PERS RELEASE WARGA DIPOYUDAN
[Aliansi Masyarakat Peduli Tanah untuk Rakyat]
Latar belakang /
Kronologis
Tahun 1927 KNIL mendirikan kompleks hunian tentara di
atas tanah Puralaya (kuburan) status meminjam tanah Kraton (Sultanaat Grond,
SG), 40 rumah (8 Blok G, 32 Blok H) dan 1 lokasi makam. 1949 kompleks hunian
KNIL jadi rampasan perang TNI, namun sudah dihuni oleh 10 keluarga POLRI. 1950
dan 1954 UU No 3 tahun 1950 tentang Pembentukan DIY dan Perda DIY No 5 tahun
1954 tentang Hak atas Tanah di DIY terbit, hak pakai turun-temurun ditetapkan
sebagai Hak Milik warga yang menempati. Blok Pathuk untuk kompleks Kepolisian
dikembalikan ke Pemda. Blok Pathuk untuk kompleks TNI dikembalikan ke
Kasultanan. 1960-an dihuni oleh keluarga TNI dengan dasar surat penempatan
KOREM 072 Pamungkas Yogyakarta.
Tahun 1960-an Tanah Swapraja (SG) beralih menjadi tanah
negara menurut UU No 5 Tahun 1960. Namun dalam praktiknya Tanah Swapraja masih
diakui dan penatagunaannya masih berlangsung. 1970-an warga yang menghuni
memperpanjang masa hunian berdasar ijin Korem 072 Yogyakarta. 1980-an ABRI
menerbitkan surat yang menyatakan Blok Pathuk bukan aset Angkatan Darat. 1984
UU Agraria diberlakukan sepenuhnya, Tanah Negara bebas dapat didaftarkan jadi
HGB atau Hak Milik.
Tahun 2000 warga dihimbau untuk mengurus Magersari oleh
Kawedanan Hageng Sri Wandowo (GBPH Joyokusumo) di atas tanah Puralaya
Dipojodho/Kyai Jlomprong, sekalian menjadi abdi dalem dan juru kunci. Hal ini
untuk menjamin agar warga dalam perlindungan Kraton. Surat kekancingan KHSW
diterbitkan. Umumnya, kekancingan tanah secara resmi diterbitkan KHP Wahonosartokriyo
Panitikismo.
Tahun 2000-2007 setiap kali pergantian Komandan Korem
selalu ada upaya dari tentara untuk mengambil Blok Pathuk, namun terganjal
status Magersari terbitan KHSW. Tahun 2007 Perpanjangan Magersari dilakukan dan
diterbitkan kekancingan tanpa batas waktu masa berlaku. Tahun 2008 salah satu
rumah dikuasai TNI karena penghuni baru (anggota DPRD Kota Fraksi ABRI pada
masa Orba) meminjam rumah dari penghuni lama Dr. Bambang Setiadi sebagai
pemegang kekancingan. Penghuni baru tersebut mengembalikan kunci ke KOREM.
Rumah itu beralamat di NG I/566. Sementara waktu diduduki TNI, karena
kekancingan atas nama Dr. Bambang Setiadi, kunci diserahkan kepada warga oleh
beliau. Namun, KOREM menggunakan rumah itu untuk Mess KOAD.
Tahun 2010 Blok Pathuk berubah jadi Dipoyudan agar bebas
dari intervensi TNI, dan agar memperoleh bantuan dari Pemkot karena jika masih
sebagai aset TNI tidak akan mendapat bantuan dari Pemkot dalam bentuk apapun
(tanggungjawab TNI, seperti PDAD).
Sejak 2009, Pemkot sudah memberikan bantuan MCK gratis,
pengaspalan jalan, KMS, PKH, PEW, KIS/BPJS, dan KIP. Tahun 2011 Dinas
Pariwisata mengucurkan dana 11 juta Danais untuk melestarikan kebudayaan di
Makam Dipojodho. Setiap bulan Ruwah Kraton memberikan sesaji Kuthomoro untuk
nyadran. Tahun 2012 TNI menurunkan 1 truk personil untuk mengeksekusi rumah NG
I/566. Tahun 2018 KOREM menerbitkan Undangan Sosialisasi yang menggiring warga
untuk menandatangani persetujuan pengosongan rumah, warga menolak memberi
tandatangan dan salinan KTP.
Utusan KOREM memberikan Undangan Musyawarah dan ditolak
warga karena tanggal dan hari tidak sinkron. Kemudian, KOREM memasang plakat
RUMAH DINAS di 40 rumah (38 keluarga pensiunan plakat berwarna kuning, 2
anggota aktif plakat berwarna hijau). Pada rumah yang sama terpasang plakat
MAGERSARI KHSW dan RUMAH DINAS. SP (Surat Peringatan) I terbit dan berlaku (Feb
- 9 September 2018) dan SP II (21 Agustus - 21 September 2018) terhadap 31
rumah dan SP III (14 - 21 September 2018) diterbitkan untuk penghuni 30 rumah untuk
mengosongkan rumah di Blok Pathuk dengan alasan untuk rumah dinas anggota
aktif. Satu rumah batal dieksekusi karena dihuni pensiunan TNI yang protes. SP
II dijawab warga pada 14 Sept 2018. Hari Jumat tanggal 21 September 2018 adalah
batas dari SP III dan tidak menutup kemungkinan adanya eksekusi dari pihak
Korem.
