Jumat, 28 Agustus 2015

Surat untuk Serdadu di Urut Sewu

 Eko Prasetyo | Harian Indoprogress

Kekerasan adalah senjata orang-orang berjiwa lemah (Mahathma Gandhi)
TAK BISAKAH engkau melihat kenikmatan orang bercocok tanam? Diawali dari benih lalu perlahan-lahan berbuah. Di atas tanah yang kauinjak-injak itu banyak orang berhutang harapan. Di sana semangka, melon hingga lombok berbuah. Pada tanah itu penduduk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan. Puluhan tahun mereka melayani tanah dengan kecintaan yang mendalam. Hingga tanah itu merekam jejak kaki dan jerih payah warga. Ikatan mereka bersama tanah itu tak bisa kalian mengerti. Sulit imaginasi kalian meyentuh dunia rohani yang kaya itu. Sukar buat kalian memahami mengapa mereka mencintai tanah itu begitu rupa. Tanah itu telah jadi saksi kehidupan mereka dan mengikat harapan atas masa depan. Di atas tanah itulah mereka lahir dan dimakamkan. Hingga ketika kalian tiba-tiba datang dan ingin menanam beton, tentu saja mereka menolak dengan sengit.
Alasanmu saat itu simpel dan seperti biasanya. Katamu tanah ini milik negara. Artinya tanah itu milikmu. Negara dan serdadu seperti saudara kembar. Dimana ada negara pasti di dalamnya ada serdadu. Saat serdadu datang maka itu artinya negara ada. Kemudian dengan ringan peryataan itu kau sebut berulang-ulang. Di depan penduduk dengan memakai baju seragam. Di hadapan warga dengan bawa senjata. Pendapatmu itu kemudian dibantah. Tanah ini milik warga negara. Yang telah merawat, menanam dan hidup di atasnya. Para petani itu bukan gerombolan bandit. Mereka punya sertifikat. Mereka memiliki alat bukti. Mereka punya cerita mengenai tanah itu. Tapi kau seperti biasa: tak mau diskusi dan tak mau didebat. Argumenmu selalu sama dan diulang berkali-kali: tanah ini milik negara! Sungguh tak habis pikir aku apa maksudmu dengan negara? Bukankah tugas negara adalah melindungi dan menyejahterakan rakyatnya?
Jika negara itu adalah bangunan pagar tentu mencekam sekali wujudnya. Kau bilang pagar itu dibangun setinggi 2 meter dengan total panjang 8 km. Kalian bahkan berencana membuat pagar itu sepanjang 22,5 km. Terdapat tujuh desa yang akan dilintasi pagar: desa Mirit, Petikusan, Tlogo Depok, Tlogo Pronogo, Lembu dan desa Wiromartan. Ketujuh desa itu ada di tiga kecamatan. Tiga kecamatan itulah yang tanahnya mau jadi sasaran: kecamatan Bulupesantren 500 ha, kecamatan Ambal 300 ha dan kecamatan Mirit 350 ha. Total tanah yang mau kaujadikan latihan perang itu 1150 ha yang berada kurang lebih 500 meter dari pantai yang membentang 23 km. Tentu himpunan angka ini nampak sederhana dan gampang. Tapi kalian tahu di atas tanah itulah kehidupan telah lama terajut: petani menanam, anak-anak bermain dan penduduk menyiangi rumput. Kebanyakan di antara mereka warga desa yang sudah terbiasa hidup tentram dan aman. Jika kini akan ada ladang yang dijadikan latihan tempur, kalian sebenarnya harus menjelaskanya dengan sederhana. Siapa yang mau jadi musuh di pertempuran itu? Kenapa tanah mereka yang dipakai? Kondisinya apa memang darurat sehingga latihan harus dilakukan di sana? Rentetan pertanyaan polos itu semustinya kalian jawab terlebih dulu.
