Selasa, 16 Februari 2016

Perang Melawan Korupsi: 10 Modus Korupsi Agraria (Pertanahan dan Kehutanan)

“Korupsi bukanlah tanda bahwa Negara kuat dan serakah. Korupsi adalah sebuah  privatisasi -tapi yang selingkuh. Kekuasaan sebagai amanat publik telah diperdagangkan sebagai milik pribadi, dan akibatnya ia hanya merepotkan, tapi tanpa kewibawaan.”
-Goenawan Mohammad, Catatan Pinggir 7

Kami telah menyebutkan kolaborasi jahat antara pengusaha dan pemerintah, yang rupanya hal tersebut sudah menjadi wacana umum di hampir semua kasus korupsi. Terlebih lagi kasus-kasus korupsi agraria. Kami sudah menerima dan mencatat berbagai laporan berbagai bentuk-bentuk atau modus Korupsi Agraria yang ada di Indonesia. 10 diantaranya sebagai berikut:
  1. Keberpihakkan rezim perizinan kepada pengusaha (dan bukan kepada rakyat).
531 Konsesi hutan skala besar (meliputi 35,8 juta ha2) dikuasai oleh pengusaha besar sementara hanya terdapar 60 Ijin Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) (meliputi 646.476 ha2).
  1. Pembiaran Perkebunan dan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di dalam kawasan hutan lindung.
Menhut dan BPN: 1,5 juta ha2 perkebunan sawit di dalam kawasan hutan. Pembukaan hutan tanpa didahului oleh pelepasan kawasan hutan adalah tindak pidana yang diatur dalam pasal 50 jo 78 UU 41/1999 tentang Kehutanan. 
  1. Pembiaran luas konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai SK.
Banyaknya perusahaan yang memegang HTI telah merambah jauh dari luasan sesuai SK-nya. Salah satunya adalah PT. WKS (berdasasarkan temuan JKPP, KPA dan Persatuan Petani Jambi).
  1. Pemberian izin HTI, Pertambangan dan Konversi Perkebunan di atas Pulau-pulau kecil (<200 .00="" ha="" sup="">2
).
Pulau-pulau kecil diperuntukkan untuk kawasan konservasi, wisata, penelitian/pelatihan, perikanan lestari dan peternakan (UU No. 27 tahun 2007). 
  1. Manipulasi ganti kerugian pembebasan lahan.
Rekayasa dalam penggantian kerugian: salah orang, salah ukuran, dan salah harga adalah modus utama korupsi dalam proses ganti kerugian. 
  1. Pemerasan dan penggelapan ganti kerugian pasca pembebasan lahan.
Kasus Lapindo: Oknum-oknum BPLS, pemerintah desa, dan BPN memungut fee dari warga, bahkan disertai ancaman tanahnya (yang berharga Rp. 1-1,5 juta/meter) akan ditetapkan sebagai tanah sawah (dengan harga Rp. 120 ribu/meter). 
  1. HGU tidak sesuai dengan luas kebun.
Sisa luas tanah yang tidak ber-HGU dengan mudah dapat dipakai dalam proses mempertahankan jabatan, menutupi target produksi yang tidak tercapai dalam kebun yang ber-HGU, dan bancakan pejabat perkebunan guna lobby politik, sumbangan parpol, preman dan lain sebagainya. 
  1. Penggunaan HGU untuk Kerja Sama Operasional (KSO) atau pengelolaan oleh pihak ketiga.
Banyak perkebunan negara melakukan kerjasama sama operasional yang sesungguhnya terhitung merugikan atau terlampau murah tapi terus saja dilanjutkan. 
  1. Penyalahgunaan wewenang penerbitan HGU.
Setiap proses penerbitan SK hak-hak atas tanah haruslah melalui proses yang baik dan tidak ada klaim pihak lain atau konflik. Realitanya banyak tanah yang tetap diterbitkan SKnya terhadap Perusahaan meski masih ada konflik kepemilikan.
  1. Penyalahgunaan status tanah terlantar.
Perkebunan yang menelantarkan tanah adalah perusahaan perkebunan yang tidak menggunakan tanah sesuai peruntukannya. Realitanya banyak tanah terlantar yang tidak diterbitkan SKnya dan malah diperpanjang izinnya.

0 komentar:

Posting Komentar