Oleh: Umi Ma'rufah - 11/09/2019
Kiai Imam Zuhdi, tokoh
agama Urutsewu, memimpin aksi demonstrasi warga di depan Kantor Bupati Kebumen
beberapa jam setelah penyerangan warga-petani oleh TNI AD (Foto: Dokumentasi
Urut Sewu Bersatu)
Rabu, 11 September 2019, bentrok antara petani dengan TNI
AD terjadi di Desa Brencong, Kecamatan Bulus Pesantren, Kabupaten
Kebumen.
Sebanyak
16 orang korban jatuh di pihak warga, sebagian besar petani. Satu orang warga,
Haryanto (38 Tahun) terkena tembakan peluru karet. Satu video yang
berhasil direkam oleh warga memperlihatkan
pemukulan brutal sepasukan TNI AD berseragam terhadap petani.
Bentrokan ini adalah puncak dari eskalasi konflik yang
memanas sejak pertengahan Juli 2019 di wilayah pesisir selatan Kabupaten
Kebumen yang lebih dikenal sebagai Urutsewu. Sebelumnya, sejak tanggal 18 Juli
2019, TNI AD berupaya melakukan pemagaran tahap akhir menggunakan beton—yang
sebelumnya berupa pagar kawat bertulang di tiga Desa, Desa Entak, Desa Brecong,
dan Desa Setrojenar. Upaya ini mendapatkan perlawanan warga.
Pada 27 Juli 2019, sehari setelah warga melaporkan
upaya pemagaran sepihak kepada Beka Ulung Hapsara. Komisioner Komnas HAM di
Yogyakarta, ratusan warga berkumpul di Desa Brencong. Mereka berhasil
memukul mundur satu bego yang dikawal oleh serdadu TNI AD.
Sejarah Perampasan
Urutsewu: Klaim Tentara dan Dukungan Negara
Konflik warga dan TNI AD yang terjadi di wilayah Urutsewu
pada 11 September 2019 dan pertengahan sampai akhir Juli 2019 tersebut bukanlah
konflik baru. Di atas tanah seluas 1.150 hektar yang melintasi 15 desa di tiga
kecamatan, yaitu Kecamatan Mirit, Kecamatan Buluspesantren, dan Kecamatan
Ambal, masyarakat Urutsewu sejak lama berjuang melawan perampasan tanah yang
dilakukan oleh pihak TNI AD. Berulangkali warga berunjuk rasa dan melakukan
audiensi untuk mendapatkan kembali haknya.
Seperti pada 12
Juli 2019, warga melakukan audiensi dengan Bupati Kebumen dan pihak TNI AD yang
diwakili oleh Dandim 0709/Kebumen di Pendopo Kabupaten Kebumen. Pertemuan itu
tidak menghasilkan kesepakatan apapun karena TNI AD bersikukuh tetap membangun
pagar sedangkan warga tetap tidak merelakan tanahnya dirampas oleh TNI AD.
Kasus perampasan tanah di Urutsewu bermula dari
kedatangan TNI AD di kawasan ini pada tahun 1962. Ketika itu, TNI AD meminta
izin kepada pemerintah desa setempat untuk menggunakan tanah warga di kawasan
pesisir sebagai tempat latihan militer dan uji coba senjata berat. Kemudian
pada 1982 TNI AD mendirikan mess Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang)
TNI AD di Desa Setrojenar, di atas bekas tanah bengkok dan tanah rakyat seluas
100 meter kali 200 meter yang mereka beli dari Kepala Desa (Cahyati, 2014).
Lambat laun, TNI menggunakan tanah-tanah warga di sekitar mess tanpa melalui
proses perizinan. TNI AD hanya memberitahu akan ada latihan sehingga warga
diminta untuk tidak beraktifitas di area tersebut.
Pada 1998 TNI AD melakukan pemetaan wilayah secara
sepihak dan meminta tandatangan kepala desa dengan berbagai alasan. Menurut
catatan kronologi yang dimiliki Urut Sewu Bersatu, hasil pemetaan sepihak
itulah yang kelak menjadi dasar yang dipakai TNI AD dalam menguatkan klaim dan
membodohi masyarakat.
Pada 2007, TNI AD mengklaim memiliki wilayah pesisir
hingga radius 1000 meter dari bibir pantai ketika ada rencana pembangunan JLSS
(Jalur Lintas Selatan Selatan). TNI AD ikut meminta ganti rugi atas tanah yang
dibebaskan. Tetapi setelah mendapat protes keras dari warga klaim itu berkurang
menjadi 500 meter dari bibir pantai.
