This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 02 November 2016

"Jika Bandara Berdiri, Penggusuran Akan Terus Terjadi



Wahana Tri Tunggal (WTT) merupakan organisasi bentukan warga yang menolak pembangunan Bandara Internasional Kulonprogo. Mereka menolak dengan tiga alasan utama ekonomi, sejarah, dan sosial.

tirto.id - Secara ekonomi mereka merasa profesi mereka adalah petani. Warga tidak memiliki keahlian di bidang lain. Jika melepas tanah, berarti juga melepas lapangan kerja mereka. Alasan sejarah karena masyarakat setempat telah tinggal secara turun temurun di wilayah tersebut, sehingga mereka ingin menjaga lokasi tersebut.

Alasan sosial, yakni masyarakat setempat ingin menyelamatkan masa depan anak cucu mereka. Pindah akan membuat mereka menempati lokasi baru dan artinya membentuk budaya baru yang belum tentu pas untuk anak cucunya.

Selain itu, jika mereka memuluskan rencana pembangunan, mereka berpikir akan memuluskan juga rencana-rencana pembangunan lainnya seperti pembangunan stasiun, jalan tol, dan lain-lain yang akan berdampak pada penggusuran-penggusuran lanjutan di daerah lain.

Berikut petikan wawancara khusus Mutaya Saroh dari tirto.id dengan ketua WTT, Martono, yang sudah bergabung sejak awal pendirian WTT.

Sejak mulai menolak Bandara, pernahkah menerima intimidasi dari aparat?

Kalau intimidasi itu banyak.

Apa saja bentuk intimidasinya?

Kalau tidak mau (melepas tanah) nanti kena masalah dengan negara, seperti tanah diminta (paksa), anak tidak bisa sekolah, listrik dicabut, jalan ditutup, dan segala macam lainnya. Oknum-oknum itu menjanjikan warga akan diberi pekerjaan, rumah gratis, uang pengganti, dan lain-lain. Masalahnya, itu hanya berjanji tanpa alat bukti, cuma lewat lisan, tidak ada hitam di atas putih. Ketika warga menanyakan janji itu, warga tidak bisa mendapatkannya.

Kenapa masih menolak padahal ada uang pengganti dan relokasi?

Pertama, WTT menolak karena ternyata rumah harus beli, tanah harus beli, setelah pelepasan hak harus nganggur, (ekonomi) lima tahun ke depan harus makan apa tidak terpikir. Kata pemerintah warga harus mandiri, tapi petani mandiri dengan pindah jadi penjual es cendol, kan, itu jauh dari harapan. Warga tidak diarahkan ke investasi, bandara memang disterilkan dari partisipasi warga.

Kedua, untuk melestarikan peninggalan nenek moyang, karena (tanah) itu suatu amanah. kita punya alasan hak dengan punya sertifikat, kita bukan penumpang gelap. Ketiga, kita sudah hidup di sini sejak lama, sekarang teman-teman pro (yang melepaskan tanah) hidup tanpa kejelasan tanpa penghasilan dan harus segera meninggalkan rumahnya.

Mereka sudah menjual tanah, lalu akan bertahan sampai berapa tahun? Mereka sudah merugi dua kali lipat. Uang penjualan dari Angkasa Pura tidak cukup untuk beli yang baru. Contohnya, tanah di Minggiran ini dihargai Rp. 1,7 juta per meter, di seberang yang tidak terdampak per meter dijual Rp. 3 juta.

Upaya-upaya apa saja yang dilakukan WTT agar pembangunan dibatalkan?

Mengajukan gugatan ke BPD. Jawaban ke BPD nggak sangggup, “Siapa yang berani melawan sultan”, begitu katanya. Ke komnas HAM hanya berputar-putar, sudah kasasi ternyata kalah, mau PK juga kalah karena untuk kepentingan umum. Secara hukum kami sudah maksimal.

Sudah ada warga WTT yang berbalik arah jadi pro?

Ada warga WTT keluar, tapi ada juga yang kembali tapi mereka sudah tidak bisa berbuat apa-apa karena sertifikat terlanjur lepas. Kami punya prediksi kalau (pembangunan bandara) bisa dibatalkan, tanah-tanah yang ada di sini bisa kita manfaatkan.

Pernahkah bertemu dengan sultan atau bernegosiasi dengan tim Angkasa Pura?

Kami sudah minta sultan untuk datang, temui warga maunya apa, jangan mau ditipu oleh tim. Saya yakin yang pro akan berontak nanti, karena urusan perut itu penting, sebab pemerintah tidak memberikan solusi untuk pekerjaan baru pada mereka.

Pendekatan tim Angkasa Pura seperti apa?

Mereka pakai alasan sertifikat. Orang berdomisili di situ (Kec. Temon) tapi tidak punya sertifikat atas namanya dianggap tidak terdampak, walaupun ahli waris tapi sertifikat nama masih orang tua, tidak bisa dianggap punya suara untuk menyatakan penolakan atau pun setuju. Yang terdampak adalah mereka yang punya sertifikat sehingga punya hak suara.

Kalau Angkasa Pura tetap lanjut, apa yang akan dilakukan WTT?

Seperti mereka, kami juga sama, mereka nekat kami juga nekat. Kami pasrahkan pada Allah, jalannya Allah yang tentukan, kami percaya saja bandara tidak jadi. Kalau mereka tetap lanjut, kami akan tetap tinggal di dalam kotak bandara.

Peletakan batu pertama diundur sampai tahun 2017, Anda tahu karena apa?

Mungkin karena pro belum beres, ada yang (tanah) pro belum diukur, kontra terus keluar dan ikut pro sekarang belum diproses sehingga belum kondusif. Relokasi juga kelihatannya ricuh. Tanah kas desanya juga perlu diuruk dan itu tidak sedikit biayanya, perlu miliaran. Soalnya lahan untuk relokasi itu bekas perikanan (tambak), menimbun itu butuh ribuan (ton) tanah. Itu bahaya untuk mendirikan rumah, karena bagian bawah bisa lembek, nanti mlotot karena bangunan itu berat.

Belum lagi pemerintah harus mengganti kas desa karena sebagian kas desa itu tanah untuk pertanian. Lalu kalau dihabiskan untuk relokasi, petani makan apa nantinya?

Kalau begitu hubungan warga pro dan kontra seperti apa saat ini?

Kita akan berpisah, yang pro akan pergi, kita sudah tidak ada komunikasi dengan mereka, seperti hajatan, kenduri, mujahadan, sripah. Kalau orang pro ada yang meninggal, ya kita melayat saja. Yang agak payah yang tidak terdampak langsung itu otomatis tidak berkomunikasi. Diputuskan hidup masing-masing dan setelah hidup masing-masing akhirnya lebih lancar untuk menjaga agar tidak terjadi kekacauan.

Saya pikir situasi ini nyaman-nyaman saja, meski berdampingan dan tidak sehati itu tidak apa-apa. Kita anggap tetangga saja. (Sebelum ada proyek bandara ini) Dulu harmonis, karena ada dua pikiran berbeda itu ya bagaimana mau bersatu?

Bagaimana WTT menjaga solidaritas antar warga WTT?

