This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 27 Agustus 2019

RUU Pertanahan, Pemerintah Usul Pengusaha Diberi HGU 90 Tahun

CNN Indonesia | Selasa, 27/08/2019 20:07 WIB

Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil. (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan).

Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) mengusulkan pemberian Hak Guna Usaha (HGU) kepada perusahaan selama 3 periode dengan total waktu selama 90 tahun. Rinciannya yaitu, periode pertama selama 35 tahun, dan periode kedua selama 35 tahun, dan pemberian hak ketiga selama 20 tahun.

Usulan itu muncul saat membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan dalam rapat koordinasi lintas kementerian di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (27/8).

RUU Pertanahan itu merupakan penyesuaian aturan dari Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil mengatakan pemerintah berencana mengajukan RUU Pertanahan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebelum September 2019.
"Sekarang kita usul 35 tahun, tambah 35 tahun, nanti dapat dengan persyarat tertentu tambah 20 tahun, jadi total 90 tahun,"ujar Sofyan, Selasa (27/8).

Secara rinci dipaparkan, pemerintah mengusulkan pemilik HGU memperoleh hak periode pertama, dan hak perpanjangan periode kedua. Sementara itu, HGU periode ketiga baru bisa diberikan jika memenuhi syarat-syarat tertentu.

"Yang pasti dua kali. (Kalau) yang kali ketiga itu kalau memenuhi syarat-syarat tertentu baru bisa, itu yang diusulkan," tuturnya.

Dalam aturan sebelumnya, HGU diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun dan hanya dapat diperpanjang paling lama 25 tahun.

Diketahui, jangka waktu dan luas yang diberikan dalam HGU dan Hak Guna Pembangunan menjadi salah satu poin yang akan dibahas dalam RUU Pertanahan. Pemberian ini dilakukan demi menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif, sekaligus bermanfaat untuk masyarakat sekitar.
Sinkronisasi Informasi dan Data Pertanahan

Sofyan juga mengatakan pemerintah sedang melakukan sinkronisasi atas berbagai informasi dan data pertanahan yang ada di masing-masing kementerian. Ini merupakan hal akhir yang diselesaikan, sementara poin-poin lain sudah final.

Ia menjelaskan sinkronisasi perlu dilakukan untuk memastikan semua kementerian terhubung dalam pelaksanaan aturan hukum di masa mendatang. Untuk menyinkronkan semua informasi dan data, pemerintah akan membentuk sistem informasi terintegrasi.

"Misalnya, kewenangan BPN ada di sistem informasi itu, tanah yang di bawah KLHK juga ada di sistem itu, tanah di bawah KKP ada di informasi itu. Jadi harus link," ujar Sofyan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Kamis (22/8).

Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) ingin pemerintah segera merampungkan RUU Pertanahan karena akan digunakan untuk menjadi proyeksi terhadap seluruh persoalan lahan ke depan. Ia mengatakan RUU ini dibutuhkan untuk melindungi hak milik, Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Guna Usaha (HGU).

Senin, 29 Juli 2019

Respons Komnas HAM atas Pemagaran TNI AD di Area Tanah Warga Urutsewu


Senin 29 Juli 2019 19:55 WIB

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara saat menggelar diskusi dengan warga Urutsewu, Kebumen, Jawa Tengah.

Jakarta, NU Online  Warga Urutsewu, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah mengadu kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atas hak tanahnya yang dipagar oleh TNI AD di Yogyakarta pada Jumat (26/7).

Pihak TNI mengklaim tanah tersebut sebagai aset miliknya. Pada hari yang sama, bahan material sampai ke Desa Brecong, Kecamatan Buluspesantren.   

Ratusan warga melakukan penolakan pemagaran dengan memukul mundur satu beko. Kedatangan beko tersebut guna memulai proses pemagaran tanah yang diklaim menjadi hak TNI AD. Dengan dikawal pula oleh para TNI AD, beko tersebut terpaksa mundur karena warga bersikeras untuk tidak melepaskan tanahnya.  

Melihat fakta demikian, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menegaskan dua hal. Pertama, meminta TNI menghentikan pembangunan tembok pembatas.

“Meminta kepada TNI untuk menghentikan sementara pembangunan tembok pembatas sampai permasalahan konflik tanah selesai,” katanya pada Senin (29/7).  

Kedua, Komnas HAM juga mendorong pemerintah membantu mengakhiri konflik tersebut. “Mendorong pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan pemerintah Kabupaten Kebumen untuk aktif memfasilitasi penyelesaian konflik tanah tersebut,” ujarnya.  

Sebelumnya, isu pemagaran tanah tersebut mulai santer terdengar pada Senin (8/7). Sejak saat itu warga bersiap-siap dan seluruh warga melakukan istighosah di lapangan, berdoa agar upaya pemagaran itu tidak jadi dilaksanakan.

Hari berikutnya, Selasa (9/7) malam, warga mendapat surat dari TNI untuk melakukan pertemuan guna mediasi.  Selanjutnya, TNI AD bertemu dengan sejumlah elemen masyarakat di kantor Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI AD di Desa Setrojenar, Kecamatan Buluspesantren pada Kamis (11/7) sore.

Di saat yang sama, warga melakukan unjuk rasa menolak rencana TNI AD tersebut.  

Mereka membawa spanduk dan menggelar istighosah dan doa bersama di lapangan Desa Setrojenar yang persis berada di depan Dislitbang TNI AD.

 Audiensi ini dihadiri oleh kepala desa dari tiga desa terdampak beserta perwakilan warga, camat, dandim, BPN, dan Polsek. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan bahwa Dandim akan memfasilitasi semua pihak untuk menghadap bupati pada Jumat keesokan harinya.  

Aksi warga kemudian berlanjut dengan bertemu dan menggelar audiensi dengan Bupati Kebumen, Yazid Mahfudz di Rumah Dinas Bupati Kebumen, Jumat (12/7). Turut hadir dalam acara tersebut Dandim 0709/Kebumen Letnan Kolonel (Letkol) Inf Zamril Philiang berserta jajarannya, Sekda Kebumen Ahmad Ujang Sugiono, Kepala Bagian Hukum Irapuspitasari, dan lainnya juga hadir pada pertemuan tersebut.

Sementara dari Warga Urut Sewu, datang tokoh masyarakat Kiai Imam Zuhdi, Seniman Widodo Sunu Nugroho, Dr Teguh Purnomo, dan sejumlah tokoh lain. Sayangnya, pertemuan itu berakhir deadlock alias tidak menemukan titik temu. 

Dalam kesempatan tersebut, Dandim Letkol Inf Zamril Philiang menegaskan pemagaran akan dilaksanakan. Ini melanjutkan program pemagaran sebelumnya. Kali ini pemagaran dilakukan sepanjang 2,7 kilometer. Adapun desa yang dilintasi yakni Setrojenar, Brecong Kecamatan Buluspesantren dan Desa Entak Kecamatan Ambal.  

Seminggu kemudian, datang dua truk membawa material pasir dan batu melintas di jalan lintas paling selatan, yaitu di Desa Setrojenar, pada Kamis (18/7). Di perempatan tersebut, ada warga yang mengetahui kedatangan dua truk itu lalu menanyakan kepada supir truk apa maksud kedatangannya.

Lantaran sudah ada isu akan ada pemagaran oleh TNI membuat warga lebih was-was. Benar saja, truk tersebut datang untuk melakukan pemagaran.

