Ancaman alih fungsi lahan pertanian ke tambang, tambak dan lain-lain terjadi di berbagai daerah di Jawa Tengah. Para petanipun protes agar pemerintah mendengar kekhawatiran warga.
Data BPS Jateng menyebutkan, pada 35 kabupaten/kota Jateng, lahan pertanian mengalami penyusutan mencapai 6,484 hektar dalam 10 tahun terakhir. Belum termasuk lahan pertanian hilang akibat bencana lingkungan seperti rob dan abrasi pantai. Di pekalongan lahan pertanian menjadi tambak sekitar 1.800 hektar dan di Demak 2.000 hektar.
Di Rembang, lahan tani terancam pabrik semen. Pada Selasa (23/9/14), sekitar 30 ibu-ibu berkebaya, berkain panjang dan mengenakan caping. Mereka membawa hasil tani seperti jagung, singkong dan labu dan tuntutan di di depan kantor Pemerintah Rembang.
“Petani tidak butuh tambang. Bebaskan lahan pertanian dari pertambangan. Tolak pabrik semen.” Ini antara lain tuntutan mereka. Warga aksi bisu. Tidak orasi. Mereka melakban mulut.
Sukinah, petani dari Desa Tegaldowo, kepada Mongabay mengatakan, jika pertambangan semen tidak berhenti pasti berdampak pada sumber air mereka. “Kami sudah sejahtera sebagai petani. Pertambangan malah membuat pertanian kami hilang. Pertanian kami subur, hasil tani melimpah dan cukup menyekolahkan anak-anak kami.”
Dia berharap, pemerintah, terutama Gubernur Ganjar Pranowo mendengarkan aspirasi warga. “Tepati janji, Jawa Tengah seharusnya menjadi lumbung padi, bukan untuk pertambangan,” kata Sukinah.
Saat ini, katanya, warga sudah menggugat pemerintah Jateng yang ke PTUN. Seharusnya, pemerintah menghentikan aktivitas pertambangan sampai ada keputusan PTUN.
“Jika janji Pak Ganjar dulu, ingin membuat Jateng ijo royo-royo, dengarkanlah suara kami, cabut izin lingkungan tambang.”
Aan Hidayah, pendamping warga mengatakan, alih-alih memenuhi kebutuhan konsumsi dan pangan nasional, lahan pertanian yang ada tergerus. Banyak peraturan perlindungan kawasan dilanggar. Dimulai pelanggaran RTRW Rembang yang menetapkan kawasan Watu Putih sebagai imbuhan air. Lalu peraturan cekungan air tanah (CAT) yang dilindungi.
“Ini hari ke-100 warga menduduki tapak pabrik Semen Indonesia. Pertambangan semen berdampak hasil tani menurun, dan sumber air pertanian warga hilang.”
Munhur Satyahaprabu dari Walhi Nasional mengatakan, Jateng darurat ekologi. Alih fungsi lahan tinggi, mengancam petani kehilangan pekerjaan dan kerusakan lingkungan.
Data Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Jateng menyebutkan, alih fungsi lahan pangan di Jateng 300–400 hektar pertahun. Ia beralih menjadi industri, perkantoran, kawasan bisnis, perumahan dan lain-lain. “Setidaknya lebih dari 2.240 hektar ditambang, terancam 7.467 hektar.”
Di Batang, Jawa Tengah, ratusan warga dari Desa Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso dan Roban (UKPWR) membentuk formasi bertuliskan “Food Not Coal.” Mereka ingin memperlihatkan penolakan petani dan nelayan terhadap rencana pembangunan pembangkit listrik batubara di Desa Ponowareng, Batang, Jateng.
Pada Selasa (23/9/14), sekitar 87 petani membuat formasi dari kain kuning berukuran 50×50 meter di lahan pertanian produktif yang terancam tergusur rencana PLTU.
