Oleh Indra Nugraha
[Jakarta] di 23 October 2019
·
Kabinet baru jilid II Presiden Joko Widodo,
sudah tersusun. Untuk menteri yang berhubungan dengan sumber daya alam ada
wajah baru, tetapi beberapa orang lama. Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, mendapat kepercayaan kembali menjadi menteri Jokowi pada periode
II, begitu juga Sofyan Djalil, Menteri ATR/Kepala BPN. Juga, Menteri
Koordinator Maritim, dengan berubah nomenklatur menjadi Menteri Koordinator
Maritim dan Investasi, tetap dipegang Luhut B Pandjaitan. Kemudian, Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral, dari Ignasius Jonan, ke Arifin Tasrif.
Menteri Pertanian dari Amran Sulaiman, beralih ke mantan Gubernur Sulawesi
Selatan, Syahrul Yasin Limpo. Menteri Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan
Perikanan, berganti dengan wajah baru politisi Partai Gerindra, Edhy Prabowo.
·
Berbagai kalangan organisasi lingkungan menilai,
beberapa nama yang dilantik jadi menteri Presiden Joko Widodo, erat kaitan
dengan oligarki bisnis ekstraktif, tambang, dan batubara sampai sawit.
·
Dengan sosok-sosok berkait erat oligarki ini,
kalangan organisasi masyarakat sipil khawatir, masa depan lingkungan negeri ini
makin buram. Begitu juga soal reforma agraria, yang digadang-gadang sebagai
prioritas Presiden Joko Widodo, bisa jalan di tempat. Salah satu tantangan
besar dalam pembenahan tata kelola sumber daya alam dengan kabinet seperti ini
adalah sejauh mana presiden mampu mengendalikan oligarki.
·
Organisasi masyarakat sipil mengingatkan, jangan
sampai pemerintah mati-matian menggenjot investasi tetapi saat bersamaan justru
kehilangan pasar. Tren global, katanya, konsumen mau membeli produk-produk
berkelanjutan atau produk-produk dari sumber jelas dan bertanggung jawab.
“Orang baik pilih energi baik.” Begitu spanduk yang
dibentangkan di patung Monumen Selamat Datang di Bundara Hotel Indonesia, Jl MH
Thamrin, Jakarta, Rabu (23/10/19). Di Patung Pancoran, spanduk raksasa juga
terbentang. “Lawan Perusak Hutan” dengan tambahan hashtag #ReformasiDikorupsi.
Dua pesan ini ingin Greenpeace sampaikan kepada Presiden Joko Widodo, tepat di
hari pengumuman menteri berlabel, Kabinet Indonesia Maju.
Ya, pagi hari itu, Jokowi merilis susunan kabinet
barunya. Kalangan aktivis lingkungan menilai, sosok-sosok menteri kental nuansa
oligarki. Untuk menteri yang berhubungan dengan sumber daya alam ada wajah
baru, tetapi beberapa orang lama. Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, mendapat kepercayaan kembali menjadi menteri Jokowi pada periode II,
begitu juga Sofyan Djalil, Menteri ATR/Kepala BPN. Juga, Menteri Koordinator
Maritim, dengan berubah nomenklatur menjadi Menteri Koordinator Maritim dan
Investasi, tetap dipegang Luhut B Pandjaitan.
Kemudian, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, dari
Ignasius Jonan, ke Arifin Tasrif. Menteri Pertanian dari Amran Sulaiman,
beralih ke mantan Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo. Menteri Susi
Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan, berganti dengan wajah baru
politisi Partai Gerindra, Edhy Prabowo.
Khalisah Khalid, Koordinator Desk Politik Walhi Nasional
mengatakan, beberapa nama yang dilantik jadi menteri, erat kaitan dengan
oligarki bisnis ekstraktif, tambang, dan batubara sampai sawit, seperti Menteri
Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri BUMN Erick
Thohir, Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto dan lain-lain.
