Ranny Virginia Utami, CNN Indonesia | Rabu, 13/05/2015 10:28 WIB
Juru kampanye Greenpeace
Indonesia, Arif Fiyanto menilai pemerintah Indonesia perlu memikirkan
kembali kelanjutan proyek pembangunan PLTU Batang yang dianggap merusak
lingkungan dan menyengsarakan warga.(CNNIndonesia/Ranny Virginia Utami)
Antarwarga Saling Benci
Nenek, perempuan separuh baya yang juga tinggal di Desa Ponowareng, mengatakan banyak perubahan terjadi semenjak beberapa warga mulai menjual ladang sawah mereka untuk lahan pembangunan PLTU.
Perubahan ini terlihat bagus dari luar. Di Desa Ponowareng, kata Nenek, mulai bermunculan rumah-rumah bagus nan megah. "Warga mayoritas menghabiskan uang mereka dengan memperbagus dan memperbesar rumahnya. Tetapi kemudian uang tersebut lama-lama habis dan mereka menjadi sulit makan," ujar Nenek menyayangkan.
Nenek mengatakan mereka yang menjual lahan kini tak lagi punya pekerjaan. Berbekal tamatan sekolah dasar, mereka ada yang bertani di ladang orang atau beralih menjadi pemotong ikan di tempat pelelangan ikan di Batang, tetapi tak banyak.
"Kebanyakan mereka mengalami stres lantaran menganggur tetapi tidak tahu harus apa dan tidak bisa apa-apa," ujar Nenek.
Kerukunan warga di desa pun ikut terpengaruh. Perbedaan pandangan antara yang pro dan kontra mengenai peralihan lahan sawah menjadi PLTU menjadi satu faktor utamanya.
Menurut Untung, warga yang pro dengan pembangunan PLTU dan telah menjual lahan sawahnya berubah menjadi tidak simpatik kepada warga yang kontra dan belum menjual lahan sawah. "Mereka tidak mau bersosialisasi dengan kami (yang belum menjual lahan sawah). Mereka tidak mau mengobrol dan bahkan saling membenci dengan tetangga," ujar Untung.
Meski sedikit tertekan dengan kondisi ini, Untung tetap berkeras tidak akan menjual ladang sawah miliknya sampai kapanpun. Ia tidak sendiri. Bersama dengan 74 pemilik lahan lain, warga yang kontra dengan pembangunan PLTU akhirnya berhasil mempertahankan lahan seluas 25 hektare sehingga proyek PLTU belum bisa direalisasikan sampai sekarang.
"Kami mempertahankan ini karena ingin menjaga budaya kami. Kami warga kampung yang rata-rata bertani, kami akan terus melestarikan budaya kami hingga anak cucu kami," ujar Untung.
Antarwarga Saling Benci
Nenek, perempuan separuh baya yang juga tinggal di Desa Ponowareng, mengatakan banyak perubahan terjadi semenjak beberapa warga mulai menjual ladang sawah mereka untuk lahan pembangunan PLTU.
Perubahan ini terlihat bagus dari luar. Di Desa Ponowareng, kata Nenek, mulai bermunculan rumah-rumah bagus nan megah. "Warga mayoritas menghabiskan uang mereka dengan memperbagus dan memperbesar rumahnya. Tetapi kemudian uang tersebut lama-lama habis dan mereka menjadi sulit makan," ujar Nenek menyayangkan.
Nenek mengatakan mereka yang menjual lahan kini tak lagi punya pekerjaan. Berbekal tamatan sekolah dasar, mereka ada yang bertani di ladang orang atau beralih menjadi pemotong ikan di tempat pelelangan ikan di Batang, tetapi tak banyak.
"Kebanyakan mereka mengalami stres lantaran menganggur tetapi tidak tahu harus apa dan tidak bisa apa-apa," ujar Nenek.
Kerukunan warga di desa pun ikut terpengaruh. Perbedaan pandangan antara yang pro dan kontra mengenai peralihan lahan sawah menjadi PLTU menjadi satu faktor utamanya.
Menurut Untung, warga yang pro dengan pembangunan PLTU dan telah menjual lahan sawahnya berubah menjadi tidak simpatik kepada warga yang kontra dan belum menjual lahan sawah. "Mereka tidak mau bersosialisasi dengan kami (yang belum menjual lahan sawah). Mereka tidak mau mengobrol dan bahkan saling membenci dengan tetangga," ujar Untung.