Menerima informasi tersebut warga lantas memberhentikan truk tersebut dan memaksa truk itu untuk pergi. Truk tersebut lantas putar balik ke arah timur menuju ke Desa Entak. Mulailah pemagaran pagar beton pertama di Desa Entak pada malam hari. Akan tetapi di desa tersebut proses pemagaran itu juga mendapat perlawanan dari warga. (Syakir NF/Zunus Muhammad)

nu.or.id 

Rabu, 17 Oktober 2018

Korem 072 Pamungkas Kosongkan Paksa Tiga Rumah Warga di Blok Phatok

Oktober 17, 2018



Yogyakarta – Subiantoro (50) seorang juru kunci makam Dipoyudan, pada Selasa, (16/10) sekitar pukul 05.00 WIB sedang tidur pulas. Tiba-tiba ia mendengar hentakan sepatu militer dari dalam rumah. Tak berselang lama, seseorang berambut cepak mengetuk pintunya dengan keras.
Ia terbangun lalu mencoba membukanya. Saat menuju pintu depan rumah, Subiantoro kaget ternyata yang dilihatnya adalah sosok tentara yang jumlahnya puluhan. Awalnya ia sendiri tidak mengerti apa tujuan tentara itu datang, tapi perlahan ia baru menyadari bahwa hari itu akan terjadi eksekusi pengosongan rumah di blok Phatuk secara paksa oleh Korem 072 Pamungkas.
Ia sempat membukakan pintu, namun ia tutup kembali dan segera mengunci kembali pintunya. Ia melakukan itu karena mencoba menghalangi tentara masuk ke rumahnya untuk mengambil paksa barang-barang.
“Peristiwanya sekitar jam 05.00, saya bangun karena didodok (pintu diketuk), yang buka istri saya, saya ikut lalu saya coba tutup kembali,’’ ujar Subiantroro menjelaskan kejadian pagi fajar itu.
Ia menyatakan melihat dengan jelas para tentara Korem 072 mengambil semua barangnya. Ia juga mengingat setiap rumah di Dipoyudan yang jumlahnya 40 rumah di kelilingi tentara, masing-masing berjumlah lima orang. Warga yang hendak keluar rumah, mengantar anak sekolah bahkan bekerja tidak diperbolehkan oleh tentara.
“Masing-masing rumah di jaga tentara. Tidak dikasi keluar rumah, setiap rumah di jaga. Semua ditahan dari rumah,’’ cerita Subiantoro
Subiantoro menyaksikan sendiri anak-anak kecil menangis histeris menyaksikan aktivitas TNI mengosongkan lahan warga yang menolak digusur.
 “Anak kecil pada nangis”. Ujarnya.
Sengketa lahan antara TNI Korem 072 dengan warga di lahan yang di klaim milik Sultan Ground (tanah Sultan) sudah berlangsung selama 19 tahun. Pihak TNI merasa sudah mengantongi izin pakai lokasi blok Phatuk dari Kasultanan melalui surat Kekancingan (izin pakai tanah). Namun di sisi yang lain warga juga merasa mempunyai bukti hak pakai yang dikeluarkan oleh Kasultanan yang menyatakan tanah yang ditempai 40 Kepala Keluarga (KK) Dipoyudan merupakan tanah Magersari yang diakui.

Baca juga Press-Release tentang ini di [Klik Di Sini]
Perselisihan itu tidak ada ujungnya, tepat pada Selasa (16/10) saat fajar tiba Korem 072 Pamungkas memaksa warga untuk pindah dari rumahnya. Pihak TNI mengaku telah mendapat restu dari Sultan Hamamangkubuwono X sebagai Raja Ngayogyakarta Hadinigrat.
“Dalam catatan kami, Sultan Ground merupakan aset kita. Kraton sudah menyerahkan ke kita. Terserah kita mau apa,’’ ungkap Brigjen TNI M. Zamroni selaku Komandan Koramil 072 Pamungkas Yogyakarta.
Subiantoro geram dengan tindakan TNI tersebut, pasalnya semua barang yang dikeluarkan tidak ia ketahui keberadaanya.
“Saya tidak tahu barang saya di mana, hanya ini (pakaian Baju dan celana-red) yang dipakai,’’ terangnya.
Ia juga menjelaskan atas pemaksaan itu, rumahnya dirusak karena congkelan yang dilakukan oleh TNI. Tidak hanya itu, Subiantoro mengaku warung yang ia kelola raib diambil semua oleh Korem 072 Pamungkas.
“Semua gak ada, pintu dicongkel,” ungkap Subiantiro.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dari 40 Kepala Keluarga yang menempati Blok Phatuk, semuanya mendapatkan izin dari Kraton, namun Subiantoro menjelaskan justru pihak TNI-lah yang tidak mau tahu akan surat yang didapat dari Kraton itu.
“Magersari kita diangap gak sah oleh Korem,’’ kata Subiantoro sembari menunjukan buki magersari yang ia dapat dari Kraton.
Melihat warga diperlakukan tidak seperti manusia, kuasa hukum warga Dipoyudan, mengaku sudah melaporkan para pelaku pengrusakan, kepada Korem 072 Pamungkas.
“Kami melakukan pelaporan ke atasan TNI, sekarang diproses di Denpol terkait tidnak pidana terkait mengurung warga tidak beraktivitas selama 4 jam, setelah itu mereka (Angkatan Darat) pergi tanpa ada rasa bersalah,’’ ujarnya.
Brigjen TNI M Zamroni mengaku penertiban dengan pengosongan paksa rumah warga dilakukan atas perintah Angkatan Darat. Ia mengaku sudah tidak ada lagi mediasi. Dirinya mengancam melakukan pengosongan paksa kembali kepada warga diwaktu-waktu tertentu.
“Penertiban itu perintah angkatan darat. Sudah gak mediasi, jangan salahkan kami dengan gerakan fajar, mau siang mau malam,” tegasnya.
Kontributor: Abdus Somad

Sabtu, 13 Oktober 2018

Sekelompok Orang Bubarkan Persiapan Tradisi Sedekah Laut di Bantul


Sabtu 13 Oktober 2018, 13:26 WIB
Pradito Rida Pertana - detikNews

Catatan: Russel Bates

KAPOLRI HARUS BERTINDAK.
Atau masyarakat adat harus melawan bajingan
Yg menghambakan diri pada budaya asing impor??


Gelaran tradisi Sedekah Laut yang telah rutin digelar oleh para nelayan Pantai Baru, Bantul, Yogyakarta batal dilaksanakan hari ini menyusul datangnya serangan brutal dari sekelompok orang yang membubarkan persiapan acara tersebut semalam.
"Tadi malam sekitar jam 23.00 malam. Ada sekitar 50 orang yang datang, mereka pakai motor, dua mobil dan ada satu mobil ambulans," kata seorang warga saat ditemui wartawan di Pantai Baru, Sabtu, 13 Oktober 2018.
Saksi Mata tersebut sempat melihat peristiwa itu, kemudian memilih cepat pulang ke rumahnya yang tak jauh dari lokasi karena takut.
Ia menceritakan sekelompok massa yang beringas tersebut mengenakan Cadar Hitam sehingga tak bisa dikenali.
"Mereka itu datang-datang langsung merusak meja tamu dan kursi di sekitar pantai. Ya kalau cirinya pakai cadar sama ada yang teriak Allahuakbar tadi malam, setelah merusak lalu mereka pergi," kata saksi mata tersebut.
"Mereka juga sempat merusak meja dan membanting kursi tadi malam, diobrak-abrik lah pokoknya sekitar 15 menitan, setelah puas terus mereka pergi" imbuhnya.
Tradisi sedekah laut yang rencananya digelar hari ini adalah acara budaya yang rutin digelar setiap tahun.
Tetapi baru kali ini dibubarkan secara Biadab oleh sekelompok orang yang mengaku-ngaku sebagay para calon ahli surga.

Sebelumnya telah beredar pula sejumlah spanduk provokatif di sekitar lokasi yang menyatakan menolak digelarnya tradisi tahunan ini.
Diduga para pelaku perusakan ini adalah kelompok-kelompok radikal yang anti keberagaman.

Tujuan utama mereka adalah mengganti Pancasila dengan Khilafah...

