This is default featured slide 1 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Kamis, 31 Agustus 2017
Festival Adat "Bau Nyale" Tidak Akan Diadakan Lagi
Senin, 24 Juli 2017
Ketergantungan Baru Petani dalam Program Cetak Sawah TNI
Nurhady Sirimorok*
Wacana "peningkatan produksi" sudah mendominasi dunia pertanian Indonesia sejak masa Orde Baru. Kala itu pemerintahan Orde Baru memanfaatkan modernisasi pertanian ala Revolusi Hijau: input kimia, benih rekayasa, mekanisasi, dan kredit.
Produksi padi kembali menyusut tak lama setelahnya. Kita pun kehilangan banyak ragam benih lokal dan pengetahuan tentangnya. Input kimiawi diterapkan kian intensif demi mempertahankan laju produksi. Diferensiasi sosial masyarakat petani melaju lewat "penggusuran orang-orang dekat": seiring waktu semakin banyak petani harus memulai musim tanam dengan mengutang. Dengan mudah mereka bangkrut setelah menjual tanah, lalu menyaksikan harga sawah melambung oleh mekanisme pasar, menjauh dari jangkauan mereka untuk mendapatkannya kembali.
Ketergantungan pada input dari luar sistem budidaya petani memaksa mereka menjadi "pengusaha" di sektor pertanian, bersaing dalam sistem pasar dengan modal tipis. Banyak dari mereka kemudian tergencet lalu terlempar keluar dari sawah.
Pada Sensus Pertanian paling mutakhir tahun 2013, kebangkrutan ini tampak dengan terang benderang. Sistem pertanian yang di sektor hulu sangat bergantung pada input luar membuat keluarga petani menyusut dalam laju mengkhawatirkan. Tak kalah pentingnya, rerata lahan garapan sawah tetap sangat kecil: 0,39 ha/ keluarga.
Ringkasnya, tujuan untuk "memacu produksi" tidak hanya meruntuhkan produksi, tetapi juga pondasi untuk mencapainya secara berkelanjutan. Pelan-pelan kita kehilangan keluarga tani, tanah subur yang terjangkau, dan pelbagai pengetahuan cocok tanam. Seluruhnya kemudian disuplai via pasar, dengan derajat ketergantungan yang tinggi.
Pertanian Indonesia belum pulih dari kondisi ini ketika gelombang baru "peningkatan produksi" kembali bergerak. Gejala ini antara lain tampak dalam program percetakan sawah baru, yang diasumsikan dapat menumbuhkan produksi pangan sekaligus mengatasi masalah kemiskinan petani (tanaman pangan). Sekali lagi, keduanya mungkin sulit tercapai secara berkesinambungan.
Wacana dominan soal "peningkatan produksi" biasanya berujung pada industrialisasi proses produksi pertanian, mengikuti azas "efisiensi", dan prinsip "kecepatan" yang dibutuhkan dari sistem tersebut. Sinyal tentang perihal ini disampaikan pejabat Kementerian Pertanian dalam sejumlah kesempatan. Efisiensi, dalam kasus ini, berarti minimalisasi ongkos (percetakan sawah) untuk mencapai hasil tertentu (target luasan sawah). Cara berpikir inilah yang mendorong Kementerian Pertanian bekerja sama dengan TNI dalam menjalankan percetakan sawah.
Dari perspektif petani setidaknya ada dua soal utama di sini—sebagian lain yang sama pentingnya tidak dibahas di sini karena keterbatasan ruang.
Pertama, soal tujuan menyejahterakan petani. Di negara dengan banyak angkatan kerja perdesaan yang tak setiap hari bisa menemukan peluang kerja purnawaktu (underemployed), dan tingkat kemiskinan perdesaan jauh melampaui kemiskinan urban, negara malah menggunakan anggota TNI yang sudah bergaji? Mengapa tidak menggunakan peluang emas untuk mempekerjakan angkatan kerja perdesaan? Padahal sudah terbukti dalam banyak kajian bahwa transfer tunai dapat menggerakkan ekonomi sebuah wilayah.
Sebuah kajian menyebutkan Indonesia tidak terdampak secara berarti oleh gelombang krisis finansial global 2008 karena transfer tunai besar-besaran ke warga miskin, antara lain lewat program Bantuan Langsung Tunai, program-program padat karya, dan penyelenggaraan pemilu legislatif dan presiden pada 2009.