Semakin ke sini intimidasi semakin keras, kan? Pastilah berkurang terus jumlahnya, tapi kita punya prinsip dan percaya bahwa “benih” akan tetap tertinggal di sana. Untuk menjaga itu, setiap malam berganti tempat dan sebulan sekali kita melaksanakan Mujahadah akbar. Di sana kita berbagi informasi dan juga berdoa bersama kepada Tuhan.

Jika bandara akhirnya jadi dibangun, akan seperti apa, sih?

Jika bandara berdiri, penggusuran akan terjadi terus menerus, seperti pembebasan tanah untuk stasiun, jalan tol, kereta api, perusahaan asing, hotel, dan masih banyak lagi. Itu akan memakan tanah-tanah warga.

Catatan redaksi: Berdasar master plan pembangunan bandara internasional Kulonprogo dan sekitarnya, direncanakan akan dibangun fasilitas penunjang seperti jalur ganda kereta api dan kereta commuter untuk melayani penumpang kargo dari bagian selatan Jawa Tengah dan Jawa Timur (Cilacap sampai dengan Madiun).

Menurut Anda sebaiknya bandara dibangun di mana?

Perkiraan bandara dibangun di sini itu salah. Kenapa di sini? Mestinya Adi Sumarno dan Adi Sucipto dibesarkan, lalu dibagi agar pesawat komersil ada di Solo dan Yogya, lalu pangkalan militer tetap di Wonosari agar terlindungi oleh alam. Lebih bagus kalau pangkalan militer di tepi laut, lebih aman. Bandara komersil tetap di tengah kota saja. Masalah soal (pengunjung) wisata ke Kulonprogo atau ke Borobudur, tinggal jalannya saja yang diperlebar. Dari pada sini jadi bandara komersil sedangkan kekuatan militer di tengah kota, coba jika terjadi pengeboman, kan, kena semua warga kota.

Kalau untuk kota wisata dan industri tidak harus bangun bandara. Bangun bandara itu dampaknya besar, bisa melibas tanah warga. Kalau wisata saja, kan, tidak berdampak sebesar itu, karena tanah warga masih bisa dimanfaatkan warga sendiri. Itu harapan kami. (mut/nqm)


https://tirto.id/jika-bandara-berdiri-penggusuran-akan-terus-terjadi-bZHJ# 

Senin, 17 Oktober 2016

[Press-Release] Petani Surokonto Wetan Turun Kampung Mencari Keadilan

Perkumpulan Petani Surokonto Wetan 

Siaran Pers


Turun Kampung Mencari Keadilan


[Foto: Michelle R Yuditha]


(Jakarta, 17 Oktober 2016), Sekira 75-an orang dari Desa Surokonto Wetan, Kabupaten Kendal mendatangi Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan pengaduan. Mereka adalah perwakilan para petani yang terusir karena tukar menukar kawasan hutan atas nama PT Semen Indonesia (Persero), Tbk utuk lokasi plant site pabrik dan tambang di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan RI nomor : SK.643/MENHUT-II/2013 tanggal 25 september 2013 tentang penunjukan kawasan hutan produksi tetap yang berasal dari lahan pengganti dalam rangka tukar menukar kawasan hutan atas nama PT. SI yang terletak di desa Surokonto Wetan, kecamatan Pageruyung, Kab. Kendal Provinsi Jateng seluas + 127, 821 Ha.

Nur Aziz selaku perwakilan warg, secara khusus menjelaskan kedatangan mereka diterima oleh Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan – KLHK, San Afri Awang. “Saya mendampingi warga saya, bertemu Pak San Afri Awang karena mendengar kabar dari dulur-dulur kami di Rembang, bahwa Mahkamah Agung dalam perkara dengan nomor register 99 PK/TUN/2016 mengabulkan Peninjauan Kembali warga Rembang sehingga ijin lingkungan PT Semen Indonesia batal demi hukum.”

“Kami merasa perlu bertemu Pak San Afri Awang, karena desa kami menjadi lokasi tukar guling PT Semen Indonesia, Desa kami ditetapkan menjadi kawasan hutan. Padahal warga kami sudah dari tahun1972 mengelola tanah secara produktif. Akibat dari penetapan kawasan hutan itu, 26 orang petani dilaporkan ke Polres kendal dengan tuduhan Pasal 94 jo 19 Undang-Undang nomor 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan pengrusakan hutan. Saat ini ada 3 orang menjadi terdakwa dan sedang menjalani sidang di Pengadilan Negeri Kendal.” tuturnya.

Berdasarkan pusat data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang lokasi lahan pengganti dalam rangka tukar menukar kawasan hutan itu diduga belum clear and clean. Lokasi lahan pengganti itu adalah eks tanah Hak Guna Usaha (HGU) yang menjadi sengketa antara Sekecer Wringinsari dan PT sumurpitu. Sementara itu, lahan tersebut juga telah dikelola dan ditanami tanaman musiman oleh warga sejak tahun 1972.

“Negara kita adalah negara hukum, dengan batalnya ijin lingkungan PT Semen Indonesia, maka seharusnya Kementrian Lingkungan Hidup segera membatalkan keputusan Menteri Kehutanan RI nomor: SK.643/MENHUT-II/2013 tanggal 25 september 2013.“ tutup Atma , LBH Semarang. 

***

NUR AZIZ : 0812-2900-4869

Sabtu, 15 Oktober 2016

Puluhan Petani di Blitar Ditangkap

Sabtu 15 Oct 2016, 18:41 WIB
Erliana Riady - detikNews

Puluhan petani di Blitar ditangkap/Foto: Erliana Riady

Blitar - Puluhan petani dari Desa Ngadirenggo RT 01/RW 15 Kecamatan Wlingi Kabupaten Blitar, ditangkap polisi saat menanami lahan yang diklaim milik leluhurnya, Sabtu (15/10/2016).

Sis, salah satu petani yang ikut diamankan mengaku bingung kenapa dirinya ditangkap. Padahal dia hanya menanam ketela pohon di lahan yang sudah puluhan tahun digarap keluarganya.

"Saya ini menanam ketela, lha kok tiba-tiba ditangkap ini kenapa. Kalau memang tidak boleh ditanami mbok ya dijaga polisi. Kami dikasi tahu, jangan ditangkap seperti ini, wong keluarga saya sudah puluhan tahun nanami lahan ini," katanya.

Kapolres Blitar AKBP Slamet Waloya menyebut dua warga dinyatakan sebagai provokator. Sedangkan 42 petani lainnya diberikan pasal tipiring.

"Dua orang atas nama SJ dan DR kami tetapkan sebagai provokator. Penangkapan ini kami lakukan setelah ada mediasi antara dua pihak dan memberikan penjelasan hukum kepada warga. Namun mereka bersikeras menyatakan jika itu merupakan tanah leluhurnya," ungkapnya.

Penangkapan dilakukan atas laporan Suparto (71) warga Dusun Popoh RT 02/RW 01 Kecamatan Selopuro Kabupatena Blitar. Pelapor yakni pimpinan di PT Dewi Sri Perkebunan Sengon yang memegang sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) No 13 yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang berlaku hingga tahun 2036.

PT Dewi Sri selama ini menanam karet, kopi dan cengkeh. Dalam laporannya dinyatakan bahwa selama ini terdapat sekelompok orang warga dekat kebun dipimpin SJ dan DR yang berusaha menguasai tanah kebun.