“Kita khawatir dengan orang-orang yang masuk dalam
lingkar oligarki itu ada di lingkar kekuasaan, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin
jadi makin berat tantangan. Akan makin buram masa depan lingkungan,” katanya di
Jakarta, Rabu (23/10/19).
Dia bilang, tantangan besar dalam pembenahan tata kelola
sumber daya alam dengan kabinet seperti ini adalah sejauh mana presiden mampu
mengendalikan oligarki. “Prediksi kita akan makin buram. Presiden tak mau
mengeluarkan Perppu KPK juga karena tekanan parpol. Sejauh mana bisa keluar
dari hal ini?” katanya.
Belum lagi, menghadapi investasi. Pada akhirnya, kata
Alin, sapaan akrabnya, lagi-lagi lingkungan hidup jadi nomor kesekian.
Kekhawatiran ancaman lingkungan karena oligarki berkuasa
juga muncul dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Merah Johansyah,
Koordinator Jatam mengatakan, menteri-menteri yang mengisi kabinet Indonesia
Maju sebagai kemenangan oligarki. Ia menambah kabar buruk bagi masa depan
rakyat dan lingkungan di Indonesia di tengah denyut dan brutalitas penghisapan
kekayaan yang makin massif.
Sebelumnya, kata Merah, lebih dari 500 anggota DPR
terpilih, atau 45% terafiliasi sejumlah bisnis. “Hari ini, kita kembali
disuguhkan kabar buruk yang sama, para menteri diumumkan, sebagian juga terkait
bisnis, termasuk sektor tambang dan energi. Ini sumber ancaman,” katanya.
Sisi lain, katanya, DPR, bersama pemerintah, telah
megamputasi sejumlah kewenangan penting Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Belum usai, beberapa revisi UU juga mengancam seperti RUU Pertanahan, RUU
Pertambangan Minerba, RUU KUHP, RUU Ketenagakerjaan, dan lain-lain.
Belum lagi, rencana berbahaya melalui Omnibus Law,
yakni, penyesuaian 74 peraturan perundang-undangan guna mendorong
investasi. Kini, para menteri dalam Kabinet Indonesia Maju, sebagian diisi
orang-orang lama pembuat masalah.
“Orang-orang ini pebisnis sektor ektraktif, juga berlatar
belakang polisi dan militer yang berpotensi besar membawa kepentingan pribadi
dan kelompoknya selama menjabat,” katanya.
Merah menyebut, beberapa menteri terpilih Jokowi berelasi
bisnis tambang, energi dan migas.
Spanduk yang dibentangkan aktivis Greenpeace di jakarta,
mendesak pemerintahan baru peduli energi bersih. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay
Indonesia
Tak jauh beda dengan pandangan Teguh Surya, Direktur
Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan. Dia mengatakan, sejak awal Madani sudah
memetakan aktor-aktor yang terlibat dalam lingkaran Jokowi-Ma’ruf Amin. Mulai
dari Tim Kemenangan Nasional (TKN), orang-orang terdekat Jokowi, para menteri,
hingga ketua parpol pengusung.
Menurut Teguh, di lingkaran kekuasaan Jokowi-Ma’ruf Amin,
erat kaitan dengan bisnis sumber daya alam, baik minerba, sawit, migas dan
kehutanan.
“Kami memukan paling besar kecenderungan sektor sawit dan
minerba. Banyak aktor-aktor besar mendukung pemenangan Jokowi ini memiliki
bisnis dan pembiayaan politik rata-rata melalui sektor perkebunan sawit dan
minerba,” katanya.
Kondisi ini, katanya, jadi tantangan besar sekaligus
menimbulkan kebingungan bagi agenda penyelamatan lingkungan hidup. Dia
contohkan, keberadaan Erick Thohir, Bahlil Lahadalia, Luhut BInsar Pandjaitan,
maupun Fachrul Razi. “Itu kan banyak sekali aktor-aktor utama yang punya akses
langsung sekaligus aktor utama bisnis ekstraktif.”
