Selasa, 26 Juli 2016 | 17:30 WIB
Warga Desa Cot Mee dan Cot Rambong Kecamatan Kuala Pesisir,
Kabupaten Nagan Raya, Aceh Mengacam akan boikot Pemilukada 2017
mendatang jika pemerintah kabupaten setempat tidak segera menyelesaikan
sengketa lahan Desa dengan perusahaan sawit serta membebaskan empat
warga yang telah ditangkap karena dituduh tanpa bukti melakukan
pembakaran dan pengrusakan barak milik perusahaan perkebunan sawit PT
Fajar Baizuri. “kami akan boikot pemilu jika pemerintah tidak
menyeselesaikan sengketa lahan Desa dan membebaskan empat warga kami
yang ditangkap tanpa bukti”, kata Sidiono, warga Cot Mee kepada
wartawan, Kamis (28/04/2016). "MEULABOH
KOMPA.com
JAKARTA, KOMPAS.com - Program
nasional pemerintah Reforma Agraria dinilai tidak berjalan atau bahkan
cenderung "tenggelam", baik di tingkat pembahasan maupun implementasi.
Padahal, reforma agraria bertujuan untuk mengurangi konflik akibat
permasalahn lahan.
Dengan kurang efektifnya Reforma Agraria ini, ketimpangan di masyarakat semakin parah, yakni dari total 26,14 juta rumah tangga petani, sebanyak 56,12 persennya adalah petani gurem.
Hal ini berbanding terbalik dengan 10 korporasi besar yang menguasai ratusan hingga ratusan hingga ribuan hektar tanah.
"Setelah (para menteri) dilantik memang ada langkah-langkah. Mulai dari 27 Februari 2015, Presiden Jokowi (Joko Widodo) memimpin rapat terbatas untuk mendistribusikan lahan 9 juta hektar," ujar Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin saat diskusi "Membongkar Ketimpangan, Membagi Kesejahteraan, Reforma Agraria di Era Jokowi-JK", di Gedung Dewan Pers, Selasa (26/7/2016).
Ia menyebutkan, rapat saat itu menghasilkan keputusan bahwa tanah yang didistribusikan antara lain dari hutan produksi yang dapat dikonversi. Tanah-tanah ini kemudian akan dialokasikan menjadi perkebunan tebu, sawit dan kedelai.
April 2015 ada penandatanganan kesepakatan antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (DPDTT) terkait redistribusi tanah untuk ketahanan pangan dan program transmigrasi.
Kemudian, penandatangan kesepakatan ini berlanjut pada terbitnya Peraturan Bersama 4 Menteri untuk penyelesaian tanah di kehutanan.
Tidak lama setelah itu juga Rancangan Undang-undang (RUU) Pertanahan dinyatakan masuk prioritas Prolegnas DPR, dan terakhir ATR/BPN menyiapkan draf Peraturan Presiden (Perpres) tentang Reforma Agraria.
"Itu semua terjadi pada 2015. Lalu tiba-tiba senyap. Hampir tidak ada pembicaraan itu lagi sekarang. Perpres belum ada, kemudian rencana-rencana itu juga tidak jelas. Itu kan baru rencana," tandas Iwan.
Dengan kurang efektifnya Reforma Agraria ini, ketimpangan di masyarakat semakin parah, yakni dari total 26,14 juta rumah tangga petani, sebanyak 56,12 persennya adalah petani gurem.
Hal ini berbanding terbalik dengan 10 korporasi besar yang menguasai ratusan hingga ratusan hingga ribuan hektar tanah.
"Setelah (para menteri) dilantik memang ada langkah-langkah. Mulai dari 27 Februari 2015, Presiden Jokowi (Joko Widodo) memimpin rapat terbatas untuk mendistribusikan lahan 9 juta hektar," ujar Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin saat diskusi "Membongkar Ketimpangan, Membagi Kesejahteraan, Reforma Agraria di Era Jokowi-JK", di Gedung Dewan Pers, Selasa (26/7/2016).
Ia menyebutkan, rapat saat itu menghasilkan keputusan bahwa tanah yang didistribusikan antara lain dari hutan produksi yang dapat dikonversi. Tanah-tanah ini kemudian akan dialokasikan menjadi perkebunan tebu, sawit dan kedelai.
April 2015 ada penandatanganan kesepakatan antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (DPDTT) terkait redistribusi tanah untuk ketahanan pangan dan program transmigrasi.
Kemudian, penandatangan kesepakatan ini berlanjut pada terbitnya Peraturan Bersama 4 Menteri untuk penyelesaian tanah di kehutanan.
Tidak lama setelah itu juga Rancangan Undang-undang (RUU) Pertanahan dinyatakan masuk prioritas Prolegnas DPR, dan terakhir ATR/BPN menyiapkan draf Peraturan Presiden (Perpres) tentang Reforma Agraria.
"Itu semua terjadi pada 2015. Lalu tiba-tiba senyap. Hampir tidak ada pembicaraan itu lagi sekarang. Perpres belum ada, kemudian rencana-rencana itu juga tidak jelas. Itu kan baru rencana," tandas Iwan.
Penulis | : Arimbi Ramadhiani |
Editor | : Hilda B Alexander |
http://properti.kompas.com/read/2016/07/26/173000721/Pembahasan.Reforma.Agraria.Jalan.di.Tempat
0 komentar:
Posting Komentar