Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
SEJAK tahun 1980an, pemerintah
Indonesia telah mempromosikan program sertifikasi tanah (PST) sebagai strategi
nasional untuk memfasilitasi pembangunan nasional. Promosi ini telah dilakukan
dengan menyusun program nasional seperti Proyek Operasi Nasional Agraria
(PRONA) pada tahun 1981 dan Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah (LARASITA)
di tahun 2006, yang diluncurkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk
memfasilitasi PTS di daerah perkotaan dan pedesaan di Indonesia (Wahid et al.,
2015).
Dalam tiga tahun terakhir
(2014-2017), pemerintah Indonesia di era presiden Joko Widodo semakin aktif
mempromosikan PST di Indonesia. Birokrasi yang mahal dan tidak efektif telah
diperbaiki agar dapat mencapai ambisi pemerintah untuk menerbitkan 60 juta
sertifikasi tanah pada tahun 2021. Presiden Joko Widodo juga berjanji bahwa
pemerintah akan “memberi sertifikat tanah kepada masyarakat setiap hari,” dan
“akan memantaunya dengan saksama” (Adi, 2016; Chin, 2016). Keseriusan ini
menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia percaya bahwa PST dapat mendukung
pembangunan Indonesia.
Namun, meski
pemerintah Indonesia telah serius berjuang melaksanakan PST, beberapa pihak
menganggap bahwa program tersebut telah gagal mencapai tujuan untuk
meningkatkan pembangunan Indonesia karena meningkatnya ketimpangan tanah dan
tingkat keparahan kemiskinan[1] di
Indonesia akhir-akhir ini (Warren & Lucas, 2013).
Sertifikasi
Tanah dan Persoalannya
Beberapa ilmuwan
pembangunan mengklaim bahwa PST dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sebab
PST dapat “memengaruhi insentif investasi dan ketersediaan sumber daya keuangan
untuk membiayai investasi,” terutama di daerah-daerah di mana terdapat banyak
bank konvensional (Feder & Onchan 1987: 311, de Soto, 2000).
Memang, dengan
menggunakan sertikat tanah sebagai jaminan (collateral), orang dapat dengan mudah meminjam uang dari bank untuk menjalankan
bisnis dan investasi di pelbagai sektor, termasuk di sektor pertanian itu
sendiri (de Soto, 2000; Myers & Hetz, 2004).
Namun, walaupun
PST dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, hal itu tidak
dinikmati oleh semua masyarakat. Sebenarnya, dalam banyak kasus, PST di
negara-negara berkembang telah menyebabkan peningkatan kemiskinan karena
ideologi neoliberal yang mendasari implementasi PST di negara-negara berkembang
terlalu “income-centered and growth-oriented” (Borras, 2007: 7), dan, dengan
demikian, mengabaikan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan adil bagi
semua. Apalagi, rasionalisasi utama PST adalah memperlakukan lahan sebagai
komoditas yang mudah dibeli dan dijual demi akumulasi modal (Akram-Lodhi, 2013,
Maura 2013, Mulyani 2015). Sebagai contoh, Gordon (1975), melalui penelitian
etnografisnya di Flores, Manggarai, Indonesia, menemukan bahwa, pada 1970-an,
tanah bersertifikat dengan mudah diperjualbelikan antara petani dan orang kaya
baru, yang melihat tanah sebagai investasi utama mereka.
Perampasan lahan
yang ‘digerakkan oleh pasar’, seperti yang terjadi di Manggarai ini, adalah
sebuah rahasia umum di Indonesia, yang telah menimbulkan kesenjangan kepemilikan
tanah di masyarakat. Pada awal tahun 2000an, koefisien gini kepemilikan lahan
di Indonesia meningkat dari 0,5 pada tahun 1983 menjadi 0,7 pada tahun 2003
(Habibi & Juliawan 2017). Selain disebabkan oleh faktor lain, PST juga
turut berkontribusi terhadap meningkatnya kesenjangan kepemilikan tanah, sebab
dia mempercepat proses komodifikasi tanah.
Menurut Badan
Pertanahan Nasional (2013), antara 2011-2013, terdapat 2,3 juta transaksi tanah
bersertifikat di Indonesia (Wahid et al., 2015). Transaksi ini mungkin telah
berkontribusi terhadap meningkatnya kesenjangan ekonomi antara orang kaya dan
yang miskin di Indonesia, seperti yang ditunjukkan oleh koefisien gini 2015
sebesar 0,41, karena orang kaya yang memiliki modal besar dapat dengan mudah
membeli tanah dari orang miskin untuk demi investasi ekonomi mereka.
