Sejarah
Singkat
KEPEMILIKAN TANAH DAN PERJUANGAN RAKYAT
BANDAR BETSY II
Kecamatan Bandar Huluan, Kabupaten Simalungun
Provinsi Sumatera Utara
Sejarah
Singkat Penguasaan Tanah
Pada
jaman penjajahan Jepang, rakyat Bandar Betsy II diperintahkan oleh Nippon untuk
membuka hutan di sekitar kampung. Pembukaan hutan tersebut ditujukan untuk
mengubah areal hutan menjadi kawasan tanaman pangan dan palawija, yang
selanjutnya akan menjadi kantung logistik untuk kebutuhan perang Jepang. Selain
untuk menjadi areal kawasan tanaman pangan, pembukaan hutan juga ditujukan
untuk memungut hasil hutan, seperti kayu, untuk digunakan sebagai bantalan rel
kereta api.
Di
akhir tahun 1943, hutan yang tadinya begitu lebat telah berubah menjadi
perladangan yang luas, dan pada saat itu mulailah rakyat membuka lahan dan
bercocok tanam. Rakyat juga mulai mendirikan pondok-pondok dan rumah. Di pihak
lain, perkebunan HVA milik Belanda yang berada di sekitar kampung dan hutan,
ditinggalkan oleh Belanda dan dibiarkan Jepang menjadi kosong.
Tahun
demi tahun, rakyat di sekitar kampung dapat dikatakan tidak mengalami
kekurangan pangan, seiring dengan terbukanya perladangan baru. Perladangan pun
seiring waktu terus meluas dan akhirnya mendorong munculnya beberapa
perkampungan baru. Tanaman yang ditanam oleh warga terdiri dari berbagai jenis,
mulai tanaman pangan pokok hingga jenis tanaman keras, seperti kelapa,
rambutan, nangka, dll.
Setelah
1945, Jepang menyerah dan Belanda kembali melakukan agresi serta menguasai
perkebunan yang mereka tinggalkan, salah satunya adalah HVA. Namun tidak lama
kemudian, setelah munculnya kebijakan nasionalisasi aset-aset kolonial,
perkebunan tersebut dikuasai oleh negara dan berganti nama menjadi PPN.
Beberapa
tahun setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, rakyat tetap mengerjakan
tanah tersebut dan sekitar tahun 1956 mulailah secara berangsur-angsur rakyat
mendapatkan KTPPT (Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah) sesuai dengan
Undang -Undang Darurat No. 8 Tahun 1954.
Pada
tanggal 2 Maret 1965, keluar surat Landreform Tentang Hak Atas Tanah dengan No.
4/II/10/R/BP dan menyusul yang kedua pada tanggal 31 Maret 1965 dengan No.
2/10/LR/BP.
Saat
penguasaan tanah ini dilakukan oleh Belanda dan Jepang, tanah tersebut tidak
pernah menjadi persoalan, namun saat perkebunan HVA berubah menjadi PNP Karet
IV Perkebunan Bandar Betsy (BUMN) justru rakyat menjadi merasa tidak memiliki
tanah dan tanaman tersebut.
Pada
tahun 1968, pihak PPN Karet IV meminta surat tanah milik rakyat (KTPPT
Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954 serta surat Landreform). Kemudian dengan
menuduh petani sebagai anggota BTI (Barisan Tani Indonesia), pihak PPN Karet
IV, dengan dibantu aparat pemerintah (Letda Sudjono-Kepala Pengaman PPN Karet
IV Kebun Bandar Betsy) mengintimidasi rakyat dan mengambil alih tanah tersebut
dari rakyat dengan kekerasan. Selanjutnya pemerintah Orde Baru, dengan
kekuatan ABRI, kembali melakukan tekanan serta intimidasi sehingga rakyat
akhirnya menyerahkan surat-surat tersebut.
Perjalanan
Nasib Tanah Petani di Ranah Legal Formal
- Surat Menteri Negara
BUMN tanggal 23 Agustus 2000, No. S.328/M.PM-PBUMN/2000, yaitu: Prinsip
Tanah Disetujui Untuk Dikeluarkan dari HGU PTPN III Kebun Bandar
Betsy untuk Penggarap Tanah seluas 943 Ha dengan jumlah 705 KK.