Peristiwa 16 April 2011 menandai perjuangan berdarah
warga Urutsewu dalam mempertahankan tanahnya. Ketika itu warga melakukan aksi
blokade jalan masuk tempat latihan. TNI AD membalas aksi warga dengan tindak
kekerasan bersenjata. Dikutip dari berita yang diterbitkan oleh mongabay.co.id
pada 12 Maret 2015, akibat peristiwa itu, enam petani kena pasal perusakan dan
penganiayaan, 13 orang luka-luka, enam luka tembakan peluru karet. Di dalam
tubuh petani bersarang peluru karet dan timah. Sebanyak 12 sepeda motor warga
dirusak dan beberapa barang, seperti handphone, kamera, dan data digital
dirampas paksa tentara.
Kebrutalan ini, dikenal dengan Tragedi Urutsewu.
Tahun 2013 TNI AD mulai membangun pagar permanen.
Penolakan yang dilakukan oleh warga tidak digubris oleh TNI dengan tetap
melakukan pemagaran. Puncaknya 8 Juli 2015 kembali peristiwa berdarah terulang.
Petani yang menolak pemagaran lahan konflik digebuki tentara bersenjata
lengkap. Empat menderita luka berat dan belasan lainnya mengalami luka ringan.
Peristiwa demi peristiwa ini membekas dalam ingatan warga
sebagai trauma yang menakutkan. Setiap kali ada rencana pemagaran yang hendak
dilakukan TNI AD, Kyai Imam Zuhdi dan Kyai Seniman, dua orang yang menjadi
korban kekerasan TNI AD seringkali bergidik karena mengingat peristiwa lampau
itu. Tetapi yang lebih menakutkan dari itu adalah ancaman hilangnya hak atas
tanah yang mereka kelola sebagai sumber penghidupan.
Sebelum kedatangan TNI AD, warga biasa menggembalakan
ternak dan bercocok tanam di lahan tersebut. Kini ternak tidak mungkin lagi
digembalakan di tanah itu karena kurang aman. Adanya aktivitas latihan tembak
pun menyebabkan sering terjadi kerusakan tanaman akibat ledakan peluru. Selain
itu ada juga nelayan yang beraktivitas di area pesisir dilarang melaut selama
latihan tembak. Tentu hal ini berpengaruh pada penghasilan warga yang
berprofesi sebagai petani dan nelayan.
Selain dampak terhadap penghidupan para petani dan
nelayan, jarak lokasi latihan dengan pemukiman yang terbilang cukup dekat
membuat suara tembakan dan ledakan mengganggu aktivitas belajar. Namun, yang
paling berbahaya dari jarak tembak ke pemukiman yang kurang dari 700 meter ini
adalah adanya peluru nyasar atau amunisi sisa latihan yang tidak diamankan
menyebabkan korban jiwa meninggal dan cacat permanen.
Pada 1998, akibat bekas peluru yang tidak diamankan, lima
orang anak meninggal. Seorang warga Desa Entak juga meninggal dunia akibat
rumahnya terkena peluru/bom nyasar.
Dengan kondisi yang demikian, Pemerintah justru seperti
mengakomodir kepentingan pihak militer. Merujuk pada Peraturan Daerah Kabupaten
Kebumen Nomor 23 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
Kebumen Tahun 2011–2031, wilayah Kecamatan Buluspesantren, Ambal, dan Mirit
diperuntukkan sebagai kawasan pertahanan dan keamanan di samping juga
diperuntukkan sebagai kawasan pertambangan, kawasan pertanian, dan pariwisata.
Peruntukan wilayah sebagai kawasan pertambangan ini merupakan angin segar bagi
pihak TNI AD yang sebelum adanya Perda RTRW telah memberikan izin kepada PT.
MNC (Mitra Niagatama Cemerlang) untuk menambang pasir besi.
Pemerintah pun menyambut baik pengusaha tambang ini
dengan menerbitkan IUP Operasi Produksi kepada PT. MNC selama sepuluh tahun.
Pemberian izin ini tentu sangat mengejutkan warga karena
sebelumnya tidak ada sosialisasi. Warga kemudian menolak karena mengkhawatirkan
dampak lingkungan yang akan terjadi apabila penambangan pasir besi berlangsung.
Kekhawatiran ini sangat beralasan karena sesuai Peraturan Daerah (Perda)
Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Provinsi Jawa Tengah 2009–2029 Pasal 55, pantai selatan Jawa masuk di
dalam kategori kawasan rawan tsunami (Cahyati, 2014).