Alasan lain di
balik promosi PST adalah fungsi sosialnya untuk mencegah konflik agraria
(Deininger et al., 2009). Kristiansen dan Sulistiawati (2016) menunjukkan bahwa
salah satu motivasi utama sertifkasi tanah di Indonesia Timur adalah untuk
mengatasi konflik agraria di masa depan. Contoh lain, di Meksiko, Valsechhi
(2014: 2) melaporkan bahwa orang-orang yang memiliki sertikasi tanah tidak lagi
khawatir tentang konflik kepemilikan tanah atas tanah mereka, dan mereka
“sekarang dapat meninggalkan tanah mereka” untuk mencari pekerjaan yang lebih
baik di Amerika Serikat “tanpa takut kehilangan tanahnya.”
Namun, argumen
ini tidak selalu benar karena konflik kepemilikan lahan biasanya terjadi ketika
pemerintah meluncurkan PST, terutama di masyarakat yang lahannya merupakan aset
kolektif, yang dilarang keras untuk disertifikasi, seperti di Flores,[2] Indonesia.
Di Indonesia, terutama masyarakat di kawasan Timur Indonesia, terutama di
tingkat desa, menganggap tanah sebagai aset kolektif, dan begitu aset ini
disertifikasi, seringkali konflik kepemilikan lahan mulai terjadi (Barron &
Kaiser, 2009; Adam, 2001; Tolo, 2013a). Karena itu, semakin pemerintah
Indonesia mempromosikan PST, maka konflik agraria akan semakin meningkat di
masa depan. Secara nasional, pada tahun 2013, terdapat sekitar 4.000 kasus
konflik kepemilikan lahan di Indonesia (Wahid et al., 2015). Walau harus diakui
bahwa ada faktor lain yang memengaruhi konflik agraria ini, tak dapat disangkal
bahwa PST juga turut memincu konflik itu di beberapa wilayah di Indonesia,
seperti yang saya temukan di Flores.[3] Konflik
ini biasanya terjadi di antara individu dalam suatu kelompok masyarakat yang
sama. Konflik ini biasanya berkaitan dengan klaim hak atas tanah dan
komodifikasi tanah (Tolo 2017). Apalagi, dalam beberapa kasus, BPN di daerah,
yang kebanyakan para pegawainya tidak berasal dari penduduk setempat, terkadang
menerbitkan sertifikasi tanah hanya untuk mencapai target nasional, dan
cenderung mengabaikan prosedur ketat yang harus diikuti serta cenderung
mengabaikan adat dan budaya setempat (Tolo 2017).
Alasan lebih lanjut mengapa PST
dilaksanakan adalah bahwa kepemilikan sertifikasi tanah dapat meningkatkan
derajat pemanfaatan lahan pertanian secara lebih efektif dan efisien (Feder
& Onchan, 1987). Namun, peningkatan derajat pemafaatan atas tanah ini
terkadang memicu laju deforestasi, sebab orang-orang yang telah mendapatkan
sertifikat tanah mereka, yang mungkin terdapat hutan di dalamnya, cenderung
mengubah hutan individual mereka menjadi lahan pertanian atau menjualnya ke
perkebunan kelapa sawit dan kakao dan perusahaan penebangan kayu seperti di
Kalimantan,[4] Maluku[5] dan
Sulawesi (Li 2012). Lebih jauh, konversi hutan untuk lahan pertanian ini
mungkin telah menyebabkan perampasan tanah di Indonesia –seperti yang terjadi
di negara-negara lain di Asia dan Amerika Latin (Borras & Franco 2011;
Borras et al., 2012)– yang menyebabkan hilangnya lebih dari 143 juta hektar
hutan Indonesia, terutama selama rezim Orde Baru (Tolo 2013b).
