02 Oktober 2015 20:21
YOGYAKARTA
- Banyaknya sengketa tanah yang tak kunjung selesai menyebabkan tanah
atau lahan tersebut kurang produktif. Selama ini negara terkesan
tidak mau melindungi dan cenderung melakukan pembiaran terhadap kasus
sengketa lahan sehingga banyak tanah yang seharusnya bisa produktif
jadi berkurang manfaatnya.
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Mursyidan Baldan mengemukakan hal itu saat menjadi pembicara kunci dalam Seminar Nasional Pertanian Revolusioner “Selamatkan Pertanian Indonesia” di Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (1/10).
Melihat kenyataan itu Ferry akan membuat aturan yang membatasi waktu penyelesaian sengketa lahan yaitu kurang dari sepuluh tahun. “Penyelesaian sengketa dibatasi hingga sepuluh tahun dan jangan sampai lebih dari itu, atau kalau bisa diselesaikan dalam waktu lima tahun saja,” katanya.
Ferry mengemukakan, saat ini tengah mendorong penyusunan tata ruang wilayah yang mengutamakan lahan-lahan yang memiliki potensi tanah subur dan lahan pertanian produktif. Lahan-lahan tersebut nantinya akan digunakan sebagai pertanian.
“Kita lakukan koordinasi dan pemetaan sawah nasional, menjaga lahan pertanian pangan berkelanjutan, dan mencegah terjadinya konversi lahan sawah produktif untuk digunakan di luar pertanian,” ujarnya.
Tidak hanya itu, upaya reformasi agraria juga dilaksanakan melalui reformasi aset dengan legalisasi tanah berupa sertifikasi. Kemudian ditindaklanjuti dengan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan potensi tanahnya sebagai bagian dari reformasi akses.
Terkait dengan kebakaran hutan, Ferry akan mengeluarkan kebijakan antara lain dengan mewajibkan perusahan atau industri di kawasan hutan maupun lahan yang terbakar untuk berperan aktif melaksanakan upaya pencegahan. "Apabila kewajiban tersebut tidak bisa dipenuhi kami tidak akan segan melakukan pengurangan hak guna usaha," tegasnya lagi.
Alih Fungsi
Menteri ATR/Kepala BPN, Fery Mursyidan Baldan, juga mengatakan perlu ada pengontrolan penggunaan lahan pertanian agar lahan-lahan itu tak beralih fungsi menjadi lahan lain dan bangunan rumah atau resort.
"Kita katakan bahwa lahan yang digunakan oleh masyarakat untuk lahan pertanian dilarang untuk dijual dan dialihfungsikan. Itu komitmennya," katanya. Bahkan, dalam pembuatan sertifikat lahan pertanian, pemilik lahan tak diperkenankan untuk mengalihfungsikan lahan tersebut, tak boleh dijual kepada orang yang bukan petani, dan tidak boleh diwariskan kepada keluarganya yang bukan petani.
Kebijakan sudah ada, namun akan efektif manakala dilakukan pengontrolan guna mendesain negara ini dalam pemanfaatan tanah dan ruang. Menurut Ferry, pengontrolan tanah tak boleh dipahami sebagai hak mutlak dan hak ekslusif, dimana seseorang menyatakan tentang kepemilikan hak tanahnya yang bisa digunakan semaunya.
Keberadaan areal persawahan atau pertanian bukan hanya sumber kehidupan bagi orang perorangan, namun seluruh masyarakat di suatu negara. Masyarakat yang bekerja sebagai petani harus meyakini bahwa menjadi petani akan sejahtera.
"Bila lahan pertanian sudah diberikan kepada petani, namun tak ada dukungan infrastruktur, tempat penggilingan padi dan kemudahan transportasi, maka pada akhirnya lahan tersebut akan dijual kepada para pemilik modal (pengusaha). Oleh karena itu, tak boleh ada rantai yang terputus ketika kita bangun pertanian, baik makro maupun mikro," kata politikus Partai Nasdem ini.
