“Korupsi bukanlah tanda bahwa Negara kuat
dan serakah. Korupsi adalah sebuah privatisasi -tapi yang selingkuh.
Kekuasaan sebagai amanat publik telah diperdagangkan sebagai milik
pribadi, dan akibatnya ia hanya merepotkan, tapi tanpa kewibawaan.”
-Goenawan Mohammad, Catatan Pinggir 7
Kami telah menyebutkan kolaborasi jahat antara pengusaha dan pemerintah,
yang rupanya hal tersebut sudah menjadi wacana umum di hampir semua
kasus korupsi. Terlebih lagi kasus-kasus korupsi agraria. Kami sudah
menerima dan mencatat berbagai laporan berbagai bentuk-bentuk atau modus
Korupsi Agraria yang ada di Indonesia. 10 diantaranya sebagai berikut:
- Keberpihakkan rezim perizinan kepada pengusaha (dan bukan kepada rakyat).
531 Konsesi hutan skala besar (meliputi 35,8 juta ha2)
dikuasai oleh pengusaha besar sementara hanya terdapar 60 Ijin Hutan
Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
(meliputi 646.476 ha2).
- Pembiaran Perkebunan dan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di dalam kawasan hutan lindung.
Menhut dan BPN: 1,5 juta ha2
perkebunan sawit di dalam kawasan hutan. Pembukaan hutan tanpa
didahului oleh pelepasan kawasan hutan adalah tindak pidana yang diatur
dalam pasal 50 jo 78 UU 41/1999 tentang Kehutanan.
- Pembiaran luas konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai SK.
Banyaknya perusahaan
yang memegang HTI telah merambah jauh dari luasan sesuai SK-nya. Salah
satunya adalah PT. WKS (berdasasarkan temuan JKPP, KPA dan Persatuan
Petani Jambi).
- Pemberian izin HTI, Pertambangan dan Konversi Perkebunan di atas Pulau-pulau kecil (<200 .00="" ha="" sup="">2200>
Pulau-pulau kecil
diperuntukkan untuk kawasan konservasi, wisata, penelitian/pelatihan,
perikanan lestari dan peternakan (UU No. 27 tahun 2007).
- Manipulasi ganti kerugian pembebasan lahan.
Rekayasa dalam
penggantian kerugian: salah orang, salah ukuran, dan salah harga adalah
modus utama korupsi dalam proses ganti kerugian.
- Pemerasan dan penggelapan ganti kerugian pasca pembebasan lahan.
Kasus Lapindo: Oknum-oknum BPLS, pemerintah desa, dan BPN memungut fee
dari warga, bahkan disertai ancaman tanahnya (yang berharga Rp. 1-1,5
juta/meter) akan ditetapkan sebagai tanah sawah (dengan harga Rp. 120
ribu/meter).
- HGU tidak sesuai dengan luas kebun.
Sisa luas tanah yang
tidak ber-HGU dengan mudah dapat dipakai dalam proses mempertahankan
jabatan, menutupi target produksi yang tidak tercapai dalam kebun yang
ber-HGU, dan bancakan pejabat perkebunan guna lobby politik, sumbangan parpol, preman dan lain sebagainya.
- Penggunaan HGU untuk Kerja Sama Operasional (KSO) atau pengelolaan oleh pihak ketiga.
Banyak perkebunan
negara melakukan kerjasama sama operasional yang sesungguhnya terhitung
merugikan atau terlampau murah tapi terus saja dilanjutkan.
- Penyalahgunaan wewenang penerbitan HGU.
Setiap proses
penerbitan SK hak-hak atas tanah haruslah melalui proses yang baik dan
tidak ada klaim pihak lain atau konflik. Realitanya banyak tanah yang
tetap diterbitkan SKnya terhadap Perusahaan meski masih ada konflik
kepemilikan.
- Penyalahgunaan status tanah terlantar.
Perkebunan yang
menelantarkan tanah adalah perusahaan perkebunan yang tidak menggunakan
tanah sesuai peruntukannya. Realitanya banyak tanah terlantar yang tidak
diterbitkan SKnya dan malah diperpanjang izinnya.
0 komentar:
Posting Komentar