Rabu, 30 Maret 2016

KontraS Kecam Aparat Tembaki Petani Sulteng Secara Brutal

23:27 WIB | Rabu, 30 Maret 2016 | Martahan Lumban Gaol

Pihak kepolisian saat menahan massa di Wilayah Ranoromba, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulteng, hari Senin (28/3). Massa ditahan oleh pihak polisi dan digeledah agar tidak membawa senjata tajam dan Rep (bongkahan batu yang mengandung emas). (Foto: Dok KontraS)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meminta Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) menyikapi aksi penembakan brutal aparat kepolisian dan tentara kepada massa yang menggelar aksi memperingati Hari Ketiadaan Tanah Desa Dongi-dongi, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Sulteng, hari Senin (28/3).
Koordinator KontraS, Haris Azhar, menyampaikan penembakan brutal yang dilakukan aparat kepolisian dan tentara telah mengakibatkan sekitar tujuh orang tertembak dan lainnya luka-luka.

"KontraS meminta Pemerintah Provinsi Sulteng memastikan agar pihak keamanan, seperti polisi dan tentara, tidak meneruskan perilaku bringas kepada masyarakat, menaati hukum, dan menahan diri, dari apapun bentuk kekerasan," kata Haris dalam keterangan tertulis yang diterima satuharapan.com, di Jakarta, hari Rabu (30/3).
Menurutnya, Pemerintah Provinsi Sulteng seharusnya bisa menjamin keamanan warganya agar tidak menjadi sasaran tindak kekerasan pihak manapun.

Selanjutnya, kata Haris, KontraS meminta Kepolisian Daerah (Polda) Sulteng menindak seluruh jajaranya yang turun mengawal aksi peringatan Hari Ketiadaan Tanah di Desa Dongi-Dongi. "Polda Sulteng juga harus segera menarik mundur pasukannya dari lokasi kejadian, yang diketahui telah memicu rasa takut, teror dan intimidasi warga," ucapnya.

Selanjutnya, Haris menyampaikan, KontraS meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) segera melakukan penyelidikan terkait peristiwa kekerasan dan pelanggaran terhadap Pasal 25, 29, 33 dan 34 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), sebagaimana fungsi dan tugas yang diamanatkan Pasal 89 (3) UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.

Menurutnya, ‎Komnas HAM juga harus memberikan rekomendasi untuk mendorong pemerintah setempat dan Kepolisian Resort Sigi membuat situasi kondusif dengan koordinasi bersama dengan tokoh masyarakat setempat agar terwujud jaminan rasa aman warga untuk melakukan aktivitas sosial dan ekonominya.

Dia melanjutkan, KontraS mendesak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) untuk segera memberikan perlindungan yang efektif bagi seluruh korban dan warga yang masih merasa ketakutan atas teror dan intimidasi akibat terjadinya peristiwa tersebut, sebagaimana fungsi dan tugas yang diamanatkan melalui UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

"Pemerintah Provinsi Sulteng harus melakukan evaluasi menyeluruh atas praktik dan izin perusahaan tambang di wilayahnya. Peristiwa ini telah menambah deret panjang kekerasan, pelanggaran HAM di sektor sumber daya alam yang telah melibatkan unsur korporasi dan elit politik lokal yang amat merugikan hak-hak dasar warga," tuturnya.


7 Orang Tertembak

Sebelumnya, Haris mengecam aksi penembakan brutal yang dilakukan oleh pihak aparat ke arah massa sebagai yang tengah menyerukan ketidakadilan yang dialami oleh para petani, buruh, dan penambang dalam pengelolaan sumber daya agraria di Desa Dongi-Dongi, Provinsi Sulteng, hari Senin (28/3) kemarin. Menurutnya, peristwa itu telah membuat tujuh orang orang tertembak (ada yang dibagian kepala, telinga, punggung, pinggang, pantat dan kaki) dan sisanya mengalami penganiayaan yang keduanya dilakukan oleh aparat.

Haris menyampaikan, berdasarkan informasi yang diterimanya, saat massa sampai di Wilayah Ranoromba, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, massa ditahan oleh pihak polisi dan digeledah agar tidak membawa senjata tajam dan Rep (bongkahan batu yang mengandung emas). Padahal, Rep tersebut akan dijual di Poboya untuk kebutuhan logistik saat aksi (makan, minum dan bahan bakar kendaraan).

Namun, dia melanjutkan, saat negosiasi antara massa dengan aparat terjadi, massa yang berada di belakang yang tidak tahu sedang terjadi negosiasi di depan mulai berteriak, “Maju sudah!”. Tindakan itu pun dianggap oleh pihak kepolisian sebagai upaya perlawanan. Pihak kepolisian langsung menembakan gas air mata yang membuat massa yang masih berada di atas mobil turun ke jalan dan berlarian mundur.

“Pihak keamanan mulai menembak massa secara membabi buta ke arah massa. Beberapa orang tertembak,” kata Haris.

Jika ditarik garis ke belakang, dia melanjutkan, intimidasi terhadap gerakan tani pernah terjadi beberapa tahun silam. Pengebirian dan penculikan terhadap 13 petani dari Desa Dongi-dongi dan Kamamora, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulteng, terjadi pada 28 Januari 2014 silam, saat para petani tengah mengolah lahan.

Insiden itu terjadi bertepatan dengan pembukaan Kongres Forum Petani Merdeka (FPM) Dongi-dongi, yang merupakan organisasi di mana ke-13 petani tersebut bernaung. “Sederet peristiwa yang terjadi ini menjadi potret buruk aparat yang menggunakan kekuatannya secara sewenang-wenang dan abai menjadi pelindung bagi masyarakat,” ucap Haris.


Bertentangan dengan Perkap

Menurut pandangannya, dalam peristiwa yang terjadi kali ini, terlihat kegagalan pihak kepolisian melakukan upaya pencegahan (preventif) serta penilaian terkait perlunya tindakan (nesesitas) yang seimbang (proporsionalitas) dan masuk akal (reasonable) sehubungan dengan penggunaan kekuatan dalam peristiwa tersebut, sebagaimana yang diamanatkan oleh Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian.

“Tindakan berlebihan yang berujung kekerasan dan pelanggaran HAM tersebut juga bertentangan dengan Perkap Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengendalian Massa, serta Perkap Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum,” tuturnya.

Editor : Eben E. Siadari

0 komentar:

Posting Komentar