Selasa, 30/08/2016 07:37 WIB
Komnas HAM menilai
Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2015-2019, memberi ruang TNI mengurusi ranah sipil.
(CNN Indonesia/Prima Gumilang).
Jakarta, CNN Indonesia
--
Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai mendesak agar
Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, dicabut. Aturan ini dinilai
memberi ruang bagi TNI untuk mengurusi keamanan dalam negeri, termasuk
mengatasi konflik sosial dalam kehidupan masyarakat.
"Seharusnya (Perpres) itu dicabut. Tidak boleh ada lagi pada periode berikutnya, 2019. Jangan lagi pakai keamanan terintegrasi," kata Pigai di kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (29/8).
Pigai berpendapat, keterlibatan TNI dalam mengatasi keamanan dan ketertiban di ranah masyarakat sipil merupakan konsekuensi dari Perpres Nomor 2 tahun 2015 yang di dalamnya diatur soal keamanan terintergratif.
Dia tidak sepakat jika urusan keamanan negara dilakukan terintegratif. Berbeda halnya dengan urusan pertahanan negara yang mengharuskan adanya satu komando dan dilakukan secara terintegratif.
"Keamanan itu terdistribusi, tapi tidak boleh integratif. Dalam UU sudah diatur," kata Pigai.
Keterlibatan militer dalam wilayah sipil dan penambahan peran militer
dalam menjaga keamanan dalam negeri dianggap bertentangan dengan
Ketetapan MPR dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Kedua
aturan itu secara tegas mengamanatkan fungsi TNI sebagai alat pertahanan
negara, bukan keamanan negara.
Pigai mengatakan, keamanan negara seharusnya menginduk pada UU Kepolisian Negara. Hal itu untuk mencegah kegaduhan dalam penataan manajemen keamanan negara.
Kasus terbaru misal terjadi di Bandung, di mana Komunitas Perpustakaan Jalanan dibubarkan lantaran dituding sebagai modus geng motor pembuat onar. TNI berdalih, penertiban itu dilakukan untuk mencegah aksi kriminalitas di Bandung.
"Negara tidak boleh membatasi, apalagi membubarkan, tapi negara harus memfasilitasi dan menyiapkan ruang," kata Pigai.
Kasus lain, penangkapan sekaligus penahanan seorang warga Sarirejo yang dilakukan anggota TNI AU dalam peristiwa bentrokan di Medan, dianggap menyalahi UU tentang TNI dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Tindakan penanganan massa dan penegakan hukum oleh anggota TNI dinilai tidak prosedural. Menurut Pigai, TNI seharusnya meminta bantuan secara resmi kepada Polri dalam urusan pengamanan, karena aksi protes masyarakat dilakukan di areal publik, tepatnya di jalan masuk utama Bandara Polonia.
"Menurut saya kesalahan terbesarnya adalah pemerintah Jokowi memberikan peluang itu. Mungkin berorientasi pada pembagian kue nasional, soal bujet, supaya distribusi sebagian anggaran bidang keamanan juga bisa dipakai oleh instansi yang menangani pertahanan," ujar Pigai.
Dalam catatan Komnas HAM, kata Pigai, tingkat kekerasan yang dilakukan TNI tidak sebanyak yang dilakukan pihak kepolisian. Namun kasus kekerasan oleh TNI memiliki dampak yang kuat, karena trauma masa lalu begitu banyak.
(yul)
"Seharusnya (Perpres) itu dicabut. Tidak boleh ada lagi pada periode berikutnya, 2019. Jangan lagi pakai keamanan terintegrasi," kata Pigai di kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (29/8).
Pigai berpendapat, keterlibatan TNI dalam mengatasi keamanan dan ketertiban di ranah masyarakat sipil merupakan konsekuensi dari Perpres Nomor 2 tahun 2015 yang di dalamnya diatur soal keamanan terintergratif.
Dia tidak sepakat jika urusan keamanan negara dilakukan terintegratif. Berbeda halnya dengan urusan pertahanan negara yang mengharuskan adanya satu komando dan dilakukan secara terintegratif.
"Keamanan itu terdistribusi, tapi tidak boleh integratif. Dalam UU sudah diatur," kata Pigai.
|
Pigai mengatakan, keamanan negara seharusnya menginduk pada UU Kepolisian Negara. Hal itu untuk mencegah kegaduhan dalam penataan manajemen keamanan negara.
Kasus terbaru misal terjadi di Bandung, di mana Komunitas Perpustakaan Jalanan dibubarkan lantaran dituding sebagai modus geng motor pembuat onar. TNI berdalih, penertiban itu dilakukan untuk mencegah aksi kriminalitas di Bandung.
|
Kasus lain, penangkapan sekaligus penahanan seorang warga Sarirejo yang dilakukan anggota TNI AU dalam peristiwa bentrokan di Medan, dianggap menyalahi UU tentang TNI dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Tindakan penanganan massa dan penegakan hukum oleh anggota TNI dinilai tidak prosedural. Menurut Pigai, TNI seharusnya meminta bantuan secara resmi kepada Polri dalam urusan pengamanan, karena aksi protes masyarakat dilakukan di areal publik, tepatnya di jalan masuk utama Bandara Polonia.
"Menurut saya kesalahan terbesarnya adalah pemerintah Jokowi memberikan peluang itu. Mungkin berorientasi pada pembagian kue nasional, soal bujet, supaya distribusi sebagian anggaran bidang keamanan juga bisa dipakai oleh instansi yang menangani pertahanan," ujar Pigai.
Dalam catatan Komnas HAM, kata Pigai, tingkat kekerasan yang dilakukan TNI tidak sebanyak yang dilakukan pihak kepolisian. Namun kasus kekerasan oleh TNI memiliki dampak yang kuat, karena trauma masa lalu begitu banyak.
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160829202149-12-154655/perpres-keterlibatan-tni-di-ranah-sipil-didesak-dicabut/
0 komentar:
Posting Komentar