Hamengku Buwono - IX
Ceritanya begini. Saya kutip langsung dari bukunya.
Terjadi pada tahun 1946, namun S.K Trimurti lupa bulan dan tanggalnya. Wanita pedagang beras yang pingsan itu datang dari daerah Kaliurang, Sleman. Waktu ia menunggu kendaraan di tepi jalan, dari kejauhan dilihatnya sebuah kendaraan jip meluncur ke selatan. Wanita ini memberhentikan jip tersebut karena hendak menumpang ke pasar Kranggan. Ia memang biasa “nunut” kendaraan yang datang dari utara menuju selatan, dan pulangnya juga “nunut” kendaraan dari arah sebaliknya. Ongkosnya pun sudah diketahui, berapa rupiah rata-rata untuk sekali menumpang.
Jip itu berhenti di depan pedagang wanita tersebut. Seperti biasanya, dia menyuruh sopir kendaraan itu mengangkat bawaaanya, beras entah berapa karung, untuk dinaikkan ke dalam jip. Sopir itu pun mengikuti perintahnya.
Setiba di depan pasar Kranggan sopir itu pun turun dan menurunkan karung-karung beras yang ada di dalam jip. Setelah selesai, wanita pedagang itu dengan sikap tegak lurus memberikan uang upah sebagai imbalan kepada supir. Namun, dengan sikap sopan sang sopir tidak mau menerima uang itu dan mengembalikannya kepada pedagang wanita tersebut.
Pedagang wanita itu marah-marah karena mengira bahwa ia menuntut upah yang lebih banyak lagi. Di tengah kemarahannya, ia mengatakan, “Mengapa sopir yang satu ini tidak mau diberi uang “sekian,” padahal biasanya sopir-sopir yang lain menerima. Tanpa berkata apa-apa, sopir tersebut menjalankan jipnya dan terus melaju ke arah selatan.
Setelah jip itu lenyap, seorang polisi yang kebetulan berada di sana menghampiri pedagang wanita tersebut dan bertanya,
“Apakah mbakyu tahu, siapa sopir tadi?”
Masih dalam nada marah, pedagang itu menjawab, “Sopir ya sopir. Habis perkara! Saya tidak perlu tahu namanya. Memang sopir yang satu ini agak aneh.”
Polisi itu berkata lagi, “Kalau mbakyu belum tahu, akan saya kasih tahu. Sopir tadi adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, raja di Yogyakarta ini.”
Ini adalah kisah yang cukup terkenal. Saya tuliskan ulang sebagai bagian dari janji saya untuk melanjutkan kisah tentang HB IX yang beberapa waktu lalu pun saya sudah menuliskannya di halaman ini. Bisa dibaca di link berikut ini.
Kesaksian S.K Trimurti tak hanya cerita itu. Ada cerita lain yang membuat S.K Trimurti hingga menuliskan, “Disinilah saya merasakan bahwa rakyat Ngayogyakarta betul-betul cinta pada rajanya.”
Cerita lain yang menegaskan kecintaan rakyat pada HB IX adalah pada saat tentara Belanda mau memasuki kraton untuk mencari para gerilyawan kemerdekaan. Saat tentara Belanda hendak masuk kraton, konon kabarnya Sultan menjawab dengan tegas, “Kamu boleh masuk ke istana kalau sudah dapat melampaui bangkai saya.”
Dan tentu saja tentara Belanda takut akan ucapan Sultan dan langsung balik kanan.
Poro sedulur..
Semoga cerita diatas bisa memberikan kita semua inspirasi. Tentang pemimpin yang mencintai rakyat dan juga dicintai oleh rakyatnya. Saat ini tentu kita semua merindukan pemimpin yang seperti itu.
Bagi poro sedulur yang ingin membaca kisah tentang HB IX lebih lanjut, buku yang bisa dibaca berjudul Takhta Untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, terbitan Gramedia. Membaca biografi tokoh besar bisa memberikan kepada kita banyak pemahaman dan inspirasi baru.
