This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 05 Desember 2017

12 Aktivis Penolak Bandara Kulon Progo Ditangkap Polisi

Reporter: Dipna Videlia Putsanra | 05 Desember, 2017

Pengendara melintas di samping spanduk penolakan pembangunan bandara, di Temon, Kulon Progo, DI Yogyakarta. [Tirto/Mutaya]

Para aktivis ini baru akan diproses di Polres Kulon Progo
12 orang aktivis tersebut diduga memprovokasi warga dan menghalangi proses pengosongan lahan.

Kapolres Kulon Progo AKBP Irfan Rifai membenarkan ada dua belas aktivis yang diamankan dan dibawa ke Polres Kulon Progo karena diduga memprovokasi warga sekitar.

"Bukan menangkap, tapi kami mengamankan karena mereka memprovokasi warga, menghalang-halangi proses," kata AKBP Irfan kepada Tirto di Kulon Progo, Selasa (5/12/2017).

Menurut Irfan, ke-12 orang yang ditangkap itu adalah seluruhnya aktivis, tidak ada warga Kulon Progo.

"Ini semuanya [aktivis yang diamankan] baru saja sampai ke Polres [Kulon Progo]. Baru akan kami proses, semuanya aktivis, tidak ada warga," kata Irfan.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Tirto, pada pukul 10.15 WIB, aparat kepolisian datang ke rumah warga mereka meminta kepada seluruh jaringan solidaritas yang tidak berizin keluar dari rumah. Hal tersebut dilakukan karena mereka menganggap jaringan solidaritas dan warga adalah provokasi.

Pukul 10.20 WIB, polisi datang lagi bersama dengan aparat desa mereka meminta identitas warga dan jaringan soidaritas. 

Kemudian, pukul 10.31 WIB sempat terjadi dorong-dorongan dengan aparat, hal tersebut berujung pada penangkap 12 jaringan solidaritas dan dibawa ke kantor PT PP yang kemudian dibawa ke Polres.

Ke-12 nama yang ditangkap berdasarkan rilis yang beredar: 
  1. Andrew Lumban Gaol (Anti-Tank)
  2. Chandra dari Liga Forum Studi Yogyakarta 
  3. Fahri dari LPM Rhetor UIN 
  4. Imam dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
  5. Kafabi dari Universitas Islam Negeri Sunan (UIN) Kalijaga 
  6. Mamat dari UIN 
  7. Muslih dari Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA)  
  8. Rifai dari Universitas Mercubuana 
  9. Rimba dari LPM Ekspresi 
  10. Samsul dari LFSY
  11. Wahyu dari UIN 
  12. Yogi dari Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta.
Sumber: Tirto.Id 

Senin, 27 November 2017

Menimbang Program Sertifikasi Tanah di Indonesia

Emilianus Yakob Sese Tolo


SEJAK tahun 1980an, pemerintah Indonesia telah mempromosikan program sertifikasi tanah (PST) sebagai strategi nasional untuk memfasilitasi pembangunan nasional. Promosi ini telah dilakukan dengan menyusun program nasional seperti Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) pada tahun 1981 dan Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah (LARASITA) di tahun 2006, yang diluncurkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk memfasilitasi PTS di daerah perkotaan dan pedesaan di Indonesia (Wahid et al., 2015).

Dalam tiga tahun terakhir (2014-2017), pemerintah Indonesia di era presiden Joko Widodo semakin aktif mempromosikan PST di Indonesia. Birokrasi yang mahal dan tidak efektif telah diperbaiki agar dapat mencapai ambisi pemerintah untuk menerbitkan 60 juta sertifikasi tanah pada tahun 2021. Presiden Joko Widodo juga berjanji bahwa pemerintah akan “memberi sertifikat tanah kepada masyarakat setiap hari,” dan “akan memantaunya dengan saksama” (Adi, 2016; Chin, 2016). Keseriusan ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia percaya bahwa PST dapat mendukung pembangunan Indonesia.

Namun, meski pemerintah Indonesia telah serius berjuang melaksanakan PST, beberapa pihak menganggap bahwa program tersebut telah gagal mencapai tujuan untuk meningkatkan pembangunan Indonesia karena meningkatnya ketimpangan tanah dan tingkat keparahan kemiskinan[1] di Indonesia akhir-akhir ini (Warren & Lucas, 2013).


Sertifikasi Tanah dan Persoalannya

Beberapa ilmuwan pembangunan mengklaim bahwa PST dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sebab PST dapat “memengaruhi insentif investasi dan ketersediaan sumber daya keuangan untuk membiayai investasi,” terutama di daerah-daerah di mana terdapat banyak bank konvensional (Feder & Onchan 1987: 311, de Soto, 2000).
Memang, dengan menggunakan sertikat tanah sebagai jaminan (collateral), orang dapat dengan mudah meminjam uang dari bank untuk menjalankan bisnis dan investasi di pelbagai sektor, termasuk di sektor pertanian itu sendiri (de Soto, 2000; Myers & Hetz, 2004).

Namun, walaupun PST dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, hal itu tidak dinikmati oleh semua masyarakat. Sebenarnya, dalam banyak kasus, PST di negara-negara berkembang telah menyebabkan peningkatan kemiskinan karena ideologi neoliberal yang mendasari implementasi PST di negara-negara berkembang terlalu “income-centered and growth-oriented” (Borras, 2007: 7), dan, dengan demikian, mengabaikan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan adil bagi semua. Apalagi, rasionalisasi utama PST adalah memperlakukan lahan sebagai komoditas yang mudah dibeli dan dijual demi akumulasi modal (Akram-Lodhi, 2013, Maura 2013, Mulyani 2015). Sebagai contoh, Gordon (1975), melalui penelitian etnografisnya di Flores, Manggarai, Indonesia, menemukan bahwa, pada 1970-an, tanah bersertifikat dengan mudah diperjualbelikan antara petani dan orang kaya baru, yang melihat tanah sebagai investasi utama mereka.

Perampasan lahan yang ‘digerakkan oleh pasar’, seperti yang terjadi di Manggarai ini, adalah sebuah rahasia umum di Indonesia, yang telah menimbulkan kesenjangan kepemilikan tanah di masyarakat. Pada awal tahun 2000an, koefisien gini kepemilikan lahan di Indonesia meningkat dari 0,5 pada tahun 1983 menjadi 0,7 pada tahun 2003 (Habibi & Juliawan 2017). Selain disebabkan oleh faktor lain, PST juga turut berkontribusi terhadap meningkatnya kesenjangan kepemilikan tanah, sebab dia mempercepat proses komodifikasi tanah.
Menurut Badan Pertanahan Nasional (2013), antara 2011-2013, terdapat 2,3 juta transaksi tanah bersertifikat di Indonesia (Wahid et al., 2015). Transaksi ini mungkin telah berkontribusi terhadap meningkatnya kesenjangan ekonomi antara orang kaya dan yang miskin di Indonesia, seperti yang ditunjukkan oleh koefisien gini 2015 sebesar 0,41, karena orang kaya yang memiliki modal besar dapat dengan mudah membeli tanah dari orang miskin untuk demi investasi ekonomi mereka.

