Minggu, 20 September 2015

Peta Konflik Ruang Hidup di Yogyakarta

September 20, 2015

Sumber data peta konflik ini diambil dari Forum Diskusi Darurat Agraria DIY (diprakarsai oleh beberapa komunitas warga terdampak sejak 30 Januari 2015, bertempat di KARSA) sebagai salah satu bentuk pemetaan terhadap Masalah Agraria Struktural (MAS) yang terjadi di DIY. Istilah MAS dipilih karena kepentingan masyarakat berlawanan dengan kepentingan kekuasaan pemerintah dan bukan pemerintah yang berpihak pada kepentingan pemodal. MAS yang terhimpun (belum seluruhnya) dikelompokkan sebagai 1) Megaproyek karena melibatkan modal besar, berdampak luas dan berkelanjutan, dan 
2) non-megraproyek karena melibatkan modal menengah hingga kecil, berdampak sempit dan cenderung tidak berkelanjutan. MAS yang bukan megaproyek dapat menjadi megaproyek jika berada dalam kesatuan wilayah sosial dan ekologis.




KETERANGAN

1. Nama proyek: Pertambangan pasir besi dan pembangunan pabrik baja (Megaproyek)
     Lokasi                 : Kulon Progo
     Luas/jumlah        : 22 km x 1,8 km, 3 Kecamatan (6 desa), ± 30.000 jiwa
     Waktu                 : 2006 - sekarang
     Aktor penyebab : PT JMI (Rajawali Grup), Pakualaman, Kabupaten, Presiden
     Akar rumput        : Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP KP)
         
Rencana pertambangan pasir besi dan pabrik baja merupakan salah satu proyek MP3EI yang berbiaya 600 juta dollar. Menurut Kontrak Karya PT JMI dan Presiden diwakili Menteri ESDM (2008) pendapatan negara bukan pajak dari megaproyek ini sebesar 3 % untuk RI dan 97 % untuk pemodal. Isu yang dimainkan pemerintah dan pemodal adalah : tanah yang ditetapkan sebagai konsesi tambang ialah PAG (Pakualaman Grond/tanah Pakualaman), PT JMI dimiliki oleh keluarga Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman, dan peningkatan PAD. Dalam upayanya melegalkan proyek, pihak penambang melakukan berbagai langkah hukum dan politik, antara lain: intimidasi dan terror dengan perusakan rumah warga dan pembakaran posko (2008) dan ancaman pidana pada petani yang enggan menyerahkan tanah (2015), kriminalisasi terhadap petani (Tukijo divonis 3 tahun); AMDAL (2011); dan perumusan Rancangan UU Keistimewaan yang menjamin kepemilikan tanah Pakualaman. Proyek ini masih terhambat oleh pengadaan lahan karena lahan non milik yang ditetapkan sebagai konsesi belum disertifikatkan atas nama hak milik Pakualaman. 

   
2. Nama proyek: Pembangunan Bandara Internasional (Megaproyek)
     Lokasi  : Kulon Progo
     Luas/jumlah  : ± 11.000 jiwa, 6 desa
     Waktu : 2012- sekarang
     Aktor penyebab: Kadipaten(PA), Kabupaten, PT Angkasa Pura, PT GVK (India)
     Akar rumput : WahanaTri Tunggal, Forum Rembug Warga Transparansi (FRWT), Masyarakat Peduli Kulonprogo (MPK) 
          

Rencana pembangunan Bandara Internasional merupakan salah satu proyek MP3EI dengan nilai modal 500 juta dollar. Isu yang dimainkan pemerintah adalah peningkatan PAD; kebanggaan daerah; dan status tanah PAG. Saat ini rencana tersebut sedang memasuki konsultasi publik sebagai bagian dari studi kelayakan. Untuk menandingi penolakan warga, pemerintah melakukan berbagai upaya antara lain:membentuk kelompok akar rumput tandingan (MAP dan FRWT) yang mendorong kompromi sebagai bentuk resolusi konflik dan kriminalisasi terhadap warga yang melakukan aksi protes (2015). Tahap terpenting dari proyek ini adalah pembebasan lahan atau pengadaan lahan yang akan dipermudah ketika sertifikasi tanah PA usai dilakukan.


