perlente itu. Namun begitu,
Bosman yang bertugas mendokumentasikan peringatan tiga tahun Tragedi
Setrojenar, maju ke depan dan memotret dari jarak dekat, serombongan wartawan
dan fotografer itu langsung mendekat ke pusat perdebatan antara Sunu Widodo dan
Dandim Kebumen. Kepala yang sekaligus Ketua FPPKS ini kemudian berorasi di
depan sekumpulan tentara dan polisi yang menghalangi jalannya dan para peserta
mujahadah, rombongan kesenian, dan masyarakat umum yang ingin menyaksikan acara
tersebut.
Rombongan kesenian dari lima desa di Urutsewu beserta
mahasiswa dan aktivis/peneliti merapatkan barisan di belakang Kepala Desa
Wiromartan. Adegan itu berlangsung kurang lebih dua puluh menit. Penghentian
sepihak oleh tentara dan polisi baru berhasil diatasi setelah Kyai Imam Zuhdi
dan Seniman yang menjadi tuan rumah mujahadah dan Pentas Budaya Rakyat,
meyakinkan tentara dan polisi bahwa pihak panitia telah mengundang mereka.
Rombongan kesenian segera memasuki lapangan Setrojenar
dan mendapatkan sambutan meriah dari peserta mujahadah maupun masyarakat. Namun
wajah-wajah tentara dan polisi yang garang terus menebar pandangan
mengancam pada beberapa mahasiswa dan aktivis budaya yang datang belakangan.
Dalam pengakuan salah seorang aktivis budaya dari Blora, Hei Harjono, pengamanan
tentara dan polisi jelas-jelas tak menyiratkan bahwa peringatan tragedi
penembakan petani Urutsewu itu bukanlah kegiatan agama dan kesenian.
‘Saya jauh-jauh datang dari Blora karena ingin
menyaksikan acara itu. Semula saya mencari Mas Dwicipta di Petangkuran karena
saya telah membuat janji pribadi dengannya. Tapi oleh teman-teman eSBuMuS, saya
diberitahu bahwa dia sudah mendahului teman-teman berangkat ke lapangan
Setrojenar sejak pagi. Akhirnya saya menyusul ke Setrojenar. Sampai di depan
kecamatan Bulus Pesantren saya kaget melihat banyaknya tentara dan polisi
berjaga-jaga. Di belokan masjid, pengendara motor-motor sport ber-cc besar
memelototi saya. Jelasnya saya merasa hari itu mencekam, karena setiap sudut
saya melihat berseliweran orang-orang aneh yangg saya yakin bukan warga
setempat, menyelidik setiap gerakan saya seakan diawasi.’
Kegiatan mujahadah tetap berjalan. Dandim Kebumen,
rombongan tentara dan serombongan polisi tetap berjaga-jaga di sekitar area
mujahadah dan pentas budaya rakyat Urutsewu. Komandan tentara di wilayah
Kebumen itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil memaki kecil melihat
ogoh-ogoh demit dan joglo yang dicat dengan warna doreng. Setelah acara
mujahadah yang dipimpin oleh Kyai Imam Zuhdi selesai, panitia pentas budaya rakyat
bersiap-siap memulai acara. Seniman, ulama sekaligus tokoh masyarakat Urutsewu
mengumandangkan adzan sebagai pembuka acara.
Kebetulan adzan Seniman bersamaan dengan waktu sholat
dzuhur. Di saat itulah dari markas Dinas Litbang TNI yang letaknya tidak jauh
dari lapangan juga terdengar suara adzan. Padahal di hari-hari biasa, saat
memasuki waktu sholat, tidak pernah terdengar adzan dengan pengeras suara dari
dalam markas tentara tersebut. Tak cukup hanya menyuarakan adzan, mereka juga
menghimbau pada siapa pun orang yang berkumpul di lapangan untuk segera
melaksanakan sholat. Jelas sudah himbauan yang tak biasanya terdengar dari
markas tentara itu ditujukan untuk memecah massa yang telah memenuhi lapangan
Setrojenar. Untunglah massa tidak terpengaruh suara himbauan dari dalam markas
Dinas Litbang TNI AD. Mereka tetap mengikuti pertunjukan hingga selesai.
Epilog
Banyak pihak meyakini bahwa 16 tahun pasca reformasi
tentara akan melepaskan intervensinya di lapangan kehidupan masyarakat sipil.
Mereka hanya akan menjalankan tugas utamanya di bidang pertahanan dan keamanan.
Sementara persoalan-persoalan di luar pertahanan dan keamanan akan diserahkan
pada pihak sipil. Namun, peristiwa peringatan Tragedi Penembakan Petani
Urutsewu di Lapangan Setrojenar pada 16 April 2014, secara gamblang menunjukkan
sebaliknya.
Bukti nyata dari turut campur tentara adalah
intimidasi—baik tersembunyi maupun terang-terangan—pada aktivis eSBuMuS yang
terlibat dalam penyiapan Pentas Budaya Rakyat, pemelintiran isu soal Urutsewu
lewat pemberitaan sistematis di koran Suara Merdeka, dan usaha nyata untuk
menghalang-halangi rombongan kesenian yang akan pentas di lapangan Setrojenar.
Ini belum termasuk dengan memanfaatkan elemen masyarakat sipil seperti kelompok
preman guna memprovokasi terjadinya kekacauan di tempat acara.
Peristiwa ini secara jelas memberi sinyal bahwa
tindakan-tindakan militer yang sewenang-wenang dan menindas masyarakat sipil
terus terjadi, meski rezim otoriter-birokratik-militeristik telah tumbang 16
tahun lalu. Era reformasi dan kehidupan demokratis sekarang ini tak memberikan
jaminan pasti intervensi militer di wilayah sipil.
Intimidasi, teror, dan ancaman dari pemegang bedil bisa
sewaktu-waktu menimpa seseorang atau sebuah organisasi. Kalau sudah beginitidak
ada pilihan lain bagi seluruh elemen masyarakat sipil di negeri kecuali
menyatukan kembali barisan dan berseru pada militer agar kembali ke barak dan
tak lagi melakukan intervensi dalam lapangan aktivitas masyarakat sipil!
***
Penulis, tinggal
di Jogja