- Surat Gubernur
Sumatera Utara tanggal 23 Juli 2003, No. 593/4965 tentang dukungan
rekomendasi Dirut PTPN III mengajukan pelepasan kepada Menteri
BUMN.
- Surat PTPN III (
Persero ), tanggal 1 Oktober 2002 No. III.11/X/1184/2002 yang ditanda
tangani oleh Direksi PTPN III, Drs. Megananda Daryono, MBA, Menyatakan
Akan Menyerahkan Tanah Tersebut Melalui Tim Tanah Kabupaten Simalungun
Sebagai Jaminan Dan Upaya Bahwa Setelah Penyerahan Kepada Yang Berhak Maka
Persoalan Tanah Kebun Bandar Betsy Dapat Terlaksana Tuntas Tanpa Adanya
Tuntutan Yang Lain Pada Kasus Yang Sama Di Kemudian Hari.
- Keputusan PANSUS DPR
RI No. 027/RKM/PANSUS TANAH/DPR RI/2004 tentang Rekomendasi PTPN III agar
segera mengajukan pelepasan hak tanah ke Menteri BUMN dan Kepala BPN RI.
- Surat tahapan
penyelesaian komisi I DPRD Kabupaten Simalungun Tahun 2011 tentang PTPN
III agar segera mengajukan pelepasan 943 Ha dari HGU dan didistribusikan
kepada petani.
Beberapa
Catatan Penting
Dari
tahapan penyelesaian ini, kami dapat menyimpulkan bahwa persoalan ini terganjal
oleh tidak adanya itikad baik dari pihak PTPN III Kebun Bandar Betsy II. Sebab
dari proses perjuangan yang telah dilalui dan berdasarkan surat menyurat kepada
beberapa instansi terkait, sudah jelas didapatkan sebuah keterangan bahwa lahan
seluas 943 ha, yang merupakan milik 705 KK agar segera dikeluarkan dari HGU
PTPN III Kebun Bandar Betsy dan dikembalikan kepada petani.
Namun
walaupun demikian, Pihak PTPN III hingga saat ini tidak menyerahkan tanah
tersebut dengan dalih, bahwa: ada sekelompok yang mengatas namakan petani telah
menerima dana bentuk sagu hati (ganti rugi). Dalam hal ini kami mempersilahkan
PTPN III untuk membuktikan hal tersebut, karena sepanjang perjuangan yang kami
lakukan, tidak pernah sekalipun kami menerima ganti rugi yang telah dinyatakan
oleh PTPN III.
Adapun
beberapa catatan atas isu ganti rugi tersebut, kami menilai bahwa:
- Bahwa sepanjang
pengetahuan kami, pihak PTPN di Indonesia tidak pernah mengenal yang
namanya bentuk sagu hati (ganti rugi) terhadap tanah konflik, antara
rakyat dengan Perkebunan BUMN, melainkan tanah harus dikembalikan kepada
rakyat. Jika ini terjadi di PTPN III Kebun Bandar Betsy, maka sepantasnya
perlu dilakukan audit terhadap kasus ini. Dan selanjutnya, menurut kami,
bahwa hampir setiap konflik PTPN di Indonesia selalu saja tidak terlepas
dengan keterlibatan Mafia Tanah (pihak ketiga), yang didalamnya, dalam
kasus di SUMUT sering melibatkan kelompok-kelompok Organisasi Kepemudaan
(OKP) yang berkolaborasi dengan PTPN.
- PTPN III Kebun Bandar
Betsy, saat ini bekerja di atas lahan yang tidak memiliki HGU sejak tahun
2005 hingga sekarang. Dengan demikian terdapat sebuah kesimpulan bahwa
PTPN III telah melakukan pembohongan publik dan korupsi sistemik dengan
mengambil keuntungan dari lahan-lahan rakyat yang di klaim sebagai asset
negara.
Situasi
Kasus Terkini di Meja Birokrasi
Pertemuan
Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang difasilitasi DPRD Provinsi Sumut melalui
komisi A dengan surat No. 1193/18/Sekr, ditandatangani oleh ketua DRPR Sumut H.