3.      Nama proyek      : Penggusuran pemukiman warga
         Lokasi                 : Parangkusumo
         Luas/jumlah        :  ± 5000 jiwa
         Waktu                 : 2007- sekarang
         Aktor penyebab : Kasultanan, Kabupaten
         Akar rumput       : Aliansi Masyarakat Menolak Penggusuran (ARMP)
         
Penggusuran di sebagian kawasan Parangkusumo terjadi pada 2007 dengan isu pembersihan aktivitas prostitusi (Perda Kabupaten Bantul No 5 Tahun 2007), namun perluasan penggusuran terhenti karena perlawanan warga. Akar permasalahan terdapat di tingkat propinsi, namun konflik struktural dialihkan ke tingkat kabupaten karena ijin telah dilimpahkan. Saat ini warga yang bertahan masih dihantui ancaman penggusuran dengan alasan: tanah SG (Sultan Grond) dan proyek pariwisata mewah(Bali ke-2). Untuk menghindari eksekusi dengan isu prostitusi, warga merintis usaha lain yang tidak terkait dengan dunia hiburan, antara lain: pertanian dan tambak udang. Bentuk perlawanan yang dilakukan antara lain adalah: strategi kebudayaan (labuhan, ketoprak lesung, dan poster perjuangan), aksi massa, dan produksi kertas posisi/kronologi kasus oleh warga.    


4.      Nama proyek      : Perampasan hak tanah melalui pembatalan hak milik atas tanah
         Lokasi                 : Pundungsari, Kecamatan Semin, Gunungkidul
         Luas/jumlah        : ± 150 persil (sertifikat)
         Waktu                 : 2010
         Aktor penyebab : Kasultanan, BPN Kabupaten Gunungkidul
         Akar rumput       : masyarakat desa Pundungsari
         

Pada 2009-2010 BPN melakukan program PRONA secara nasional, tanah-tanah yang belum bersertifikat didaftarkan untuk diterbitkan sertifikat Hak Milik. Di Pundungsari, ± 150 sertifikat hak milik yang sudah diterbitkan dibatalkan statusnya oleh BPN atas permintaan Kasultanan (melalui lembaga pertanahan kraton/Panitikismo) dengan alasan asal-usul tanah tersebut adalah tanah SG. Pembatalan tersebut sepihak karena tanpa melalui proses hukum: status Hak Milik dicoret dan ditulis ulang Hak Pakai. 

5. Nama proyek       : Penggusuran sekelompok warga    
    Lokasi                  : Suryowijayan    
    Luas/jumlah         : ±500 m2, 5 warga    
    Waktu                  : 2012    
    Aktor penyebab  : Kasultanan    
    Akar rumput        : Masyarakat Suryowijayan    
   
Bermodal surat ijin kraton (serat kekancingan) 5 warga Suryowijayan yang berprofesi sebagai pedagang kecil dan pengayuh becak menempati persil di tepi Jalan Suryowijayan No 20 Yogyakarta yang diklaim sebagai tanah SG sejak tahun 1970-an. Pada 2012 masa berlaku surat ijin habis, sehingga mereka mengajukan perpanjangan ke Panitikismo. Permohonan mereka ditolak dengan alasan lahan yang mereka tempati termasuk Region of Interest (ROI). Namun, seorang warga bermodal kuat diijinkan oleh Panitikismo untuk menempati lahan yang sama. Didampingi pengacara, kelima warga memohon kebijaksanaan kraton namun gagal. Mereka digugat oleh pemegang surat ijin dan dinyatakan kalah. Aksi menduduki halaman DPRD DIY tidak mendapat tanggapan. Mereka pulang dan mendapati pemukiman mereka telah digusur. Putusan MA memenangkan pihak pemegang surat ijin dari kraton. Saat ini kelima warga menderita stroke dan tinggal di rumah saudara masing-masing.    

