Oleh: Budi Wardoyo
JL F Gang Z2. Sebuah alamat yang mudah diingat, tapi sulit dicari di
tengah labirin pemukiman padat Bidaracina, Cawang. Sebuah rumah
kontrakan berwarna kuning kusam, dan di lantainya tercetak jejak air
bekas banjir. Sebuah rumah berteras kecil, dan terjepit oleh sebuah gang
sempit.
Di rumah itu, persis pada 21 Juli 1996, ada puluhan
anak muda belum berhenti bekerja meski hari menjelang fajar. Segepok
brosur telah rapi tercetak, juga poster dan spanduk teronggok di sudut
sebuah kamar kerja.
Seorang pemuda tampak gusar di dekat mesin
fax yang terus mengeluarkan bunyi bip-bip-bip, dan printer dot matrix
yang tampak sangat lelah mencetak tumpukan dokumen hingga suaranya
menyayat seperti bunyi gergaji mesin.
Ia kehilangan kacamata.
Tubuhnya ceking, berkulit putih, dengan mata kerap dipicingkan ketika
bicara. Seorang kutu buku, tapi ia bisa kerasukan seekor singa jika
melihat mimbar dan massa. "Harus ketemu. Jangan sampai gue salah baca
ntar siang," ujarnya. Dia mengacak-acak rambutnya, menoleh ke kiri dan
kanan. Sesekali mendengus. Lalu melihat tumpukan dokumen fotokopian
terjilid rapi, dan mengambilnya satu eksemplar.
Ia membacanya
lagi, dan lagi. Sebuah tumpahan pemikiran dari perdebatan panjang, dan
tentu saja panas. Ada sebuah kalimat tegas di bagian pembuka, sebuah
manifesto politik dengan intro kelak memantik kemarahan penguasa. "Tak
ada demokrasi di Indonesia", begitu bunyinya. Ia kembali mengacak-acak
rambutnya, dan memicingkan mata. Biasanya ada kacamata tersangkut di
atas kepalanya itu, tapi kini ia lupa menaruhnya di mana.
Seorang
rekannya bertubuh tambun duduk bersila sambil mencatat sesuatu di atas
kertas. Ia memperhatikan si kutu buku yang masih gusar itu. "Begitu saja
lupa. Itu kacamatamu di tepi kusen jendela," ujarnya. Ia bicara dengan
suara tertahan. Bukan karena marah, tapi menjaga sebatang korek api yang
digigit dari entah kapan agar tak terjatuh dari bibirnya.
Si
kutu buku terus membaca. Suara printer belum juga berhenti. Seperti
terus merekam semua jeritan mereka yang ditindas penguasa dan tertulis
di buku pernyataan politik para anak muda itu. Mereka mewakili kemarahan
dari satu generasi yang dibungkam di zaman orde baru. Tiga media
dibreidel dua tahun sebelumnya, aksi buruh ditumpas, para petani dihajar
saat menuntut tanah yang dirampas semena-mena.
Pada siang
harinya, di sebuah kantor tempat para pengacara yang setia memberi
bantuan hukum pada rakyat dihinakan haknya, si kutu buku dan
kawan-kawannya membaca manifesto itu dengan gagah. Besoknya koran-koran
menaruh peristiwa politik langka itu di halaman depan: telah lahir
sebuah partai baru, yang nekad melawan kediktatoran orde baru.
Sepekan kemudian badai politik itu datang. Partai baru itu dituduh biang
kerusuhan pada 27 Juli. Aktivisnya diburu, semua organisasi pendukung
mereka masuk daftar hitam. Si kutu buku ditangkap kurang dari dua bulan
kemudian. Politik kian panas, ketidakpuasan makin merata, rakyat dan
mahasiwa turun ke jalan dengan kemarahan laksana guliran bola bara
raksasa. Mereka, anak-anak muda dari sekujur nusantara itu, terus
membelah diri mirip amuba yang berlipat ganda.
Sampai suatu
hari, setelah dua tahun penuh gejolak, di televisi seorang diktator yang
mendadak ditinggal para pemuja dan penjilatnya, tampil dengan suara
galau menyatakan mundur dari kekuasaan. Lalu sebuah jalan baru terbuka
buat republik: reformasi. Sebuah tatanan politik baru muncul membuka
pintu bagi siapa saja, dan kelak termasuk seorang bekas walikota,
berpeluang menjadi presiden.
Jl F Gang Z2. Sebuah rumah kontrakan
itu masih di sana ketika penghuninya dikejar, ditangkap, dan dipenjara.
Kini mungkin sulit mencarinya di tengah labirin ingatan yang mulai
pudar. Tak ada lagi teriakan printer mirip gergaji mesin. Di tempat itu
suara mereka yang ditindas penguasa pernah dicatat, disuarakan garang,
dan juga berdarah. Ia sejujurnya hanya bermodalkan nyali dan kegilaan
anak-anak muda yang kurang tidur malam. Atau mimpi si kutu buku yang
bahkan lupa di mana kacamatanya disimpan.
https://www.facebook.com/budi.wardoyo/posts/10210367265448991