Dan pada hari Selasa (11/10) sekitar pukul 09.00 WIB di rumah DR beralamat di Dusun Sumberarum RT 01/RW 10 Desa Tegalasri Kec. Wlingi sebanyak kurang lebih 50 petani dikumpulkan.

DR, kata Suparto, mengajak orang-orang tersebut menanami tanah milik PT Dewi Sri Perkebunan Sengon dengan tanaman Palawija yang sedianya dilakukan 15 Oktober 2016.

Saat ini, 42 petani yang terkait tipiring sudah dipulangkan dengan sanksi wajib lapor. Sementara dua orang diduga sebagai provokator masih diperiksa polisi. Mereka terancam pasal 160 tentang penghasutan.

Sementara, Trianto selaku penggiat reforma Agraria Blitar mengecam penangkapan terhadap puluhan petani yang dilakukan polisi.

"Ini adalah ekses dari perlunya segera dilakukan reforma agraria, penangkapan itu tidak perlu dilakukan. Seharusnya negara hadir disaat seperrti ini sebagai mediator antara warga dan pemegang HGU untuk mendapatkan kesepakatan bersama," pungkasnya.
(fat/fat)


http://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-3321665/puluhan-petani-di-blitar-ditangkap?utm_source=News&utm_medium=Msite&utm_campaign=ShareFacebook

Kamis, 13 Oktober 2016

Gerakan Petani Kulonprogo Melawan SG dan PAG



KULONPROGO merupakan salah satu wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang terletak di wilayah selatan Samudra Hindia. Awal mula lahirnya Kulonprogo tidak terlepas dari peristiwa penyerangan Raden Trunojoyo ke kerajaan Mataram yang kala itu dipimpin oleh Amangkurat I.

Peristiwa penyerangan itu terjadi sekitar tahun 1674, dengan kekalahan di kubu kerajaan Mataram. Amangkurat I pun melarikan diri dan meminta bantuan ke Belanda. Karena wilayah Mataram yang kosong, maka dipimpinlah oleh Adipati Anom yang kala itu mendeklarasikan dirinya menjadi raja Mataram dengan gelar Amangkurat II. Tak lama berselang, raja baru ini kemudian berhasil menundukkan pemberontakan Tronojoyo melalui bantuan Bupati Ponorogo dengan pasukan khusunya para Warok. Keberhasilan penumpasan disambut dengan pemberian hadiah istimewa kepada Warok, berupa lahan yang berada di sebalah barat kraton Mataram. Wilayah tersebut kemudian diberi nama Kulon Ponorogo lalu berubah menjadi Kulon Progo.

Seiring bergantinya kepemimpinan kerajaan Mataram, belum terusik secercak nasib Kulon Progo. Hingga tiba pada suatu masa lahirlah sebuah perjanjian Giyanti yang melibatkan VOC dan kerajaan Mataram pada tanggal 13 Februari 1755. Perjanjian tersebut melahirkan beberapa kesepakatan, diantaranya adalah pembagian wilayah Mataram menjadi dua bagian, yakni wilayah di sebelah timur dan wilayah sebelah barat, yang selanjutnya menyebabkan kerajaan pecah menjadi dua bagian. 
Lebih jelasnya, untuk wilayah Kali Opak-melintasi daerah Prambanan  dikuasai oleh pewaris tahta Mataram (yaitu Sunan Pakubuwana III) yang berkedudukan di Surakarta. Adapun untuk bagian wilayah di sebelah barat – wilayah pusat kerajaan Mataram yang sesungguhnya, diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Yogyakarta.

Jika kita menelisik lebih dalam akan Perjanjian Giyanti 1755 sebagai asal-usul Kasultanan dan Perjanjian Paku Alam-Rafles 1813 sebagai asal-usul Pakualaman, sebenarnya tidak ada sama sekali yang menyebutkan bahwa Kraton adalah pemilik sah dari seluruh tanah di wilayah DIY. Kedua perjanjian tersebut justru menyatakan bahwa Kasultanan Yogyakarta (1755-1945) dan Kadipaten Pakualaman (1813-1945) adalah Badan Hukum Swapraja Feodal, berada di bawah kedaulatan Pemerintah Kolonial, tunduk pada Hukum Kolonial (Rijksblad), dan sejak semula tidak pernah memiliki tanah, sehingga tidak pernah mewariskan tanah

Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Pada tahun 1961, bekas tanah-tanah swapraja telah menjadi objek Reforma Agraria (landreform) melalui PP No 224 /1961. Kemudian Pada 1984, melalui Keputusan Presiden 33/1984 tentang Pemberlakuan UUPA sepenuhnya di DIY, diterbitkan karena desakan Sri Sultan HB IX (Kepala Daerah) dan DPRD, aturan ini pun mulai berlaku sejak 1 April 1984.

Selain itu, hal yang juga tidak bisa dilewatkan adalah adanya dinamika politik yang tercatat dalam serpihan sejarah ihkwal penerbitan Keputusan Presiden. Yakni diterbitkanya Perda DIY No 3 Tahun 1984. Melalui Kemendagri No 66/1984 dan Perda DIY No 3/1984 yang isinya menghapuskan Rijksblad-rijksblad yang jadi dasar hukum Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG). Bisa diartikan bahwa sejak 1984, secara resmi dan atau bisa diastikan jika sudah tidak ada SG/PAG lagi di DIY. Bukti bahwa SG/PAG tidak berlaku kemudian diterbitkanya sertifikat hak milik dari tanah dari letter C/D/E yang pada tahun 1918 tidak bersertifikat.

Ketika SG dan PAG sudah dinyatakan tidak berlaku oleh HB IX, banyak warga di wilayah pesisir Kulonprogo dan sekitarnya kemudian membuka lahan baru, yang awalnya merupakan alas dan semak- semak tak berpenghuni. Tak hanya itu, banyak warga juga yang mendiami wilayah pesisir mulai bercocok tanam, karena melihat lahan kosong tak berproduksi. Maka rakyat itu kemudian menyulap lahan kosong tersebut menjadi lahan pertanian untuk menunjang kehidupan masyarakat.

Namun apa yang terjadi saat ini? Di wilayah Kulonprogo hampir seluruhnya diklaim sebagai tanah SG dan PAG melalui produk Undang-Undang Kesitimewaan nomor 13 tahun 2012 yang dilahirkan kembali sebagai sebuah upaya untuk menguasai tanah di seluruh DIY. Hal tersebut bisa dilihat dari pasal- pasal yang mempunyai kekuatan besar dalam menghidupkan kembali roh tanah Sultan dan Pakualaman, di antaranya pasal 5, 7, 32 dan 33 yang menyatakan jika semua tanah yang ada di DIY adalah milik Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman. Tidak sampai di situ, Sultan HB X juga pernah dengan tegas mengungkapkan jika di DIY tidak ada tanah Negara.

Hal inilah kemudian menjadi titik awal munculnya konflik agraria dengan desa-desus polemik hak atas tanah yang kini diklaim oleh kasultanan dan Kadipaten Pakualaman melalui legitimasi UUK dengan simbol-simbol (SG) dan (PAG).