Alasan lain ditolaknya penambangan pasir yang masuk ke
wilayah Urutsewu oleh warga adalah masuknya Kecamatan Buluspesantren, Ambal,
dan Mirit ke dalam kawasan sempadan pantai. Artinya di wilayah ini tidak boleh
dilakukan pembangunan kawasan terbangun atau kegiatan yang dapat merusak
lingkungan pantai dan sekitarnya. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor Kep.10/Men/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan
Pesisir Terpadu, sempadan pantai adalah daerah sepanjang pantai yang
diperuntukkan bagi pengamanan dan pelestarian pantai (Cahyati, 2014). Oleh
sebab itu, pemanfaatan dan pengelolaan wilayah ini difokuskan untuk kegiatan
yang berkaitan dengan fungsi konservasi dan harus steril atau terbebas dari
kegiatan pembangunan.
Tanah Urutsewu:
Milik Siapa?
Sudah hampir delapan tahun sejak peristiwa berdarah 16
April 2011 belum ada kepastian untuk masyarakat Urutsewu dalam memperoleh
haknya atas tanah.
Perjuangan semakin berat ketika BPN pun tanpa penjelasan
yang memadai merevisi luasan tanah yang dimiliki oleh warga Desa Entak
Kecamatan Ambal sehingga banyak yang berkurang. Dari sebanyak 1193 warga yang
mengajukan PTSL pada Bulan Oktober 2018 yang hasilnya diterima pada awal
Desember 2018 dan ditarik kembali pada akhir bulan itu juga, baru 33 sertifikat
yang dikembalikan dan direvisi. Seorang warga bernama Sarimin, misalnya,
tanahnya berkurang 777 m2, dari semula seluas 922 m2 menjadi 145 m2. Seorang
lainnya, Watijo juga demikian. Tanahnya yang sebelumnya adalah seluas 1481 m2,
dalam sertifikat yang baru luasannya menjadi 849 m2, berkurang 632 m2. Pihak desa
yang merasa apa yang diterima tidak sesuai dengan apa yang diajukan tentu
menolak sertifikat hasil revisi itu dan mengembalikannya ke BPN. Sebab desa pun
memiliki Letter C sebagai bukti kuat kepemilikan tanah yang juga diakui oleh
BPN.
Kronologi kepemilikan tanah di wilayah ini bisa dirunut
dari masa pemerintahan Bupati Ambal, R. Poerbonegoro (1830-1871). Pada masa itu
telah dilakukan kebijakan yang cukup mendasar yang dalam istilah kebijakan
tanah modern disebut sebagai kebijakan landreform sekaligus konsolidasi
tanah. Kebijakan yang dimaksud adalah penataan tanah dengan sistem “galur
larak”.
Dalam peta bidang tanah yang ada sampai
sekarang, tampak sekali sistem galur larak ini,
yakni pembidangan selebar 2-4 meter memanjang mulai dari tengah
desa hingga ke selatan sampai pesisir (banyu asin).
Bidang-bidang tanah tersebut kemudian dibagi kepada masyarakat.
Pada tahun 1920 terjadi kebijakan penggabungan desa-desa
di Urutsewu. Sejumlah 2 sampai dengan 4 desa digabung menjadi satu.
kebijakan ini adalah bagian dari kebijakan Agrarische
Reorganisastie atau reorganisasi agraria yang
mengakhiri sistem tradisional apanase-bekel di vorstenlanden (wilayah
kerajaan). Atau dalam bahasa lokal kebumen disebut dengan istilah Blengketan.
Pada tahun 1922 dilakukan pengukuran pemetaan serta pengadministrasian tanah
pada masing-masing desa hasil blengketan yang dikenal dengan
istilah klangsiran siti (pengukuran tanah) yang meliputi
pencatatan tanah milik perorangan, tanah bengkok dan kas
desa yang dalam perkembangannya dimasukan dalam Buku Desa atau yang
dikenal Dengan istilah Buku C DESA. Kemudian dikenal istilah tanah D I,
DII, DIII, DIV dan DV.
Klangsiran dilakukan per-sepuluh tahun. Pada tahun
1932 dilakukan pengukuran kembali atau klangsiran tahap II. Pengukuran kali ini
dilakukan oleh mantri klangsir, dengan pelibatan masyarakat Urutsewu.
Kali ini pengukuran dimaksudkan untuk membuat klasifikasi tanah
berdasarkan penggunaannya sehingga dari situ diketahui besaran
pajaknya.