Dengan mereka duduk dan jadi aktor kunci di pemerintahan,
maka bisa jadi memegang kekuatan, penentu arah kebijakan dan lain-lain.
Menurut dia, tak heran kalau pemerintah terus membahas
RUU Minerba, terlebih berkaitan dengan bakal berakhir beberapa kontrak karya
minerba pada 2020-2021.
“Agak berat bagi Jokowi melindungi lingkungan. Karena
besarnya oligarki bisnis di sekitar dia. Kita percaya kepada Jokowi sebagai
presiden terpilih dengan suara terbanyak, dengan komposisi kabinet ini,
kekhawatiran terbesar kami, ini gak akan kemana-mana. [perbaikan lingkungan]
berjalan di tempat.”
Siti Nurbaya, masih tetap Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Meskipun begitu, kata Teguh, tantangan akan makin berat kalau
melihat komposisi menteri dalam kabinet saat ini. Antara lain, dia sebutkan,
Fachrul Razi, latar belakang militer dan pengusaha tambang jadi Menteri Agama.
Ada Erick Thohir, antara lain, pebisnis tambang batubara,
sebagai Menteri BUMN. Juga, Sofyan Djalil tetap Menteri Agraria dan Tata Ruang,
pada periode pertama saja tak mendukung keterbukaan informasi terkait data hak
guna usaha.
“Formasi kabinet ini membingungkan. Banyak oligarki.”
Belum lagi nomenklatur Kementerian Koordinator Maritim
yang berubah jadi Maritim dan Investasi, kata Teguh, justru makin
mengkhawatirkan bagi agenda penyelamatan lingkungan.
“Lingkungan hidup bukan hanya jadi anak tiri lagi,
seperti mau dihilangkan. Investasi jadi raja.”
Dia mengingatkan, jangan sampai pemerintah mati-matian
menggenjot investasi tetapi saat bersamaan justru kehilangan pasar. Tren
global, katanya, konsumen mau membeli produk-produk berkelanjutan atau
produk-produk dari sumber jelas dan bertanggung jawab.
Adapun beberapa nama masuk sorotan Jatam, antara lain,
Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi.
Dia pendiri dan pemegang saham PT Toba Bara Sejahtera
Grup, bergerak sektor pertambangan dan energi, migas, perindustrian, properti,
pembangkit tenaga listrik, serta kehutanan dan sawit.
Politically expose persons (PEP) jaringan Luhut
dalam militer dan birokrasi yang terlibat dalam bisnis pertambangan batubara
adalah Jendral (Purn) Fachrul Razi. Dia Komisaris di PT Toba Sejahtera Bersama
dengan Letjen (Purn) Sumardi. Letjen (Purn.) Suaidi Marasabessy merupakan
Direktur Kutai Energi dan Presiden Direktur Utama TMU, dan Letjen (Purn) Sintong
Hamonangan Panjaitan menjadi Komisaris ABN.
“Saat ini, terdapat 16 perusahaan di bawah payung Toba
Sejahtera dengan pertambangan batubara di Kutai Kartanegara, sebagai bisnis
pentingnya.
Meskipun Kutai Energi, sebut Merah, merupakan konsesi
pertambangan batubara terbesar dalam kelompok ini, tiga anak perusahaan
pertambangan batubara di bawah Toba Bara Sejahtera (Toba)-ABN, IM, dan TMU,
merupakan perusahaan yang tumbuh pesat di dalam kelompok ini.
Laporan Global Witness, 2 April 2019, menyebut, Luhut
menjual 62% saham Toba Bara Sejahtwra ke pembeli yang diduga perusahaan
cangkang, pada 2016.