Jika memang dalih-dalih Sultan adalah tinjauan historikal “sejarah kerajaan”, maka harusnya tanah di Kulonprogo itu bukan lagi milik Sultan atau Pakualaman. Itu punya kerajaan Mataram dan kerajaan Mataram pun sudah memberikan hadiah kepada Warok yang berjasa atas penuntasan Raden Trunojoyo. Warok tersebutlah yang menempati tanah-tanah pemberian Amangkurat II untuk dihuni.
 Diperkuat lagi dengan penghapusan SG dan PAG oleh HB IX. Sehingga tanah di atas tanah yang kini diduduki warga Kulonprogo sebenaranya tidak ada hubunganya dengan Sultan Ground dan Pakualaman Ground.

Perlawanan Petani di Kulonprogo

Setelah kurang lebih 20 tahun berlalu, gerakan tani kembali bangkit sebagai aktor yang memainkan peran penting dalam menggerakkan sektor-sektor pertanian lokal. Para petani berdiri di garis terdepan untuk melakukan perlawanan terhadap rezim kapitalis-neoliberal. Seperti halnya yang dilakukan oleh gerakan-gerakan petani di Brazil.

Upaya- upaya perlawanan terus mengelora, bak riak gelombang ombak yang berderu dari hari ke hari. Tak pernah surut, apalagi behenti. Hal ini menjadi pertanda jika amuk gerakan petani berbasis lokal memang menjadi motor penggerak. Mereka (kaum tani) ini secara serentak melakukan mobilisasi massa, kemudian melakukan pendudukan atas tanah yang mereka inginkan. Seperti yang dilakukan oleh MST (buruh tani yang tak bertanah di Brazil), kemudian gerakan petani di Bolivia dan daerah sekitarnya yang berhasil menurunkan penguasa yang korup dan bahkan mampu melawan rezin perdangan bebas yang diciptakan oleh Negara Adidaya-Amerika.

Sampai saat ini cara-cara yang dirasa masih efektif dari perjuangan petani dengan basis lokal ialah melakukan tindakan turun langsung ke jalan melalui aksi massa dan menyuarakan suara-suara yang diresahkan oleh petani. Banyak di antara mereka memlih jalan turun langsung ketimbang mengupayakan sistem elektoral yang, bagi petani, tidak akan menyelesaiakn persoalan utama. Sebab tidak ada jalan lain, tipu-tipu muslihat kaum borjous sudah melekat diigatannya para petani.
 Ketika kaum tani sudah bergerak, maka jalan satu-satunya yang dapat mengubah tata sosial-kultural rakyat adalah dengan turun ke jalan, melakukan blokade, menduduki pemerintahan, dan kampanye langsung isu-isu yang diperjuangkan.

Selain itu, kaum tani yang berada di sektor desa pada khusunya, kini sudah banyak yang menyadari dampak yang diterima jika lahan produktif mereka diambilalih dan atau diubah menjadi sebuah lahan produksi yang jauh dari pekerjaan petani. Kesadaran kolektif tersebut kemudian mengonstruksi stigma perlawanan yang mengakar.

Di wilayah Kulonprogo yang sebagian warganya merupakan petani, riak-riak perlawanan sudah mulai diteriakkan untuk memperjuangkan hak atas petani sendiri. Kenapa itu dilakukan? Sebab ruang hidup petani sudah direbut oleh rezim penguasa yang sudah melahirkan kembali SG dan PAG.

Kelahirannya tersebut kemudian menuai kontroversi dan bahkan perlawanan dari rakyat sendiri. Betapa tidak, misi besar dari kelahiran bayi dengan mengklaim seluruh tanah di DIY sudah menyengsarakan rakyat. Warga yang menempati tanah mereka sejak dulu, kini mulai mendapatkan represi yang sangat tinggi dari pemerintahan. Mereka dipukul, ditendang, dirampas haknya bahkan ada yang sampai di penjara. Kemunculan SG dan PAG inilah yang menjadi muara dari lahirnya konflik agraria di DIY.

Menurut catatan Pemda DIY, tanah-tanah SG dan PAG yang berhasil diinventarisir pada 2014 lalu sebanyak 744 bidang, dengan rincian 166 bidang di Kota Jogja, 471 bidang di Bantul, 216 bidang di Kulonprogo, 54 bidang di Gunungkidul dan 137 bidang di Sleman.

Jika dibandingkan dengan tahun 2013, setahun setelah UU disahkan, DIY juga berhasil menginventarisasi 2.000 bidang  di Gunungkidul, 1000 bidang di Bantul. Inventarisir tanah-tanah ini terus dilakukan oleh pemerintah sampai seluruh tanah berhasil dikuasai.
Proses penjarahan tanah besar-besaran yang dilakukan pihak kerajaan atas nama pemerintah ini kemudian menimbulkan keresahan rakyat. Ketenangannya diusik, ketentramannya diberangus, sumber kehidupanya dirampas.

Menyaksikan penderitaan yang kian hari kian menjadi-jadi, rakyat Kulonprogo kemudian membentuk gerakan sosial yang berorientasi hak atas tanah dengan misi melawan penguasa yang merampas tanah-tanah rakyat dengan cara feodalistik. Tak sampai di situ, mereka juga menyusun agenda-agenda perlawanan baik jangka pendek, menengah dan panjang.

Maka pada 1 April tahun 2006, warga pesisir dari 4 kecamatan dan 10 desa membentuk Paguyuban Petani Lahan Pesisir Kulon Progo (PPLPKP), dengan misi menolak penambangan pasir besi yang dikelola oleh PT JMI yang kini sebagian sahamanya dikelola oleh keluarga Sultan HB X.

Perlawanan dengan aksi-aksi langsung kemudian diterapkan oleh gerakan petani di Kulonprogo, seperti menduduki kantor Lurah, kantor Bupati sampai Kantor Gubernur. Tidak berhenti di situ, gerakan petani ini kemudian melakukan kampanye besar-besaran di sepanjang jalan raya yang menjadi basis perjuangan mereka. Mereka juga tetap menanam walaupun lahan mereka akan digusur. Bagi warga PPLP “Menanam adalah Melawan”

Melihat reaksi petani yang kencang, pemerintah pada tahun 2014 kemudian mengkriminalisasi Tukijo, salah satu warga PPLP. Tak berselang lama ia kemudian ditangkap dan dicebloskan ke dalam penjara dengan masa kuruangan 3 tahun. 
Tidak sampai di situ, rezim monarki-fasis ini juga melakukan intimidasi yang kian kuat, agar petani menyerahkan tanahnya. Namun hal tersebut tidak menyurutkan proses perjuangan petani untuk terus berjuang. Sampai detik ini, PPLP terus melakukan perlawanan dengan misi mengembalikan hak yang sepenuhnya dimiliki oleh warga dan menolak penambangan pasir besi.

Tak hanya PPLP, Wahana Tri Tunggal (WTT) yang juga merupakan gerakan petani yang lahir atas luapan-luapan kebengisan sang Raja, juga melakukan perlawanannya. Misi utamannya jelas penolakan bandara internasional yang akan dibangun di atas lahan pertanian produktif warga seluas 634,5 hektar.

Rakyat yang sudah sejak dulu menanam, kini harus menerima kenyataan jika saat ini ada bahaya besar melanda. Pembangunan bandara akan menggusur 2.87 5KK dengan populasi 11.501 jiwa di 6 desa. Tak hanya itu, adanya bandara juga akan menghilangkan penghasilan pertanian sebanyak 30 ton semangka, 50 ton cabai, 7, 5on jagung dan 2500 buah melon permusim tanam dalam hitungan satu hektar tanah warga.