***

Suasana lokasi tradisi Sedekah Laut yang batal digelar hari ini di Pantai Baru, Bantul. Foto: Pradito Rida Pertana/detikcom

Bantul - Gelaran tradisi sedekah laut yang telah rutin digelar oleh nelayan Pantai Baru, Bantul batal dilaksanakan hari ini. Tradisi ini batal digelar menyusul datangnya sekelompok orang yang membubarkan persiapan acara tersebut semalam. 
"Tadi malam ada kericuhan, sekitar jam 23.00 malam. Ada (sekitar) 50 orang yang datang, mereka pakai motor, dua mobil dan ada satu mobil ambulans," kata seorang warga Ngentak, Poncosari, Srandakan, Bantul, Tuwuh (48) saat ditemui wartawan di Pantai Baru, Sabtu (13/10/2018).
Tuwuh yang sempat melihat peristiwa itu kemudian memilih cepat pulang ke rumahnya yang tak jauh dari lokasi karena takut. 
"Mereka juga sempat merusak meja dan membanting kursi tadi malam, diobrak-abrik lah pokoknya sekitar 15 menitan," imbuhnya.
Tuwuh menceritakan kelompok orang tersebut mengenakan cadar hitam sehingga tak bisa dikenali. 
"Mereka itu datang-datang langsung merusak meja tamu dan kursi di sekitar Pantai (Baru). Ya kalau cirinya pakai cadar sama ada yang teriak itu (Allahuakbar) tadi malam, setelah merusak lalu mereka pergi," kata Tuwuh. 
Malam tadi warga sedang menyiapkan tradisi sedekah laut yang rencananya digelar hari ini. Acara ini rutin digelar setiap tahun. 

Menurut pantauan detikcom di Pantai Baru, tidak tampak ada tamu undangan meski kursi dan tenda kehormatan telah terpasang. Selain itu tidak tampak pula spanduk acara yang seharusnya terpampang di panggung.
"Untuk kirab, labuhan, pangkur dan gambyong dihilangkan, jadi tinggal reog saja rencananya. Sedekah laut itu setiap tahun dan rutin, tapi baru kali ini jadi begini (Tidak berjalan lancar)," kata Tuwuh. 
(sip/sip)

Sumber: Detik.Com 

Kamis, 20 September 2018

Press-Release: Dipoyudan Melawan Militer


PERS RELEASE WARGA DIPOYUDAN
[Aliansi Masyarakat Peduli Tanah untuk Rakyat]




Latar belakang / Kronologis

Tahun 1927 KNIL mendirikan kompleks hunian tentara di atas tanah Puralaya (kuburan) status meminjam tanah Kraton (Sultanaat Grond, SG), 40 rumah (8 Blok G, 32 Blok H) dan 1 lokasi makam. 1949 kompleks hunian KNIL jadi rampasan perang TNI, namun sudah dihuni oleh 10 keluarga POLRI. 1950 dan 1954 UU No 3 tahun 1950 tentang Pembentukan DIY dan Perda DIY No 5 tahun 1954 tentang Hak atas Tanah di DIY terbit, hak pakai turun-temurun ditetapkan sebagai Hak Milik warga yang menempati. Blok Pathuk untuk kompleks Kepolisian dikembalikan ke Pemda. Blok Pathuk untuk kompleks TNI dikembalikan ke Kasultanan. 1960-an dihuni oleh keluarga TNI dengan dasar surat penempatan KOREM 072 Pamungkas Yogyakarta.

Tahun 1960-an Tanah Swapraja (SG) beralih menjadi tanah negara menurut UU No 5 Tahun 1960. Namun dalam praktiknya Tanah Swapraja masih diakui dan penatagunaannya masih berlangsung. 1970-an warga yang menghuni memperpanjang masa hunian berdasar ijin Korem 072 Yogyakarta. 1980-an ABRI menerbitkan surat yang menyatakan Blok Pathuk bukan aset Angkatan Darat. 1984 UU Agraria diberlakukan sepenuhnya, Tanah Negara bebas dapat didaftarkan jadi HGB atau Hak Milik.

Tahun 2000 warga dihimbau untuk mengurus Magersari oleh Kawedanan Hageng Sri Wandowo (GBPH Joyokusumo) di atas tanah Puralaya Dipojodho/Kyai Jlomprong, sekalian menjadi abdi dalem dan juru kunci. Hal ini untuk menjamin agar warga dalam perlindungan Kraton. Surat kekancingan KHSW diterbitkan. Umumnya, kekancingan tanah secara resmi diterbitkan KHP Wahonosartokriyo Panitikismo.

Tahun 2000-2007 setiap kali pergantian Komandan Korem selalu ada upaya dari tentara untuk mengambil Blok Pathuk, namun terganjal status Magersari terbitan KHSW. Tahun 2007 Perpanjangan Magersari dilakukan dan diterbitkan kekancingan tanpa batas waktu masa berlaku. Tahun 2008 salah satu rumah dikuasai TNI karena penghuni baru (anggota DPRD Kota Fraksi ABRI pada masa Orba) meminjam rumah dari penghuni lama Dr. Bambang Setiadi sebagai pemegang kekancingan. Penghuni baru tersebut mengembalikan kunci ke KOREM. Rumah itu beralamat di NG I/566. Sementara waktu diduduki TNI, karena kekancingan atas nama Dr. Bambang Setiadi, kunci diserahkan kepada warga oleh beliau. Namun, KOREM menggunakan rumah itu untuk Mess KOAD.

Tahun 2010 Blok Pathuk berubah jadi Dipoyudan agar bebas dari intervensi TNI, dan agar memperoleh bantuan dari Pemkot karena jika masih sebagai aset TNI tidak akan mendapat bantuan dari Pemkot dalam bentuk apapun (tanggungjawab TNI, seperti PDAD).

Sejak 2009, Pemkot sudah memberikan bantuan MCK gratis, pengaspalan jalan, KMS, PKH, PEW, KIS/BPJS, dan KIP. Tahun 2011 Dinas Pariwisata mengucurkan dana 11 juta Danais untuk melestarikan kebudayaan di Makam Dipojodho. Setiap bulan Ruwah Kraton memberikan sesaji Kuthomoro untuk nyadran. Tahun 2012 TNI menurunkan 1 truk personil untuk mengeksekusi rumah NG I/566. Tahun 2018 KOREM menerbitkan Undangan Sosialisasi yang menggiring warga untuk menandatangani persetujuan pengosongan rumah, warga menolak memberi tandatangan dan salinan KTP.

Utusan KOREM memberikan Undangan Musyawarah dan ditolak warga karena tanggal dan hari tidak sinkron. Kemudian, KOREM memasang plakat RUMAH DINAS di 40 rumah (38 keluarga pensiunan plakat berwarna kuning, 2 anggota aktif plakat berwarna hijau). Pada rumah yang sama terpasang plakat MAGERSARI KHSW dan RUMAH DINAS. SP (Surat Peringatan) I terbit dan berlaku (Feb - 9 September 2018) dan SP II (21 Agustus - 21 September 2018) terhadap 31 rumah dan SP III (14 - 21 September 2018) diterbitkan untuk penghuni 30 rumah untuk mengosongkan rumah di Blok Pathuk dengan alasan untuk rumah dinas anggota aktif. Satu rumah batal dieksekusi karena dihuni pensiunan TNI yang protes. SP II dijawab warga pada 14 Sept 2018. Hari Jumat tanggal 21 September 2018 adalah batas dari SP III dan tidak menutup kemungkinan adanya eksekusi dari pihak Korem.

Pernyataan Sikap

Berdasarkan kronologis di atas, maka warga yang sudah menempati di Dipoyudan, Ngampilan Jogja mempunyai hak atas tanah tersebut dikarenakan pada tahun 1961, bekas tanah-tanah swapraja telah menjadi objek Reforma Agraria (landreform) melalui PP No 224 /1961. Kemudian Pada 1984, melalui Keputusan Presiden 33/1984 tentang Pemberlakuan UUPA sepenuhnya di DIY, diterbitkan karena desakan Sri Sultan HB IX (Kepala Daerah) dan DPRD, aturan ini pun mulai berlaku sejak 1 April 1984.

Selain itu, hal yang juga tidak bisa dilewatkan adalah adanya dinamika politik yang tercatat dalam serpihan sejarah ihkwal penerbitan Keputusan Presiden. Yakni diterbitkanya Perda DIY No 3 Tahun 1984. Melalui Kemendagri No 66/1984 dan Perda DIY No 3/1984 yang isinya menghapuskan Rijksblad-rijksblad yang jadi dasar hukum Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG). Bisa diartikan bahwa sejak 1984, secara resmi dan atau bisa dipastikan sudah tidak ada SG/PAG lagi di DIY. Bukti bahwa SG/PAG tidak berlaku kemudian diterbitkannya sertifikat hak milik dari tanah dari letter C/D/E yang pada tahun 1918 tidak bersertifikat. Berdasarkan Diktum Keempat huruf A Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, “Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau bekas Swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini hapus dan beralih kepada Negara”. 
Dengan demikian jelas bahwa UU Keistimewaan menabrak UUPA dan aturan yang lainnya. Padahal UUPA telah ada terlebih dahulu dan sampai sekarang belum dicabut.