Pernyataan Sikap
Berdasarkan kronologis di atas, maka warga yang sudah
menempati di Dipoyudan, Ngampilan Jogja mempunyai hak atas tanah tersebut
dikarenakan pada tahun 1961, bekas tanah-tanah swapraja telah menjadi objek
Reforma Agraria (landreform) melalui PP No 224 /1961. Kemudian Pada 1984,
melalui Keputusan Presiden 33/1984 tentang Pemberlakuan UUPA sepenuhnya di DIY,
diterbitkan karena desakan Sri Sultan HB IX (Kepala Daerah) dan DPRD, aturan
ini pun mulai berlaku sejak 1 April 1984.
Selain itu, hal yang juga tidak bisa dilewatkan adalah
adanya dinamika politik yang tercatat dalam serpihan sejarah ihkwal penerbitan
Keputusan Presiden. Yakni diterbitkanya Perda DIY No 3 Tahun 1984. Melalui Kemendagri
No 66/1984 dan Perda DIY No 3/1984 yang isinya menghapuskan Rijksblad-rijksblad
yang jadi dasar hukum Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG). Bisa
diartikan bahwa sejak 1984, secara resmi dan atau bisa dipastikan sudah tidak
ada SG/PAG lagi di DIY. Bukti bahwa SG/PAG tidak berlaku kemudian
diterbitkannya sertifikat hak milik dari tanah dari letter C/D/E yang pada
tahun 1918 tidak bersertifikat. Berdasarkan Diktum Keempat huruf A
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, “Hak-hak dan wewenang-wewenang
atas bumi dan air dari Swapraja atau bekas Swapraja yang masih ada pada waktu
mulai berlakunya Undang-undang ini hapus dan beralih kepada Negara”.
Dengan
demikian jelas bahwa UU Keistimewaan menabrak UUPA dan aturan yang lainnya.
Padahal UUPA telah ada terlebih dahulu dan sampai sekarang belum dicabut.
“Tahta untuk rakyat” sebagai pijakan kepemimpinan
kasultanan (HB IX), sebuah pijakan bagaimana keputusan-keputasan politik
diambil dan dicanangkan, bagaimana sebuah kebijakan-kebijakan bagi warganya
(rakyat) harus direalisasikan. Secara prinsip, dasar pijakan tersebut mengambil
bentuknya yang senada dengan konsep demokrasi yang dikenal dewasa ini. Dari
rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, adalah prinsip-prinsip yang terangkum dalam
tahta untuk rakyat.
Peneguhan tekad “tahta untuk rakyat, demikian juga
“tahta” bagi kesejahteraan kehidupan sosial-budaya, adalah komitmen besar
Kraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Komitmen tersebut selalu membela
kepentingan rakyat, berusaha untuk bersama rakyat, dan memihak hanya pada
kepentingan rakyat. Bahwa “tahta untuk rakyat” mesti benar-benar harus dipahami
dalam konteks keberpihakan Kraton dalam rangka menegakkan keadilan dan
kebenaran serta mengarah pada peningkatan kualitas hidup bagi seluruh rakyatnya.
Lebih jauh, “tahta untuk rakyat” tertuang dalam konsep
filosofis “manunggaling kawula gusti”. Hematnya, keberadaan Kraton karena
adanya rakyat. Sementara rakyat memerlukan dukungan Kraton agar terhindar dari
eksploitasi yang bersumber dari ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan
keterpurukan. Bahwa Kraton, sejauh konsep tersebut masih dijadikan sebagai alas
berpikirnya, tidak akan ragu-ragu memperlihatkan keberpihakannya terhadap
rakyat, sebagaimana pernah dilaksanakan pada masa-masa revolusi dulu.
Untuk itulah kami warga yang Dipoyudan yang tergabung
dalam Aliansi Masyarakat Peduli Tanah untuk Rakyat (AMPTR) menyatakan sikap:
1. Menolak penggusuran yang terjadi di Dipoyudan oleh Korem 072 Pamungkas.
2. Meminta kepada pihak Kasultanan Ngayogyakarta agar status
tanah dikembalikan kepada negara, dan warga bisa mengajukan pendaftaran
Sertifikat Hak Milik (SHM), demi tercapainya cita-cita Tahta untuk Rakyat yang
melindungi warga Yogyakarta karena warga telah menempati daerah Dipoyudan
sekian lama sebagai hak prioritas sebagaimana yang tercantum dalam UUPA.
3. Hentikan pelaksanaan eksekusi (pengosongan lahan)
paksa oleh Korem 072 Pamungkas.
4. Hentikan represifitas yang dilakukan oleh aparat
keamanan terhadap warga Dipoyudan.
Yogyakarta, 20 September 2018
Aliansi Masyarakat Peduli Tanah untuk Rakyat
*Catatan: Rilis Konferensi
Pers (Konpres) ini sebenarnya akan dibacakan pada 20 September 2018 lalu, di
kantor PBHI Jogja. Namun, konpres terpaksa dibatalkan. Kabarnya: warga
Dipoyudan diancam oleh Tentara dan intel BIN yang meminta untuk membatalkan
konpres. Selain itu, jurnalis yang mencoba meliput juga ditekan untuk tidak
mengangkat kasus tersebut.
ã…¤
#DipoyudanMelawan