Klangsiran ini menghasilkan 4 kelas nilai tanah
yakni tanah pekarangan (kategori ati), tanah sawah/lahan basah
(kategori daging), tanahpesisir/lahan kering (kategori balung),
dan tanah batas desa (kategori kulit).
Demikian kategorisasi tanah yang oleh masyarakat dimaknai
sebagai kesatuan tubuh bumi.
Penamaan dan pemaknaan tersebut
adalah bentuk kedekatan akses dan interaksi atas
tanah oleh masyarakat, baik dalam bentuk penguasaan maupun pemilikan. Dari sini
kemudian tanah-tanah tersebut dikeluarkan pajaknya (tanah pemajegan). Penarikan
pajak terus dilakukan menggunakan pethuk sampai dengan tahun 1960-an. Sebagai
misal, di Setrojenar, tanah pesisir masuk dalam Klas D V.
Apa yang dilakukan TNI AD sebetulnya hanya melanjutkan
penguasaan illegal kawasan pesisir selatan untuk kawasan militer, sebagaimana
dilakukan oleh Pemerintah Belanda pada 1937 dan tentara Jepang pada 194–dua
penjajah utama Bangsa Indonesia. Ketika itu, Pemerintah kolonial Belanda
menggunakan hasil klangsiran tahun 1937 untuk mengklaim tanah di sepanjang
pesisir selatan Urutsewu dengan ditandai pal.
Masyarakat Urutsewu menyebutnya sebagai “tanah kumpeni”.
Klaim tanah dari pal ke selatan dengan jarak +- 150-200 meter tersebut ditolak
oleh warga sehingga mereka menjuluki penanda tersebut sebagai pal
budheg (‘pal yang tidak didengarkan’).
Masyarakat telah menguasai tanah di bibir pantai itu
untuk membuat garam yang memang terkenal sejak dulu di wilayah ini. Terlebih
pernah terjadi transaksi jual-beli atas tanah pesisir ini pada masa itu serta
telah dikenalnya bukti kepemilikan tanah berupa “Letter C” (Cahyati, 2014).
Tanah yang sah menjadi milik TNI AD hanya bekas tanah bengkok dan tanah rakyat
yang dibeli dari kepala Desa Setrojenar di mana mess Dislitbang TNI AD berdiri.
Respon Islam Atas
Konflik Urutsewu
Menurut pandangan Islam, apa yang dilakukan oleh TNI AD
dalam hal ini perampasan tanah adalah tindakan yang haram dan sangat tidak
dibenarkan oleh Agama. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW berikut ini.
Yahya bin Ayyub, Qutaibah bin Sa’id, dan Ali bin Hujr
telah memberitahukan kepada kami, mereka berkata, Isma’il –Ibnu Ja’far- telah
memberitahukan kepada kami, dari Al-‘Ala’ bin Abdurrahman, dari Abbas bin Sahl
bin Sa’ad As-Sa’idi, dari Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nufail, bahwa Rasulullah
SAW bersabda, “Barangsiapa mengambil sejengkal tanah dengan zhalim, maka Allah
akan mengalungkan tujuh lapis bumi kepadanya di Hari Kiamat”. (HR. Muslim:
4108).
Imam An-Nawawi dalam syarahnya mengatakan, hakekat
pengalungan dalam hadits di atas terdapat beberapa kemungkinan mengenai
maknanya; Pertama, orang tersebut akan dipaksa mengangkat tanah yang
dirampasnya;
Kedua, tanah itu akan diubah oleh Allah menjadi
semacam kalung yang diletakkan di lehernya. Arti ini sesuai dengan firman Allah
Ta’ala: “…Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di
lehernya di hari kiamat…” (QS. Ali Imran: 180);
Ketiga, dosa orang yang merampas tanah itu akan
melekat pada dirinya sebagaimana kalung yang melekat di leher pemakainya. Hadits
ini mengandung beberapa pelajaran berharga, yaitu pengharaman perbuatan zhalim,
pengharaman merampas sesuatu di mana pelakunya mendapat dosa besar, dan
penjelasan bahwa adanya perampasan tanah.
Hadits ini merupakan bentuk gugatan Nabi –dan tentu saja
Agama Islam terhadap siapa saja yang bertindak zhalim dan merampas tanah milik
orang lain. Maka TNI AD yang mengklaim secara sepihak tanah milik warga di
kawasan Urutsewu merupakan perampas tanah. Terlebih, itu dilakukan secara paksa
dan diwarnai tindak kekerasan maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan
zhalim. Oleh sebab itu apa yang dialami oleh warga Urutsewu ini patut mendapat
pembelaan dari semua pihak terutama kaum muslimin.