Tak suka dengan debat kau memutuskan untuk bertahan dengan keyakinanmu. Pokoknya tanah itu harus di pagar. Sawah itu mau disulap jadi area latihan tempur. Tempat dimana kalian akan coba gunakan senjata dan kerahkan pasukan. Di sana tiap serdadu akan dilatih menembak, memukul dan mempertahankan kedaulatan. Sungguh menakjubkan anggapan kalian tentang diri-sendiri. Hingga dengan tanpa malu pasukan berdatangan untuk mendirikan pagar. Dikawal pasukan dan senjata kalian ingin menciptakan pertempuran. Saat pertanyaan dan gugatan tak digubris, penduduk kemudian datang. Tanpa senjata, tanpa perisai dan tanpa sepatu. Diantarkan oleh lurah pemberani dengan seragam kebesaran negara: kopyah hitam dengan baju coklat. Seragam PNS itu digunakan untuk tugas mulia: bertanya dan menyanggah keinginanmu. Lurah bernama Sunu itu memegang megaphone dan berdiri di hadapan pasukan bersenjata. Lurah Sunu adalah petugas negara dan kalian juga mengaku mewakili negara. Hari itu atribut negara hendak berduel: seragam coklat bertarung seragam serdadu!
22 Agustus 2015: pasukan negara berhadap-hadapan dengan warga negara. Andai Soekarno dan Hatta diberi kesempatan melihatnya: keduanya pasti sedih dan malu. Tak mereka sangka bunyi proklamasi itu dikhianati isinya. Penduduk desa yang berpakaian sederhana dengan baju ala kadarnya itu ingin bertanya pada barisan serdadu: atas dasar apa pemagaran ini berlangsung? Kalian diam dan tak memberi jawaban. Mirip patung kalian hanya berdiam diri tapi geram. Hingga lurah Sunu tiba-tiba dipukul dan kalian tendang. Terkejut, bingung dan takut warga berlarian. Kening Lurah Sunu berdarah hingga pingsan. Segera penduduk membopong lurah yang dicintai oleh warga. Seperti srigala kalian buru lurah Sunu yang tak sadarkan diri. Kelak terbukti: Sunu dipukul hingga keningnya berdarah dan jarinya patah. Seperti kawanan yang haus darah: teman-teman yang membawa Sunu kalian pukuli juga. Pukulan itu memakai apa saja yang kalian bawa: pentungan dan bayonet. Kian kalap, semua yang ada di sekitar sana diburu hingga jarak 300 meter. Perempuan hamil empat bulan ditendang. Pria tua dipukuli. Anak muda dihajar babak belur. Sepeda motor yang ada ikut ditendang. Hari itu penduduk menyaksikan serdadu bertempur beneran. Lawanya bukan siapa-siapa: rakyat kecil yang tak punya senjata apa-apa. Total hampir lebih 20 orang luka-luka.
22 Agustus 2015: kalian bukan latihan tempur tapi kalian sudah bertempur. Melawan penduduk yang tak punya senjata. Menghajar warga yang tak punya apa-apa. Hari itu penduduk menyaksikan beton pagar yang isinya kawat itu seperti masuk dalam tubuh kalian: memburu, memukul dan menghajar petani yang bisanya menanam saja. Tak hanya petani ada 2 lurah yang jadi korban: Sunu lurah Wiromartan dan Mukhlisin lurah Kaibon Petampuran. Mereka tak bawa apa-apa, kecuali pertanyaan dan kekuatiran. Kini penduduk tahu semua jawaban dari pertanyaan mereka: tanah itu adalah medan pertaruhan. Dipertahankan bukan untuk kesejahteraan dan perlindungan tapi untuk kepentingan kekuasaan. Kekuasaan itu ujudnya jelas dan makin terang: senjata, perisai dan pukulan. Kini bangunan kesadaran warga terbit bahwa pertarungan untuk mendapatkan hak harus diperjuangkan dengan darah. Kini mereka seperti disulut keyakinan baru bahwa untuk mempertahankan martabat ternyata bukan melalui jalan debat.