Alasan lain di balik promosi PST adalah fungsi sosialnya untuk mencegah konflik agraria (Deininger et al., 2009). Kristiansen dan Sulistiawati (2016) menunjukkan bahwa salah satu motivasi utama sertifkasi tanah di Indonesia Timur adalah untuk mengatasi konflik agraria di masa depan. Contoh lain, di Meksiko, Valsechhi (2014: 2) melaporkan bahwa orang-orang yang memiliki sertikasi tanah tidak lagi khawatir tentang konflik kepemilikan tanah atas tanah mereka, dan mereka “sekarang dapat meninggalkan tanah mereka” untuk mencari pekerjaan yang lebih baik di Amerika Serikat “tanpa takut kehilangan tanahnya.”

Namun, argumen ini tidak selalu benar karena konflik kepemilikan lahan biasanya terjadi ketika pemerintah meluncurkan PST, terutama di masyarakat yang lahannya merupakan aset kolektif, yang dilarang keras untuk disertifikasi, seperti di Flores,[2] Indonesia. Di Indonesia, terutama masyarakat di kawasan Timur Indonesia, terutama di tingkat desa, menganggap tanah sebagai aset kolektif, dan begitu aset ini disertifikasi, seringkali konflik kepemilikan lahan mulai terjadi (Barron & Kaiser, 2009; Adam, 2001; Tolo, 2013a). Karena itu, semakin pemerintah Indonesia mempromosikan PST, maka konflik agraria akan semakin meningkat di masa depan. Secara nasional, pada tahun 2013, terdapat sekitar 4.000 kasus konflik kepemilikan lahan di Indonesia (Wahid et al., 2015). Walau harus diakui bahwa ada faktor lain yang memengaruhi konflik agraria ini, tak dapat disangkal bahwa PST juga turut memincu konflik itu di beberapa wilayah di Indonesia, seperti yang saya temukan di Flores.[3] Konflik ini biasanya terjadi di antara individu dalam suatu kelompok masyarakat yang sama. Konflik ini biasanya berkaitan dengan klaim hak atas tanah dan komodifikasi tanah (Tolo 2017). Apalagi, dalam beberapa kasus, BPN di daerah, yang kebanyakan para pegawainya tidak berasal dari penduduk setempat, terkadang menerbitkan sertifikasi tanah hanya untuk mencapai target nasional, dan cenderung mengabaikan prosedur ketat yang harus diikuti serta cenderung mengabaikan adat dan budaya setempat (Tolo 2017).

Alasan lebih lanjut mengapa PST dilaksanakan adalah bahwa kepemilikan sertifikasi tanah dapat meningkatkan derajat pemanfaatan lahan pertanian secara lebih efektif dan efisien (Feder & Onchan, 1987). Namun, peningkatan derajat pemafaatan atas tanah ini terkadang memicu laju deforestasi, sebab orang-orang yang telah mendapatkan sertifikat tanah mereka, yang mungkin terdapat hutan di dalamnya, cenderung mengubah hutan individual mereka menjadi lahan pertanian atau menjualnya ke perkebunan kelapa sawit dan kakao dan perusahaan penebangan kayu seperti di Kalimantan,[4] Maluku[5] dan Sulawesi (Li 2012). Lebih jauh, konversi hutan untuk lahan pertanian ini mungkin telah menyebabkan perampasan tanah di Indonesia –seperti yang terjadi di negara-negara lain di Asia dan Amerika Latin (Borras & Franco 2011; Borras et al., 2012)– yang menyebabkan hilangnya lebih dari 143 juta hektar hutan Indonesia, terutama selama rezim Orde Baru (Tolo 2013b).


Kesimpulan

Meskipun PST bertujuan untuk mendukung pembangunan dengan agenda mengurangi tingkat kemiskinan, konflik sosial dan deforestasi, dalam banyak kasus, seperti di Indonesia, tampaknya PST memiliki dampak yang sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan PST di beberapa negara, seperti Thailand dan Meksiko, tidak otomatis terjadi saat diimplementasikan di Indonesia (Feder & Onchan 1987; Valsechhi, 2014). Salah satu alasan yang mungkin terjadi di balik kegagalan ini adalah bahwa PST di Indonesia tampaknya telah mengabaikan kondisi struktural masyarakat terkait dengan sistem pertanahan. Ini terjadi karena, seperti yang diingatkan oleh Li (2012:21), banyak proyek pembangunan di Indonesia, termasuk PST, cenderung mengabaikan “persoalan ekonomi politik– yaitu persoalan menyangkut penguasaan alat-alat produksi, serta struktur hukum dan kekuasaan yang menopang berlangsungnya ketimpangan sistem.” Karena itu, pemerintah mungkin perlu mengevaluasi kembali dan menilai ulang PST di Indonesia agar lebih sensitif terhadap “pertanyaan ekonomi-politik” sehingga dapat membawa kesejahteraan yang lebih besar kepada sebagian besar masyarakat Indonesia.