Akumulasi dari keresahan-keresahan rakyat itulah kemudian mengonstruksi pikiran rakyat untuk terus bertahan dan melawan. Hal ini selanjutnya menciptakan landasan perjuangan gerakan petani di Kulonprogo, sehingga mereka masih tetap konsisten berdiri di atas tanah mereka sendiri. Tak hanya itu, WTT dan PPLP juga merumuskan strategi dan taktik pelawanan yang konkrit untuk menolak SG dan PAG.

WTT dengan sikapnya tidak mengikuti semua agenda dari pemerintah yang berkaitan dangan bandara serta membangun propaganda berupa perayaan hari perjuangan untuk menstimulus perjuangan WTT. Pun hal yang sama dilakukan oleh PPLP, dimana mereka coba menyuarakan suara-suara rakyat dengan membuat pamflet-pamflet perjuangan menolak SG dan PAG di pinggir-pinggir jalan dan membangun jaringan solidaritas kepada seluruh warga yang terdampak penggusuran oleh rezim penguasa.

Kesamaan misi untuk menolak SG dan PAG menjadikan gerakan petani di Kulonprogo semakin kuat. Ditambah lagi dengan solidaritas dari Akademisi-NGO-aktivis, dan kaum miskin kota, sehingga membuat gerakan petani di Kulonprogo semakin merasakan kepercayaan diri untuk terus melakukan penolakan atas SG dan PAG.

Hidup manusia memang tidak ada yang abadi. Satu-satunya yang akan terus ada sampai keturunan yang akan datang hanyalah tanah. Jika tanah kaum tani sudah dirampas, maka jangan salahkan ketika gelombang perlawanan muncul dengan jumlah yang besar.

Lantas yang menjadi pertanyaan yang masih terngiyang-ngiyang dalam benak pikiran, apakah gerakan petani di Kulonprogo akan terus bertahan dan semakain kuat membendung serangan investor dan penguasa kapitalis-neoliberalis? Ataukah ini memang menjadi sebuah pertanda akan muncul Warok-Warok baru untuk melawan penguasa?
 
Bait lagu Dialita dalam album “Dunia Milik Kita” pada judul lagu ‘Salam Harapan’ mengingatkan kita akan perjuangan WTT dan PPLP yang gigih berjuang untuk merebut hak hidup mereka. Rakyat pasti akan menang. Yakinlah!!!
Bagai gunung karang di tengah lautan Tetap tegak didera gelombang Lajulah laju p’rahu kita laju Pasti ‘kan capai pantai cita

Penulis aktif di lembaga Komunitas Penikmat Senja

Kepustakaan:
Sejarah dan Hukum Pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta
Berita harian Jogja http://harianjogja.bisnis.com/read/20150807/1/2679/berapakah-luas-sultan-ground-dan-paku-alam-ground, 22 September 2016
Sejarah Kerajaan TrunoJoyo https://id.wikipedia.org/wiki/Trunojoyo, 22 September 2016
Rekam Jejak erjuangan Masyarakat Pesisir Kulonprogo:
https://kulonprogotolaktambangbesi.wordpress.com/2011/02/10/rekam-jejak-perjuangan-masyarakat-pesisir-kulon-progo-versi-singkat/, 22 September 2016

Selasa, 06 September 2016

Reforma Agraria Jokowi bukan Reforma Agraria Sejati

September 6, 2016

(Pernyataan Sikap Pimpinan Pusat Aliansi Gerakan Reforma Agraria  (PP-AGRA) menyambut peringatan 56 tahun Hari Tani Nasional 24 September 2016)



Tolak reforma agraria palsu, laksanakan reforma agraria sejati untuk mengakhiri monopoli tanah dan menjamin hak rakyat atas tanah

ill: SindoNews

Reforma Agraria (RA) yang akan dijalankan oleh Pemerintah Jokowi-JK adalah reforma agraria palsu. Ini bukanlah reforma agraria sejati sebagaimana harapan kaum tani dan rakyat Indonesia di seluruh penjuru negeri. Reforma agraria sejati harus dapat menjadi jalan untuk mengakhiri penghisapan dan penindasan kaum tani dan rakyat Indonesia akibat monopoli, perampasan tanah, dan konflik agraria.
Tahun 2016, Jokowi telah mengumumkan program percepatan pelaksanaan program strategis nasional reforma agraria. Kebijakan ini berdasar pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2017, khsususnya untuk prioritas nasional reforma agraria yang dipimpin melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Lebih lanjut, pada 3 Juni 2016, telah dibentuk Tim Kerja Reforma Agraria melalui Kantor Staf Kepresidenan (KSP) yang telah menyusun persiapan dan pelaksanaan reforma agraria dengan koordinasi dengan sejumlah Kementerian dan Lembaga terkait. Strategi Nasional (Stranas) Pelaksanaan Reforma Agraria 2016-2019 telah disosialisasikan di provinsi Jambi, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tengah (Juli – Agustus 2016).

Dari Stranas ini dapat dicermati bahwa target pencapaian utama RA Jokowi melalui dua skema pelaksanaan. Pertama, terget pencapaian 9 juta Ha; 4,5 juta Ha untuk legalisasi dan 4,5 juta Ha untuk redistribusi lahan. Program legalisasi adalah untuk tanah transmigrasi yang belum bersertifikat seluas 0,6 juta ha dan 3,4 juta ha tanah asset Program Nasional Lintas Sektor (PRONA) yang sebagian besar milik pemerintah/tentara/polisi, dan hasil penyelesaian konflik. Sedangkan 4,5 jt Ha untuk redistribusi menyasar lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang telah habis masa berlakunya dan tanah terlantar seluas 0,4 juta hektar, dan 4,1 juta Ha dari pelepasan kawasan hutan. Kedua, target pencapaian 12,7 juta Ha untuk alokasi Perhutanan Sosial seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR).

Dari kedua target ini diketahui bahwa:

Pertama, Inti dari kebijakan RA Jokowi adalah legalisasi asset atau sertifikatisasi yang justru berorientasi untuk memperluas pasar tanah (land market) dan kredit perbankan. Dalam jangka panjang, program ini semakin membuka peluang perampasan tanah karena sertifikasi hanya akan memudahkan praktik jual-beli tanah yang menguntungkan tuan tanah dan perbankan yang menyita asset kaum tani. Program ini terkait dengan skema Bank Dunia sebelumnya melalui Land Administration Project (LAP).

Tanah perhutanan tidak dibagikan dengan memberikan hak penuh kepada rakyat namun dijalankan dengan skema tumpang sari yang memungkinkan terjadinya sistem bagi hasil yang tidak adil. Selain itu, lahan hasil redistribusi intinya hanya menyasar seluas 400.000 Ha tanah bekas HGU dan tanah telantar, bukan mengakhiri eksistensi monopoli tanah yang saat ini masih berlanjut. Dengan program ini, Reforma Agraria pemerintahan Jokowi justru akan melestarikan monopoli tanah oleh korporasi skala besar yang tetap berkuasa memonopoli  tanah, menghisap dan menindas buruh tani dan tani miskin.

