Sabtu, 22 Agustus 2015 | 13:48 WIB
Ribuan petani kawasan
Urut Sewu menggeruduk gedung DPRD Kebumen, Jawa Tengah, 8 Juli 2015. TNI
AD telah melakukan pemagaran di lahan konflik sepanjang 22,5 kilometer
dan lebar 500 meter untuk latihan militer. TEMPO/Aris Andrianto
TEMPO.CO,
Kebumen - Bentrok kembali
pecah di tanah Urut Sewu, Kebumen. Petani yang menolak pemagaran lahan
konflik digebuki tentara bersenjata lengkap. Empat menderita luka berat
dan belasan lainnya mengalami luka ringan.
"Saat sedang
menyampaikan aspirasi, tiba-tiba kami diserang," kata Kepala Desa
Petangkuran, Kecamatan Mirit, Kebumen, Muchlisin, Sabtu, 22 Agustus
2015. Ia menderita memar saat dipukuli tentara di depan seorang polisi
yang tak berani melerai. Padahal ia sudah lari menjauh dari lokasi
bentrokan.
Kepala Desa Wiromartan Widodo Sunu Nugroho bocor
kepalanya kena pentungan. Tangannya retak. "Ia tiba-tiba dipukul saat
sedang mempertanyakan legalitas pemagaran lahan," ujar Muchlisin.
Konflik Urut Sewu bermula ketika ada saling klaim tanah sepanjang 22,5
kilometer di pesisir Kebumen. Tanah yang dimanfaatkan untuk lahan
pertanian itu belakangan dipagari oleh TNI AD untuk latihan militer.
Masih menurut Muchlisin, petani tidak membawa apa-apa saat menghadang
pemagaran. Massa mulai berkumpul sejak pukul 07.00. Jumlahnya sekitar
150 orang.
Saat melakukan orasi, tentara bertambah banyak dan
mengepung massa. Mereka lalu digebuki. Massa pun kocar-kacir
menyelamatkan diri. Tentara terus mengejar. "Ibu-ibu hanya bisa menangis
saat dibentak tentara," tuturnya.
Warga yang mengalami luka
berat adalah Widodo Sunu Nugroho, Ratiman, dan Prayogo. Ketiganya dari
Desa Wiromartan. Sedangkan seorang lagi, Rajab, berasal dari Desa
Petangkuran. Lima belas korban lainnya mengalami luka ringan. Kini
mereka dirawat di Puskesmas Mirit.
Agam, aktivis agraria yang
ikut aksi, mengatakan, pada pukul 07.00, massa sudah berkumpul untuk
melakukan penolakan pemagaran lahan. "Kami aksi damai dan hanya
mempertanyakan dasar pemagaran," ucapnya.
Kepala Dinas
Penelitian dan Pengembangan TNI AD Setrojenar Mayor Infanteri Kusmayadi
mengatakan ia sudah melakukan sosialisasi sebelum pemagaran. "Itu bukan
tanah rakyat, tapi tanah negara," katanya dengan nada tinggi.
Ia mengaku sudah jenuh dengan konflik itu. Menurut dia, masyarakat telah
dibohongi sehingga melakukan perlawanan. "Silakan lewat jalur hukum.
Jika kami kalah, kami akan angkat kaki," ujarnya.
Komandan
Distrik Militer 0709 Kebumen Letnan Kolonel Infanteri Putra Widya Winaya
mengatakan ia tidak melarang petani melakukan demo. Kedatangan personel
TNI AD bersenjata laras panjang, menurut dia, hanya untuk pengamanan.
"Bukan untuk menakuti, tapi untuk mengamankan," tuturnya.
Ia
menambahkan, pemagaran tahun ini akan tetap dilaksanakan sepanjang 8
kilometer di lima desa. Pada tahap pertama, pemagaran dilakukan 8
kilometer di enam desa. Total lahan yang akan dipagar mencapai 23
kilometer dengan lebar 500 meter.
Menurut dia, hingga saat ini
TNI terus melakukan komunikasi dengan petani tentang status tanah
tersebut. Ia mengatakan, dari surat Kementerian Keuangan tahun 2011,
tercatat tanah itu adalah aset TNI AD. Sertifikasi juga masih dilakukan.
Putra mengatakan bukti sertifikat tanah sudah dimiliki TNI AD. "Saya
tanya, mana bukti yang dimiliki masyarakat? Tidak ada, kan? Mereka hanya
bilang punya
letter C," ucapnya.
Menurut dia, masyarakat bisa menggugat lewat jalur hukum jika punya bukti. Tidak usah melakukan demonstrasi.
Masih menurut Putra, pemagaran dibuat guna membatasi lahan untuk
latihan dengan tanah milik rakyat. Dengan batas yang jelas, ada prosedur
hukum jika terjadi pelanggaran.
ARIS ANDRIANTO
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/08/22/058694127/warga-urut-sewu-diserang-tni-ad-saat-demonstrasi-4-luka-berat