***

Penulis adalah Peneliti di Magister Administrasi Publik UGM, Yogyakarta

Kepustakaan:
Adam, J. (2010). Post-Conflict Ambon: Forced Migration and the Ethno-Territorial Effects of Customary Tenure, Development and Change 41, 3: 401-19.
Adi, G.N. (2016). Jokowi Warns of Illegal Levies in Land Certification. Retrieved from http://www.thejakartapost.com/news/2016/10/17/jokowi-warns-of-illegal-levies-in-land-certification.html.
Akram-lodhy, A.H. (2013). Hungry for Change: Farmers, Food Justice and Agrarian Question. Canada: Hignell Book Printing.
Barron, P. & Kai, K. (2009). Understanding Variations in Local Conflict: Evidence and Implications from Indonesia, World Development 37, 3: 698–713.
Borras, S.M. (2007). Pro-Poor Land Reform. USA: University of Ottawa Press.
Borras, S.M & Franco, J.C. (2011). Political Dynamics of Land-Grabbing in Southeast Asia: Understanding Europe’s Role, Transnational Institute in the context of the Just Trade project, Netherland.
Borras Jr, S. M., Franco, J. C., Gómez, S., Kay, C., & Spoor, M. (2012). Land grabbing in Latin America and the Caribbean. The Journal of Peasant Studies39 (3-4), 845-872.
Chin, C. (2016). How Can Indonesia Solve Its Massive Backlog of Land Certificates. Retrieved from https://govinsider.asia/innovation/how-can-indonesia-solve-its-land-certification-problem/.
Deininger, K., Ali, D. A., & Alemu, T. (2008). Impacts of Land Certification Ontenure Security, Investment, and Land Markets: Evidence from Ethiopia.
de Soto, H. (2000). The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else?, London: Black Swan Publisher.
Feder, G., & Onchan, T. (1987). Land ownership security and farm investment in Thailand. American Journal of Agricultural Economics69(2), 311-320.
Gordon, J.L. (1975). The Manggarai: Economic and Social Transformation in an Eastern Indonesia Society, PhD Thesis at Harvard University Cambridge, Massachusetts.
Habibi, M. & Juliawan, B.H. (2017). Creating Surplus Labour: Neoliberal Transformations and the Development of Relative Surplus Population in Indonesia, Journal of contemporary Asiaforthcoming.
Kristiansen, S., & Sulistiawati, L. (2016). Traditions, Land Rights, and Local Welfare Creation: Studies from Eastern Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 52 2: 209-227.
Lucas, A., & Warren, C. (2013). Land for the people: The state and Agrarian conflict in Indonesia. Ohio University Press: Swallow Press.
Maura, M.J.S.B. (2013). Land Title Program in Brazil: Are There Any Changes to Happiness?, The Journal of Socio-Economics 45, 196-203.
Mulyani, L (2015). Gambling with the State: Land Titles and Personhood Rights among the Urban Poor in Indonesia, Asian Journal of Law and Society 2, 1: 285-300.
Myers, G., & Hertz, P.E. (2004). Property Rights and Land Privatization: Issues for Success in Mongolia, Laporan untuk USAID Mongolia.
Tolo, E.Y.S. (2017)Collective Land Certification Policy as an Alternative to Land Conflict Resolution and Rural Development in Flores, Indonesia, Journal Bisnis & Birokrasiforthcoming.
Tolo, E.Y.S. (2013a). Public Participation in the Implementation of Forestry Decentralization in Indonesia, International Journal Bisnis & Birokrasi, 20, 2: 113-120.
Tolo, E.Y.S. (2013b) Sejarah Ekonomi Politik Tata Kelola Hutan di Indonesia. Retrieved from: http://indoprogress.com/2013/12/sejarah-ekonomi-politik-tata-kelola-hutan-di-indonesia/.
Obidzinski, K., Takahashi, I., Dermawan, A., Komarudin, H., & Andrianto, A. (2013). Can large scale land acquisition for agro-development in Indonesia be managed sustainably?. Land Use Policy30(1), 952-965.
Valsecchi, M. (2014). Land property rights and international migration: Evidence from Mexico, Journal of Development Economics110, 276-290.
Wahid, F., Sæbø, Ø., & Furuholt, B. (2015, May). The Use of Information System in Indonesia’s Land Management. Proceedings of the 13th International Conference on Social Implications of Computers in Developing Countries, Negombo, Sri Lanka.
Zain, Winarno (2016). Behind the rise of poverty in Indonesia. (Online). Retrieve from http://www.thejakartapost.com/news/2016/02/01/behind-rise-poverty-indonesia.html

————
[1]Dewasa ini dari 252 juta orang, masih teradapat 28,2 juta orang miskin di Indonesia (Zain, 2016). Lebih mengejutkan lagi, jika kemiskinan diukur berdasarkan dimensi pengembangan manusia, yang mencakup “pemenuhan kebutuhan dasar manusia; akses terhadap pendidikan, kesehatan, atau layanan pemerintah; dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam sektor sosial, ekonomi, dan politik tanpa diskriminasi,” Laporan Bank Dunia mengenai Pengurangan Kemiskinan di Indonesia memprediksi bahwa lebih dari separuh orang Indonesia dianggap sebagai orang miskin (Mulyani 2015: 288).
[2]Wawancara dengan ketua adat di Wolosambi, Mauponggo, Flores, 23 November 2014.
[3]Wawancara dengan ketua adat di Wolosambi, Mauponggo, Flores, 23 November 2014
[4]Wawancara dengan seorang petani di Desa Kalumpang, Kalimantan Tengah, 12 Maret 2012.
[5]Wawancara dengan sekretaris Desa Luhu, Seram Bagian Barat, 15 November 2015.

Sumber: Indoprogress 

Senin, 13 November 2017

Korban Penggusuran Dikriminalisasi

Oleh: Bara Pravda


Rakyat korban penggusuran Jl. Stasiun Barat, Kebon Jeruk, Bandung, dalam upaya mempertahankan hak atas tanahnya malah dikriminalisasi oleh PT. KAI Daop II melalui Polda Jawa Barat.

Warga RT.03/02, Kelurahan Kebon Jeruk, Bandung nampaknya belum bisa menjalani kehidupannya kembali dengan tenang. Meski telah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Bandung saat menggusur secara paksa bangunan milik warga tanpa alas hak pada 26 Juli 2016 lalu, nyatanya PT. Kereta Api Indonesia (KAI) masih saja mengusik dan tak mengakui hak warga dalam menempati lahan yang telah warga diami selama puluhan tahun. Dengan berbagai cara, PT. KAI mengklaim lahan yang kini sedang dibangun kembali oleh warga. Padahal masih dalam amar putusannya, Majelis Hakim yang diketuai oleh Irwan Effendy menyatakan bahwa PT. KAI tidak mempunyai bukti kepemilikan lahan.

Pada 28 Oktober 2017 lalu, ketua RW. 02 dan RT. 03 mendapat surat panggilan dari Polda Jawa Barat sebagai saksi atas laporan tindak pidana terhadap pasal 167 KUHP yang berbunyi, “Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lima sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Atas laporan ini maka jelas terlihat upaya PT. KAI untuk mengkriminalisasi warga Kebon Jeruk. Selain itu pasal yang digunakan pun terlihat dipaksakan, sebab bagaimana bisa warga yang telah hidup dan mendiami lahan selama puluhan tahun, dijerat dengan pasal ini?

Kepolisian Berat Sebelah

Indikasi ini nampak jelas sebab sebelumnya pada tanggal 12 Juni, warga juga melaporkan PT. KAI kepadal Polres Kota Bandung karena 2 hari sebelumnya pihak PT. KAI bersama Polsuska mengintimidasi warga yang tengah membangun rumahnya kembali. Intimidasi itu juga disertai dengan tindak penghinaan terhadap salah satu warga. Namun hingga kini laporan warga tak kunjung ada kejelasan.

Untuk itu kami menuntut kepada pihak kepolisian agar menghentikan upaya kriminalisasi terhadap warga Kebon Jeruk. Sebab pada putusan pertama sudah dijelaskan bahwa warga lah yang lebih berhak untuk mendiami lahan yang selalu diklaim secara sepihak oleh PT. KAI.

Dalam rangka memperjuangkan hak atas tanahnya, rakyat Kebon Jeruk terus menempuh upaya legal. Hari Selasa, 14 November 2017, rakyat Kebon Jeruk akan mendatangi Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk meminta dukungan perlindungan hukum. Bagi kawan-kawan semua, dukung upaya rakyat mempertahankan tanahnya, bersama berjuang melawan kriminalisasi!

Lawan kriminalisasi dengan persatuan rakyat. Tanah untuk rakyat, bukan untuk korporat !