“Tahta untuk rakyat” sebagai pijakan kepemimpinan kasultanan (HB IX), sebuah pijakan bagaimana keputusan-keputasan politik diambil dan dicanangkan, bagaimana sebuah kebijakan-kebijakan bagi warganya (rakyat) harus direalisasikan. Secara prinsip, dasar pijakan tersebut mengambil bentuknya yang senada dengan konsep demokrasi yang dikenal dewasa ini. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, adalah prinsip-prinsip yang terangkum dalam tahta untuk rakyat.

Peneguhan tekad “tahta untuk rakyat, demikian juga “tahta” bagi kesejahteraan kehidupan sosial-budaya, adalah komitmen besar Kraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Komitmen tersebut selalu membela kepentingan rakyat, berusaha untuk bersama rakyat, dan memihak hanya pada kepentingan rakyat. Bahwa “tahta untuk rakyat” mesti benar-benar harus dipahami dalam konteks keberpihakan Kraton dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran serta mengarah pada peningkatan kualitas hidup bagi seluruh rakyatnya.

Lebih jauh, “tahta untuk rakyat” tertuang dalam konsep filosofis “manunggaling kawula gusti”. Hematnya, keberadaan Kraton karena adanya rakyat. Sementara rakyat memerlukan dukungan Kraton agar terhindar dari eksploitasi yang bersumber dari ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan keterpurukan. Bahwa Kraton, sejauh konsep tersebut masih dijadikan sebagai alas berpikirnya, tidak akan ragu-ragu memperlihatkan keberpihakannya terhadap rakyat, sebagaimana pernah dilaksanakan pada masa-masa revolusi dulu.

Untuk itulah kami warga yang Dipoyudan yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Tanah untuk Rakyat (AMPTR) menyatakan sikap:

1. Menolak penggusuran yang terjadi di Dipoyudan oleh Korem 072 Pamungkas.

2. Meminta kepada pihak Kasultanan Ngayogyakarta agar status tanah dikembalikan kepada negara, dan warga bisa mengajukan pendaftaran Sertifikat Hak Milik (SHM), demi tercapainya cita-cita Tahta untuk Rakyat yang melindungi warga Yogyakarta karena warga telah menempati daerah Dipoyudan sekian lama sebagai hak prioritas sebagaimana yang tercantum dalam UUPA. 

3. Hentikan pelaksanaan eksekusi (pengosongan lahan) paksa oleh Korem 072 Pamungkas. 

4. Hentikan represifitas yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap warga Dipoyudan.

Yogyakarta, 20 September 2018

Aliansi Masyarakat Peduli Tanah untuk Rakyat

*Catatan: Rilis Konferensi Pers (Konpres) ini sebenarnya akan dibacakan pada 20 September 2018 lalu, di kantor PBHI Jogja. Namun, konpres terpaksa dibatalkan. Kabarnya: warga Dipoyudan diancam oleh Tentara dan intel BIN yang meminta untuk membatalkan konpres. Selain itu, jurnalis yang mencoba meliput juga ditekan untuk tidak mengangkat kasus tersebut.
ã…¤
#DipoyudanMelawan

Rabu, 11 Juli 2018

Investor Usulkan "Kebumen Industrial Park" jadi Nama Kawasan Industri di Kebumen

11 Juli 2018


KEBUMEN - PT Alinco Indonesia, calon investor Kawasan Industri Kebumen mengusulkan kawasan industri yang akan dibangun di wilayah Petanahan dengan nama "Kebumen Industrial Park".
Hal itu terungkap pada malam ramah tamah antara Pemkab Kebumen dengan investor dan pengusaha asal Tiongkok di Hotel Mexolie Kebumen, Selasa malam, 10 Juli 2018.
"Ini tawaran dari kami, karena nama Kebumen Industrial Park lebih menjual. Selain itu karena perusahan-perusahaan yang ada nantinya orientasinya ekspor," terang Perwakilan PT Alinco Indonesia, Irawati, disela-sela acara ramah tamah.
Pada tahap awal, pihaknya ingin membangun infrastruktur pendukung pabrik diatas lahan 10 hektar. Pihaknya berharap, September tahun ini sudah ada kepastian dimulainya pembangunan. 
"Ini untuk pilot project dulu. Kita ingin bergerak cepat, karena user-nya sudah ada," ujarnya.
Di tempat yang sama, Pimpinan PT Alinco Group, Andri Joe, mengatakan pada tahap awal sedikitnya ada tujuh perusahaan yang sudah siap membangun pabriknya di Kebumen. Mereka bergerak di bidang garmen, elektronik, perikanan, korek gas, plastik, wisata hingga produksi lampu LED.
Plt Bupati Kebumen Yazid Mahfudz, menyampaikan Pemkab Kebumen menyambut baik adanya calon investor yang tertarik menanamkan modalnya di Kebumen. Pihaknya telah menyiapkan lahan seluas 315 hektar di Desa Tegalretno, Karanggadung dan Karangrejo, Kecamatan Petanahan.
"Pemkab Kebumen sangat pro investasi, sehingga kami akan memberikan banyak kemudahan terutama di bidang perijinan yang selama ini sering dikeluhkan. Tentunya sesuai aturan yang berlaku," kata Yazid Mahfudz.
Hadir pada acara ramah tamah itu, Kapolres Kebumen AKBP Arief Bahtiar, Komandan Kodim 0709 Kebumen Letkol Kav Suep, serta sejumlah pimpinan OPD di lingkungan Pemkab Kebumen.(*)

Repost: 
KebumenKota 

Minggu, 27 Mei 2018

Kasus Urut Sewu Kabupaten Kebumen

27 Mei 2018


SuaraKeadilan

Rabu, 13 Desember 2017

Yang Tergusur dan Melawan PT KAI Bandung

Reporter: Rio Apinino | 13 Desember, 2017



Selama 1,5 tahun warga dari sisi selatan Stasiun Bandung melawan penggusuran. Makin militan selepas putusan banding pada awal Desember memenangkan PT KAI.

Pengetahuan memunculkan keberanian. Dan, karena itu, mari berkenalan dengan tiga tokoh cerita kita.

ITOH

Itoh adalah pemilik warung makan “Pak Yana”, terletak di Jalan Stasiun Barat, Kebon Jeruk, dekat dari pintu keluar Stasiun Bandung sebelah selatan. Ukuran warungnya kecil tapi menyajikan makanan beragam. Nasi dan lauk boleh diambil semau pembeli. Urusan bayar belakangan. 

Warung Pak Yana—diambil dari nama almarhum suami Itoh—yang bersih dan tertata rapi, kontras dari kondisi di sekitarnya. 

Jalan Stasiun Barat ketika saya datang pada awal Desember lalu—dilewati dua mobil dari dua arah—sama sekali hancur. Aspal di sepanjang jalan setengah kilometer rusak berat. Debu beterbangan. Saat turun hujan, jalan jadi kubangan air kotor. 

“Di jalan itu banyak yang kecelakaan. Terutama setelah dipasang pagar kawat di tengah-tengahnya itu,” kata Itoh dengan logat Sunda, memasang muka serius. 

Di sebelah warung Pak Yana berdiri satu toko lebih kecil selebar dua meter. Teralisnya tertutup setengah. Di ruas teralis yang terbuka terpampang etalase kaca, dan memajang beragam produk. Dari rokok, minuman kemasan, hingga tisu. 

Di pojok bawah teralis ada dua tumpukan boks Coca-Cola tanpa isi. Persis di depan toko itu teronggok motor jadul Honda CB70 berkelir merah-putih yang rem depannya sudah blong. Remaja sepantaran SMP dan SMA sedang sibuk memilok baliho putih 1 x 2 meter dengan tulisan: “Donasi Untuk Kulon Progo”. 