Ajib Shah, S.Sos dengan beberapa instansi terkait, diantaranya: Asisten
Pemerintahan Sekdaprovsu (Hasiolan Silaen), Bupati Simalungun (diwakili Bidang
Hukum Pemkab Simalungun), Dandim 0207 (Mayor Adi Sutrisno, SS MM), Kakanwil BPN
Propsu (Damar Balih N), Kakan BPN Kabupaten Simalungun (tidak hadir), Kapolres
Simalungun (tidak hadir), Camat Bandar huluan (hadir), Kepala Desa Bandar Betsy
II (Syahban), Dirut PTPN III (diwakili Kabag Sek PTPN III Irwadi Lubis dan DM
Simalungun PTPN III Chastro Simanjuntak) dan kelompok petani Kesatuan Organisasi
Reformasi Keadilan Rakyat (Koreker) yang diwakili oleh: Drs BP Tamba, Rudi
Samosir. ST (Cheker), Joel Sinaga, Barminto ST, Herman, Ibu Butar Butar,
Ibu Nainggolan, dkk, pada: Selasa, 26 Mei 2015 pukul 15.00 WIB, bertempat di
Ruang Rapat Komisi A DPRD Sumatera Utara, menghasilkan kesepakatan untuk
mengesksekusi dalam bentuk penguasaan lahan oleh rakyat sembari proses
penyerahan secara surat menyurat dilaksanakan. Pertemuan ini dipimpin oleh
ketua Komisi A Toni Toga Torop dan anggota.
Namun
setelah persiapan surat kesepakatan dilakukan, pihak kuasa hukum PTPN III
justru mengeluarkan pernyataan yang tidak pro-aktif dan membuat pertemuan dalam
kondisi yang tidak kondusif, sehingga dalam kondisi itu, Komisi A memerintahkan
sekuriti untuk mengeluarkan paksa orang tersebut. Selain itu pihak kuasa hukum
PTPN III dalam pertemuan tersebut juga tidak dapat menunjukkan identitas
sebagai pengacara serta surat kuasa yang diberikan oleh PTPN III. Selanjutnya,
pasca kekisruhan itu, puluhan orang pihak PTPN III yang hadir dalam pertemuan
RDP, berhamburan lari keluar dari pertemuan tersebut. Hal ini, sekali lagi,
menurut kami telah menunjukkan bahwa pihak PTPN III memang tidak memiliki
itikad baik terhadap penyelesaian kasus konflik yang sedang dihadapi.
Situasi
Terkini di Lahan Perjuangan
Bahwa
saat ini di lahan Afd 36, 37 dan 41, pihak PTPN III Kebun Bandar Betsy telah
menggunakan ratusan jasa sekuriti, Pam Swakara dan puluhan Polisi Simalungun
serta BRIMOB Pematangsiantar untuk menguasai lahan serta menanaminya. Situasi
dan kondisi yang demikian terus mempersulit kami, sebagai petani, untuk
mengusahai lahan dan mengelolanya sebagai lahan pertanian. Maka lewat surat
ini, kami menuntut agar instansi terkait (Presiden, Kapolri, Panglima TNI,
Menteri BUMN, Menteri Agraria dan Tata Ruang, BPN, dll), bertindak sebagaimana
mestinya agar keadilan yang telah lama tidak kami dapatkan dapat segera kembali
kepada kami.
Rekomendasi:
- Mengembalikan segera
tanah kepada petani.
- Mencopot Dirut PTPN
III.
- Mengusut kasus
korupsi PTPN III atas klaim HGU yang selama ini digunakan.
- Menarik mundur aparat
Kepolisian, Sekuriti, Milisi Sipil, dan TNI dari lahan.
Kelompok
Perjuangan Petani Penggarap Bandar Betsy :
Adapun
beberapa kelompok perjuangan petani yang tergabung dalam perjuangan ini adalah:
Koreker, Sukadame, Eks Koreker. Namun pada prinsipnya, seluruhnya adalah
satu-kesatuan dalam sebuah tujuan untuk pengembalian tanah 943 ha, dengan
jumlah pemilik 705 KK.
Lembaga
Pendampingan Perjuangan Petani Sumatera Utara
Lingkar
Rumah Rakyat Indonesia, Simalungun
Rudi
Samosir | 0852 6160 2621