Senin, 16 Oktober 2017

Tamsil Fokatea: Surat dari Perbatasan


KEPADA YTH,
BAPAK KOMPOL ABDULMUBIN SIAGIAN
beberapa hari ini komentar bapak sangat VIRAL di FB tetang pernyataan bapak bahwa TNI diperbatasan indonesia kerjanya hanya makan dan tidur..
Jujur saya sangat kecewa dengan pernyataan itu.. Hati saya sangat sakit membaca komentar bapak.. Seandainya bukan krn lorengku.. Sudah ku teteskan air mata ini krn komentar bapak yg terasa perih bagi saya..
Saya adalah salah satu prajurit yg pernah diberi kepercayaan oleh negara untuk menjaga perbatasan RI - Papua New Guinea antara tahun 2014 s.d. 2015...
11 bulan bukan waktu yang singkat utk hidup diperbatasan pak..
Kami rela meninggalkan satuan tercinta kami demi tugas yg mulia ini..
Meninggalakan keluarga kami..
Meninggalkan kehidupan modern ditengah kota ,menuju hutan belantara dan perkebunan kelapa sawit di perbatasan papua..



Saya masih sedikit beruntung krn Pos penjagaan saya masih dekat dengan pemukiman warga dibanding rekan rekan saya yg lain yg ditempatkan di pos tanpa pemukiman hanya babi hutan dan burung kasuari yang lalu lalang di sekitar mereka..
Disana kami tdk bisa sebebas dikota menggunakan listrik dan air bersih..
Listrik sangat terbatas pak.. Air bersih pun demikian..
Kami tidak bisa bebas memilih makanan disana pak.. Apa yg tersedia didapur dan dikebun itulah yg kami masak.. Bahkan kami sering makan Ransum yg rasanya sudah sangat ennek dileher..


Sekali lagi pernyataan bapak bahwa TNI diperbatasan kerjanya hanya makan tidur sungguh membuat luka dihati kami..
Kami disana memang butuh makan pak.. Butuh tidur juga tp itu bukan kerjaan kami pak..
Kami tak bisa makan seenak yg bapak makan.. Dan tidak bisa tidur sepulas tidur bapak..
Disana kami bukan sekedar menjaga perbatasan dari para pelintas batas dari negara tetangga.. Tp kami masuk ke sekolah sekolah utk mengajar menggantikan peran Guru yang kekurangan disana..
Kami masuk kedesa desa terpencil yg jauh dari jangkauan pemerintah untuk memberikan pengobatan gratis menggantikan peran Dokter yang hampir tidak ada didaerah sana.
Kami ikut andil melakukan pembangunan disana pak..
Kami merangkul masyarakat disana dan menanamkan rasa nasionalisme kecintaan terhadap indonesia..
Kami yg mensweeping miras miras ilegas diperbatasan..
Kami yg turun kemasyarakat berbagi dan sharing tentang cara bercocok taman yang baik dan benar agar dapat meningkatkan taraf hidup mereka yg diperbatasan utk lebih baik..
Dan rekan rekan saya kadang keluar masuk hutan selama berhari hari atau bahkan berminggu minggu dengan bekal yg terbatas dan seadanya hanya utk mencari dan mengamankan Patok Batas dan memastikan patok tsb tidak bergeser..


Sekali lagi 11 bulan bukan waktu yg singkat hidup diperbatasan pak..
Kerinduan dengan keluarga hanya terobati dengan telepon seluler yg signalnya kadang ada kadang hilang..
Disana tdk senyaman kota besar pak..
Kaki kami tidak sembuh sembuh dari kutu air yg menyerang..
Bukannya kami tdk mengobatinya.. Tp obatnya tdk mempan krn bakteri dan kutu airnya sangat ganas..
Belum lagi penyakit malaria yg menyerang rekan rekan kami yg berada di pos tertentu yg malarianya sudah tidak diragukan lagi keganasannya.. Bahkan mereka membawa penyakit itu sampai hari ini yg kapan kapan saja bisa kambuh kembali..
Tp semua kesulitan dan ketidaknyaman itu bukan kendala bagi kami..
Krn kami bangga dengan tugas negara yg tdk semua orang diberi kesempatan itu..
KERJA KAMI BUKAN MAKAN TIDUR PAK..
TP KAMI GARDA TERDEPAN DI PERBATASAN INDONESIA..
Dan perlu bapak tau.. Bahwa hubungan kami TNI dengan polisi yg ada disana terjalin dgn baik.
Trimsh Wasallam
By Prajurit TNl


Rabu, 11 Oktober 2017

Cikal Bakal Keraton Yogyakarta



Sejarah mencatat bahwa pada akhir abad ke-16 terdapat sebuah kerajaan Islam di Jawa bagian tengah-selatan bernama Mataram. Kerajaan ini berpusat di daerah Kota Gede (sebelah tenggara kota Yogyakarta saat ini), kemudian pindah ke Kerta, Plered, Kartasura dan Surakarta.
Lambat laun, kewibawaan dan kedaulatan Mataram semakin terganggu akibat intervensi Kumpeni Belanda. Akibatnya timbul gerakan anti penjajah di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi yang mengobarkan perlawanan terhadap Kumpeni beserta beberapa tokoh lokal yang dapat dipengaruhi oleh Belanda seperti Patih Pringgalaya. Untuk mengakhiri perselisihan tersebut dicapai Perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari.
Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 (Kemis Kliwon, 12 Rabingulakir 1680 TJ) menyatakan bahwa Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Surakarta dipimpin oleh Susuhunan Paku Buwono III, sementara Ngayogyakarta – atau lazim disebut Yogyakarta –dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I.Perjanjian Giyanti ini kemudian diikuti pula dengan pertemuan antara Sultan Yogyakarta dengan Sunan Surakarta di Lebak, Jatisari pada tanggal 15 Februari 1755. Dalam pertemuan ini dibahas mengenai peletakan dasar kebudayaan bagi masing-masing kerajaan.
Kesepakatan yang dikenal dengan nama Perjanjian Jatisari ini membahas tentang perbedaan identitas kedua wilayah yang sudah menjadi dua kerajaan yang berbeda.Bahasan di dalam perjanjian ini meliputi tata cara berpakaian, adat istiadat, bahasa, gamelan, tari-tarian, dan lain-lain. Inti dari perjanjian ini kemudian adalah Sultan Hamengku Buwono I memilih untuk melanjutkan tradisi lama budaya Mataram. Sementara itu, Sunan Pakubuwono III sepakat untuk memberikan modifikasi atau menciptakan bentuk budaya baru. Pertemuan Jatisari menjadi titik awal perkembangan budaya yang berbeda antara Yogyakarta dan Surakarta.Tanggal 13 Maret 1755 (Kemis Pon, 29 Jumadilawal 1680 TJ) adalah tanggal bersejarah untuk Kasultanan Yogyakarta. Pada tanggal inilah proklamasi atau Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dikumandangkan.
Selanjutnya, Sultan Hamengku Buwono I memulai pembangunan Keraton Yogyakarta pada tanggal 9 Oktober 1755.Proses pembangunan berlangsung hingga hampir satu tahun. Selama proses pembangunan tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarga tinggal di Pesanggrahan Ambar Ketawang. Sri Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarga dan para pengikutnya memasuki Keraton Yogyakarta pada tanggal 7 Oktober 1756 (Kemis Pahing, 13 Sura 1682 TJ). Dalam penanggalan Tahun Jawa (TJ), peristiwa ini ditandai dengan sengkalan memet:Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani.Seiring berjalannya waktu, wilayah Kasultanan Yogyakarta mengalami pasang surut.
Utamanya terkait dengan pengaruh pemerintah kolonial baik Belanda maupun Inggris. Pada tanggal 20 Juni 1812, ketika Inggris berhasil menyerang dan memasuki keraton, Sultan Hamengku Buwono II dipaksa turun tahta. Penggantinya, Sri Sultan Hamengku Buwono III dipaksa menyerahkan sebagian wilayahnya untuk diberikan kepada Pangeran Notokusumo (putera Hamengku Buwono I) yang diangkat oleh Inggris sebagai Adipati Paku Alam I.Wilayah kekuasaan Kasultanan yang diberikan kepada Paku Alam I meliputi sebagian kecil di dalam Ibukota Negara dan sebagian besar di daerah Adikarto (Kulonprogo bagian selatan). Daerah ini bersifat otonom, dan dapat diwariskan kepada keturunan Pangeran Notokusumo. Oleh karena itu, sejak 17 Maret 1813, Adipati Paku Alam I mendeklarasikan berdirinya Kadipaten Pakualaman.
Perubahan besar berikutnya terjadi setelah lahirnya Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX segera mengucapkan selamat atas berdirinya republik baru tersebut kepada para proklamator kemerdekaan. Dukungan terhadap republik semakin penuh manakala Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengeluarkan amanat pada tanggal 5 September 1945 yang menyatakan bahwa wilayahnya yang bersifat kerajaan adalah bagian dari Negara Republik Indonesia.
Menerima amanat tersebut maka Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Sukarno, menetapkan bahwa Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam merupakan dwi tunggal yang memegang kekuasaan atas Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sempat terkatung-katung selama beberapa tahun, status keistimewaan tersebut semakin kuat setelah disahkannya Undang-Undang nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Dengan demikian, diharapkan agar segala bentuk warisan budaya di Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman dapat terus dijaga dan dipertahankan kelestariannya.
source ; KratonJogja.Id 