Di tempat dan masa lain, cara ini pun sudah terbukti berhasil. Joseph Hanlon (2005) menunjukkannya dalam kasus perdesaan di Mozambik dasawarsa 1990-an dan 2000-an, setelah dilanda perang dan banjir besar. Pada awal abad 20, AS berhasil menghentikan Depresi Besar saat pemerintah menghamburkan uang ke sebuah ekonomi yang tengah lesu untuk merangsang kembali perekonomian.
Kedua, tentang keterlibatan petani. Prinsip efisiensi senantiasa berujung pada ketergantungan pada teknologi yang dipandang sebagai sarana efisiensi paling manjur. Dokumen "Pedoman Teknis Penanaman Padi Pasca Cetak Sawah Baru TA. 2017" menyebut penggunaan tenaga anggota TNI bertujuan untuk "mempercepat" percetakan sawah baru. Di sejumlah berita yang beredar, kita pun bisa membaca bahwa para anggota TNI menggunakan traktor untuk mempercepat laju percetakan sawah.
Ketika kecepatan menjadi tujuan, hal-hal di luar efisiensi dianggap sebagai eksternalitas (beban atau faktor penghambat). Salah satu penghambat dalam kasus ini ialah status hukum tanah yang menjadi objek percetakan sawah. Dengan kata lain, aturan legal pun bisa menjadi penghambat bagi efisiensi. Dalam kenyataan, benturan ini memang memunculkan sejumlah masalah dengan pemilik tanah.
Bila legalitas tanah saja dianggap sebagai "penghambat", angkatan kerja desa apalagi. Sangat mungkin mereka tidak dilirik dalam proses percetakan sawah karena hanya akan menghadirkan hambatan tambahan bagi efisiensi atau kecepatan percetakan sawah yang dibutuhkan untuk mencapai target dengan biaya murah. Dalam rilis tanggal 16 Juli lalu, Kementerian Pertanian menyebutkan dengan melibatkan TNI, cetak sawah menjadi “optimal” (dalam hal pencapaian target luasan lahan) dan “murah” (dari ongkos “cetak sawah ideal”).
Dalam kerangka berpikir semacam ini, petani kembali di titik akhir dari sesuatu yang dirancang jauh dari jangkauan mereka untuk bisa urun rembug mengambil keputusan. Sulit menghindari kesan program ini ialah program Kementerian Pertanian, dengan petani sebagai salah satu pihak pelaksana, untuk mewujudkan target Kementerian. Hal ini bertabrakan langsung dengan salah satu azas pembuatan UU Desa, yaitu azas subsidiaritas, yang juga tengah dijalankan oleh pemerintahan yang sama.
Lantas apakah para penggarap sawah benar-benar menerima manfaatnya?
Di sini kita kembali pada struktur agraria yang saya singgung di atas: rata-rata keluarga petani tanaman pangan hanya menguasai 0.39 hektare. "Menguasai" belum tentu memiliki, dengan derajat keamanan penguasaan lahan yang cukup aman. Artinya, tidak semua penggarap itu punya tanah. Lalu sawah yang dicetak itu berasal dari tanah milik siapa?
Kita bisa menduga tanah yang dibuka itu belum tentu bisa dikuasai dan dimanfaatkan secara cukup aman oleh sebagian besar petani tanaman pangan yang benar-benar mengangkat cangkul: petani gurem, petani penggarap, dan buruh tani.
Bila jaminan penguasaan lahan bagi mereka tak cukup meyakinkan dan menjanjikan, insentif bagi mereka untuk merawat tanah tetap subur dan produktif menjadi lebih kecil—sawah-sawah itu bisa kembali menganggur atau dikuasai dalam parsel besar oleh pengusaha pertanian yang punya macam-macam modal untuk itu.
Memang dalam "Pedoman Teknis Penanaman Padi Pasca Cetak Sawah TA. 2017" disebutkan bahwa kelompok tani menjadi semacam "penjamin" bagi negara untuk memastikan sawah yang tercetak akan tergarap baik dan penyaluran pelbagai subsidi pendukung bisa tepat sasaran.
Tetapi, sejumlah kajian, di mana saya terlibat, menunjukkan bahwa kelompok tani yang disponsori negara seringkali hanya aktif ketika bantuan datang, non-aktif di masa jeda, lalu dikuasai lingkaran tertentu, dan meninggalkan "monumen-monumen" bekas program yang tak terpakai bahkan mangkrak—termasuk sawah cetakan baru yang kemudian tidak menjadi sawah.