Merah bilang, tiga anak perusahaan Toba Bara meninggalkan
36 lubang tambang, masing-masing di areal PT Adimitra Baratama Nusantara (15),
PT Trisensa Mineral Utama (14),dan PT Kutai Energi (8). Bahkan Kutai Energi,
terlibat dalam konflik lahan, kriminalisasi petani, dan pencemaran di Sungai
Nangka (Loa Janan), Kutai Kartanegara dan Sungai Nangka, Muara Jawa, Kukar,
Kalimantan Timur.
Selain itu, PT PT ABN yang beroperasi dekat pemukiman,
telah menyebabkan ruas jalan Sanga-Sanga – Muara Jawa putus, dan rumah-rumah
warga amblas.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya,
kembali menduduki posisi sama di kabinet jilid II Jokowi. Foto: Sapariah
Saturi/ Mongabay Indonesia
Kemudian, Menteri Agama, Fachrul Razi. Dia menjabat
sebagai Presiden Komisaris di PT Central Proteina Prima (PT CP Prima) dan
Komisaris Utama di PT Antam Tbk sejak 2015. Beberapa wilayah operasi PT Antam,
mulai dari Pulau Gebe, Pulau Gee, Pulau Pakal, Halmahera di Maluku Utara. Antam
juga beroperasi di Bogor, Jawa Barat, Cibaliung, Banten, dan beberapa daerah
lain. Dia juga menjabat sebagai Komisaris di PT Toba Sejahtera.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Dia tercatat sebagai
pemilik Nusantara Energy Resources, menaungi 17 anak perusahaan yang bergerak
di berbagai bidang, seperti kehutanan, kertas dan bubur kertas, sawit, tambang
batubara, dan perusahaan jasa.
Nusantara Energy Resources masuk dalam investigasi
International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ) yang diberi judul
Paradise Paper. Isinya merinci orang kaya di seluruh dunia menimbun uang di
negara bebas pajak.
Selain masalah pajak, kata Merah, Nusantara Energy
Resources juga diduga perebutan lahan konsesi tambang batubara Churchill Mining
dan Ridlatama di Kutai Timur.
Semua itu, terjadi atas relasi politik dan bisnis antara
Bupati Kutai Timur saat itu Isran Noor dengan Prabowo Subianto. Isran Noor yang
kini menjadi Gubernur Kalimantan Timur berpindah perahu politik dari Demokrat
dan PKPI ke Partai Gerindra.
Ada Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. Pada
2007, politisi Partai Gerindra ini mendirikan perusahaan jasa keamanan, PT
Garuda Security Nusantara. Dia juga Presiden Direktur dan Komisaris PT Kiani
Lestari Jakarta, perusahaan kertas milik Prabowo Subianto. Dalam bisnis tambang
ini, dia terhubung dengan PT Nusantara Energi, tambang dan batubara sebagai
Asisten Direktur Utama tahun 1998-2004.
Lalu, Menteri ESDM, Arifin Tasrif. Arifin pada 16 Juni
2019 di Jepang, mendampingi mantan Menteri ESDM Iganisius Joan dalam kerjasama
Indonesia-Jepang terkait pengembangan energi hijau melalui turunan sawit.
Arifin sebagai Dubes Indonesia untuk Jepang saat itu, ikut andil terkait proyek
migas raksasa di Indonesia, terutama dalam merampungkan kesepakatannya.
“Proyek itu adalah pengelolaan Blok Migas Masela.
Perusahaan asal Jepang, Inpex, menjadi kontraktor utama proyek bernilai US$20
miliar atau tak kurang dari Rp280 triliu.” Kata Merah.
Proyek ini dikerjakan Inpex Corporation sebagai operator
dengan hak kelola 65% dan Royal Dutch Shell 35%.
“Mereka bekerja sama dalam
satu perusahaan gabungan, bernama Inpex Masela Ltd.”