Arif Fiyanto dari Greenpeace mengatakan, PLTU Batang mengancam sawah produktif yang panen tiga kali setahun. Program kedaulatan pangan yang disebut-sebut prioritas Presiden terpilih Joko Widodo, terancam. Terlebih, Indonesia masih mengimpor beras.
PLTU Batang, salah satu contoh masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) yang mengancam kedaulatan pangan, budaya pertanian, dan mempercepat laju perubahan iklim global.
“Proyek ini mengancam mata pencaharian puluhan ribu masyarakat petani, nelayan, dan masyarakat lain tergantung dari pertanian dan perikanan tangkap,” katanya saat dihubungi Mongabay.
Menurut dia, yang terjadi di Batang, bukan sekadar pembebasan lahan untuk PLTU. Kisah PLTU ini tentang puluhan ribu nelayan dan petani yang tergusur, berjuang mempertahankan produksi pangan, kehidupan, dan mata pencaharian mereka. “Mereka mempertahankan bumi dari ancaman bencana perubahan iklim yang mengerikan.”
PLTU Batubara juga akan meningkatkan kerentanan Indonesia terhadap perubahan iklim. Ia dapat menghasilkan emisi CO2 sekitar 10,8 juta ton pertahun. Setara emisi Myanmar pada 2009.
Wahyu Nandang Herawan, pengacara publik dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, pemerintah Indonesia harus bersikap bijak dan aspiratif terkait pembangunan PLTU Batang.
Proyek kerja sama pemerintah swasta ini bakal menggunakan lahan 226 hektar. Tercatat sejak awal 2012, warga mulai menolak hingga PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) dua kali gagal memenuhi tenggat waktu pencairan pinjaman investasi yang ditetapkan Japan Bank for International Coorperation. Kondisi ini memaksa BPI mengumumkan keadaan gawat.
Lahan pertanian di Yogyakarta
Penurunan lahan pertanian juga terjadi di Yogyakarta. Halik Sandera, direktur eksekutif Walhi Yogyakarta mengatakan, masalah utama petani ketersediaan air selama musim kemarau. Irigasi beberapa rusak dan tidak berfungsi. Dampaknya, konflik antar warga berebutan air irigasi. Di Pesisir Selatan, pertanian lahan pasir terancam beralih fungsi menjadi tambak udang dan pertambangan pasir besi.
“Padahal, pertanian warga subur dan produktif. Tambak malah merusak pertanian dan menurunkan kualitas dan kuantitas tani.”
Dia menambahkan, MP3EI menjadi ancaman bagi petani. Lahan proyek MP3EI kebanyakan pertanian produktif. “Bagaimana pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan jika lahan pertanian hilang? Seharusnya pertanian menjadi prioritas.”
Menurut dia, keputusan Gubernur tentang 35.000 hektar lahan pertanian berkelanjutan harus dipertahankan.
Sugeng Purwanto, kepala Bidang Perekonomian Bappeda Yogyakarta mengatakan, lahan pertanian, secara luasan cenderung menurun.
Berdasarkan data BPS dan Dinas Pertanian 2013, di Gunung Kidul luas lahan 125.700 hektar (53,3%), Kulon Progo 45.326 hektar (18,9%), Sleman 39.341 hektar (16.4%), Bantul 29.611 hektar (12,3%) dan Kota Yogyakarta 264 hektar (0.1%). Total 240.242 hektar lahan pertanian, dan 56.364 hektar sawah baik irigasi dan non-irigasi.
Sebaran wilayah pertanian di DIY ada di Gunung Kidul dan Kulon Progo (71.2%), sedangkan basis wilayah pertanian produktif (sawah) terletak di Bantul dan Sleman (67,7%). Luas sawah terkonversi setiap tahun dengan laju penurunan lebih dari 200 hektar. “Laju konvseri sawah massif terjadi pada sawah produktif di Bantul dan Sleman. Konversi menjadi permukiman atau perluasan perkotaan.”
0 komentar:
Posting Komentar