Kamis, 05 Oktober 2017

Riwayat Pindad, Penyedia Bedil TNI AD

Reporter: Petrik Matanasi | 05 Oktober, 2017


Sebagai kekuatan militer terbesar, angkatan darat Indonesia memiliki pabrik senjata sendiri sedari zaman kolonial.

Sedari zaman kolonial, Angkatan Darat adalah angkatan perang terbesar di Hindia Belanda. Laut luas memang harus dijaga, tetapi bagi pemerintah di zaman kolonial, keamanan dan ketertiban serta ketundukan rakyat di daratan adalah yang utama. 

Buat menjaga kawasan jajahannya dari gelombang perlawanan dan pemberontakan, pasokan senjata pasukan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) diimpor dari negeri Belanda. Salah satunya adalah senapan laras panjang rancangan Edouard de Beaumont (1841-1895) dari Maastricht.

Menurut John Walter dalam Rifles of the World (1993), senapan Beaumont berisi lima peluru dalam magazin Vitali pada 1870 adalah pengganti dari senapan isi satu peluru Dutch Snider. Senjata itu dikapalkan ke Hindia Belanda dan dipakai dalam Perang Aceh yang meletus sejak 1873.

Pada masa awal Perang Aceh, belum semua serdadu KNIL memakai senapan Beaumont, menurut wartawan asal Belanda, Paul van't Veer dalam Perang Aceh: Kegagalan Snouck Hurgronje (1985). Ada batalion yang masih memakai senapan lawas, yang pelurunya harus diisi dari depan. Meski senapan-senapan harus diimpor, sebenarnya sudah ada pabrik senjata di Hindia Belanda.

“Tahun 1808, selama Perang Napoleon dan blokade Inggris, Gubernur Jenderal Deandels menjadikan Surabaya sebagai tempat gudang persenjataan, yang belakangan berkembang menjadi industri penting,” tulis Haword Dick dalam Surabaya, City of Work: A Socioeconomic History, 1900-2000 (2002). 

Menurut Robert E. Walker dalam Cartridges and Firearm Identification (2012), arsenal itu berfungsi sebagai bengkel perbaikan alat-alat militer. Sejak 1 Januari 1851, nama Artillerie Constructie Winkel mulai dipakai untuk menyebut bengkel tersebut.

Dalam laman sejarah Pindad, bengkel pembuatan amunisi dan bahan peledak untuk Angkatan Laut didirikan pada 1850 di Surabaya dengan nama Pyrotechnische Werkplaats. Dua pabrik itu disatukan di bawah bendera Artillerie Constructie Winkel. 

Pabrik di Surabaya kemudian dipindah ke Bandung. Begitu juga instalasi lain seperti pabrik mesiu di Ngawi, pabrik proyektil dan laboratorium kimia di Semarang, serta lembaga pendidikan pemeliharaan dan perbaikan senjata di Jatinegara (Jakarta). Kesemuanya disatukan dalam Artillerie Inrichtingen.

Setelah pabrik senjata serta amunisinya dipindah ke Bandung, pernah ada percobaan dari serdadu-serdadu KNIL Minahasa meledakannya. 

Minahasa Courant edisi 1 Oktober 1927 mencatat ada serdadu-serdadu asal Minahasa yang ditahan karena dituduh hendak mengadakan penyerangan ke Pyrotechnische Werkplaats. Salah satu tokohnya adalah serdadu bernama Woentoe. Sebelum penyerangan, menurut catatan M. Balfast dalam Dr. Tjipto Mangunkusumo: Demokrat Sejati (1952), seorang kopral asal Minahasa pernah mendatanginya. Kopral itu lalu diberi uang oleh Cipto karena hendak mengunjungi keluarganya sebelum penyerangan.

Riwayat Pindad, Penyedia Bedil TNI AD

Sebelum Bernama Pindad

Pabrik senjata di Bandung itu punya ribuan pegawai. Menurut kesaksian Kek Beng Kwee dalam Doea Poeloe Lima Tahon Sebagi Wartawan: 1922-1947 (1948), kenaikan penting jumlah pegawai itu setelah Negeri Belanda diserang oleh balatentara fasis Jerman pada 10 Mei 1940. 

“Selewatnya, 10 Mei 1940, pegawai-pegawai dari Pyrotechnische Werkplaats di Bandung ditambah, dari 2.300 sampai 25.000. Artillerie Constructie Winkel punya punggawa, naik dari 750 sampe 5.000,” tulis Kek Beng Kwee. 

Setelah Hindia Belanda kalah, pabrik senjata di Bandung beralih ke tangan militer Jepang dan dinamai Daichi Ichi Kozo. Setelah Indonesia merdeka, 9 Oktober 1945, pabrik senjata ini jatuh ke tangan Republik dan dinamai Pabrik Senjata Kiaracondong. Namun, ketika kota Bandung diduduki tentara Belanda, pabrik senjata itu jatuh ke tangan Belanda. 

Tentara agresi Belanda menamakan kompleks pabrik tersebut sebagai Leger Produktie Bedrijven alias Perusahaan Produksi Angkatan Darat. 