Menteri BUMN, Erick Thohir. Dia adalah pemilik bisnis
Mahaka Group dan bagian dari Keluarga Thohir. Saudara kandungnya, Garibaldi
Thohir adalah Presiden Direktur Adaro Energy Tbk, salah satu perusahaan tambang
batubara terbesar di Indonesia.
Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. Menurut Merah, Airlangga kontroversial
karena rekam jejak terhubung dengan sebagai saksi yang dihadirkan Komisi
pemberantasan korupsi (KPK) dalam kasus korupsi PLTU Riau 1. Dana korupsi
pembangkit listrik tenaga batubara itu diduga kuat mengalir ke musyawarah
nasional luar biasa (Munaslub) Partai Golkar.
Airlangga juga pernah tercatat sebagai komisaris di
perusahaan tambang batubara, PT. Multi Harapan Utama di Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur. Perusahaan PKP2B ini dalam proses mengurus perpanjangan izin
eksploitasi.
Menurut catatan Jatam dan Dinas ESDM Kaltim pada 2017, PT
MHU meninggalkan 56 lubang bekas tambang terserak di Kutai Kartanegara dan
salah satu lubang bekas tambangnyadi Kelurahan Loa Ipuh Darat Kilometer 14,
menewaskan Mulyadi, pada Desember 2015.
Kemudian, Bahlil Lahadia, Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM). Dia pemilik grup bisnis PT Rifa Capital. Perusahaan ini
menjelma menjadi holding dari 10 anak perusahaan antara lain PT Ganda Nusantara
(shipping), PT Pandu Selaras (pertambangan emas) dan PT MAP Surveilance
(pertambangan nikel).
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berganti
dengan Eddy Prabowo, politisi Gerindra. Foto : DJPB KKP/Mongabay Indonesia
Reforma agraria
dan hak adat makin berat
Beni Wijaya, dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
mengatakan, kalau melihat susunan kabinet, belum ada gebrakan berarti, terutama
isu reforma agraria. Apalagi, Jokowi masih menugaskan Sofyan Djalil sebagai
Menteri ATR/BPN.
“Kita tahu periode pertama, Sofyan ini tak punya prestasi
apa-apa dalam konteks reforma agraria seperti redistribusi aset dan
penyelesiaan konflik. Yang didorong sertifikasi.”
Dengan terpilih kembali Sofyan, sebagai menteri ATR/BPN,
KPA bisa menebak arah periode kedua.
“Sama saja dengan periode pertama.”
Persoalan agraria hingga kini masih begitu banyak, dari
konflik, perampasan tanah rakyat hingga kriminalisasi warga yang berupaya
mempertahankan ruang hidup mereka.
“Potret ini terjadi karena abai menjalankan reforma
agraria. Konflik agraria semacam ini warisan masa lalu juga praktik di masa
pemerintahan Joko Widodo periode pertama,” katanya, seraya bilang, ketimpangan
kuasa lahan ini menciptakan kemiskinan masyarakat, dan kerusakan ekologis.
Periode 2014 – 2018, KPA mencatat, ada 1.769 konflik
agraria di seluruh Indonesia. Tindakan refresif dan kekerasan aparat di wilayah
konflik mengakibatkan banyak korban warga. Sekitar 940 warga yang
mempertahankan agraria dan petani mengalami kriminalisasi, 546 orang alami
penganiayaan, 51 orang tertembak dan 41 tewas.
“Selama lima tahun, pemerintah belum sungguh-sungguh
bekerja menjawab krisis agraria. Realisasi janji Nawacita reforma agraria
terbilang mangkrak.”
KPA, katanya, sampaikan langsung kepada presiden bahwa
capaian reforma agraria di bidang redistribusi tanah dari pelepasan kawasan
hutan realisasi nol hektar. Bahkan, kata Beni, jutaan hektar yang ditetapkan
sebagai identifikasi calon tanah untuk obyek agraria (tora) dari kawasan hutan
berpotensi besar diselewengkan karena subyek penerima dan rencana pengembangan
ke depan tak jelas.
