Sekilas, saya membayangkan wajah-wajah sendu yang berada di dalamnya.
Saya gelisah, ketika mobil yang saya naiki berhenti di depan Penjara Kelas II Batang. Saya belum pernah ke penjara, apalagi menemui orang yang berada di dalamnya. Ini pengalaman pertama saya berkunjung ke penjara.
Adalah Pak Carman (42) dan Pak Cahyadi (50), dua orang warga desa Karanggeneng yang akan saya temui. Keduanya sedang mendekam di sel tahanan dengan vonis masa kurungan 7 bulan. Kisah mereka berdua mengharukan sekaligus menggetarkan. Cerita yang menginspirasi siapa saja yang mendengar.
Saya menemui mereka, bertepatan pada hari dimana sekitar 50 orang warga Desa Karanggeneng juga mengunjungi mereka dengan 3 angkot penuh. Bapak-bapak, ibu-ibu sampai anak-anak berkerumun di depan pintu penjara pagi itu untuk mengantri masuk.
Ruang pertemuan yang kecil, disesaki oleh pengunjung kedua orang ini. Mereka duduk dikelilingi warga, seperti orang yang memiliki status tinggi. Sungguh saya penasaran, apa jasa Pak Carman dan Pak Cahyadi sehingga yang membesuk mereka di dalam penjara sebegini banyak orang?
Pak Carman, adalah laki-laki bertubuh tegap yang tidak terlalu tinggi. Wajahnya penuh senyum, bicaranya bersemangat dan tidak ada kesedihan dari matanya. Sementara Pak Cahyadi berperawakan tinggi, tenang dan bijaksana. Beliau dikenal sebagai Ustad di Desa Karanggeneng.
Mereka terjebak di dalam penjara, dibatasi kemerdekaan individualnya dengan tuduhan pemukulan terhadap warga lain yang tidak pernah mereka lakukan. Bahkan tanpa saksi yang menyatakan mereka melakukan pemukulan, namun palu hakim tetap memvonis mereka dipenjara.
Pak Carman dan Pak Cahyadi menjadi korban kriminalisasi karena mereka dikenal vokal menyerukan penolakan pembangunan PLTU Batubara Batang. Mereka adalah barisan terdepan dalam setiap aksi protes yang dilakukan warga.
Yang mengagumkan adalah fakta bahwa Pak Carman tidak memiliki tanah yang menjadi sengketa pembebasan, ia hanya seorang buruh tani. Tetapi, ia bersemangat menolak PLTU Batubara Batang tanpa takut.
“Saya ikhlas dipenjara, demi perjuangan” jawab Pak Carman yakin, ketika saya tanyakan bagaimana perasaannya menjadi korban kriminalisasi.
Tidak terlihat penyesalan dan keputusasaan dari wajahnya. Bahkan Pak Carman tidak sabar keluar penjara, untuk ikut berjuang kembali bersama warga. Justru keinginan berjuang bersama kembali itulah yang membuatnya bertahan di penjara, yang tidak meredupkan semangat hidupnya.
Anak laki-laki Pak Carman yang berusia 3 tahun terus memeluknya dari belakang, menciumi pipinya. Saya bisa melihat rindu yang nyata antara anak dan bapak ini.
Berbeda dari Pak Carman, Pak Cahyadi memiliki tanah yang menjadi sengketa pembebasan lahan. Namun, tanah seluas 2 hektar itu tidak mau dilepas Pak Cahyadi. Ia tetap menolak pembangunan PLTU Batubara Batang meskipun tanahnya dihargai tinggi dan ia diiming-imingi kendaraan roda empat serta kebutuhan anak-istrinya ditanggung seumur hidup.
Ketika saya bertanya kepada Pak Cahyadi, apa yang paling disesalkan dari aksi penolakan yang selama ini dilakukan hingga ia dipenjara, Pak Cahyadi menunduk. Matanya berkaca-kaca sambil berkata pelan bahwa ia merasa kerja kerasnya selama 20 tahun membangun kerukunan warga akhirnya sia-sia.
Warga terbelah menjadi mendukung dan menolak PLTU Batubara Batang. Bahkan perbedaan sikap ini menimbulkan perselisihan dan mengakibatkan kerukunan warga rusak. Antar tetangga tidak bertegur sapa, satu keluarga namun tidak melayat ketika ada yang meninggal karena berbeda sikap.
“Wakil Bupati datang kepada saya, Sekda datang kepada saya. Bertanya apa yang saya inginkan, mereka akan penuhi. Saya katakan kepada mereka, saya cuma mau satu. Kembalikan lagi kerukunan warga, satukan kembali warga seperti semula. Bisa tidak mereka?” ujar Pak Cahyadi lirih.
Meskipun sedih dengan keadaan warga yang terpecah belah akibat adu domba yang dilakukan pemrakarsa PLTU Batang, Pak Cahyadi masih tetap bersemangat memperjuangkan keadilan bagi para petani dan nelayan seperjuangannya yang tergabung dalam Paguyuban UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, dan Roban) .
Saya tidak bisa berkata-kata, melihat dan mendengar keikhlasan mereka yang harus mendekam dipenjara karena berjuang untuk ribuan warga UKPWR. Bahkan semangat mereka menggebu-gebu, tidak sabar untuk segera keluar penjara dan kembali bersama barisan warga menolak PLTU Batubara Batang. Tidak takut jika harus dipenjara kembali.
Jika mereka yang dipenjara saja bersemangat memperjuangkan masa depan kelestarian sawah dan laut, bagaimana mungkin kita yang bebas merdeka tidak? Mari kita dukung perjuangan mereka dengan mengisi petisi di www.100persenindonesia.org.
Hanya ini yang bisa kita lakukan untuk mereka. Untuk sepasang semangat dari penjara.
0 komentar:
Posting Komentar