29 June 2016
oleh Membunuh Indonesia
Gerakan anti-tembakau melakukan propaganda hiperbolis yang
dikendalikan oleh perusahaan asing untuk mematikan sektor tembakau yang
strategis di Indonesia. Demikian disampaikan Ketua Panja RUU
Pertembakauan, Firman Subagyo, menepis tudingan gerakan anti-tembakau
yang menyatakan industri rokok di balik RUU Pertembakauan yang saat ini
dibahas DPR. Tuduhan tersebut merupakan propaganda hiperbolis yang
mengancam semangat nasionalisme di Indonesia.
Firman menganggap ancaman gerakan anti-tembakau dari dalam negeri jauh lebih berbahaya daripada ancaman lansung dari negara asing. Menurut dia, orang atau para aktivis anti-tembakau dapat merusak tatanan negara dari dalam, dan itulah yang dimanfaatkan pihak asing. Mereka mengendalikan orang-orang penting di negara ini untuk merusak Indonesia.
RUU Pertembakauan merupakan aspirasi dan kebutuhan hukum berbagai pemangku kepentingan, diharapkan dapat memperbaiki regulasi dari berbagai aspek. Seperti pengelolaan tembakau baik dari sisi budidaya, kepentingan petani, produksi, tata niaga, penerimaan negara, ketenagakerjaan, maupun aspek kesehatan.
RUU Pertembakauan masuk dalam RUU Prolegnas Prioritas tahun 2015 dan 2016. Baleg sudah cukup mendapatkan masukan dari berbagai pihak, seperti Komnas Pengendalian Tembakau, pelaku usaha pabrik, kelompok tani, serta kepala daerah. Meski demikian, sejak awal Baleg belum mengesahkan di Paripurna DPR kali ini.
RUU itu nantinya bertujuan untuk melindungi rakyat terutama petani tembakau. UU ini tidak berpihak kepada kepentingan pengusaha, tapi mengatur hulu dan hilirnya pertembakauan di Indonesia. RUU Pertembakauan ini semata-mata untuk rakyat, untuk menjamin keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. UU tidak boleh diskriminatif. Tidak boleh mematikan tembakau, karena petani punya hak untuk hidup.
Gerakan anti-tembakau bagai lagu yang diputar berulang-ulang yang rutin terus-menerus diperdengarkan. Mereka mengatakan bahwa RUU Pertembakauan semakin menjauhkan Indonesia dari upaya ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Indonesia akan semakin dipermalukan di dunia internasional karena belum meratifikasi FCTC.
FCTC bicara soal kesehatan pada kulit muka, namun bicara soal penyeragaman pada intinya. Produk tembakau harus diseragamkan, sesuai dengan produk internasional (rokok putih). Tidak akan ada lagi kretek, yang khas Indonesia.
Apakah salah jika RUU Pertembakauan ingin melindungi produk khas dalam negeri?
Apakah tidak semakin malu negeri ini ketika industri yang 100% berwajah dalam negeri, baik dari hulu hingga hilir, akan dimatikan asing.
Bicara soal malu, Amerika Serikat juga memproduksi tembakau dan produk rokok di tingkat global, notabene merupakan inisiator lahirnya FCTC sekaligus lokasi WHO bermarkas, toh ternyata hingga kini juga belum meratifikasi/mengaksesi FCTC.
Sumber gambar: Ryan
http://membunuhindonesia.net/2016/06/propaganda-hiperbolis-gerakan-anti-tembakau-dikendalikan-asing/ Firman menganggap ancaman gerakan anti-tembakau dari dalam negeri jauh lebih berbahaya daripada ancaman lansung dari negara asing. Menurut dia, orang atau para aktivis anti-tembakau dapat merusak tatanan negara dari dalam, dan itulah yang dimanfaatkan pihak asing. Mereka mengendalikan orang-orang penting di negara ini untuk merusak Indonesia.
RUU Pertembakauan merupakan aspirasi dan kebutuhan hukum berbagai pemangku kepentingan, diharapkan dapat memperbaiki regulasi dari berbagai aspek. Seperti pengelolaan tembakau baik dari sisi budidaya, kepentingan petani, produksi, tata niaga, penerimaan negara, ketenagakerjaan, maupun aspek kesehatan.
RUU Pertembakauan masuk dalam RUU Prolegnas Prioritas tahun 2015 dan 2016. Baleg sudah cukup mendapatkan masukan dari berbagai pihak, seperti Komnas Pengendalian Tembakau, pelaku usaha pabrik, kelompok tani, serta kepala daerah. Meski demikian, sejak awal Baleg belum mengesahkan di Paripurna DPR kali ini.
RUU itu nantinya bertujuan untuk melindungi rakyat terutama petani tembakau. UU ini tidak berpihak kepada kepentingan pengusaha, tapi mengatur hulu dan hilirnya pertembakauan di Indonesia. RUU Pertembakauan ini semata-mata untuk rakyat, untuk menjamin keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. UU tidak boleh diskriminatif. Tidak boleh mematikan tembakau, karena petani punya hak untuk hidup.
Gerakan anti-tembakau bagai lagu yang diputar berulang-ulang yang rutin terus-menerus diperdengarkan. Mereka mengatakan bahwa RUU Pertembakauan semakin menjauhkan Indonesia dari upaya ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Indonesia akan semakin dipermalukan di dunia internasional karena belum meratifikasi FCTC.
FCTC bicara soal kesehatan pada kulit muka, namun bicara soal penyeragaman pada intinya. Produk tembakau harus diseragamkan, sesuai dengan produk internasional (rokok putih). Tidak akan ada lagi kretek, yang khas Indonesia.
Apakah salah jika RUU Pertembakauan ingin melindungi produk khas dalam negeri?
Apakah tidak semakin malu negeri ini ketika industri yang 100% berwajah dalam negeri, baik dari hulu hingga hilir, akan dimatikan asing.
Bicara soal malu, Amerika Serikat juga memproduksi tembakau dan produk rokok di tingkat global, notabene merupakan inisiator lahirnya FCTC sekaligus lokasi WHO bermarkas, toh ternyata hingga kini juga belum meratifikasi/mengaksesi FCTC.
Sumber gambar: Ryan