ekoPetani Urut Sewu berhadap-hadapan dengan pasukan TNI. Foto diambil dari http://www.mongabay.co.id

23 Agustus 2015. Seperti biasa kalian tuduh warga kena provokasi. Pernyataan yang jitu dan benar: pasukanmu dan pagar betonmu yang menyulut provokasi itu. Provokasi itu meledak dengan aneka bentuk: memutar sound dangdut dengan maksud menindih suara demonstran, mendatangkan pasukan bersenjata di atas lahan sawah, memakai cangkul hingga buldoser untuk menyapu tanaman hingga muncul preman yang ikut menghardik warga. Provokasi itu makin menjadi-jadi ketika pasukan kalian meyerbu, memukul dan menganiaya warga. Tak terhitung stigma yang coba dicangkokkan pada warga: PKI, Kiri hingga diprovokasi. Entah mengapa begitu gemar kita menjatuhi rakyat sederhana dengan tuduhan dan kecaman. Sedang jika kita mau sedikit melihat kasusnya tentu ada banyak yang bisa dirundingkan: pemagaran itu menggunakan landasan apa? Kepemilikan tanah itu dibuktikan melalui dokumen seperti apa? Dan yang utama, bisakah kita membenarkan lahan subur dipakai untuk menjajal senjata?
Tapi debat dan bicara bukan porsimu. Nyalak senjata dan tuduhan sudah terlanjur jadi dasar kebenaran. Kini warga tak lagi takut untuk bertanya. Bukan karena dihadapi oleh senjata tapi karena mereka tahu kebenarannya. Kekuatan kebenaran bukan karena dukungan tapi juga tekanan dan kekejaman. Kian beringas kau ancam dengan senjata dan penthungan: mereka kian tahu kalau kebenaran itu harus dipertarungkan. Di balik kekuatan protes warga itu ada dukungan yang terus mengalir deras. Sejumlah mahasiswa kini sibuk menggelar aksi, banyak organisasi mulai mengumpulkan data dan catatan kekerasan terus didokumentasi. Yang menakjubkan, bukti-bukti yang merujuk pada kepemilikan warga kini terus disatukan. Buat mereka senjata bukan dilawan dengan peluru tapi oleh sikap kesadaran bersama bahwa mereka punya hak atas tanah itu. Pernyataan mengenai hak itulah yang membuat mereka kini mengail banyak dukungan. Gelombang dukungan itulah yang mungkin tak bisa kalian pukul dan larang. Mirip umpan, kalian semua telah jadi penghuni dari penjara yang bernama kekerasan dan stigma.
Maka jauh lebih baik kalau kalian segera mundur. Robohkan pagar yang merusak tanaman. Singkirkan pasukan yang terus menerus mencoba mengancam. Dan biarkan mereka hidup seperti sediakala: menanam dan percaya kalau tugas sawah itu menghasilkan makanan bukan kekerasan. Karena jika tak kalian biarkan maka warga juga tak mau diam. Bukan kekerasan yang membuat mereka bertahan tapi sikap patriotik membela apa yang dianggap sudah benar. Puluhan tahun bahkan ada yang memiliki kesaksian sahih: tanah itu sejak lama digunakan untuk bercocok-tanam. Kesaksian itu diberikan oleh para tetua desa yang usianya melebihi usia pasukan kalian. Tapi bila kalian tak percaya biarkan pengadilan memutuskannya: mana yang punya alat bukti otentik. Selama belum ada persidangan maka tanah itu sebaiknya dikembalikan pada fungsi utama: bercocok tanam. Dis itu yang menginjak harusnya kaki petani bukan sepatu serdadu. Di sana yang ditanam adalah benih bukan beton.
Itu sebabnya butuh pengusutan. Tak mungkin lurah dipukuli sedang yang mukul boleh pergi sesukanya. Tak bisa lurah ditendang sedang yang melakukan dibiarkan pergi seenaknya. Terlebih ada korban perempuan hamil segala. Sudah jelas Urutsewu bukan kawasan medan laga: rakyat tak layak diburu apalagi dipukuli. Sebab rakyat yang memberi makan serdadu. Mereka hingga hari ini makan nasi yang ditanam oleh padi petani. Mereka pakai senjata yang dibeli dari pajak petani. Mereka pakai seragam yang dibiayai oleh hasil petani. Serdadu tak bisa punya segalanya tanpa rakyat yang biayai. Jika mengingat itu mustinya kalian minta maaf segera. Dari temuan hasil investigasi muka penduduk lebam semua: lenganya kena pukul, jarinya retak, kepalanya ditambal. Kalian tahu siapa mereka? Mereka adalah mayoritas penduduk negeri ini yang selayaknya kalian lindungi. Mereka bukan kumpulan pasukan bersenjata yang mau membangkang pada negara. Mereka orang biasa yang ingin mempertahankan harta miliknya yang sudah lama.
Kini kami tahu harus bersikap seperti apa pada kalian. Menuntut pengusutan itu pasti. Meminta pertanggung jawaban itu juga yang seharusnya. Dan kami ingin katakan pada kalian kalau penduduk dusun itu tak merasa gentar sama sekali. Mereka belajar banyak dari peristiwa ini: kebenaran itu harus dipertaruhkan dengan luka dan pertarungan. Tak ada kamus ketakutan dalam diri mereka. Kini sepertinya mereka mempercayai bahwa mengambil sikap jujur, teguh dan percaya atas apa yang mereka yakini ternyata mahal harganya. Harga itulah yang kemaren mereka bayar: luka-luka. Kini luka itu mungkin beberapa sudah sembuh dan kalian masih juga membangun pagar. Seakan tak terusik dengan guncangan yang ada di sekitar: seolah tak terganggu dengan kecaman yang beredar: sepertinya juga tak peduli dengan pemberitaan. Hingga aku kadang ingin bertanya: kau itu terbuat dari bahan apa?Sehingga benar-benar seperti besi yang tak mau peduli dan bersikap seperti ingin menang sendiri. Jika begitu mungkin memang saatnya kita berhenti bicara dan waktunya kita untuk tak lagi bertegur sapa. Karena jika itu yang terjadi maka prasangka, curiga dan stigma akan hidup dengan leluasa. Jika itu terjadi, pertanyaanya kemudian, apa guna ada negara dan aparatnya?***
Penulis adalah aktivis  Social Movement Institute, Yogyakarta
http://indoprogress.com/2015/08/surat-untuk-serdadu-di-urut-sewu/?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+indoprogress-feed+%28IndoPROGRESS%29

0 komentar:

Posting Komentar