Situasi tak menggembirakan juga terjadi di Kementerian
ATR/BPN, yang nyata-nyata menyelewengkan reforma agraria jadi pekerjaan
sertifikasi tanah. Tinggallah, rakyat tak bertanah takk terlayani. Lebih lagi,
kementerian dapat proyek utang dari Bank Dunia berlabel reforma agraria.
Menghadapi keadaan ini, katanya, presiden dan wakil harus
memimpin langsung reforma agraria. Tugas utamanya, seperti redistribusi tanah
kepada rakyat yang berhak, menyelesaikan konflik agraria struktural,
pemberdayaan dan pengembangan kawasan pada wilayah reforma agraria.
Presiden dan wakil, katanya, juga harus mengajak lembaga
lembaga negara seperti MPR, DPR, DPD termasuk mahkamah Agung Mahkamah
Konstitusi, maupun Komisi Yudisial, memahami agenda ini.
Rukka Sambolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) mengatakan, menteri yang ditunjuk Jokowi kuat nuansa militer
dan bisnis. Dia cukup khawatir dengan penunjukan kembali Sofyan Djalil sebagai
Menteri ATR/BPN. Menurut Rukka, realisasi pengakuan wilayah adat dari
kementerian ini masih nol.
“Reforma agraria bukan yang seharusnya. Justru lebih
mengedepankan sertifikasi tanah individual. Bukan menyelesaikan masalah-maslaah
wilayah dan sumber daya alam yang dihadapi masyarakat adat.”
Jadi, katanya, bagi masyarakat adat, kabinet ini akan
makin berat.
Meski begitu, Rukka berharap dengan Siti Nurbaya kembali
sebagai Menteri LHK, bisa mempercepat pengakuan wilayah adat. Selama lima tahun
kepemimpinan Siti, meski sudah mulai jalan, tetapi realisasi masih minim, baru
24.000 hektar.
Harapannya, kabinet ini bisa mempercepat pengesahan RUU
Masyarakat Adat. Selama ini, katanya, yang menghambat pembahasan RUU Masyarakat
Adat adalah pemerintah. Hingga kini, pemerintah belum menyerahkan daftar
inventarisasi masalah (DIM), sebagai syarat pembahasan RUU di DPR.
“Sofyan Djalil, Siti Nurbaya dan Pratikno, masih punya
utang RUU Masyarakat Adat.”
Dia juga soroti perubahan nomenklatur Kemenko Maritim
dengan penambahan ‘investasi’, makin menunjukkan Pemerintahan Jokowi berwajah
neolib. Penyaturan maritim dan investasi, katanya, akan jadi ancaman.
“Kalau kita lihat di pulau-pulau kecil dan pesisir,
justru itu terancam kalau tak ada paket-paket kebijakan yang memastikan
masyarakat hidup di pesisir dan pulau-pulau kecil itu betul-betul haknya
didahulukan.”
Selain RUU Masyarakat Adat, desakan AMAN soal kelembagaan
khusus masyarakat adat, untuk meninjau ulang berbagai peraturan sektoral,
membentuk mekanisme nasional penyelesaian sengketa, jalankan putusan Mahkamah
Konstitusi MK 35/2012 dan memulihkan korban-korban kriminalisasi.
“Hingga kini,
komitmen itu tak terlaksana.”
Keterangan foto utama: Sosok-sosok di kabinet banyak berelasi bisnis
ekstraktif, salah satu tambang batubara. Bermasalah dari hulu. Kondisi lubang
tambang batubara yang ditinggalkan begitu saja, jaraknya dekat dengan pemukiman
warga. Foto: dok Jatam Kaltim
Sawit. Komoditas dengan tata kelola masih bermasalah. Pemerintah
berupaya benahi tata kelola dengan berbagai aturan dan kebijakan. Foto:
Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia