2016 / Juli / 25
Mahandis Y. Thamrin*
Catatan lawas dan misterius dari balik tembok Keraton Yogyakarta mengungkapan menit-menit akhir Perang Jawa yang memalukan.
Para
prajurit Keraton Yogyakarta, dari berbagai kesatuan wilayah, bersiap
melakukan upacara Grebeg Syawal yang digelar pada 1 Syawal setiap
tahunnya, menandai berakhirnya bulan Ramadhan (kalender Hijriyah) atau
Pasa (kalender Jawa). (Mahandis Y. Thamrin)
Perang
Jawa berakhir dengan cara yang memalukan. Pemberontakan Dipanagara
mengakhiri titimangsa lama di Jawa. Terbentanglah untaian panjang
titimangsa baru: Penjajahan sejati di Tanah Jawa, sebuah masa getir
dengan dera tanam paksa dan gilasan roda modal swasta.
Dipanagara menjalani kehidupan yang tragis sebagai tawanan perang yang terhormat. Selama persinggahan hingga ke tempat pengasingannya yang terakhir, dia tidak pernah ditempatkan dalam jeruji penjara. Belanda memberikan kamar hunian dalam Fort Amsterdam di Manado, dan Fort Rotterdam di Makassar. Seluruh biaya Perang Jawa dan biaya hidup Dipanagara menjadi tanggungan Keraton Yogyakarta. Dia wafat dalam kemiskinan pada hari Senin, 8 Januari 1855 dalam usia 69 tahun. Hingga akhir hayatnya, pangeran itu tetap memilih disapa dengan Ngabdulkamid. Musuh bebuyutannya, Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock, wafat sepuluh tahun lebih dahulu.
Dipanagara merupakan sosok kontroversial. Bagi Belanda, dia merupakan sosok yang mewakili perlawanan terhadap kolonialisme, lewat Perang Sabil. Sementara bagi Indonesia, dia merupakan sosok yang tidak disukai oleh Keraton Yogyakarta karena dianggap sebagai pengkhianat. Bahkan, pemberontakan Dipanagara telah membuat Keraton Yogyakarta nyaris disirnakan oleh Belanda.
Di Keraton Yogyakarta, saya sowan kepada Kanjeng Raden Tumenggung Jatiningrat. Dia merupakan cucu Sultan Kedelapan, sesepuh yang bertutur santun dan berhati-hati. Kami berbincang di tempat kerjanya sebagai Pengageng Tepas Dwarapura. Jatiningrat membacakan cuplikan naskah berbahasa Jawa, yang selama ini tersimpan rapat di dalam keraton. Dia baru berani mengungkapkan isi naskah itu kepada saya karena menurutnya zaman sudah berubah. Hasil analisanya soal naskah tersebut, dia menduga bahwa Keraton Yogyakarta turut terlibat dalam penjebakan Dipanagara di Magelang.
Selepas Dipanagara kesepian karena ditinggalkan para panglima perang dan saudaranya, Abdullah berinisiatif berembuk dengan De Kock, tutur Jatiningrat. Abdullah meminta De Kock untuk segera mengadakan perdamaian di loji Karesidenan Magelang. Pada hari yang ditentukan, Dipanagara dan De Kock berada di kamar depan, demikian kisahnya, sementara Abdullah datang lebih dahulu di kamar belakang. Usai Dipanagara ditangkap, dia pergi menghadap ke Keraton lagi. Kemudian, dia bergelar Kanjeng Adipati Danuningrat.
Jatiningrat menduga bahwa Abdullah sengaja diselundupkan dalam misi rahasia, bukan atas inisatif pribadi, karena buktinya dia kembali ke keraton lagi. “Ini rembuk negara, bukan perorangan,” ucapnya. “Ini sesuatu yang patut dipertimbangkan.”
“Ini sumber keraton yang mengatakan seperti itu,” ujar Jatiningrat. Ketika saya desak siapa penulisnya, sambil tersenyum dia menolak menyebutkannya. “Masa lalu kita akui bahwa perselisihan membuat satu trah tersisihkan. Sejarah yang baik adalah sejarah yang bisa memberikan pendidikan bagi penerus sejarah itu,” ujarnya. “Memang susah bicara apa adanya, dan sering apa adanya itu memerlukan waktu.”
Cerita ini merupakan nukilan dari “Kecamuk Perang Jawa" yang berkisah tentang suratan tragis Sang Pangeran yang hidup di zaman edan, terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi Agustus 2014.