Itoh berdiri dari bale bambu warung setelah remaja-remaja ini selesai memilok. Ia menyuruh enam sampai tujuh remaja ini, laki-laki dan perempuan, makan di tempatnya. Ia tidak berhenti memerintah sampai mereka mengiyakan. 

Semua gratis. Itoh tak memungut bayaran. Juga kepada saya. 

“Enggak usah!” kata Itoh, menyuruh saya menyimpan uang Rp50 ribuan. 

Warung makan Itoh adalah salah satu tempat konsolidasi warga Stasiun Barat. 

Tapi, tentu, makan gratis tak berlaku bagi pelancong. Sepanjang obrolan saya dengan Itoh, warung makannya ramai dipadati mereka yang baru sampai Bandung via naik kereta. Sebagian besar datang dalam rombongan tiga sampai empat orang. 

“Tapi sekarang tidak seramai dulu,” katanya. 

HAMDIYAH

Hamdiyah memperkenalkan diri sebagai kader Partai Keadilan Sejahtera yang militan: merekrut warga dengan metode pintu ke pintu. 

Tapi itu dulu. Hamdiyah sadar bahwa ia hanya sekrup kecil yang kalau hilang pun tak memengaruhi apa pun. Partai tidak membantunya berjuang mempertahankan tempat tinggalnya yang telah didiami puluhan tahun. 

“Saya nyesel gabung ke partai itu. Tidak ada yang bantu juga. Tidak ada yang bisa diandalkan. Sekarang sih, semuanya dari kita untuk kita saja,” kata Hamdiyah dengan logat Sunda. 

“Kami sudah tidak percaya partai, polisi, pemerintah—semua. Soalnya kami sudah minta tolong ke mana-mana tidak ada yang membantu,” ujarnya. 

Ketika ditanya penggusuran ini sebetulnya untuk pembangunan apa, Hamdiyah bilang tidak tahu. 

“Persisnya untuk apa ya tidak tahu, tapi yang pasti untuk kapitalis, lah.” Nadanya meninggi. 

Militansi Hamdiyah mengorganisir warga menyala. Hamdiyah tak pernah absen mengajak tetangga lain turut serta mengikuti kelas pendidikan hukum yang diselenggarakan advokat warga. 

Selain itu, melalui pendidikan yang diselenggarakan advokat, Hamdiyah dan warga lain tahu apa saja hak yang mereka miliki di hadapan hukum, bagaimana mekanisme penyelidikan dan penyidikan yang benar, juga proses penangkapan. Ia juga kini lebih awas kepada orang-orang asing yang berkeliaran di tempatnya. 

Katanya, kalau tidak bilang wartawan dari Jakarta yang ingin meliput, saya dipastikan sudah diusir. Dianggap intel yang memata-matai kegiatan warga. Ia bilang, ini adalah mekanisme pertahanan diri yang disepakati bersama. 

Suatu kali, ia bersama warga mengelabui polisi ketika hendak berunjuk rasa menuntut penghentian kriminalisasi ke Polda Jawa Barat, 23 November 2017. Polisi yang melarang warga demo sudah berjaga di sekitar Stasiun Barat sejak pagi. Namun, tak ada satu pun konsentrasi massa. Ternyata warga sudah tahu gelagat polisi. Mereka pergi ke Polda dengan berpencar, dan berkumpul lagi ketika tiba di lokasi. 

“Polisi kena tipu. Dikiranya kami kumpul dari sini [Stasiun Barat],” katanya, tertawa terbahak-bahak. 

Satu hari sebelum diputus menang, 30 Mei 2017, Hamdiyah bersama warga menginap di pelataran Pengadilan Negeri Bandung. Ketika itu Hamdiyah baru melahirkan. 

Malam hari, saat itu bulan puasa, Hamdiyah dihampiri polisi, dan berkata, “Ibu kasihan atuh anaknya masih kecil begini masak dibawa-bawa?” 

Hamdiyan menjawab, “Bapak tidak usah urus. Lagian ngomong kasihan segala. Bapak waktu menggusur kami dulu memang mikirin itu?” 

Anak Hamdiyah kini berusia sembilan bulan. Sehat dan menggemaskan. Namanya Merah. 

MAMAN

Maman adalah warga tertua berumur 70 tahun yang saya temui di Stasiun Barat. Ia generasi pertama yang menempati lahan tersebut. 

Abah, demikian ia menyebut dirinya sendiri, tinggal bersama Marni. Maman pernah bekerja sebagai sopir, pernah pula jadi tukang parkir—"satu-satunya pekerjaan yang masih bisa dilakukan di masa tua,” katanya. 

Di balik wajah keriput, dan jenggot putih panjang hingga dada, Maman masih bersemangat bercerita. “Abah lihat ada teman-teman yang senasib,” katanya. 

Maman “sakit hati” kepada Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. “Kok kenapa tempat tinggal Abah yang rubuh sampai kehujanan cuma dilewat?” katanya. 

“Maka, kalau ada yang ajak, Abah semangat lagi. Abah mah ingin demo,” ujarnya. 

Peristiwa yang disebutkan Maman ketika Ridwan Kamil mendatangi lokasi gusuran, 29 Juli 2016. Ketika itu Emil—panggilan Ridwan Kamil selain RK—sempat berjanji akan menolong warga dengan menawarkan beberapa solusi. Emil juga bilang “menyesali” proses pembongkaran. 

“Tapi tidak ada bantuan. Bohong. Yang bantu itu mahasiswa. Mereka kasih mi instan, baju—apa saja. Yang ngasih modal juga mahasiswa, sampai sekarang Abah bisa jualan kecil-kecilan.” 

Warung Maman terletak di sebelah timur warung makan Itoh. Tapi beda dengan warung Itoh yang permanen, warung sederhana Maman hanya dari batang bambu. Untuk menghalangi debu jalan, dibuatlah penghalang dari bekas spanduk berbahan kain. Maman menjual mi instan, kopi saset, dan gorengan. 

Suatu malam setelah digusur, masih dalam periode persidangan, Maman terbangun oleh teriakan istrinya, Marni: Aing mah nini-nini paeh moal dua kali. Maneh tega rek maehan nini-nini? Maneh teh rek modaran aing? Siga teu gablek indung wae maneh!” 

Maksud istrinya: saya sudah nenek-nenek, tidak akan mati dua kali. Kamu tega mau bunuh nenek-nenek? Kamu mau bunuh saya? Seperti tidak punya ibu saja kamu!” 

Marni membentak Polisi Khusus Kereta Api (Polsuska) yang mau membongkar tenda saat itu juga. 

Maman marah. Ia mengambil golok, mengacung-acungkannya ke aparat. 

“Siapalah yang duluan mati. Abah sudah tua ini,” kata Maman. Polsuska lari terbirit-birit. 

Sejak saat itu Polsuska tak pernah lagi berani mengusik Maman dan Marni. 

Latar: Wilayah Panas

Jalan Stasiun Barat, terletak di pintu keluar Stasiun Bandung sisi selatan, sejak dulu dikenal sebagai wilayah prostitusi kelas bawah di Bandung. Kebanyakan dari pekerja seks komersial adalah “pelarian” Saritem. Mereka tersisih dari lokalisasi yang jaraknya hanya 1 kilometer dari Jalan Stasiun Barat ini karena banyak hal, salah satunya usia yang tidak lagi muda. 

Bersamaan dengan itu berkembang pula premanisme, peredaran miras, dan narkoba.

Dengan panjang hanya setengah kilometer, Jalan Stasiun Barat yang dihuni belasan warung makan, toko, dan tempat usaha lain hanya jadi tempat mangkal, mencari pelanggan, dan bernegosiasi soal harga. Sementara "transaksi" dilakukan di belakang kompleks usaha warga ini. Ada kontrakan, juga losmen murah seharga Rp100 ribuan semalam.

