Selasa, 14 Oktober 2014

Ijin Pertambangan Ditengarai Ancam Pembangunan Lingkungan

14 Oktober 2014 21:15 WIB

foto : ISTIMEWA

YOGYAKARTA, suaramerdeka.com – Perijinan pertambangan yang dikeluarkan pemerintah daerah di Indonesia, Vietnam dan Filipina ditengarai mengancam pembangunan lingkungan berkelanjutan. Pasalnya, tata kelola industri ekstraktif di kawasan Asia Tenggara dinilai belum baik.

Dalam daftar Resource Governance Index yang dirilis tahun 2013, Indonesia berada di peringkat 14 dari 58 negara yang disurvei untuk urusan tata kelola sumberdaya alam. Bahkan posisi Indonesia masih di bawah Timor Leste yang menempati peringkat 13. Adapun Vietnam dan Filipina masuk di peringkat 43 dan 23.

Beberapa daerah di Indonesia, diketahui memiliki sumberdaya alam berlimpah. Namun karena praktik sistem tata kelola pemerintahan yang buruk menjadikan warga sekitar yang idealnya, mendapat limpahan dari keberkahan itu, tidak mendapatkan dampak ekonomi bahkan terjadi ketidakadilan ekonomi dan konflik sosial.

Rektor UGM Prof Dr Pratikno MSocSc mengatakan, bahwa dampak yang kerap ditimbulkan dari kegiatan pertambangan umumnya marjinalisasi masyarakat adat, konflik horizontal dan kerusakan lingkungan. “Yang paling banyak merasakan dampak dari ketiganya adalah masyarakat lokal,”katanya.  Dia memaparkan di sela-sela pertemuan Forum Pemimpin Lokal Asia Tenggara yang diselenggarakan Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM di Hotel Phoenix.

Menurutnya, bahwa daerah yang memiliki sumberdaya alam mampu mendorong pertumbuhan industri ekstraktif. Selain mampu mengundang investor dan terkumpulnya perputaran uang dalam jumlah besar serta memberi peluang bagi masuknya teknologi maju. Sangat disayangkan, manfaat dari industri ekstraktif itu hanya dirasakan oleh segelintir elit politik dan elit ekonomi lokal. “Demokrasi ekonomi menjadi tidak jalan, keuntungan yang didapat seharusnya bisa memberdayakan mayarakat,” katanya.

Dia berpendapat, bahwa pembangunan ekonomi dari kegiatan ekstraktif seharusnya banyak melibatkan partisipasi masyarakat sekitar. Adapun masyarakat sipil dan akademisi juga perlu mengawasi dampak sosial dan lingkungan yang kemungkinan bisa muncul di kemudian hari.
“Satu sisi kita mendorong pembangunan ekonomi, di sisi lain juga perlu mengerem masalah lingkungan. Semuanya, butuh inovasi dan kreativitas,” ujarnya.

Guru besar Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM Prof Dr Purwo Santoso mengatakan, bahwa desentralisasi membawa peran yang lebih luas bagi pemerintah daerah dalam mengelola urusan di bawah kewenangannya termasuk di sektor ekstraktif seperti pertambangan, migas, kehutanan dan perikanan. Menjelang diberlakukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), pemerintah dan tokoh lokal mau tidak mau harus berwawasan keluar karena pemimpin lokal menjadi pelaku penting dalam memberikan kemajuan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat yang dipimpinnya.

Bupati Kolaka Sulawesi Tenggara Ahmad Safei mengatakan, bahwa daerahnya merupakan salah satu kabupaten yang memiliki potensi kandungan bahan tambang seperti bauksit dan nikel yang kini dikeloa PT Vale Indonesia dan PT Antam. Namun begitu, pemerintah daerah hanya kebagian dana CSR (Corporate Social Responsibility) dari perusahaan tambang tersebut, sementara untuk royalti diurus oleh pemerintah pusat.

“UU Minerba tidak menyinggung dana untuk daerah, yang ada perusahaan tambang membayar royalti kepada negara,” ujarnya.

Menurutnya, perusahaan tambang idealnya menyediakan dana untuk meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar tidak hanya dalam bentuk program CSR yang dananya dipastikan tidak signifikan dalam upaya penanggulangan kemiskinan.


Gubernur Compostela Valley Filipina Augusto Blanco menyatakan, konstitusi Filipina telah mengakui, menghormati, melindungi dan mempromosikan hak-hak masyarakat adat, yang akhirnya dituangkan dalam Indigenous Poeples Right Act (IPRA), Republic Act No 8371. 

Kelanjutan dari UU tersebut dengan didirikan Komisi Nasional Masyarakat Adat (National Commision on Indogenous Peoples-NCIP). Dari konstitusi itu, tidak boleh ada tanah leluhur yang dibuka untuk kegiatan pertambangan tanpa persetujuan terlebih dahulu dari masyarakat adat. “Pembayaran royalti atas pemanfaatan sumberdaya alam juga harus disepakati dengan masyarakat adat sebagai bagian dari dana untuk kegiatan sosial ekonomi kesejahteraan masyarakat adat,”tambahnya.

(Bambang Unjianto/CN40/SM Network)


Sumber http://berita.suaramerdeka.com/ijin-pertambangan-ditengarai-ancam-pembangunan-lingkungan/

0 komentar:

Posting Komentar