Ketika Belanda menguasai pabrik senjata di Bandung, pihak Republik pun mengusahakan pabrik senjata sejak 1946, yakni Medari dan Demak Ijo—keduanya di sekitar Yogyakarta. Ketika Belanda menyerbu Yogyakarta, pabrik-pabrik itu dimusnahkan sendiri oleh pihak Republik.

Setelah pengakuan Kedaulatan 1949, pabrik senjata di Bandung pun diserahkan ke Republik Indonesia. Pabrik itu kerap ganti nama. Dari Pabrik Senjata dan Mesiu pada 1950; Pabrik Alat Peralatan Angkatan Darat pada 1958; Perindustrian TNI Angkatan Darat (Pindad) pada 1962; Komando Perindustrian TNI Angkatan Darat pada 1972, dan kembali bernama Pindad pada 1976. Pabrik ini telah menghasilkan pelbagai jenis peluru untuk meriam, mortir, senapan, granat tangan, dan bom.

Pada 1983, pabrik senjata Pindad menjadi perusahaan negara dan Angkatan Darat adalah satu-satunya angkatan militer yang punya pabrik senjata. Sebagai angkatan dengan personel terbanyak, tentu saja banyak senjata ringan buatan Pindad dipakai prajurit Angkatan Darat. 

Meski Pindad sudah memproduksi pistol, senapan ringan untuk infanteri (SS) hingga panser, tetapi tak semua peralatan tempur untuk TNI betul-betul dipasok dari produk dalam negeri alias buatan Pindad. 
Sumber: Tirto.Id 

Rabu, 04 Oktober 2017

Bayu Dardias: "Urusan Tanah di DIY Seperti Negara dalam Negara"

Reporter: Addi M Idhom | 04 Oktober, 2017

Bayu Dardias

UU Keistimewaan Yogyakarta bukan hanya soal suksesi, tapi juga soal demokrasi menghadapi kekuasaan yang (mencoba tetap) absolut.

Politik daerah di Indonesia pascareformasi menarik perhatian banyak peneliti. Dalam topik mengenai penguasa lokal, penguatan pengaruh para pewaris bekas swapraja (Sultan dan Raja) di politik lokal memicu diskusi menarik.

Dalam ulasannya pada 2008, Indonesianis asal Belanda, Gerry van Klinken menulis, "Apa ini hal yang baik karena tradisi mengintegrasikan masyarakat yang terpukul angin perubahan sosial? Atau pertanda buruk sebab merepresentasikan feodalisme?”

Dosen Fisipol UGM, Bayu Dardias, sejak 2014 lalu, meneliti manuver politik para aristokrat itu. Bayu―kini di Australia untuk studi doktoral di Australian National University (ANU)―mewawancarai puluhan Sultan dan Raja di 10 provinsi. Mayoritas, kata dia, membidik Pilkada atau Pemilu Legislatif. Namun, hanya sebagian yang berhasil.

Di antara semua bekas swapraja itu, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ialah kasus khusus. Aturan semacam UU nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY (UUK) tak berlaku di daerah lain. Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman menjadi satu-satunya institusi aristokrasi penerima kewenangan besar dari pemerintah pusat dalam urusan pemerintahan hingga tanah.

“Mereka semua ingin seperti DIY. Gak perlu susah payah ikut pemilu bisa jadi pejabat publik,” kata Bayu kepada Tirto (10/9/2017).

Tapi, menurut Bayu, UUK masih menyimpan dua persoalan penting terkait polemik suksesi dan penguasaan tanah-tanah keprabon. Berikut wawancara Tirto bersama Bayu mengenai hal itu. Redaksi menambahkan sejumlah hal untuk memperjelas konteks jawabannya.

Polemik Suksesi

Apakah putusan MK soal pasal 18 UUK melapangkan jalan calon Sultan perempuan?

Politik di DIY terbagi menjadi dua proses yang berurutan, suksesi di Kasultanan dahulu, lalu suksesi gubernur kemudian. Putusan MK membuka peluang bagi perempuan untuk menjadi Gubernur DIY apabila memenangkan kontestasi suksesi di Kasultanan. Dalam kontestasi di Kasultanan, banyak yang harus diganti jika Ratu yang bertakhta karena Yogyakarta adalah kerajaan Mataram Islam.

Keris untuk putra mahkota, misalnya, bernama "Joko Piturun" yang artinya "laki-laki yang diturunkan terus menerus" dan juga mitos Sultan adalah pasangan Ratu Kidul. Hambatan-hambatan dasar ini coba dihilangkan oleh Sultan HB X pada 2015.

Redaksi: Pada 2015, Sultan Hamengkubuwana X mengeluarkan Sabda Raja dan Dawuh Raja. Berdasar bisikan leluhurnya, Sultan mengubah gelarnya yang melenyapkan simbol raja laki-laki. Gelarnya menjadi Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengkubuwana Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati ing Ngalogo Langengging Bawono Langgeng, Langgenging Toto Panotogomo.
Proses menjadi gubernur masih ada hambatan bagi perempuan di penyebutan gelar yang lengkap di Pasal 1 Poin 4 UUK DIY. Kata "Sayidin Panatagama Khalifatullah" (gelar lama Sultan) identik dengan laki-laki, dan menurut UUK gelar itu adalah warisan budaya yang harus dilestarikan.

Saya kurang sepakat bahwa suksesi di Kasultanan adalah persoalan internal seperti di Keraton lainnya yang saya teliti karena sultan akan otomatis menjadi pejabat publik (Gubernur DIY). Persinggungan antara aristokrasi dan demokrasi terletak pada keleluasaan Kasultanan memilih pemimpin dalam koridor yang diatur UUK sebagai implementasi negara demokrasi. 

Artinya, keraton berhak memilih pemimpinnya, tetapi publik juga harus tahu prosesnya. Nah, perubahan aturan suksesi seharusnya diumumkan ke publik seperti diatur di Pasal 43 UUK. Tapi, Sultan menolak mengumumkannya 2 tahun lalu.

Suksesi ini jadi polemik elit, belum melibatkan publik DIY secara umum, mengapa?

Karena tidak ada perubahan struktural yang terjadi. Selama ini, masih perang wacana. Gubernur dan sultan tetap sama, walaupun namanya berubah-ubah. Adik-adiknya juga tetap menduduki posisi semacam "menteri koordinator" di Keraton. Hal ini tidak ada hubungan langsung dengan publik.

Sekarang publik banyak yang berteriak persoalan tanah dan tata ruang, misalnya terkait SG/PAG (Sultan Ground dan Pakualaman Ground), apartemen dan air tanah. Tetapi, sulit mencari kaitannya dengan suksesi politik.
    Apakah polemik suksesi akan berpengaruh ke legitimasi politik Keraton Yogyakarta?

    Saya kira, tergantung siapa pemenang kontestasi politik suksesi kasultanan. Legitimasi ratu tentu lebih sulit karena membuat sesuatu yang baru dibandingkan sultan laki-laki yang hanya tinggal meneruskan. Sebagai ilustrasi, kalau dulu penobatan putra mahkota selalu disambut dengan suka cita, tapi sekarang penobatan GKR Mangkubumi justru sebaliknya.