Meski menjajakan diri persis di depan warung, tetapi bukan berarti warga yang berusaha di sana setuju atas praktik tersebut. Dasim Budimansyah, Syaifullah, dan Delilah Nurzaidah (2015) mengatakan warga cenderung pasif terhadap prostitusi. Selain itu, mengapa Stasiun Barat langgeng sebagai tempat prostitusi selama puluhan tahun juga karena tidak ada upaya pemberantasan yang serius dari aparat.

Tapi itu semua berubah setelah warung-warung warga digusur. Warga mulai berani menegur PSK. Di beberapa titik warga memasang poster yang intinya menolak prostitusi. Pada salah satu poster tertulis, “Rakyat Kebon Jeruk Menolak Keras 1. Pungli, 2. Perdagangan Perempuan, 3. Rentenir/Lintah Darat”, dengan huruf berwarna putih, berlatar merah menyala dengan siluet massa aksi, serta di bawahnya tergambar 10 kepalan tangan. 

Tindakan ini punya alasan politis. Dengan membuktikan warga di sana “beradab” (mengacu nilai-nilai umum yang diterima masyarakat), alasan untuk memiliki tempat itu secara sah semakin kuat. 

Guna meneguhkan komitmen ini, pada Minggu, 3 Desember kemarin, warga membuat “Pernyataan Moral Juang”. Isinya, janji bukan hanya menolak prostitusi (perdagangan manusia), tapi juga untuk tidak berjudi, tidak berselingkuh, mabuk, dan hal-hal yang berkaitan dengan narkotika dan premanisme.

Ketika saya pulang sekitar pukul 8 malam, beberapa pekerja seksual dengan pakaian serba minim memang masih bekerja di pinggir jalan Stasiun Barat, tapi posisinya jauh dari lokasi gusuran, di pinggir ruas jalan yang paling sepi. Ada yang fokus pada ponsel, ada juga yang memperhatikan jalan. 

Keberanian warga seperti yang ditunjukkan Itoh, Hamdiyah, dan Maman tidak datang seketika dari langit. Ini kesadaran yang muncul lewat pengalaman. Perubahan yang paling terasa usai digusur, selain keberanian untuk menyampaikan pendapat, adalah munculnya rasa solidaritas sesama warga. Sebelum digusur, mereka semua sebatas saling kenal. Jarang bertegur sapa. Tapi sekarang “sudah seperti saudara”—menurut penuturan mereka sendiri. 

Bangunan-bangunan yang didirikan sesudah digusur dibuat bersama tanpa paksaan. Tiap minggu mereka juga kerja bakti membersihkan lingkungan. 

Asri Vidya Dewi, advokat sekaligus organiser warga, berperan sentral untuk menumbuhkan kesadaran semacam ini. Ia datang menjadi kuasa hukum warga setelah bangunan rata oleh tanah, medio Agustus 2016. Achy—demikian nama akrabnya—datang dengan suaminya, Barra, dengan mobil murah merek Datsun ketika saya sudah ngobrol dengan warga selama sekitar satu jam. 

Ia bercerita mengapa mau membela warga. “Aku mau tetap di sini karena warga berkomitmen membentuk masyarakat baru yang lebih beradab,” katanya. 

“Kalau capaiannya ekonomi doang ya buat apa? Tinggal bayar, selesai. Di sini nanti akan terbangun masyarakat yang lebih baik. Kalau sudah jadi, kan, bisa jadi pusat konsolidasi kawan-kawan Bandung [yang menolak penggusuran].” 

Achy membenarkan bahwa setelah penggusuran, warga tidak lagi permisif terhadap praktik-praktik yang telah berlangsung selama puluhan tahun itu. 

Nenek Yayah, salah seorang warga yang lahir pada 1962, menegaskan ini. Menurutnya, keberanian warga bisa muncul karena Achy “galak” dalam arti positif, baik terhadap PSK atau kepada warga yang dulu senang mabuk dan berjudi. 

“Jadi tidak ada yang berani lagi,” kata Yayah. 

“Teh Achy juga galak ke warga. Tapi galaknya baik, bikin warga bener.”

“Kenapa Nek Yayah tidak galak sama saya? Kan Nek Yayah juga galak.” 

“Ya masa saya galak sama yang membela saya.” 

Mendengar jawaban Yayah, semua warga yang turut bercengkerama tertawa geli. 

Jalan Berliku: Kemenangan dan Kriminalisasi

31 Mei 2017. Hakim Ketua Irwan Effendi dari Pengadilan Negeri Kelas I A Bandung mengetuk palu memenangkan gugatan perdata warga. PT Kereta Api Indonesia (Persero) dinyatakan bersalah atas penggusuran terhadap 62 bangunan—terdiri 32 warung dan 30 rumah—yang dihuni 55 keluarga pada 26 Juli 2016. Singkatnya, penggusuran PT KAI diputus ilegal. 

Menghukum Tergugat I untuk membayar ganti rugi berupa uang sewa tempat usaha/tempat tinggal untuk satu tahun pertama dan biaya pindah (pengangkutan barang-barang) kepada masing-masing penggugat sebesar Rp15 juta, dengan total seluruhnya 25 orang x Rp15juta = Rp375 juta,” kata Irwan. 

“Allahu Akbar,” suara warga menggema di seantero ruangan. 

Semua warga, termasuk anak dan cucu penggugat, bersujud syukur. 

“Semua nangis,” ujar Hamdiyah mengingat suasana ruang sidang saat itu. "Polisi di ruangan, yang mengamankan persidangan, pun banyak yang mengucapkan selamat." 

Kemenangan ini buah dari proses panjang yang dilalui warga. 

Setelah mengumpulkan bukti-bukti cukup, warga menggugat PT KAI ke PN Bandung atas delik Perbuatan Melawan Hukum pada 28 September 2016, dengan nomor perkara 380/PDT.G/2016/PN.BDG. Selain KAI, gugatan dilayangkan kepada Pemkot Bandung karena merekalah yang kali pertama memberikan izin kepada warga menempati lahan pada 1953. Sidang kali pertama digelar pada 13 Oktober 2016. 

Penggusuran PT KAI dinilai ilegal karena dilakukan tanpa pemberitahuan dan alasan yang jelas. Di luar itu, PT KAI tak bisa membuktikan bahwa lahan seluas 1.800 meter persegi yang jadi objek perkara adalah miliknya. 

PT KAI mengklaim tanah yang ditempati warga, yang berlokasi di RT 03/02 Kelurahan Kebon Jeruk, Kecamatan Andir, sejak awal adalah hak mereka berdasarkan Sertifikat Hak Pakai Nomor 6 tanggal 5 Februari 1988. Sertifikat ini terbit pada 11 Juni 1988 atas nama Departemen Perhubungan RI, yang ditembuskan ke Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJ KA). Ia menyebutkan bahwa lokasi lahan berada di Kelurahan Pasirkaliki, Kecamatan Cicendo. 

Dari sini kejanggalan sudah muncul. Alamat yang tertera pada Sertifikat Hak Pakai berbeda dari lokasi penggusuran. Jalan Pasirkaliki dan Jalan Stasiun Barat terpisah 2,6 kilometer, dihela oleh Jalan Kebon Kawung, Jalan Pajajaran, dan jalan-jalan lain yang lebih kecil seperti Jalan H. Mesri dan Jalan H. Moh. Iskat. 

“Sertifikat itu [bukan merujuk pada tanah] di sini [Kebon Jeruk]. Jadi PT KAI asal saja bilang, 'Ini kami punya akta’, tapi lokasinya beda. Punya siapa, jenis-jenis haknya apa saja, tidak juga mereka jelaskan,” kata Achy. 

Dan kejanggalan ini berlanjut dengan kejanggalan-kejanggalan lain.

Dalam persidangan, PT KAI melampirkan bukti yang mengklaim sebagai pemilik sah lahan melalui Sertifikat Hak Pakai Nomor 7 tanggal 21 Desember 2016. Sertifikat ini adalah “split” dari Sertifikat Nomor 6/1988. 

Menurut Achy, penerbitan ini bermasalah dan patut dipertanyakan karena pemegang Sertifikat Hak Pakai Nomor 6/1988 [PJ KA] tidak memenuhi apa yang disyaratkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah untuk memperpanjang penggunaan lahan. 