Upaya yang dilakukan oleh Kementerian ATR untuk mengatasi kekurangan lahan pertanian adalah lahan-lahan perkebunan yang Hak Guna Usaha (HGU)-nya tak diperpanjang akan digunakan untuk lahan pertanian/persawahan.
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Mursyidan Baldan mengemukakan hal itu saat menjadi pembicara kunci dalam Seminar Nasional Pertanian Revolusioner “Selamatkan Pertanian Indonesia” di Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (1/10).
Melihat kenyataan itu Ferry akan membuat aturan yang membatasi waktu penyelesaian sengketa lahan yaitu kurang dari sepuluh tahun. “Penyelesaian sengketa dibatasi hingga sepuluh tahun dan jangan sampai lebih dari itu, atau kalau bisa diselesaikan dalam waktu lima tahun saja,” katanya.
Ferry mengemukakan, saat ini tengah mendorong penyusunan tata ruang wilayah yang mengutamakan lahan-lahan yang memiliki potensi tanah subur dan lahan pertanian produktif. Lahan-lahan tersebut nantinya akan digunakan sebagai pertanian.
“Kita lakukan koordinasi dan pemetaan sawah nasional, menjaga lahan pertanian pangan berkelanjutan, dan mencegah terjadinya konversi lahan sawah produktif untuk digunakan di luar pertanian,” ujarnya.
Tidak hanya itu, upaya reformasi agraria juga dilaksanakan melalui reformasi aset dengan legalisasi tanah berupa sertifikasi. Kemudian ditindaklanjuti dengan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan potensi tanahnya sebagai bagian dari reformasi akses.
Terkait dengan kebakaran hutan, Ferry akan mengeluarkan kebijakan antara lain dengan mewajibkan perusahan atau industri di kawasan hutan maupun lahan yang terbakar untuk berperan aktif melaksanakan upaya pencegahan. "Apabila kewajiban tersebut tidak bisa dipenuhi kami tidak akan segan melakukan pengurangan hak guna usaha," tegasnya lagi.
Alih Fungsi
Menteri ATR/Kepala BPN, Fery Mursyidan Baldan, juga mengatakan perlu ada pengontrolan penggunaan lahan pertanian agar lahan-lahan itu tak beralih fungsi menjadi lahan lain dan bangunan rumah atau resort.
"Kita katakan bahwa lahan yang digunakan oleh masyarakat untuk lahan pertanian dilarang untuk dijual dan dialihfungsikan. Itu komitmennya," katanya. Bahkan, dalam pembuatan sertifikat lahan pertanian, pemilik lahan tak diperkenankan untuk mengalihfungsikan lahan tersebut, tak boleh dijual kepada orang yang bukan petani, dan tidak boleh diwariskan kepada keluarganya yang bukan petani.
Kebijakan sudah ada, namun akan efektif manakala dilakukan pengontrolan guna mendesain negara ini dalam pemanfaatan tanah dan ruang. Menurut Ferry, pengontrolan tanah tak boleh dipahami sebagai hak mutlak dan hak ekslusif, dimana seseorang menyatakan tentang kepemilikan hak tanahnya yang bisa digunakan semaunya.
Keberadaan areal persawahan atau pertanian bukan hanya sumber kehidupan bagi orang perorangan, namun seluruh masyarakat di suatu negara. Masyarakat yang bekerja sebagai petani harus meyakini bahwa menjadi petani akan sejahtera.
"Bila lahan pertanian sudah diberikan kepada petani, namun tak ada dukungan infrastruktur, tempat penggilingan padi dan kemudahan transportasi, maka pada akhirnya lahan tersebut akan dijual kepada para pemilik modal (pengusaha). Oleh karena itu, tak boleh ada rantai yang terputus ketika kita bangun pertanian, baik makro maupun mikro," kata politikus Partai Nasdem ini.
Upaya yang dilakukan oleh Kementerian ATR untuk mengatasi kekurangan lahan pertanian adalah lahan-lahan perkebunan yang Hak Guna Usaha (HGU)-nya tak diperpanjang akan digunakan untuk lahan pertanian/persawahan.
Sumber : Sinar Harapan
0 komentar:
Posting Komentar