    Polemik ini sebenarnya bisa diakhiri jika ada urutan suksesi di Keraton Yogyakarta seperti di semua negara yang memadukan sistem darah dan demokrasi. Di Inggris misalnya, line of succession-nya jelas: Pangeran Charles, Pangeran William, Pangeran George dan Putri Charlotte. Di Brunei, Thailand dan bahkan Arab Saudi, yang monarki absolut, semuanya ada dan jelas 

    Keraton seharusnya juga memiliki line of succession yang jelas urutannya. Jika jelas, DPRD DIY bisa membuat Perdais (Perda Keistimewaan) yang menyiapkan para kandidat, misalnya magang di pemerintahan, militer atau di institusi swasta. Jadi, tidak tiba-tiba jadi gubernur atau wagub tanpa pengalaman politik dan pemerintahan. Kalau mau, sebenarnya tinggal belajar dari negara lain, tidak ada yang istimewa di Yogyakarta terkait suksesi.

    Sekarang ini, tampak bahwa Sultan berusaha menjadikan putri sulungnya menjadi Ratu. Ini tidak lazim, karena perubahan idealnya dipikirkan masak-masak efek jangka panjangnya. Kalau kita lihat Inggris, misalnya, persamaan hak bagi wanita dan laki-laki baru diberlakukan untuk mereka yang lahir setelah 28 Oktober 2011, sesuai Succession to the Crown Act tahun 2013. Jadi untuk pemimpin ke depan, bukan melegalisasi kandidat sekarang.

    Apa polemik suksesi menunjukkan masih ada kekosongan hukum di UUK DIY?

    Wah, banyak sekali kelemahan UUK DIY karena tarik menarik politik yang kuat waktu itu (proses penyusunannya). Kalau kita berkaca pada perjanjian di kontrak panjang antara sultan dan Belanda, misalnya, jelas diatur perihal suksesi. Putra laki-laki sultan terakhir diprioritaskan daripada putra-putra sultan sebelumnya, dan putra-putra permaisuri (garwa padmi) lebih diutamakan daripada putra-putra dari selir (garwa ampenan). Walaupun realitasnya Belanda memilih sultan sesuai yang dikehendakinya, tapi paling tidak aturan prioritas ini tak pernah dilanggar.

    Proses UUK DIY dulu tidak sempat diatur detail (soal suksesi) karena perdebatannya hanya seputar pemilihan dan penetapan. Jika sultan menjadi simbol kultural, dan gubernur dipilih seperti draft awal (UUK DIY), maka suksesi memang menjadi urusan internal Keraton. Tapi, jika penetapan (sultan ditetapkan jadi Gubernur DIY), seharusnya diatur, karena sultan akan memimpin jabatan publik.

    Proses politik yang terjadi justru penetapan, dengan tidak ada aturan suksesi karena tidak ada di draft (UUK DIY). Ini keluar dari prinsip utama demokrasi bahwa publik punya kontrol terhadap pemimpinnya.

    Di kasus suksesi, legitimasi mistis sultan sebagai raja, apa masih kuat?  

    Orang Jawa itu punya ilmu titen dan niteni. Mereka tak pernah lupa ketika April 2007 sultan mengatakan, berdasarkan bisikan leluhur, tak mau lagi menjadi Gubernur DIY. Atau ketika Oktober 2008, atas petunjuk leluhur, maju menjadi calon presiden.

    Di Sabda dan Dawuh Raja tahun 2015, Nahdlatul Ulama DIY menolak tegas pengakuan sultan yang mengatakan bahwa Sabda dan Dawuh Raja itu adalah "Dhawuh Gusti Allah" melalui para leluhur. Saya kira masyarakat DIY semakin rasional membedakan mana mistis, mana manuver politik.

    Justru sultan menggunakan mistisisme sebagai basis legitimasi untuk mengubah paugeran (aturan internal Keraton). Ini satu-satunya celah yang bisa dipakai sebagai basis legitimasi karena basis sejarah, budaya, dan agama tidak dapat digunakan.

    Legitimasi Politik Keraton

    Apakah UUK DIY efektif menguatkan basis politik dan ekonomi Keraton?

    Sangat efektif. Banyak UU yang tidak dapat diberlakukan di DIY. Misalnya, UUPA dan UU Penghapusan Diskriminasi, tidak berlaku bagi warga keturunan (mayoritas kasus terkait warga keturunan Cina) yang ingin punya SHM untuk tanah yang dibelinya, walaupun dia WNI.

    Contoh lainnya, Pasal 76 UU Desa, yang menyebut aset desa yang antara lain berwujud Tanah Kas Desa, Pasar dan lain-lain, tidak berlaku di DIY karena muncul Pergub 112/2014 Pasal 19, yang menyebut Tanah Kas Desa, yang berasal dari hak anggaduh [hak pakai tanah pemberian raja], termasuk yang telah disertifikatkan atas nama desa, adalah milik Kasultanan. Intinya, dalam banyak kasus, kekuasaan Keraton Yogyakarta sangat kuat, bahkan terkait UU Nasional yang melempem ketika diimplementasikan di DIY.

    Apa ada gejala, yang terjadi di DIY memotivasi bekas swapraja lainnya?

    Mereka semua ingin seperti DIY. Gak perlu susah payah ikut pemilu bisa jadi pejabat publik. Tapi, karena tidak didukung faktor sejarah dan resource ekonomi yang memadai, ya hanya bisa berandai-andai.

    Di Kerajaan paling timur di Indonesia misalnya, di Ternate dan Tidore, pemerintah daerahnya sangat support terhadap munculnya kembali Sultan setelah reformasi sebagai basis untuk identitas lokal. Banyak dana yang dikucurkan untuk merevitalisasi peran kultural mereka termasuk membangunkan istana baru. Fungsinya lebih kepada simbol kultural, identitas daerah dan peredam konflik.

    Gejala kebangkitan lagi bekas swapraja (kolonial) selama ini sebab faktor apa?

    Saya keliling di banyak tempat di Indonesia sejak 2014 dan menemukan banyak sekali faktor. Umumnya, mereka ingin kembali berkuasa secara politik dengan memanfaatkan sentimen tradisionalisme sebagai strategi politik. Tapi, tanpa resource ekonomi yang memadai, sebagian besar kalah di Pilkada atau Pemilu.

    Ada juga faktor lainnya, seperti personal pride dan keinginan dianggap sebagai tokoh, walaupun tanpa kekuatan politik sama sekali. Ada juga yang menjadi ajang mencari uang. Dua faktor terakhir mengilhami munculnya raja abal-abal seperti Dimas Kanjeng. Saya menulis kolom di Kompas tentang raja abal-abal ini.

    Saat aristokrasi bersanding dengan demokrasi, apa tidak akan muncul kontradiksi?

    Perpaduan yang ideal bisa ditemukan di negara-negara lain, hanya saja mereka berada di level negara, sementara di Indonesia hampir semua ada di level Kabupaten atau Kecamatan. Satu-satunya yang berada di level provinsi, hanya DIY. Itu pun setelah Kasultanan dan Pakualaman bergabung. Perpaduan ideal adalah negara menjamin eksistensi mereka di samping tidak kehilangan kontrol terhadap siapa yang menjadi pemimpin publik.