Salam seyogyanya Jogja,
______
Nb. Semoga di lain kesempatan kita bisa sambung lagi dengan cerita lainnya. Matur nuwun.
https://www.facebook.com/MasTomiJogja/posts/1811562619064581:0
Terjadi pada tahun 1946, namun S.K Trimurti lupa bulan dan tanggalnya. Wanita pedagang beras yang pingsan itu datang dari daerah Kaliurang, Sleman. Waktu ia menunggu kendaraan di tepi jalan, dari kejauhan dilihatnya sebuah kendaraan jip meluncur ke selatan. Wanita ini memberhentikan jip tersebut karena hendak menumpang ke pasar Kranggan. Ia memang biasa “nunut” kendaraan yang datang dari utara menuju selatan, dan pulangnya juga “nunut” kendaraan dari arah sebaliknya. Ongkosnya pun sudah diketahui, berapa rupiah rata-rata untuk sekali menumpang.
Jip itu berhenti di depan pedagang wanita tersebut. Seperti biasanya, dia menyuruh sopir kendaraan itu mengangkat bawaaanya, beras entah berapa karung, untuk dinaikkan ke dalam jip. Sopir itu pun mengikuti perintahnya.
Setiba di depan pasar Kranggan sopir itu pun turun dan menurunkan karung-karung beras yang ada di dalam jip. Setelah selesai, wanita pedagang itu dengan sikap tegak lurus memberikan uang upah sebagai imbalan kepada supir. Namun, dengan sikap sopan sang sopir tidak mau menerima uang itu dan mengembalikannya kepada pedagang wanita tersebut.
Pedagang wanita itu marah-marah karena mengira bahwa ia menuntut upah yang lebih banyak lagi. Di tengah kemarahannya, ia mengatakan, “Mengapa sopir yang satu ini tidak mau diberi uang “sekian,” padahal biasanya sopir-sopir yang lain menerima. Tanpa berkata apa-apa, sopir tersebut menjalankan jipnya dan terus melaju ke arah selatan.
Setelah jip itu lenyap, seorang polisi yang kebetulan berada di sana menghampiri pedagang wanita tersebut dan bertanya,
“Apakah mbakyu tahu, siapa sopir tadi?”
Masih dalam nada marah, pedagang itu menjawab, “Sopir ya sopir. Habis perkara! Saya tidak perlu tahu namanya. Memang sopir yang satu ini agak aneh.”
Polisi itu berkata lagi, “Kalau mbakyu belum tahu, akan saya kasih tahu. Sopir tadi adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, raja di Yogyakarta ini.”
Ini adalah kisah yang cukup terkenal. Saya tuliskan ulang sebagai bagian dari janji saya untuk melanjutkan kisah tentang HB IX yang beberapa waktu lalu pun saya sudah menuliskannya di halaman ini. Bisa dibaca di link berikut ini.
Kesaksian S.K Trimurti tak hanya cerita itu. Ada cerita lain yang membuat S.K Trimurti hingga menuliskan, “Disinilah saya merasakan bahwa rakyat Ngayogyakarta betul-betul cinta pada rajanya.”
Cerita lain yang menegaskan kecintaan rakyat pada HB IX adalah pada saat tentara Belanda mau memasuki kraton untuk mencari para gerilyawan kemerdekaan. Saat tentara Belanda hendak masuk kraton, konon kabarnya Sultan menjawab dengan tegas, “Kamu boleh masuk ke istana kalau sudah dapat melampaui bangkai saya.”
Dan tentu saja tentara Belanda takut akan ucapan Sultan dan langsung balik kanan.
Poro sedulur..
Semoga cerita diatas bisa memberikan kita semua inspirasi. Tentang pemimpin yang mencintai rakyat dan juga dicintai oleh rakyatnya. Saat ini tentu kita semua merindukan pemimpin yang seperti itu.
Bagi poro sedulur yang ingin membaca kisah tentang HB IX lebih lanjut, buku yang bisa dibaca berjudul Takhta Untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, terbitan Gramedia. Membaca biografi tokoh besar bisa memberikan kepada kita banyak pemahaman dan inspirasi baru.
Salam seyogyanya Jogja,
______
Nb. Semoga di lain kesempatan kita bisa sambung lagi dengan cerita lainnya. Matur nuwun.
https://www.facebook.com/MasTomiJogja/posts/1811562619064581:0
0 komentar:
Posting Komentar