Dipanagara menjalani kehidupan yang tragis sebagai tawanan perang yang terhormat. Selama persinggahan hingga ke tempat pengasingannya yang terakhir, dia tidak pernah ditempatkan dalam jeruji penjara. Belanda memberikan kamar hunian dalam Fort Amsterdam di Manado, dan Fort Rotterdam di Makassar. Seluruh biaya Perang Jawa dan biaya hidup Dipanagara menjadi tanggungan Keraton Yogyakarta. Dia wafat dalam kemiskinan pada hari Senin, 8 Januari 1855 dalam usia 69 tahun. Hingga akhir hayatnya, pangeran itu tetap memilih disapa dengan Ngabdulkamid. Musuh bebuyutannya, Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock, wafat sepuluh tahun lebih dahulu.
Dipanagara merupakan sosok kontroversial. Bagi Belanda, dia merupakan sosok yang mewakili perlawanan terhadap kolonialisme, lewat Perang Sabil. Sementara bagi Indonesia, dia merupakan sosok yang tidak disukai oleh Keraton Yogyakarta karena dianggap sebagai pengkhianat. Bahkan, pemberontakan Dipanagara telah membuat Keraton Yogyakarta nyaris disirnakan oleh Belanda.
Di Keraton Yogyakarta, saya sowan kepada Kanjeng Raden Tumenggung Jatiningrat. Dia merupakan cucu Sultan Kedelapan, sesepuh yang bertutur santun dan berhati-hati. Kami berbincang di tempat kerjanya sebagai Pengageng Tepas Dwarapura. Jatiningrat membacakan cuplikan naskah berbahasa Jawa, yang selama ini tersimpan rapat di dalam keraton. Dia baru berani mengungkapkan isi naskah itu kepada saya karena menurutnya zaman sudah berubah. Hasil analisanya soal naskah tersebut, dia menduga bahwa Keraton Yogyakarta turut terlibat dalam penjebakan Dipanagara di Magelang.
Naskah tersebut mengisahkan bahwa Raden Tumenggung Danukusuma II “sekonyong-konyong” keluar dari keraton. Dia merupakan, ipar Dipanagara. Setelah Dipanagara bergelar Sultan Ngabdulkamid, Danukusuma II diwisuda menjadi patihnya yang bergelar Raden Adipati Abdullah Danureja.“Masa lalu kita akui bahwa perselisihan membuat satu trah tersisihkan. Sejarah yang baik adalah sejarah yang bisa memberikan pendidikan bagi penerus sejarah. Memang susah bicara apa adanya, dan sering apa adanya itu memerlukan waktu.”
Selepas Dipanagara kesepian karena ditinggalkan para panglima perang dan saudaranya, Abdullah berinisiatif berembuk dengan De Kock, tutur Jatiningrat. Abdullah meminta De Kock untuk segera mengadakan perdamaian di loji Karesidenan Magelang. Pada hari yang ditentukan, Dipanagara dan De Kock berada di kamar depan, demikian kisahnya, sementara Abdullah datang lebih dahulu di kamar belakang. Usai Dipanagara ditangkap, dia pergi menghadap ke Keraton lagi. Kemudian, dia bergelar Kanjeng Adipati Danuningrat.
Jatiningrat menduga bahwa Abdullah sengaja diselundupkan dalam misi rahasia, bukan atas inisatif pribadi, karena buktinya dia kembali ke keraton lagi. “Ini rembuk negara, bukan perorangan,” ucapnya. “Ini sesuatu yang patut dipertimbangkan.”
“Ini sumber keraton yang mengatakan seperti itu,” ujar Jatiningrat. Ketika saya desak siapa penulisnya, sambil tersenyum dia menolak menyebutkannya. “Masa lalu kita akui bahwa perselisihan membuat satu trah tersisihkan. Sejarah yang baik adalah sejarah yang bisa memberikan pendidikan bagi penerus sejarah itu,” ujarnya. “Memang susah bicara apa adanya, dan sering apa adanya itu memerlukan waktu.”
Cerita ini merupakan nukilan dari “Kecamuk Perang Jawa" yang berkisah tentang suratan tragis Sang Pangeran yang hidup di zaman edan, terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi Agustus 2014.
Mahandis Yoanata Thamrin
Jurnalis
| Editor National Geographic Indonesia dan National Geographic Traveler
Indonesia | "For the increase and diffusion of geographic knowledge"
0 komentar:
Posting Komentar