Kedua,  Program Reforma Agraria Jokowi tidak memiliki ketegasan terhadap penguasaan tanah besar jutaan hektar (perkebunan besar, hutan, Taman Nasional, dan pertambangan raksasa) oleh tuan tanah besar yang diwakili korporasi raksasa milik asing, perusahaan besar Negara, dan swasta dalam negeri sebagai dasar kokohnya sistem monopoli tanah dalam sistem pertanian terbelakang di Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan keterbelakangan tenaga produktif di perdesaan, kemiskinan dan kemalaratan yang meluas, dan kekerasan yang dialami petani dan rakyat akibat perampasan tanah.

Ketiga, Program RA Jokowi tidak memiliki kontrol atas sarana produksi (bibit, pupuk, obat-obatan, teknologi dan alat kerja) dan harga produk pertanian sehingga dapat melindungi kaum tani. Sebaliknya, Negara hanya memberikan keleluasaan bagi perusahaan besar asing mengontrol sarana produksi dan harga pertanian. Kondisi ini akan semakin memburuk ketika Pemerintah tidak mampu menjamin upah dan perbaikan penghidupan kaum tani, semakin besarnya peribaan (bunga kredit perbankan, lintah darat) karena kegagalan dalam meningkatkan produksi dan perekonomian tani.

Keempat, RA Jokowi tidak lahir dari dukungan langsung dan menyeluruh dari kaum tani Indonesia melalui organisasi massa tani. Proses penyusunan program dan tim kerja RA Jokowi tidak mewakili posisi kaum tani dan organisasinya di dalam keseluruhan proses persiapan dan pelaskanaan RA Jokowi.

AGRA dan kaum tani berpendirian bahwa reforma agraria sejati memastikan perombakan struktur agraria secara menyeluruh, tidak parsial. Reforma agraria sejati menjadi dasar utama pembangunan industri nasional sehingga dapat menjadi jalan bagi seluruh masalah rakyat Indonesia secara ekonomi, politik, dan kebudayaan.

Oleh karena itu AGRA menyatakan sikap:
  1. Menolak Reforma Agraria Jokowi-JK dan menuntut pelaksanaan Reforma Agraria Sejati.
  2. Hentikan persiapan dan pelaksanaan reforma agraria yang saat ini dijalankan karena hanya akan membiaskan makna Reforma Agraria Sejati dan membohongi rakyat dengan konsep reforma agraria palsu.
  3. Hentikan monopoli dan perampasan tanah kaum tani dan rakyat Indonesia di berbagai daerah akibat pengembangan investasi di berbagai sektor: perkebunan skala besar, kehutanan, pertambangan, energi, infrastruktur, pariwisata, proyek reklamasi di seluruh wilayah pesisir Indonesia, dan pembangunan pusat-pusat bisnis dan properti komersil di perkotaan.
  4. Hentikan penggusuran, intimidasi, teror, kekerasan, kriminalisasi terhadap kaum tani dan seluruh rakyat indonesia yang memperjuangkan hak-hak demokratisnya. Berikan ganti rugi kepada rakyat dan berikan jaminan atas kerja dan penghidupan bagi kaum tani yang telah menderita akibat operasi khusus Negara, seperti operasi khusus Tinombala di Sulawesi Tengah, yang telah merampas hak hidup kaum tani untuk dapat bekerja di lahan mereka.
  5. Menyerukan kepada seluruh kaum tani dan rakyat Indonesia untuk bersatu menyuarakan dan memperjuangkan hak-hak demokratis, khususnya dalam momentum peringatan Hari Tani Nasional 2016.
 Hidup perjuangan kaum tani Indonesia!
Hidup perjuangan rakyat !

Pimpinan Pusat Aliansi Reforma Agraria (PP-AGRA)
CP: Mohammad Ali 082120135553 (Sekjend PP AGRA)


http://agraindonesia.org/reforma-agraria-jokowi-bukan-reforma-agraria-sejati/

12 Tahun Tolak Lupa | Menolak Takluk


Selamat sore
semoga anda #masihingat kalau esok, merupakan 7 September yang ke-12 setelah Munir Said Thalib tewas di udara.

Coba perhatikan. Kasus Munir, makin diacuhkan penyelesaiannya, kasusnya justru makin diingat masyarakat. Setelah 12 tahun, kasus Munir berujung tanpa hasil. Pemerintahan Jokowi melanggengkan kebisuan ini.
Pemerintahan hari ini cuma bisa gonta-ganti menteri. Presidennya cuma bisa hadir diacara forum ekonomi atau forum dijital. Tidak paham apa yang dicari. Presiden hari ini tidak paham arti keadilan. 

Kasus Munir, menjadi 'makam' atas kasus-kasus lainnya. Di makam ini kita bisa lihat yang jahat dapat jabatan, pengusaha bisa membeli keputusan penegak hukum, kejahatan baru membabi buta. Berbagai fenomena ini terlihat jelas. Wiranto jadi Menteri, pembakar lahan bebas hukuman, brutalitas polisi terus menjadi-jadi. 

12 tahun lalu ketika kasus Munir terjadi, kita tahu Badan Intelijen Negara (BIN) diselewengkan oleh pejabatnya untuk membunuh Munir. Lalu hari ini, BIN diserahkan kepada seseorang yang rendah akuntabilitasnya. Sekali lagi, Presiden Jokowi tidak punya ukuran yang jelas mengapa memilih BG sebagai Kepala BIN. Sementara, tidak mungkin mereformasi BIN tanpa pernah menuntaskan kasus Munir, itu merupakan syarat mutlak! 

Hari ini bukan kita kasihan pada Suci-istri Munir dan anak-anaknya, melainkan, kita sebagai bangsa menjadi nestapa karena tengah memiliki pemimpin tanpa roh keadilan dan jauh dari keberanian. 

Jakarta, 6 September 2016

Salam,

Haris Azhar
Koordinator KontraS

Senin, 05 September 2016

Budi Wardoyo: “Kita Harus Berdiri Berhadap-hadapan Dengan Pemerintah”


PADA 30 Oktober 2015, puluhan ribu buruh melakukan aksi menolak Peraturan Pemerintah (PP) No. 78/2015 Tentang Pengupahan. PP 78/2015 dianggap merugikan buruh, karena penetapan upah dihitung berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional, tidak lagi menggunakan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Aksi tanggal 30 Oktober 2015 tersebut berakhir dengan pembubaran paksa dan kriminalisasi terhadap 26 aktivis—23 aktivis buruh, 2 pengacara LBH Jakarta dan 1 aktivis mahasiswa.

Selasa, 30 Agustus 2016 lalu adalah sidang ke-20 dari kasus kriminalisasi tersebut. Sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat itu menghadirkan Budi Wardoyo dari Politik Rakyat sebagai saksi yang meringankan para aktivis. Dalam kesaksiannya, pria yang akrab dipanggil Yoyok itu menekankan tidak ada yang salah dalam aksi penolakan terhadap PP 78/2015. Aksi yang berlangsung malam hari bukan alasan untuk mempidanakan para aktivis. Ia juga menekankan, buruh harus tegas menentang rezim Jokowi-JK karena mereka telah merampas upah. Berikut ringkasan kesaksian Budi Wardoyo dalam persidangan sesat tersebut:

Hakim:
Saudara tinggal di kelurahan mana?