Kesimpulan
Meskipun PST
bertujuan untuk mendukung pembangunan dengan agenda mengurangi tingkat
kemiskinan, konflik sosial dan deforestasi, dalam banyak kasus, seperti di
Indonesia, tampaknya PST memiliki dampak yang sebaliknya. Hal ini menunjukkan
bahwa keberhasilan PST di beberapa negara, seperti Thailand dan Meksiko, tidak
otomatis terjadi saat diimplementasikan di Indonesia (Feder & Onchan 1987;
Valsechhi, 2014). Salah satu alasan yang mungkin terjadi di balik kegagalan ini
adalah bahwa PST di Indonesia tampaknya telah mengabaikan kondisi struktural
masyarakat terkait dengan sistem pertanahan. Ini terjadi karena, seperti yang
diingatkan oleh Li (2012:21), banyak proyek pembangunan di Indonesia, termasuk
PST, cenderung mengabaikan “persoalan ekonomi politik– yaitu persoalan
menyangkut penguasaan alat-alat produksi, serta struktur hukum dan kekuasaan
yang menopang berlangsungnya ketimpangan sistem.” Karena itu, pemerintah
mungkin perlu mengevaluasi kembali dan menilai ulang PST di Indonesia agar
lebih sensitif terhadap “pertanyaan ekonomi-politik” sehingga dapat membawa
kesejahteraan yang lebih besar kepada sebagian besar masyarakat Indonesia.
***
Penulisadalah Peneliti di Magister Administrasi Publik UGM,
Yogyakarta
Kepustakaan:
Adam, J. (2010).
Post-Conflict Ambon: Forced Migration and the Ethno-Territorial Effects of
Customary Tenure, Development and Change 41, 3: 401-19.
Akram-lodhy, A.H.
(2013). Hungry for Change: Farmers, Food Justice and Agrarian
Question.
Canada: Hignell Book Printing.
Barron, P. &
Kai, K. (2009). Understanding Variations in Local Conflict: Evidence and
Implications from Indonesia, World Development 37, 3: 698–713.
Borras, S.M.
(2007). Pro-Poor Land Reform. USA: University of Ottawa
Press.
Borras, S.M &
Franco, J.C. (2011). Political Dynamics of Land-Grabbing in Southeast Asia:
Understanding Europe’s Role, Transnational Institute in the
context of the Just Trade project, Netherland.
Borras Jr, S. M.,
Franco, J. C., Gómez, S., Kay, C., & Spoor, M. (2012). Land grabbing in
Latin America and the Caribbean. The Journal of Peasant Studies, 39 (3-4), 845-872.
Deininger, K.,
Ali, D. A., & Alemu, T. (2008). Impacts of Land Certification Ontenure
Security, Investment, and Land Markets: Evidence from Ethiopia.
de Soto, H.
(2000). The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the
West and Fails Everywhere Else?, London: Black Swan Publisher.
Feder, G., &
Onchan, T. (1987). Land ownership security and farm investment in Thailand. American
Journal of Agricultural Economics, 69(2), 311-320.
Gordon, J.L.
(1975). The Manggarai: Economic and Social Transformation in an Eastern
Indonesia Society, PhD Thesis at Harvard University Cambridge, Massachusetts.
Habibi, M. &
Juliawan, B.H. (2017). Creating Surplus Labour: Neoliberal Transformations and
the Development of Relative Surplus Population in Indonesia, Journal
of contemporary Asia, forthcoming.
Kristiansen, S.,
& Sulistiawati, L. (2016). Traditions, Land Rights, and Local Welfare
Creation: Studies from Eastern Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic
Studies,52 2: 209-227.
Lucas, A., &
Warren, C. (2013). Land for the people: The state and
Agrarian conflict in Indonesia. Ohio University Press: Swallow Press.
Maura, M.J.S.B.
(2013). Land Title Program in Brazil: Are There Any Changes to Happiness?, The
Journal of Socio-Economics 45, 196-203.
Mulyani, L
(2015). Gambling with the State: Land Titles and Personhood Rights among the
Urban Poor in Indonesia, Asian Journal of Law and Society2, 1: 285-300.
Myers, G., &
Hertz, P.E. (2004). Property Rights and Land Privatization: Issues for Success
in Mongolia, Laporan untuk USAID Mongolia.
Tolo, E.Y.S.
(2017)Collective Land Certification Policy as an Alternative to Land Conflict
Resolution and Rural Development in Flores, Indonesia, Journal
Bisnis & Birokrasi, forthcoming.
Tolo, E.Y.S.
(2013a). Public Participation in the Implementation of Forestry
Decentralization in Indonesia, International Journal Bisnis &
Birokrasi, 20,
2: 113-120.
Obidzinski, K.,
Takahashi, I., Dermawan, A., Komarudin, H., & Andrianto, A. (2013). Can
large scale land acquisition for agro-development in Indonesia be managed
sustainably?. Land Use Policy, 30(1), 952-965.
Valsecchi, M.