Berdasarkan aturan tersebut, jangka waktu Hak Pakai atas Tanah Negara adalah 25 tahun, dan bisa diperpanjang 20 tahun lagi dengan pengajuan dua tahun sebelum masa pakai selesai dengan syarat: tanah masih digunakan sesuai penggunaan tanah; syarat pemberian hak tersebut masih dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; dan pemegang hak masih memenuhi persyaratan sebagai pemegang hak sesuai aturan yang sama. 

Merujuk pada aturan tersebut, hak Pakai PJ KA, yang didirikan pada 15 September 1971 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1971, berakhir pada 2013 lalu. PJ KA tidak bisa memperpanjangnya karena status hukumnya sudah tidak ada. 

Melalui Peraturan Pemerintah 57/1990, PJ KA berubah status menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka). Sembilan tahun setelahnya, 1 Juni 1999, Perumka berubah nama menjadi PT Kereta Api Indonesia (Persero). 

Achy mengatakan, PJ KA dan PT KAI adalah dua entitas berbeda, sehingga PT KAI tidak bisa mengklaim tanah dari sertifikat yang dipegang PJ KA. 

Tujuan utama dari PJ KA dan Perum adalah “memberikan pelayanan kepada masyarakat” dengan dasar hukum Undang-undang 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Sementara PT KAI “mencari laba” yang tunduk pada UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. 

"Perubahan bentuk perusahaan membuat perubahan sistem hukum dan kepemilikan aset. Peralihan status tidak otomatis peralihan aset,” kata Achy. 

Pihak yang membayar pajak bumi dan bangunan juga bukan dari KAI. Wargalah yang membayar PBB, bahkan ketika bangunan mereka sudah rata tanah. Lebih aneh lagi, kata Achy, dalam sertifikat ini tertera pihak yang memiliki hak masih PJ KA, bukan PT KAI. 

“Ini lucu. [Perusahaan] sudah bubar kok masih bisa punya sertifikat? Selain itu, proses terbitnya bermasalah, dan pada saat sedang berperkara di pengadilan juga melanggar hukum,” kata Achy. 

Tapi PT KAI tidak ingin membayar sepeser pun atas penggusuran ilegal yang telah mereka lakukan. Mereka mengajukan banding pada 20 Juni 2017. Menyerahkan berkas banding pada 13 Oktober 2017. 

Alih-alih pasif menunggu putusan, PT KAI malah agresif melakukan tindakan yang dilarang saat saat masih berperkara. Pada 11 Juli 2017, PT KAI mengeluarkan surat peringatan pertama pengosongan lahan. Lalu SP kedua keluar 10 hari setelahnya. Narasinya sama: warga tidak berhak menempati lahan dan harus angkat kaki. 

Selain itu, pada 20 Oktober, PT KAI Daop II melaporkan 25 warga ke Polda Jawa Barat dengan dalil tindak pidana Pasal 167 (1) KUHP. Mereka dituduh memasuki pekarangan orang lain yang tertutup tanpa izin, dengan dasar Sertifikat Hak Pakai Nomor 7/2016 (yang terbit dengan sejumlah kejanggalan tadi). Delik penyerobotan ini adalah pendirian dua warung semipermanen. Warga, yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Anti Penggusuran, menyebutnya sebagai kriminalisasi. 

Demi mengusut kasus ini, warga—bersama mahasiswa dan pelajar—bolak balik mendemo Polda. Tuntutannya: mereka ingin polisi memberhentikan proses penyelidikan terhadap warga karena sama sekali tak ada aturan apa pun yang dilanggar. 

Tuntutan memang belum dipenuhi. Namun, atas desakan warga, pemeriksaan kini tak lagi di kantor polisi, tapi di rumah Ketua RW 02. 

Itoh, salah satu warga yang dikriminalisasi, sudah beberapa kali diperiksa. 

“Apa Bu Haji takut?” tanya saya.

“Kenapa mesti takut? Saya benar. KAI yang salah,” jawab Itoh, pemilik salah satu warung makan, juga sentra konsolidasi warga. 

Manajer Humas PT KAI Daop II Joni Martinus mengatakan bahwa tanah sengketa itu adalah "milik PT KAI."

“Kalau warga mengklaim itu tanah mereka, ya terserah merekalah. Namanya orang ngaku-ngaku ya bisa aja,” tambahnya kepada Tirto, akhir pekan lalu. 

Menurut Joni, tuntutan warga yang tak mempersoalkan status tanah melainkan hanya proses penggusuran ke pengadilan, adalah bukti warga sebetulnya “mengakui” tanah itu bukan hak mereka. 

“Yang mereka tuntut, kan, kerusakan barang pada saat penertiban. Barang-barang mereka memang rusak. Secara logika, kan, kenapa warga tidak menuntut hak kepemilikan tanah, tapi hanya menuntut ganti rugi? Dari sana semua orang juga, kan, tahu siapa pemilik tanah sebenarnya. Itu tanah PT KAI,” kata Joni. PT KAI terkenal menggusur ribuan pedagang stasiun di jalur Jabodetabek pada 2012-2013.

Apa benar warga tidak punya sertifikat terhadap objek sengketa? 

Jawabannya: ya. Warga hanya memiliki bukti membayar rutin pajak bumi dan bangunan selama puluhan tahun. Namun, menurut Achy, dalam doktrin hukum agraria, mereka yang telah mendiami terlebih dulu suatu lahan dan memelihara serta melakukan kewajibannya seperti membayar pajak akan mendapat “Hak Keutamaan”. Dalam hal ini wargalah yang mendapat hak tersebut. 

“Kenapa sejak dulu warga tidak mengaktakan hak milik kalau memang sudah sesuai semua dengan aturan yang ada?” tanya saya kepada Achy. 

“Ya namanya juga rakyat. Tidak paham. Yang mereka tahu mereka bayar PBB, berarti sudah sah,” Jawab Achy. 

“Terus kenapa yang digugat ke pengadilan soal ganti rugi? Kenapa tidak soal memperjelas status lahannya?” 

Achy menerangkan bagaimana rumitnya mengurus kepemilikan lahan di Badan Pertanahan Nasional: bagaimana kasak-kusus di kalangan advokat dan aktivis Bandung yang menyebut pengurusan sertifikat tanah adalah “lahan basah”, soal siapa saja elite-elite yang “bermain”, dan lain sebagainya. Mereka yang punya uang akan lebih mudah mengurus sertifikat ketimbang warga biasa. 

Yang Tergusur dan Melawan PT KAI Bandung


Kembali Terbentur: Apa Selanjutnya?

Kemenangan warga hanya bertahan beberapa bulan. Pengadilan Tinggi Jawa Barat dalam Putusan Nomor 465/PDT/2017/PT.BDG yang dibacakan pada 5 Desember 2017 memutuskan memenangkan PT KAI pada tingkat banding. 

Menurut majelis hakim, PT KAI "telah melakukan prosedur yang sesuai" sebelum menggusur warga, seperti telah melakukan sosialisasi, peringatan, hingga menawarkan uang "kerohiman". Atas poin bahwa warga membayar pajak bumi bangunan secara rutin, yang buktinya dipegang warga, hakim menyatakannya "bukan bukti kepemilikan atas tanah", melainkan hanya bukti pembayaran. Warga dinilai hakim telah “mendirikan bangunan tanpa izin”, padahal sebagaimana arsip yang dimiliki warga, bangunan didirikan oleh Dinas Pasar Pemkot Bandung. 

Selain itu, status Sertifikat Nomor 7/2016 yang jadi dasar PT KAI ngotot mengusir warga dinilai "tidak bermasalah" oleh majelis hakim pengadilan tinggi. Dalilnya, sebagaimana tertera dalam putusan, segala hak dan kewajiban serta kekayaan dari perusahaan berbentuk lama (PJ KA, Perumka) beralih ke perusahaan bentuk baru (Persero). 

Bahkan, berbeda dari pengadilan tingkat pertama, dalam putusan banding menyebut bahwa sertifikat 7/2016 sebagai Sertifikat Hak Milik, bukan Hak Pakai (tertera dalam putusan banding halaman 58 paragraf 7). Sertifikat Hak Milik sama sekali tidak disinggung dalam sidang-sidang sebelumnya. 