Paling sedikit di sini kita melihat munculnya sel ketergantungan baru, melengkapi yang sudah ada selama ini.
Menihilkan Subjek Mandiri Petani
Dalam kondisi lebih baik, kaum tani (peasantry) di pelbagai belahan dunia, menurut J.D. van der Ploeg (2014), telah membuktikan bila mereka diberi ruang dan sarana untuk mengembangkan gaya bertani sendiri, produktivitas lahan dan tenaga kerja mereka menjadi lebih tinggi, bila dibandingkan dengan model produksi wirausaha (entrepreneur) dan kapitalis pertanian yang bergantung penuh pada input luar yang diperoleh dari pasar alias bergantung pasar.
Model pertanian yang dikembangkan petani nyaris selalu berupa campuran (tumpang sari, rotasi, maupun model terpadu). Mereka biasanya tidak terlalu bergantung pada input yang diperoleh dari pasar. Mereka juga akan menjaga kesuburan tanah, keterampilan dan pengetahuan lokal yang sesuai konteks setempat, serta jaringan sosial—seluruhnya untuk menjamin keberlangsungan sistem cocok tanam dan produktivitas mereka.
Dengan demikian, model percetakan sawah yang menekankan efisiensi untuk mencapai target, keketatan sistem pengadaan sawah, dan metode tanam setelahnya bagi "penerima manfaat", dengan tujuan memacu produksi, tidak sesuai dengan gaya bertani mereka.
Beberapa indikator yang ditunjukkan oleh penelitian INDEF (yang segera dibantah Kementerian Pertanian), sudah memberi sinyal awal bahwa kesejahteraan petani belum terangkat bersama terkereknya produksi beras nasional. Persentase kenaikan upah buruh pertanian (yang sudah kecil) masih lebih kecil dibandingkan laju inflasi, misalnya.
Bahkan, lanjut van der Ploeg, banyak belahan dunia telah menyaksikan kebangkrutan sektor agrikultur (termasuk pertanian, perkebunan, dan peternakan) ketika sektor tersebut didominasi model proses produksi wirausaha dan kapitalis, yang menjadikan efisiensi dan kecepatan sebagai suluh.
Salah satunya, pasar bagi pelbagai faktor produksi dalam model pertanian semacam itu bisa menjadi sangat labil pada momen tertentu, dan semua yang terlampau bergantung padanya dengan cepat mengalami kebangkrutan. Atau, dalam kondisi lebih baik, akan memaksa negara menutupinya—yang berarti pemborosan lagi.
Banyak negara di Eropa, Afrika, Amerika, juga Asia sudah menyaksikannya, pada banyak masa. Indonesia pun begitu.
* Peneliti isu-isu perdesaan, alumnus International Institute of Social Studies, Den Haag, dalam Rural Livelihood and Global Studies (2007).
Sumber: Tirto.Id
Modus TNI Membantu Petani
“Capek, iya. Hasilnya sama saja,” keluh Pandi.
Namun, pada awal Mei lalu, ia dan petani lain di Kampung Karoya, Desa Bojong—tak jauh dari Stasiun Tenjo, Kabupaten Bogor—memutuskan tetap menanam padi. Ihwal keputusan ini tidak lepas dari rencana kerja sama petani setempat dengan Koramil 2119/Parung Panjang (di bawah Kodim 0621/Kab. Bogor), yang mengerahkan serdadu untuk "membantu" petani. Maka, pada 19 Mei, mereka mulai menggarap 25 hektare sawah untuk persiapan menanam padi.
Pukul enam pagi, lima belas tentara sudah tiba di rumah Pandi. Sebelum turun, para serdadu sarapan dan berbincang-bincang. Barulah, pada pukul 8 pagi mereka berangkat ke sawah. Letak sawah sekitar 1 km dari rumah Pandi. Ada dua blok, satu di sisi timur Jalan Tenjo Raya berbatasan langsung dengan Provinsi Banten, satunya di sisi barat.
Bagi petani, berangkat jam 8 pagi sebenarnya sudah terlampau siang. Biasanya mereka sudah ke sawah sejak pukul 6 pagi. Sebelum tengah hari mereka sudah pulang. Namun, karena bersama tentara, mereka sungkan.
“Enggak enaklah, mereka, kan, cuma membantu, masa iya mau jam enam juga,” ujar Pandi.