    Agar tak muncul masalah, perpaduan itu bagaimana mengaturnya?

    Regulasi saya kira perlu menyeimbangkan tuntutan antara pelestarian tradisi dan demokrasi. Banyak keraton-keraton yang nyaris ambruk karena ketiadaan support pemerintah. Saya kira, ada baiknya memikirkan tanah sebagai resource ekonomi yang berkelanjutan bagi kerajaan yang dimiliki secara institusi yang menopang ekonomi Keraton yang tidak bisa dimiliki perorangan atau sultan yang bertakhta, dan tidak bisa diwariskan. Tak perlu banyak, asal cukup untuk menopang keraton menjaga fungsinya menjaga tradisi.

    Jadi, mereka tidak hanya bergantung dari bantuan pemerintah. Saya khawatir warisan budaya kita bisa hilang karena ketidakmampuan pemimpin tradisional sekarang mengemban tradisi yang butuh biaya besar.

    Saya kira keraton yang masih terjaga tinggal di empat kerajaan di Jateng-DIY dan Puri-puri di Bali. Puri di Bali diuntungkan karena menyatunya tradisi dan agama. Di luar itu, kondisinya memprihatinkan. Saya belum mengunjungi semua tempat, tapi dari hitungan saya, ada sekitar 16 kerajaan yang eksis dan terjaga tradisinya tetapi perlu segera diselamatkan.

    Penguasaan Tanah SG/PAG

    Bila dilihat isinya, substansi pokok UUK DIY sebenarnya apa?

    UUK bertujuan menjamin tradisi aristokrasi di DIY dalam lima keistimewaan terkait pemilihan gubernur, pertanahan, tata ruang, kebudayaan dan kelembagaan. Untuk menjamin kewenangan istimewa ini diberikan Danais yang jumlahnya sekitar Rp500 miliar per tahun (APBN 2017 menganggarkan Danais Rp800-an miliar untuk mendanai lima 5 urusan keistimewaan DIY). Penyaluran Danais berbasis kinerja, tidak seperti dana otsus (Otonomi khusus) Papua dan Aceh.

    Dibandingkan Otsus, dananya kecil. Tetapi, Danais tidak memiliki batasan waktu dan terus diberikan selama kewenangan istimewa diberikan. Kewenangan istimewa ini diharapkan bisa menjembatani perpaduan antara aristokrasi dan demokrasi. Jika justru muncul polemik suksesi karena UUK, mungkin perlu dipikirkan jangan-jangan perpaduan di UUK itu belum ideal.

    Mengenai penjabaran UUK DIY, apa yang akan punya pengaruh paling penting?

    Suksesi dan Tanah menjadi dua faktor yang lemah (dalam UUK), tetapi menjadi penentu keberhasilan UUK DIY. Terkait tanah, Kasultanan dan Pakualaman di UUK disebut sebagai Badan Hukum yang, menurut saya, tidak jelas. Badan publik bukan, privat bukan. Sehingga tidak ada yang bisa mengaudit kekayaan tanahnya atau tidak ada kewajiban membayar pajak. Padahal, anggaran sertifikasinya dari Danais (dari APBN). Kasultanan dan Pakualaman juga tidak wajib menyampaikan laporan apapun terkait tanah.  

    Redaksi: UUK tidak menyebut secara tegas jenis badan hukum Kasultanan dan Pakualaman, tapi ditafsirkan oleh pemerintah pusat dan DIY sebagai badan hukum kebudayaan.

    Ini aneh sekali. Negara tidak memiliki kontrol terhadap kepemilikan properti lembaga di dalamnya. Sementara jika disewakan ke pihak ketiga, tidak jarang menimbulkan gesekan di masyarakat, seperti kasus (penggusuran) PKL Gondomanan dan Pantai Watu Kodok. Negara tidak bisa mengharapkan Keraton dan Pakualam beritikad baik tidak menyelewengkan tanah mereka karena bisa jadi ada oknum yang bermain.

    Walaupun tidak ideal, seharusnya ada lembaga seperti Crown Property Bureau di Thailand yang diaudit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Jika tidak, urusan tanah di DIY seperti “negara dalam negara”, karena aturan tradisional kerajaan berlaku, sementara aturan negara tidak menyentuhnya. Ketika berbenturan, yang berlaku aturan tradisional, seperti kasus tanah kas desa di atas.

    Kita hanya tahu berdasarkan laporan kekayaan sultan ke KPK tahun 2012 sebesar Rp22,6 milyar. Tetapi, berdasarkan GlobeAsia 2016, sultan adalah orang terkaya di Indonesia ke 119 dengan kekayaan US$260 juta atau sekitar Rp33,8 trilyun. Saya kira, GlobeAsia memasukkan kekayaan Kasultanan yang bukan kekayaan pribadi sultan. Tetapi, berapa jumlah pastinya tidak ada yang tahu karena tidak pernah diaudit, dan negara tidak memiliki instrumen untuk itu.

    Bagaimana sikap Keraton soal SG dan PAG?

    Sikapnya sangat jelas, SG/PAG adalah milik Kasultanan dan Pakualaman, dan mereka ingin mengelolanya secara mandiri sebagai basis ekonomi dan politik Keraton.

    Apa masalah SG dan PAG berpotensi memunculkan konflik?

    Di beberapa tempat sudah muncul polemik, walaupun Keraton masih mampu meredam konflik. Pakualaman cukup piawai mengelola demonstrasi penggarap PA yang tergusur proyek bandara NYIA (bandara internasional baru di Kulon Progo).

    Ada dua keuntungan. Pertama, aparat desa di DIY cukup rapi mencatat persoalan tanah, yang dilakukan sejak jaman Belanda. Kedua, dalam masyarakat Jawa masih kuat kepercayaan bahwa mengambil tanah yang bukan haknya itu akan “malati” atau bikin sengsara, apalagi milik sultan.

    Jadi, (kebanyakan) masyarakat mengakui eksistensi SG/PAG. Kalau di daerah lain, pasti sudah habis dijarah. Kawan saya pernah survei di hutan-hutan di Gunung Kidul beberapa tahun lalu. Hutan dengan patok SG aman dari penjarah, sementara di tanah Perhutani, bukan hanya pohonnya yang dijarah, patoknya juga hilang.

    Hak penguasaan keraton atas tanah serupa konsep kerajaan konsentris, apa ini masih cocok di era modern?

    Saya kira kerajaan tidak mungkin seperti dulu seperti sebelum proklamasi. Perpaduan aristokrasi dan demokrasi adalah yang paling masuk akal. Huntington dalam King’s Dilemma meramalkan bahwa pilihan monarki hanya dua, yaitu menjaga otoritas dengan memodernisasi diri sambil memperkuat represi untuk menjaga kontrol atau berubah ke constitutional monarchy di mana Raja itu “reign but not rule”.

    Tapi, tesis ini banyak terbantahkan di studi terbaru, misalnya studi di negara-negara kecil seperti Tonga dan Bhutan yang mampu mengkombinasikan demokrasi dan monarki. 
    Sumber: Tirto.Id