Ketika dikonfirmasi mengenai ini, wakil presiden humas korporat PT KAI Agus Komarudin mengatakan Sertifikat Hak Milik itu “salah ketik”. Ia menjelaskan, tanah ini semula bersertifikat Hak Pakai Nomor 6 Tahun 1998 atas nama PJ KA c.q. Departemen Perhubungan. Lalu, pada 2016, dilakukan “pemecahan”, salah satunya Sertifikat Hak Pakai Nomor 7/2016. 

“Lalu karena PJ KA berubah menjadi PT KAI (Persero), dilakukan pembaruan menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 877 Tahun 2017, yang terbit pada 30 Maret 2017,” kata Agus, 11 Desember lalu. 

Informasi bahwa PT KAI menang gugatan banding ini baru saya ketahui pada 10 Desember, atau lima hari setelah putusan. Pengacara warga baru tahu ketika saya menanyakannya, meski ia telah memprediksi putusan banding memang akan memenangkan PT KAI. 

"Tapi aku belum dapat putusan resmi. Jadi masih tetap nunggu," kata Asri Vidya Dewi, pengacara warga.

Namun, menurut Achy, putusan banding justru semakin memperkuat posisinya. Menurutnya, fakta bahwa dalam putusan banding KAI mengaku akta Nomor 7/2016 adalah hak milik, sementara dalam bukti di persidangan sebelumnya akta tersebut adalah akta hak pakai, adalah indikasi bahwa PT KAI melakukan pemalsuan. 

“Tidak bisa disebut salah ketik karena setiap dokumen hukum menjadi dokumentasi negara. Selain itu, seperti yang saya bilang di awal, proses ‘split’ akta ketika proses sidang tidak boleh. Juga itu di-split dari akta yang sudah habis masa berlakunya [Akta 6/1988),” kata Achy, mengulang argumen yang berhasil memenangkan warga dalam persidangan. 

Hal sama diungkapkan pengacara publik LBH Jakarta, Alldo Fellix Januardy. Proses penerbitan HGB dari Sertifikat Hak Pakai tidak boleh dilakukan ketika tanah sedang jadi objek sengketa. Menurutnya, dalam kasus ini, Badan Pertanahan Nasional yang menerbitkan sertifikat untuk PT KAI harus turut bertanggung jawab. 

“Dalam kondisi sengketa, BPN, meski punya wewenang untuk mengadakan mediasi, tetap harus menunggu putusan pengadilan. Kredibilitas BPN patut dipertanyakan,” katanya. 

Pihak BPN Bandung tidak menjawab ketika dimintai konfirmasi. 

Maka, saat ini, usaha warga membentuk “masyarakat baru” kembali terganjal oleh persoalan hukum. Tapi warga tak menyerah. Mereka akan tetap memperjuangkan apa yang diyakininya.

“Kalau perlu akan demo lagi, kalau pun harus berdarah-darah, kami siap karena mempertahankan hak kami,” kata Itoh. 
Sumber: Tirto.Id 

Kamis, 07 Desember 2017

ABRI Perangi Timor Leste

Martin Luther


Tanggal 7 Desember 1975, ABRI melancarkan perang kolonial terhadap Timor Leste. Sebuah operasi gabungan terbesar meliputi matra darat, laut dan udara dikerahkan menyerbu Dilli yang dipertahankan oleh Fretilin. Benny Moerdani, dalam “Profil Prajurit Negarawan”, menyebutkan:”…dari segi militer, operasi ini tidak terlalu dibanggakan.” 
Alasannya; koordinasi lemah, tidak semua prajurit yang dilibatkan pernah mengikuti latihan gabungan, pesawat yang terbang rendah ditembaki sendiri oleh temannya dari bawah, pasukan payung masih tetap diterjunkan meski pesawat sudah melenceng jauh di atas laut, sebagian pasukan Kostrad malah sempat ditembaki oleh marinir yang sudah mendarat di pantai, logistik tertahan di kapal menyebabkan pasukan yang menguasai kota terlambat menerima perbekalan. Hari itu, Fretilin meninggalkan Dilli dan memulai perang gerilya melawan pendudukan ABRI. Perlawanan ini berakhir tahun 1999.
Timor Leste bukan bekas wilayah Hindia Belanda, dan tidak pernah diklaim sebagai wilayah RI dalam proses2 perundingan dengan internasional sebelumnya, dicaplok oleh Indonesia atas restu Presiden AS Gerald Ford. 
Alasannya, mencegah munculnya pangkalan militer komunis di “Kuba”-nya Asia Tenggara. (Gunn & Lee, A Critical View of Western Journalism and Scholarship on East Timor, JCA Press, Manila, 1994, hlm. 124-127). Padahal motif dibalik itu adalah ekspansi kapitalisme di kawasan strategis dan kaya sumber2 bahan mentah ini. Kekalahan AS di Vietnam merupakan faktor utama mempercepat dilancarkannya pendudukan ini, untuk mempertahankan kepentingan nasional AS di sisi Indonesia. (Geoff Simmons, “Indonesia: The Long Oppression”, hlm. 189).
Pendudukan ABRI atas Timor Leste merupakan bencana kemanusiaan terburuk sesudah Peristiwa 65. Kedua kejadian ini memiliki kaitan; sama-sama bagian dari “Policy of Containment”-nya Amerika Serikat yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh “tentara lokal yang digaji murah”, yaitu ABRI. 
Didalam operasinya, ABRI melakukan tindakan2 brutal dan menimbulkan korban sangat besar di pihak rakyat Timor Leste. Menurut laporan Lopez da Cruz kepada Commissie Justicia et Pax-Nederland, pada permulaan tahun 1976, orang Timor Leste yang terbunuh berjumlah 60.000 orang. Wartawan Perancis Reichle, dalam kurun yang sama menaksir jumlah kematian orang Timor Leste sebesar 75.000. Charleton, wartawan independen pertama yang diijinkan masuk berkeliling Timor Leste menyebutkan angka sekitar 50.000 orang. 
Pada bulan Mei 1977, Menteri Luar Negeri Adam Malik, seorang makelar dari 5.000 kepala rakyat Indonesia yang dipesan oleh CIA, menyatakan:”50.000 atau 80.000 orang Timor-Timur telah mati, tapi apalah artinya ini dibandingkan dengan 600.000 manusia yang ingin menyatukan diri dengan Indonesia.” (Oost Timor Commissie Justicia et Pax-Nederland”, April 1984, hlm. 20). 
Sejak tahun 1975 sampai 1999 jumlah penduduk bangsa Maubere (Timor Leste) yang terbunuh sekitar 200.000 orang, atau hampir sepertiga dari penduduknya. (Mr. Siregar dalam “Tragedi Manusia dan Kemanusiaan”, hlm. 520). Jumlah yang serupa juga disebutkan dalam laporan2 Amnesty Internasional dan ICRC.
Pendudukan terhadap Timor Leste bukan hanya bencana kemanusiaan terhadap rakyatnya. Para prajurit yang ditugaskan kesana atas perintah Suharto, terpaksa menyabung nyawa. Sumber2 di pihak pemerintah menyebutkan, selama pendudukan berlangsung jumlah korban di pihak ABRI kurang-lebih 5.000 orang. Sebagai anak tentara pemegang Satyalencana Seroja, saya meyakini jumlah korban di pihak ABRI melebihi 5.000 orang. 
Diluar itu, ribuan prajurit yang pulang dari Timor Leste, mengalami guncangan kejiwaan dan trauma berkepanjangan. Sewaktu kecil saya sering mendengar kecemasan para tentara begitu mengetahui satuan yang ditugaskan terlebih dahulu ke Timor Leste, “habis” disergap Fretilin. Artinya, kemungkinan untuk dikirimkan kesana semakin besar. Saya juga masih ingat tentang perekrutan besar-besaran calon tamtama untuk menggantikan prajurit2 yang terbunuh di Timor Leste sampai2 tinggi badan ideal untuk prajurit dikurangi dari 160 cm menjadi 157 cm. Rezim Orde Baru (dan yang sekarang) tidak pernah jujur mengenai ini [*]