Menggarap sawah seluas 25 ha dilakukan dalam waktu dua hari. Tambahan personel dari tentara terbukti efektif dan menghemat waktu serta tenaga para petani. Begitu pula saat menanam. Lima belas tentara dari Koramil Parung Panjang kembali dikerahkan, dalam dua hari, bibit padi sudah merata di lahan sawah yang sama, tempat para petani tergabung dalam kelompok Suka Tani itu.
Pandi berkata "senang" dengan bantuan dari tentara itu. Namun, ada satu hal yang mengganjal: permintaan agar petani di Desa Bojong bisa menanam padi tiga kali dalam setahun. Anjuran itu agar ada "kelebihan produksi padi yang bisa dijual pada Badan Urusan Logistik," sebuah perusahaan milik negara yang dibentuk pada 1967 di masa awal pemerintahan Soeharto buat mengurus tata niaga beras. Dengan begitu, petani bisa mendapatkan hasil panen lebih, sehingga tidak cuma untuk konsumsi sendiri.
Proyek 'Swasembada Pangan' Kementerian Pertanian dan TNI
Bantuan personel TNI kepada Pandi dan petani di Bojong tidak lepas dari kerja sama yang diteken antara Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, seorang pengusaha pertanian kelahiran Bone, dan Jendral Gatot Nurmantyo, alumnus Akmil tahun 1982, pada Januari 2015. Gatot saat itu masih menjabat Kepala Staf Angkatan Darat, yang lantas menduduki Panglima TNI di bawah pemerintahan Joko Widodo sejak Juli 2015.Kerja sama itu untuk mengejar apa yang disebut "target swasembada pangan tahun 2017" yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai program prioritas kedaulatan pangan dalam Nawacita. Tahun ini, pemerintah menargetkan produksi padi sebesar 77 juta ton.
Poin kerja sama itu melibatkan TNI dalam urusan percepatan swasembada pangan. Dari cetak sawah baru, pengawalan pembagian bibit dan pupuk subsidi, hingga membantu petani di sawah. Secara teknis, para prajurit TNI yang seharusnya angkat senjata dilibatkan untuk angkat cangkul hingga mengemudikan traktor guna mengejar target tersebut.
Agung Hendriadi, yang saat diwawancarai reporter Tirto beberapa waktu lau masih menjabat Kepala Biro Humas Kementerian Pertanian, mengatakan salah satu alasan utama kerja bareng TNI karena "kurangnya tenaga penyuluh pertanian." (Agung sejak 18 Juli lalu dilantik sebagai Kepala Badan Ketahanan Pangan)
Total penyuluh pertanian saat ini berjumlah 57 ribu, padahal jumlah potensi desa pertanian di Indonesia ada 71 ribu, ujar Agung. Kekurangan inilah yang berusaha ditutupi lewat pelibatan personel TNI yang dilatih untuk "memberikan penyuluhan kepada petani."
“Itu masih sangat kurang. Karena itu TNI punya Babinsa, kan. Nah, Babinsa itu, kan, ada di tingkat kecamatan. Ini kenapa tidak optimalkan untuk pertanian? Kita Manfaatkan Babinsa untuk membantu pertanian,” kata Agung. Babinsa adalah tentara tingkat bintara yang bertugas "membina desa" di setiap Koramil, yang pada masa Orde Baru menjadi "mata dan telinga" penguasa di unit lapisan masyarakat bawah dalam politik teritorial.
“Ayo kita tanam, yuk. Sementara tenaga penyuluh yang melakukan itu jumlahnya sangat kurang,” tambah Agung, yang menyiratkan seakan-akan petani adalah subjek pemalas.
Ketika panen selesai, TNI mengawal beras untuk disalurkan ke Bulog. “Kemudian kalau panen, petani bisa dimainin sama tengkulak. Kasihan petani,” tambah Agung.
Kepala Dinas Penerangan TNI AD Kolonel Arm Alfret Denny Tuejeh mengatakan sejauh TNI hanya diminta membantu petani sesuai kerja sama dengan Kementerian Pertanian. Dalam praktiknya, TNI mengerahkan anggota Babinsa untuk melakukan "pembinaan." Ia menganggap hal ini justru positif bagi petani. Salah satunya terkait dengan cetak sawah.
“Itu, kan, kita membantu cetak sawah, jadi unsur AD yang ada di wilayah membantu dinas pertanian, ini ada tanah, dilaporkan, baru kemudian digarap jadi sawah. Ini, kan, baik,” kata Denny, yang sebelumnya menjabat Komandan Korem 121/Alambhana Wanawai, Kalimantan Barat, lulusan Akmil 1988.