Yoyok:
Kelurahan mana ya, di Rawamangun, Jakarta Timur.

Hakim:
Ada KTPnya?

Yoyok:
KTP saya masih hilang, saya baru mengurusnya lagi, makanya saya pakai paspor. Saya dari Politik Rakyat.

Hakim:
Kenapa buruh melakukan unjuk rasa pada 30 Oktober 2015?

Yoyok:
Jadi latar belakangnya, waktu itu pemerintahan Jokowi-JK mengeluarkan paket-paket ekonomi. PP 78 yang ditolak semua serikat buruh adalah bagian dari paket ekonomi jilid IV. Paket I-IV secara kasat mata melindungi investor dan para pengusaha. Misalnya, paket I adalah untuk mendorong proyek-proyek strategis. Paket II untuk menarik investor sebanyak-banyaknya dengan cara debirokratisasi dan deregulasi. Paket III memberikan subsidi pada para pengusaha, misalnya, dengan BBM perusahaan dan energi untuk industri ditambah. Paket IV yang kemudian melahirkan PP 78, justru semakin menegaskan bahwa seluruh paket ekonomi saat itu memang untuk kepentingan segelintir pemodal, bukan untuk rakyat. Karena PP 78 yang merupakan bagian dari paket IV membatasi kenaikan upah berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Padahal, kenaikan upah sebelumnya sudah bisa 20 persen di beberapa kota. Tapi, dengan adanya PP 78, kenaikan hanya 10-11 persen.

Hakim:
Apa tujuannya konfederasi-konfederasi serikat itu melakukan aksi?

Yoyok:
Ketika pemerintahan Jokowi-JK mengeluarkan paket, itu juga diikuti dengan ancaman oleh pemerintah. Misalnya, Luhut sudah meneror rakyat, buruh, “kalau ada yang macam-macam, akan saya libas seperti Papua.” Tanggal 29 Oktober, Ahok juga mengeluarkan statement yang sama khusus di Jakarta dengan Peraturan Gubernur tentang pembatasan aksi unjuk rasa. Kapolri mengeluarkan surat edaran hate speech, kritik-kritik di medsos akan dikenakan hukum pidana.
Di buruh, sama dengan gerakan lain, menyadari paket ekonomi yang dilindungi paket represi, tidak bisa dibiarkan. Ini harus ditolak. Ada rangkaian upaya perlawanan. Aksi 30 Oktober hanya salah satu dari rangkaian menolak PP 78. Rangkaian besarnya sampai pemogokan nasional ke-III yang waktu itu diharapkan bisa membuat pemerintah mencabut PP 79, walaupun setelah mogok, PP 78 masih dijalankan.
Tujuan aksi tanggal 30 adalah pertama tentu saja menuntut pencabutan PP 78 tahun 2015. Kedua, meneguhkan sikap, sekalipun Luhut, Ahok, sudah melakukan teror terhadap protes rakyat, bagi buruh, ketika upah dirampas, mau tidak mau kita harus berdiri berhadap-hadapan dengan pemerintah.

Hakim:
Ada kelompok-kelompok lain yang melakukan aksi?

Yoyok:
Jadi, di luar teman-teman buruh, saya bukan dari organisasi buruh, tapi Politik Rakyat, ada teman-teman mahasiswa, seperti Hasim, dia dari Federasi Mahasiswa Kerakyatan (FMK), ada juga Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), yang salah satu mantan ketuanya menjadi terdakwa, juga Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), teman-teman pemuda dalam KPOP, Asosiasi Pelajar Indonesia, ada teman-teman dari Persatuan Perjuangan Indonesia, Perempuan Mahardhika, Pelangi Mahardhika, organisasi LGBT yang bersolidaritas dengan teman-teman buruh.

Hakim:
Ada sekitar berapa orang yang berencana turun aksi?

Yoyok:
Bisa sekitar 20 ribu orang yang turun unjuk rasa. Di atas 20 ribu.

Hakim:
Apakah ada Hasim di organisasi mahasiswa itu?

Yoyok:
Hasim adalah salah satu pimpinan FMK yang menjadi bagian dari penolak PP 78.

Hakim:
Hubungannya apa dengan Hasim?

Yoyok:
Setahu saya, FMK memang sudah lama terlibat dalam berbagai aksi advokasi yang berkaitan dengan persoalan-persoalan rakyat. Saya mengenal Hasim 2-3 tahun yang lalu. Saya pernah di Samarinda ketemu dia. Saat itu, momentum kenaikan harga BBM. Hasim bersama teman-teman buruh menolak kenaikan BBM. Dalam kasus penggusuran, di berbagai kota, FMK juga terlibat dalam advokasi warga yang menjadi korban penggusuran, termasuk kasus Rembang, juga perampasan tanah di Urut Sewu, Kebumen.
Dalam persoalan PP 78, teman-teman FMK sedari awal sudah melakukan berbagai kampanye penolakan paket ekonomi beserta turunannya, yang salah satunya adalah PP78. Teman-teman membuat berbagai posko di kampus untuk sosialisasi PP 78 dan menggalang dukungan untuk gerakan buruh yang berencana melakukan Mogok Nasional ke-III.

Hakim:
Apakah ini yang pertama kalinya?

Yoyok:
Tidak, ini sudah kesekian kali, termasuk di pemogokan nasional pertama dan kedua.

Hakim:
Apa peran dan tugas selama demo 30 Oktober 2015?

Yoyok:
Pada tanggal 30, rencananya aksi dipimpin kawan-kawan serikat buruh. Pada tanggal 30 Oktober, Hasim adalah bagian dari massa aksi, meski ia pimpinan.

Hakim:
Kapan Anda bertemu dengan Hasim?

Yoyok:
Setelah maghrib di depan Istana Negara. Setelah maghrib, saya dan Hasim berada dalam satu barisan yang sama. Kebetulan saya dan Hasim ada di dalam. Dia ada di sebelah saya, di seberang jalan.

Hakim:
Tadi Saudara bilang ada sekitar 20 ribu atau lebih massa aksi, apakah konsisten? Masih berjumlah 20 ribu?

Yoyok:
Saya pikir begitu. Dari latar belakangnya, kemarahan buruh sudah sangat tinggi. Bahkan sampai hari ini, teman-teman buruh masih sangat marah ketika pemerintah mengeluarkan PP 78. Sampai sore, massa masih membludak, karena saya tahu kawan-kawan sangat jengkel. Subsidi dihilangkan dan diberikan ke para pengusaha, justru upah buruh dipangkas.

Hakim:
Massa aksi memenuhi Merdeka Utara?

Yoyok:
Iya.

Hakim:
Apakah Anda melihat batasnya?

Yoyok:
Dari depan Istana sampai lampu merah, mendekati RRI.

Hakim:
Merdeka Utara batasnya?

Yoyok:
Sebelum MA dari arah Istana. Lalu lintas semuanya dikunci.
Kawan-kawan dari GBI-KAU tetap dalam keadaan solid dan tidak sedang melakukan tindakan provokasi. Unjuk rasa damai.

Hakim:
Seberapa sering anda melakukan aksi?