(2014). Land property rights and international migration: Evidence from Mexico, Journal
of Development Economics, 110, 276-290.
Wahid, F., Sæbø,
Ø., & Furuholt, B. (2015, May). The Use of Information System in
Indonesia’s Land Management. Proceedings of the 13th International Conference
on Social Implications of Computers in Developing Countries, Negombo, Sri
Lanka.
[1]Dewasa ini dari 252 juta
orang, masih teradapat 28,2 juta orang miskin di Indonesia (Zain, 2016). Lebih
mengejutkan lagi, jika kemiskinan diukur berdasarkan dimensi pengembangan
manusia, yang mencakup “pemenuhan kebutuhan dasar manusia; akses terhadap
pendidikan, kesehatan, atau layanan pemerintah; dan kesempatan untuk
berpartisipasi dalam sektor sosial, ekonomi, dan politik tanpa diskriminasi,”
Laporan Bank Dunia mengenai Pengurangan Kemiskinan di Indonesia memprediksi
bahwa lebih dari separuh orang Indonesia dianggap sebagai orang miskin (Mulyani
2015: 288).
[2]Wawancara dengan ketua adat
di Wolosambi, Mauponggo, Flores, 23 November 2014.
[3]Wawancara dengan ketua adat
di Wolosambi, Mauponggo, Flores, 23 November 2014
[4]Wawancara dengan seorang
petani di Desa Kalumpang, Kalimantan Tengah, 12 Maret 2012.
[5]Wawancara dengan sekretaris
Desa Luhu, Seram Bagian Barat, 15 November 2015.
Rakyat korban penggusuran Jl. Stasiun Barat, Kebon Jeruk, Bandung, dalam upaya mempertahankan hak atas tanahnya malah dikriminalisasi oleh PT. KAI Daop II melalui Polda Jawa Barat.
Warga RT.03/02, Kelurahan Kebon Jeruk, Bandung nampaknya belum bisa menjalani kehidupannya kembali dengan tenang. Meski telah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Bandung saat menggusur secara paksa bangunan milik warga tanpa alas hak pada 26 Juli 2016 lalu, nyatanya PT. Kereta Api Indonesia (KAI) masih saja mengusik dan tak mengakui hak warga dalam menempati lahan yang telah warga diami selama puluhan tahun. Dengan berbagai cara, PT. KAI mengklaim lahan yang kini sedang dibangun kembali oleh warga. Padahal masih dalam amar putusannya, Majelis Hakim yang diketuai oleh Irwan Effendy menyatakan bahwa PT. KAI tidak mempunyai bukti kepemilikan lahan.
Pada 28 Oktober 2017 lalu, ketua RW. 02 dan RT. 03 mendapat surat panggilan dari Polda Jawa Barat sebagai saksi atas laporan tindak pidana terhadap pasal 167 KUHP yang berbunyi, “Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lima sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Atas laporan ini maka jelas terlihat upaya PT. KAI untuk mengkriminalisasi warga Kebon Jeruk. Selain itu pasal yang digunakan pun terlihat dipaksakan, sebab bagaimana bisa warga yang telah hidup dan mendiami lahan selama puluhan tahun, dijerat dengan pasal ini?
Kepolisian Berat Sebelah
Indikasi ini nampak jelas sebab sebelumnya pada tanggal 12 Juni, warga juga melaporkan PT. KAI kepadal Polres Kota Bandung karena 2 hari sebelumnya pihak PT. KAI bersama Polsuska mengintimidasi warga yang tengah membangun rumahnya kembali. Intimidasi itu juga disertai dengan tindak penghinaan terhadap salah satu warga. Namun hingga kini laporan warga tak kunjung ada kejelasan.
Untuk itu kami menuntut kepada pihak kepolisian agar menghentikan upaya kriminalisasi terhadap warga Kebon Jeruk. Sebab pada putusan pertama sudah dijelaskan bahwa warga lah yang lebih berhak untuk mendiami lahan yang selalu diklaim secara sepihak oleh PT. KAI.
Dalam rangka memperjuangkan hak atas tanahnya, rakyat Kebon Jeruk terus menempuh upaya legal. Hari Selasa, 14 November 2017, rakyat Kebon Jeruk akan mendatangi Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk meminta dukungan perlindungan hukum. Bagi kawan-kawan semua, dukung upaya rakyat mempertahankan tanahnya, bersama berjuang melawan kriminalisasi!
Lawan kriminalisasi dengan persatuan rakyat. Tanah untuk rakyat, bukan untuk korporat !