Jumat, 22 Juli 2016

Sejarah, Saat itu...

Oleh: Budi Wardoyo

JL F Gang Z2. Sebuah alamat yang mudah diingat, tapi sulit dicari di tengah labirin pemukiman padat Bidaracina, Cawang. Sebuah rumah kontrakan berwarna kuning kusam, dan di lantainya tercetak jejak air bekas banjir. Sebuah rumah berteras kecil, dan terjepit oleh sebuah gang sempit. 

Di rumah itu, persis pada 21 Juli 1996, ada puluhan anak muda belum berhenti bekerja meski hari menjelang fajar. Segepok brosur telah rapi tercetak, juga poster dan spanduk teronggok di sudut sebuah kamar kerja. 

Seorang pemuda tampak gusar di dekat mesin fax yang terus mengeluarkan bunyi bip-bip-bip, dan printer dot matrix yang tampak sangat lelah mencetak tumpukan dokumen hingga suaranya menyayat seperti bunyi gergaji mesin.

Ia kehilangan kacamata. Tubuhnya ceking, berkulit putih, dengan mata kerap dipicingkan ketika bicara. Seorang kutu buku, tapi ia bisa kerasukan seekor singa jika melihat mimbar dan massa. "Harus ketemu. Jangan sampai gue salah baca ntar siang," ujarnya. Dia mengacak-acak rambutnya, menoleh ke kiri dan kanan. Sesekali mendengus. Lalu melihat tumpukan dokumen fotokopian terjilid rapi, dan mengambilnya satu eksemplar.

Ia membacanya lagi, dan lagi. Sebuah tumpahan pemikiran dari perdebatan panjang, dan tentu saja panas. Ada sebuah kalimat tegas di bagian pembuka, sebuah manifesto politik dengan intro kelak memantik kemarahan penguasa. "Tak ada demokrasi di Indonesia", begitu bunyinya. Ia kembali mengacak-acak rambutnya, dan memicingkan mata. Biasanya ada kacamata tersangkut di atas kepalanya itu, tapi kini ia lupa menaruhnya di mana.

Seorang rekannya bertubuh tambun duduk bersila sambil mencatat sesuatu di atas kertas. Ia memperhatikan si kutu buku yang masih gusar itu. "Begitu saja lupa. Itu kacamatamu di tepi kusen jendela," ujarnya. Ia bicara dengan suara tertahan. Bukan karena marah, tapi menjaga sebatang korek api yang digigit dari entah kapan agar tak terjatuh dari bibirnya.

Si kutu buku terus membaca. Suara printer belum juga berhenti. Seperti terus merekam semua jeritan mereka yang ditindas penguasa dan tertulis di buku pernyataan politik para anak muda itu. Mereka mewakili kemarahan dari satu generasi yang dibungkam di zaman orde baru. Tiga media dibreidel dua tahun sebelumnya, aksi buruh ditumpas, para petani dihajar saat menuntut tanah yang dirampas semena-mena.

Pada siang harinya, di sebuah kantor tempat para pengacara yang setia memberi bantuan hukum pada rakyat dihinakan haknya, si kutu buku dan kawan-kawannya membaca manifesto itu dengan gagah. Besoknya koran-koran menaruh peristiwa politik langka itu di halaman depan: telah lahir sebuah partai baru, yang nekad melawan kediktatoran orde baru. 

Sepekan kemudian badai politik itu datang. Partai baru itu dituduh biang kerusuhan pada 27 Juli. Aktivisnya diburu, semua organisasi pendukung mereka masuk daftar hitam. Si kutu buku ditangkap kurang dari dua bulan kemudian. Politik kian panas, ketidakpuasan makin merata, rakyat dan mahasiwa turun ke jalan dengan kemarahan laksana guliran bola bara raksasa. Mereka, anak-anak muda dari sekujur nusantara itu, terus membelah diri mirip amuba yang berlipat ganda. 

Sampai suatu hari, setelah dua tahun penuh gejolak, di televisi seorang diktator yang mendadak ditinggal para pemuja dan penjilatnya, tampil dengan suara galau menyatakan mundur dari kekuasaan. Lalu sebuah jalan baru terbuka buat republik: reformasi. Sebuah tatanan politik baru muncul membuka pintu bagi siapa saja, dan kelak termasuk seorang bekas walikota, berpeluang menjadi presiden.

Jl F Gang Z2. Sebuah rumah kontrakan itu masih di sana ketika penghuninya dikejar, ditangkap, dan dipenjara. Kini mungkin sulit mencarinya di tengah labirin ingatan yang mulai pudar. Tak ada lagi teriakan printer mirip gergaji mesin. Di tempat itu suara mereka yang ditindas penguasa pernah dicatat, disuarakan garang, dan juga berdarah. Ia sejujurnya hanya bermodalkan nyali dan kegilaan anak-anak muda yang kurang tidur malam. Atau mimpi si kutu buku yang bahkan lupa di mana kacamatanya disimpan.

https://www.facebook.com/budi.wardoyo/posts/10210367265448991

0 komentar:

Posting Komentar