Meski sedikit tertekan dengan kondisi ini, Untung tetap berkeras tidak akan menjual ladang sawah miliknya sampai kapanpun. Ia tidak sendiri. Bersama dengan 74 pemilik lahan lain, warga yang kontra dengan pembangunan PLTU akhirnya berhasil mempertahankan lahan seluas 25 hektare sehingga proyek PLTU belum bisa direalisasikan sampai sekarang.
"Kami mempertahankan ini karena ingin menjaga budaya kami. Kami warga kampung yang rata-rata bertani, kami akan terus melestarikan budaya kami hingga anak cucu kami," ujar Untung.
Masih jelas dalam ingatan Untung ketika Presiden Joko Widodo semasa
kampanye dulu seringkali meneriakkan, 'Indonesia harus swasembada
pangan'. Warga pun merasa yakin bahwa Jokowi dapat mempertahankan lahan
mereka yang menjadi target program 7.000 Mega Watt untuk Indonesia di
era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
"Makanya pada pemilihan (presiden 2014 lalu), di sini (Desa Ponowareng) mutlak memilih Jokowi semua," ujar Untung.
Janji dulu tinggal janji. Untung bersama lima warga desa yang terdiri dari empat desa tani, yaitu Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, dan satu desa nelayan, yaitu Roban, menolak pembangunan PLTU Batang. Mereka telah beberapa kali menyuarakan aspirasi mereka dan berusaha menagih janji kepada pemerintah yang katanya pro rakyat kecil. Tidak hanya ke tingkat daerah, pusat ibu kota juga telah mereka datangi meski tanpa hasil.
Mega proyek PLTU Batang memang telah dicanangkan sejak masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono karena termasuk ke dalam program MP3EI. Proyek senilai Rp 50 triliun ini memakan lahan seluas 226 hektare sehingga kerap digadang-gadang akan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara karena mampu menghasilkan energi listrik sebesar 2.000 Mega Watt.
Setidaknya empat tahun telah berjalan, namun proyek PLTU Batang yang digarap oleh PT Bhimasena Power Indonesia (konsorsium dari PT Adaro Power dan dua perusahaan Jepang, J-Power dan Itachu) masih belum juga dimulai karena terkendala pembebasan lahan.
Presiden Joko Widodo pun kemudian menitahkan PT PLN, Gubernur Jawa Tengah dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk dapat menyelesaikan pembebasan lahan hingga akhir Mei ini. (hel)
"Makanya pada pemilihan (presiden 2014 lalu), di sini (Desa Ponowareng) mutlak memilih Jokowi semua," ujar Untung.
Janji dulu tinggal janji. Untung bersama lima warga desa yang terdiri dari empat desa tani, yaitu Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, dan satu desa nelayan, yaitu Roban, menolak pembangunan PLTU Batang. Mereka telah beberapa kali menyuarakan aspirasi mereka dan berusaha menagih janji kepada pemerintah yang katanya pro rakyat kecil. Tidak hanya ke tingkat daerah, pusat ibu kota juga telah mereka datangi meski tanpa hasil.
Mega proyek PLTU Batang memang telah dicanangkan sejak masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono karena termasuk ke dalam program MP3EI. Proyek senilai Rp 50 triliun ini memakan lahan seluas 226 hektare sehingga kerap digadang-gadang akan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara karena mampu menghasilkan energi listrik sebesar 2.000 Mega Watt.
Setidaknya empat tahun telah berjalan, namun proyek PLTU Batang yang digarap oleh PT Bhimasena Power Indonesia (konsorsium dari PT Adaro Power dan dua perusahaan Jepang, J-Power dan Itachu) masih belum juga dimulai karena terkendala pembebasan lahan.
Presiden Joko Widodo pun kemudian menitahkan PT PLN, Gubernur Jawa Tengah dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk dapat menyelesaikan pembebasan lahan hingga akhir Mei ini. (hel)
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150513102134-20-52992/pembangunan-pltu-batang-mulai-intimidasi-hingga-saling-benci/2
0 komentar:
Posting Komentar