Yoyok:
Sudah lama sekali, sejak sebelum Soehato jatuh. Masih melakukan aksi juga karena belum berubah. Sering. Tapi saya ingin mengatakan, ada satu periode dimana aksi hampir selalu dilakukan di malam hari,yaitu di hampir sepanjang 2012. Dulu, kawan-kawan buruh menyebutnya sebagai aksi “Grebek Pabrik” atau “Gruduk Pabrik.” Itu adalah aksi mogok pabrik yang didukung teman-teman buruh dari pabrik lain. Aksi itu tidak mengenal waktu. Polresnya Pak Wahyu yang dimutasi di Jaksel. Aksi bisa dimulai pagi jam 6-7, bisa diakhiri jam 9 malam. Atau sebaliknya, aksi bisa dimulai jam 11 malam. Bisa juga subuh atau selesainya subuh. Yang saya ikuti, di PT 3M di Tambun, aksi dimulai dari pagi, kalau tidak salah selesai jam 3 subuh. Ribuan orang yang datang.

Hakim:
Apa demonya sama seperti 30 Oktober?

Yoyok:
Tentu saja. Ada yel-yel, mobil komando, dalam jumlah besar, meski tidak sebesar tanggal 30. Dalam jumlah 5 ribu, kadang 10 ribu.

Hakim:
Bagaimana respons aparat kepolisian?

Yoyok:
Polisi membantu mengamankan, tapi tidak membubarkan. Pak Wahyu pernah ketemu juga. Pak Wahyu mengatakan, karena banyak pelanggaran dilakukan perusahaan dan tampaknya pemerintah tidak berdaya, dalam hal ini Dinas Tenaga kerja, apa boleh buat, karena ini berkaitan dengan hak-hak normatif buruh, maka buruh harus katakanlah semacam memaksa pengusaha mematuhi undang-undang, karena banyak pengusaha melanggar peraturan dalam hubungan kerja, seperti kontrak terus menerus, kontrak terus sampai tua. Kedua, outsourcing. Karena menyadari ketidakberdayaan pemerintah, buruh menuntut sendiri. Dan itu berlangsung setiap hari dalam 6-7 bulan.. Demonstrasi siang, subuh.

Hakim:
Ada penangkapan tidak?

Yoyok:
Tidak ada penangkapan.

Hakim:
Berapa kali aksi pada malam hari ditangkap polisi?

Yoyok:
Sepengalaman saya, kecuali tanggal 30, saya tidak pernah mendapatkan aksi ditangkap. Kalau pengalaman saya, malam, kalau dibubarkan pernah, tapi tidak sampai penangkapan. Makanya saya heran kenapa teman-teman ada di sini? Seperti aksi tahun 2012, ada gas air mata, bentrok, tapi berikutnya sudah, selesai. Setelah kawan-kawan bubar, ada yang diinterogasi, tapi selesai, tidak ada yang dibawa ke pengadilan. Bahkan saat aksi di DPR bersama teman-teman mahasiswa, bahkan sempat ada air keras, tapi tidak ada yang dikriminalisasi.

Hakim:
Kembali ke demo 30 Oktober 2015, saudara mendengar ada negosiasi soal waktu, Anda ada di barisan depan?

Yoyok:
Informasi yang saya dapat, karena saya tidak terlibat dalam negosiasi, ada kesepakatan menambah waktu.

Hakim:
Apa alasan massa demonstrasi masih bertahan?

Yoyok:
Selain kebebasan berpendapat dilindungi UU, teman-teman yang mengikuti aksi tanggal 30 sadar betul bahwa mereka dilindungi Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Sekitar jam 4, setahu saya, ada perwakilan pemerintah, Hanif Dhakiri, Mensesneg Pratikno waktu itu dan Deputi Kantor Staf Presiden bersedia menemui perwakilan buruh. Tapi dalam pertemuan tersebut, pemerintah justru menegaskan tidak akan mencabut atau membatalkan PP 78, sehingga kawan-kawan keluar dan aksi dilanjutkan, bertahan, untuk memberikan pesan pada pemerintah bahwa PP 78/2015 yang merampas upah buruh, merampok kesejahteraan buruh, tidak bisa dipertahankan pemerintah. PP itu keputusan yang blunder, salah. Aksi sangat tertib, orang hanya berorasi, berteriak, bernyanyi. Barisan sangat rapi.

Hakim:
Ada pengrusakan, lempar batu, pemukulan ke aparat?

Yoyok:
Tidak ada sama sekali. Bahkan ketika teman-teman digebuki gerombolan liar TBC yang belakangan kita ketahui ternyata polisi, tidak ada perlawanan dari teman-teman buruh.
***

Minggu, 04 September 2016

Diskusi KPO PRP “Militerisme dan Anti Militerisme”


Militer memainkan peran ganda, yaitu untuk melancarkan agresi keluar dan melayani kepentingan eksploitasi kapitalis. Hampir semua perang dimasa kapitalisme adalah perang untuk ekspansi para kapitalis. Peran kedua yaitu untuk melindungi tatanan masyarakat kapitalis menunjukan perannya dalam pertarungan kelas.

Untuk mencapai tujuannya maka dari segi teknis perlengkapan militer harus terus disempurnakan. Namun karena faktor utama tetap manusia maka “semangat” yang “benar” harus ditanamkan. “Semangat” tersebut ditanamkan pertama-tama ke tentara aktif, kedua ke populasi yang bisa menopang mobilisasi militer dan ketiga ke populasi lainnya yang berpotensi menjadi basis dukungan bagi tujuan-tujuan militer ataupun anti militer.

“Semangat” melawan musuh dari luar adalah: chauvinisme, bebal, picik dan arogan. “Semangat” melawan musuh dalam negeri adalah: ketidakpahaman, kebencian terhadap kemajuan dan segala sesuatu yang mengancam kelas yang dominan.

Militerisme berkembang menjadi negara di dalam negara. Demikian pula merasuk kedalam bidang ekonomi, sosial dan politik.

Pada tahun 1965, kelas borjuis yang kalah bertarung dengan Soekarno, PKI, dkk semakin bersandar pada militer dalam pertarungan kekuasaan. Para oposisi borjuis justru memberikan konsensi pada militer dengan Deklarasi Ciganjur. Sementara Megawati naik kedalam kekuasaan dengan aliansi bersama militer dan sisa Orde Baru. Dalam Rejim Jokowi-JK pun militer terus menerus dilibatkan dalam persoalan sipil dan politik.

Semua fakta sejarah tersebut menunjukan sisi lain dari berkembangnya militerisme. Yaitu lemahnya iman demokrasi dari kelas borjuis. Selain itu, lemahnya kepemimpinan kelas borjuis. Ketidakmampuan mereka memberikan jalan keluar kesejahteraan mendorong semakin berkembangnya ideologi ultra kanan, termasuk “semangat-semangat” militeristik.

Dibutuhkan sebuah politik sosialis yang revolusioner yang dapat menunjukan dirinya sebagai pejuang demokrasi yang paling konsisten dan teguh. Serta menunjukan jalan keluar dari penindasan militerisme dan kapitalisme.

https://www.instagram.com/p/BJ7DDhCDzmLBHHTrXIiwQlCCR7aWIsLwxSrB800/

Kamis, 01 September 2016

BPN Terbitkan 25 Juta Sertifikat untuk Atasi Konflik Tanah

, CNN Indonesia