Sejak kerja sama itu diteken, proyek ini sudah berjalan di beberapa daerah di Indonesia. Salah satu keberhasilan yang dibanggakan oleh TNI dan Kementerian Pertanian adalah kesuksesan mereka mencetak sawah. Pemerintah mengklaim berhasil mencetak sawah baru seluas 120 ribu ha pada 2015 dan 129 ribu ha pada 2016.
Cerita Pandi bisa menggambarkan proyek itu gagal sejak awal bila hanya berfokus menggenjot "produktivitas" padi. Sawah yang baru ditanam Pandi bersama tentara pada Mei lalu, sebagian sudah terancam gagal panen karena kekeringan. Beberapa petak padi sudah berbulir sebelum waktunya, sehingga dipastikan tidak akan banyak hasil panennya.
Kekeringan itu sudah dimaklumi oleh Pandi dan petani di Bojong. Mereka sadar, sawah di sana adalah sawah tadah hujan. Karena itu mereka tahu keberhasilan panen sangatlah tergantung pada curah hujan. Mereka tak punya irigasi. Jika kemarau panjang, gagal panen pasti sudah mengincar. Alasan itulah yang membuat Pandi enggan untuk menanam padi tiga kali dalam setahun.
Upaya menyelamatkan padi yang baru ditanam sudah dilakukan oleh Pandi sendiri. Ia menyedot air dari selokan yang dibuat petani untuk menampung hujan. Untuk mengairi empat petak sawah, ia menghabiskan lebih dari 10 liter solar untuk diesel. Itu pula yang membuat ia dan petani lain berpikir dua kali untuk mengairi sawah.
“Yang lain sudah pasrah, enggak mau nyedot air, dibiarin saja. Itu lihat sudah kering, itu pasti gagal panen,” kata Pandi menunjuk sepetak sawah kering yang digarapnya.
Pelibatan TNI untuk menggarap sektor pertanian berimplikasi juga pada kebijakan pemerintah daerah.
Salah satu kasus itu mencuat di Sumatera Barat. Gubernur Irwan Prayitno mengeluarkan surat edaran pada 6 Maret 2017 yang mengancam pengambilalihan lahan petani oleh TNI jika lahan sawah dibiarkan kosong lebih dari 30 hari pasca panen.
Selain poin pengambilalihan lahan, surat edaran itu menyebutkan pula klausul pembagian hasil 80 persen untuk TNI dan 20 persen untuk pemilik lahan.
Tujuan surat edaran ini semata-mata memenuhi target produksi padi di Sumatera Barat pada 2017, yakni 3 juta ton. Alhasil, demi mencapai angka itu, petani didorong untuk menanam padi minimal dua kali dalam setahun.
Ali Padri, penggiat tani dari Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Barat, mengatakan surat edaran itu tidak memiliki dasar hukum. Menurutnya, pengambilalihan lahan adalah langkah yang sudah keliru. Jikapun memiliki dasar hukum, menanam padi usai 15 hari setelah panen tidak akan berdampak baik untuk keberlangsungan tanah yang berakibat pada menurunnya hasil panen di kemudian hari.
“Biasanya juga petani kalau sekali panen, kemudian akan ganti dengan tanaman jagung dulu, diseling seperti itu, tidak bisa langsung tanam,” ujarnya.
Di masyarakat Minang itu TNI dan petani memiliki riwayat relasi yang buruk. Menurut catatan LBH Padang, ada keterlibatan TNI dalam konflik-konflik lahan dengan petani. Di antaranya konflik tanah ulayat nagari antara masyarakat Nagari Mungo (Kabupaten Lima Puluh Kota) dan Detasemen Zeni Tempur 2, satuan organik dari Komando Daerah Militer 1/Bukit Barisan di Padang Mengatas, serta konflik tanah ulayat Nagari Kapalo Hilalang (Kabupaten Padang Pariaman) dan Korem 032/Wirabraja di bawah Kodam yang sama.
Riwayat buruk ini membuat petani makin khawatir dengan adanya surat edaran tersebut.
“Petani jelas khawatir kalau sampai lahannya diambil alih," ujar Ali. "Sebenarnya kalau TNI mau membantu, kami tidak keberatan, tapi jangan sampai semuanya dikuasai TNI. Ini tidak benar."
Masalah keterlibatan TNI pada konflik lahan tak hanya di Sumatera Berat, melainkan di daerah lain seperti di Lampung, Sulawesi, dan Sumatera Utara—untuk menyebut beberapa kasus.
