Kamis, 07 Desember 2017

ABRI Perangi Timor Leste

Martin Luther


Tanggal 7 Desember 1975, ABRI melancarkan perang kolonial terhadap Timor Leste. Sebuah operasi gabungan terbesar meliputi matra darat, laut dan udara dikerahkan menyerbu Dilli yang dipertahankan oleh Fretilin. Benny Moerdani, dalam “Profil Prajurit Negarawan”, menyebutkan:”…dari segi militer, operasi ini tidak terlalu dibanggakan.” 
Alasannya; koordinasi lemah, tidak semua prajurit yang dilibatkan pernah mengikuti latihan gabungan, pesawat yang terbang rendah ditembaki sendiri oleh temannya dari bawah, pasukan payung masih tetap diterjunkan meski pesawat sudah melenceng jauh di atas laut, sebagian pasukan Kostrad malah sempat ditembaki oleh marinir yang sudah mendarat di pantai, logistik tertahan di kapal menyebabkan pasukan yang menguasai kota terlambat menerima perbekalan. Hari itu, Fretilin meninggalkan Dilli dan memulai perang gerilya melawan pendudukan ABRI. Perlawanan ini berakhir tahun 1999.
Timor Leste bukan bekas wilayah Hindia Belanda, dan tidak pernah diklaim sebagai wilayah RI dalam proses2 perundingan dengan internasional sebelumnya, dicaplok oleh Indonesia atas restu Presiden AS Gerald Ford. 
Alasannya, mencegah munculnya pangkalan militer komunis di “Kuba”-nya Asia Tenggara. (Gunn & Lee, A Critical View of Western Journalism and Scholarship on East Timor, JCA Press, Manila, 1994, hlm. 124-127). Padahal motif dibalik itu adalah ekspansi kapitalisme di kawasan strategis dan kaya sumber2 bahan mentah ini. Kekalahan AS di Vietnam merupakan faktor utama mempercepat dilancarkannya pendudukan ini, untuk mempertahankan kepentingan nasional AS di sisi Indonesia. (Geoff Simmons, “Indonesia: The Long Oppression”, hlm. 189).
Pendudukan ABRI atas Timor Leste merupakan bencana kemanusiaan terburuk sesudah Peristiwa 65. Kedua kejadian ini memiliki kaitan; sama-sama bagian dari “Policy of Containment”-nya Amerika Serikat yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh “tentara lokal yang digaji murah”, yaitu ABRI. 
Didalam operasinya, ABRI melakukan tindakan2 brutal dan menimbulkan korban sangat besar di pihak rakyat Timor Leste. Menurut laporan Lopez da Cruz kepada Commissie Justicia et Pax-Nederland, pada permulaan tahun 1976, orang Timor Leste yang terbunuh berjumlah 60.000 orang. Wartawan Perancis Reichle, dalam kurun yang sama menaksir jumlah kematian orang Timor Leste sebesar 75.000. Charleton, wartawan independen pertama yang diijinkan masuk berkeliling Timor Leste menyebutkan angka sekitar 50.000 orang. 
Pada bulan Mei 1977, Menteri Luar Negeri Adam Malik, seorang makelar dari 5.000 kepala rakyat Indonesia yang dipesan oleh CIA, menyatakan:”50.000 atau 80.000 orang Timor-Timur telah mati, tapi apalah artinya ini dibandingkan dengan 600.000 manusia yang ingin menyatukan diri dengan Indonesia.” (Oost Timor Commissie Justicia et Pax-Nederland”, April 1984, hlm. 20). 
Sejak tahun 1975 sampai 1999 jumlah penduduk bangsa Maubere (Timor Leste) yang terbunuh sekitar 200.000 orang, atau hampir sepertiga dari penduduknya. (Mr. Siregar dalam “Tragedi Manusia dan Kemanusiaan”, hlm. 520). Jumlah yang serupa juga disebutkan dalam laporan2 Amnesty Internasional dan ICRC.
Pendudukan terhadap Timor Leste bukan hanya bencana kemanusiaan terhadap rakyatnya. Para prajurit yang ditugaskan kesana atas perintah Suharto, terpaksa menyabung nyawa. Sumber2 di pihak pemerintah menyebutkan, selama pendudukan berlangsung jumlah korban di pihak ABRI kurang-lebih 5.000 orang. Sebagai anak tentara pemegang Satyalencana Seroja, saya meyakini jumlah korban di pihak ABRI melebihi 5.000 orang. 
Diluar itu, ribuan prajurit yang pulang dari Timor Leste, mengalami guncangan kejiwaan dan trauma berkepanjangan. Sewaktu kecil saya sering mendengar kecemasan para tentara begitu mengetahui satuan yang ditugaskan terlebih dahulu ke Timor Leste, “habis” disergap Fretilin. Artinya, kemungkinan untuk dikirimkan kesana semakin besar. Saya juga masih ingat tentang perekrutan besar-besaran calon tamtama untuk menggantikan prajurit2 yang terbunuh di Timor Leste sampai2 tinggi badan ideal untuk prajurit dikurangi dari 160 cm menjadi 157 cm. Rezim Orde Baru (dan yang sekarang) tidak pernah jujur mengenai ini [*]

0 komentar:

Posting Komentar