Bagi penulis, membela kaum yang lemah atau dilemahkan
adalah sebuah bentuk jihad. Sebagaimana firman Allah SWT: Mengapa kamu
tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik
laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo`a: “Ya Tuhan
kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan
berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi
Engkau!” (Annisa: 75).
Tafsir Lengkap Departemen Agama menjelaskan, dalam ayat
ini terdapat dorongan yang kuat agar kaum Muslimin berperang di jalan Allah
untuk membela saudara-saudara mereka yang tertindas dan yang berada dalam
cengkeraman musuh, karena mereka lemah dan tidak berdaya baik laki-laki,
perempuan maupun anak-anak. Keamanan mereka terancam. Mereka tidak mampu
membebaskan diri dari cengkeraman musuh, mereka ditindas dan dianiaya oleh
penguasa-penguasa yang zalim, mereka tidak berbuat apa-apa selain berdoa
memohon pertolongan dan perlindungan dari Allah. Allah mendorong untuk
berperang dengan cara yang lebih mendalam, mengetuk pintu hati nurani setiap orang
yang masih memiliki perasaan dan keinginan yang baik, dengan menyebutkan
keuntungan dan tujuan murni dari peperangan menurut Islam.
Selain itu, dalam hal penggunaan tanah, Islam sangat
menganjurkan agar tanah lebih dimanfaatkan untuk menanam tanaman yang
memberikan manfaat bagi semua makhluk hidup. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Tidaklah seorang muslim menanam pohon atau menanam tanaman,
lalu tanaman tersebut dimakan oleh burung atau manusia atau hewan ternak,
melainkan hal itu bernilai sedekah baginya.” (HR. Bukhari).
Ibn Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa hadis di atas
menunjukkan keutamaan menanam tanaman dan mengelola tanah bagi kemanfaatan
manusia. Lebih jauh lagi ia menjelaskan bahwa manfaat dari tanaman dan tanah
yang dikelola akan membawa pahala dan kebaikan bagi penanam atau pengolahnya
jika dimanfaatkan oleh orang lain, bahkan hewan sekalipun (Akmaluddin, 2017).
Betapa pentingnya kita menjaga lingkungan dan dianjurkan
untuk tetap menanam bahkan ketika kiamat telah ada di depan mata. dari Anas bin
Malik berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Jika tiba hari
kiamat sedang pada tangan dari kalian bibit pohon kurma maka tanamlah” (HR.
Ahmad). Al- Ṣan‘ānī (w.
1182 H) mengatakan bahwa hadis di atas merupakan anjuran dan dorongan agar
seseorang melestarikan lingkungannya dan menjaganya sampai akhir hayat, bahkan
hingga dunia ini musnah (Akmaludin, 2017).
Dengan demikian benarlah dalam pandangan Islam, mengenai
sikap warga yang tetap mempertahankan tanahnya agar senantiasa dapat ditanami
dan memberikan manfaat bagi semua makhluk hidup. Dan tetap benar bahwasanya
sikap masyarakat untuk menolak tambang pasir besi di wilayah Urutsewu karena
itu merupakan bagian dari upaya menjaga lingkungan dari kerusakan. Maka kita pun
harus yakin bahwa apa yang diperjuangkan oleh masyarakat Urutsewu adalah hal
yang benar dan wajib dibela. Jika mengingat ucapan Hadratus Syaikh KH. Hasyim
Asy’ari bahwa petani adalah penolong negeri, maka sudah seharusnya kita
membersamai para petani yang memperjuangkan hak atas tanahnya.
Sumber
Tulisan:
Wawancara
langsung ke Kyai Seniman dan perangkat Desa Entak.
Catatan
Kronologi milik Urutsewu Bersatu diperoleh dari Kang Widodo Sunu Nugroho).
Devy
Dhian Cahyati, Konflik Agraria di Urut Sewu Pendekatan Ekologi
Politik, Yogyakarta: STPN Press, 2014.
Imam
Nawawi, Syarah Shahih Muslim (Jilid 7), Terj: Darwis, Muhtadi,
Fathoni Muhammad, Jakarta Timur: Darus Sunnah Press, Cet. 2, 2013.
Akmaluddin, Pesan
Profetik Lingkungan dalam Hadits, Jurnal Penelitian Vol. 14 No. 2, 2017.
Tafsir
Lengkap Departemen Agama dalam Aplikasi Qur’an in Word.
0 komentar:
Posting Komentar