Salah satu program dalam kerja sama antara Kementerian Pertanian dan TNI adalah Brigade Tanam. Kementerian memberikan bantuan alat dan mesin pertanian sebanyak 180 ribu unit untuk digunakan Babinsa membantu petani. Alasannya, TNI dianggap lebih mumpuni ketimbang petani.
“Kalau tentara ada pembekalan teknisnya, mereka belajar memperbaiki mesin, merawat mesin. Ini yang kita tular ke petani dan penyuluh,” kata Agung Hendriadi dari Kementerian Pertanian.
Berbeda dari anggapan elite yang mengatur tata kelola pertanian, petani seperti Pandi yang didorong untuk mencapai target skema swasembada beras nasional tak sepenuhnya berdampak pada kesejahteraan mereka.
Pandi membuat gambaran: dalam satu kali gagal panen, satu hektare sawah hanya menghasilkan satu ton padi. Ia bisa dianggap menyumbang target pemerintah. Namun, bagi petani, satu hektare sawah yang sama seharusnya bisa panen enam ton. Itu adalah kerugian. Biaya bibit, pupuk, pengairan, bensin, tenaga, dan waktu tidak terbayar dengan satu ton padi.
Bagi Pandi, dan mungkin banyak petani lain, masalah utama mereka bukanlah model yang membuat mereka terserap dalam sistem yang mendorong produksi beras nasional meningkat, tetapi yang lebih penting bagi mereka, di antara hal lain, adalah infrastruktur pertanian seperti irigasi, akses bibit berkualitas dan murah, serta menjalankan keterampilan dan pengetahuan lokal sesuai konteks setempat. Pendeknya, mengembangkan gaya bertani sendiri.
Di desanya, Pandi kini tengah mengusahakan untuk membuat embung guna keperluan mengairi sawah warga. Ia sudah mendapatkan persetujuan hibah tanah seluas 5.000 meter persegi dari pemerintah Desa Bojong. Pandi dan kelompok tani di desanya akan mewujudkan rencana tersebut pada 2018 mendatang.
“Pemerintah kalau mau bantu sebenarnya kami senang. Tentara juga kalau bantu juga kami senang,” kata Pandi. "Tetapi masalah kita itu air."
=========
Keterangan foto: Sejumlah anggota TNI menerima bantuan 55 traktor tangan dari Kementerian Pertanian di Kantor Kodim 1304/Gorontalo, Selasa (17/5). Kerja sama dalam program cetak sawah baru di beberapa daerah, termasuk di Gorontalo, bertujuan "membantu petani" guna meningkatkan produksi pertanian menuju swasembada pangan dan pendapatan petani. ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin.
Senin, 10 Juli 2017
Heboh Temuan Pal Urutsewu di Ayamputih
Kamis, 22 Juni 2017
Jogja [Diobral dengan Harga] Istimewa

- Tanah yang berasal bukan dari tanah desa sejumlah 13.519 bidang, dengan luas 59.331.371 m2
- Tanah yang berasal dari tanah desa (tanah untuk kepentingan umum, kas desa, tanah jabatan perangkat desa, dan tanah pensiun perangkat desa) sejumlah 31.804 bidang dengan luas 464.462 m2.
- Hasil pendataan tanah Kasultanan dan Kadipaten (Pakualaman) yang telah dilaksanakan sejak 2013-2015 sejumlah 2.867 sertifikat sudah didaftarkan pensertifikatannya. Target pada 2016 sejumlah 1.140 sertipikat.
- Adapun untuk tanah Kasultanan di seluruh DIY pada tahun 2015, sebanyak 526 sertipikat Hak Milik dengan luas 2.188.310 m2 telah diserahkan kepada Kasultanan. Sedangkan untuk tanah Kadipaten (Pakualaman) sejumlah 115 sertipikat Hak Milik dengan luas 347.965 m2 sudah diserahkan kepada Kadipaten (Pakualaman).
Kamis, 01 Juni 2017
Kolaborasi ABK (Aparat-Buruh-Kapitalis) Vs Petani, Catatan Kritis Konflik Agraria di Bolaang Mongondow
https://indoprogress.com/2017/06/kolaborasi-abk-aparat-buruh-kapitalis-vs-petani-catatan-kritis-konflik-agraria-di-bolaang-mongondow/?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+indoprogress-feed+%28IndoPROGRESS%29