6.  Nama proyek : Pembangunan Apartemen di kawasan padat penduduk        
      Lokasi: Jalan Kaliurang km 5        
      Luas/jumlah : 16.763m2 (luas bangunan apartemen), 1.660 m2 (luas lahan), kedalaman sumur 60m  (mata air konsumsi warga pada kedalaman 10 m)        
        Waktu : 2014-sekarang        
        Aktor penyebab  : Kabupaten, PT. Bukit Alam Permata        
        Akar rumput : Paguyuban Warga Karangwuni Tolak Apartemen Uttara (PWKTAU)        


Kasusini tampak ke permukaan sebagai permasalahan tata ruang kota, namun permasalahan laten yang mengancam adalah penguasaan ruang publik oleh pemodal, terutama bisnis properti. Apartemen berdiri di tas tanah eks hak milik warga. Keberadaannya dikhawatirkan mengganggu kehidupan sosial dan keberlanjutan ekologis warga di sekitar apartemen. Penolakan warga dilakukan dengan berbagai aksi hingga terjadi kriminalisasi terhadap warga dan pendukungnya akibat rusaknya banner iklan apartemen yang diklaim bernilai 100 juta rupiah pada saat aksi massa.


7.  Nama proyek : Perampasan hak tanah melalui perubahan status hak guna bangunan        Lokasi                  : Jalan Solo, Kotabaru, Malioboro       
     Luas/jumlah         : 2 sertifikat(yang diketahui karena kesediaan korban)       
     Waktu                  : 2014       
     Aktor penyebab  : Kasultanan, BPN Kabupaten/Kota       
     Akar rumput        : Masyarakat       


Hak Guna Bangunan (HGB) dapat diterbitkan di atas tanah negara atau hak milik. HGB yang terbit karena konversi Hak Barat (Recht Van Opstal/RVO) diubah statusnya dari HGB di atas tanah negara menjadi di atas nama SG/PAG karena RVO diklaim berasal dari pemberian kraton. HGB yang diterbitkan dari SK Gubernur untuk seluruh tahun juga terkena kebijakan penghentian perpanjangan, pengalihan hak, dan peningkatan hak dengan dalih pelaksanaan UUK menurut Surat Gubernur No 593/4811 (12 Nopember 2012) dan No 593/0708 (15 Februari 2013). Akibat jangka pendek dari penghentian perpanjangan HGB ini adalah batalnya kekuatan hukum dari HGB yang dijadikan agunan bank, karena tidak dapat dijaminkan atau penjaminnya bukan Badan Hukum Kasultanan (swasta). Akibat jangka panjangnya, apabila HGB di atas tanah negara tidak dapat diperpanjang maka ijin usaha tidak diterbitkan. Bangunan di kawasan strategis di DIY mayoritas berstatus HGB.


8.   Nama proyek      : Revitalisasi kantor kepatihan yang berdampak penggusuran
      Lokasi                 : Suryatmajan
      Luas/jumlah        : belum diketahui
      Waktu                  : 2012-sekarang
      Aktor penyebab  : Pemerintah Propinsi
      Akar rumput        : Paguyuban Warga Suryatmajan

Penduduk di sepanjang Jalan Suryatmajan Yogyakarta di sisi utara jalan, meliputi 3 RT,  terancam penggusuran akibat revitalisasi kantor kepatihan. Revitalisasi yang dimaksud adalah pemindahan gerbang kantor dari menghadap Jalan Malioboro (menghadap ke barat) jadi menghadap ke Jalan Suryatmajan (menghadap ke selatan). Alasan revitalisasi adalah filososfi bahwa setiap bangunan harus menghadap keraton sebagai wujud pengabdian kepada Sultan. Akibat anjut dari revitalisasi ini adalah semua bangunan di Jalan Suryatmajan sisi utara harus dibersihkan agar kantor terlihat. Sebagian tanah berstatus HGB (60%) dan Hak Milik (40 %). Warga membentuk Paguyuban dan menempuh jalur hukum didampingi pengacara.


9. Nama proyek      : Diskriminasi rasial/etnis melalui Pelarangan Hak Milik atas tanah
    Lokasi                 : Seluruh DIY
    Luas/jumlah        : belum diketahui
    Waktu                  : 975-1984 dan 1998-sekarang
    Aktor penyebab  : Gubernur, BPN Kanwil
    Akar rumput        : masyarakat keturunan etnis India, Indoeropa, dan Tionghoa

Pemberlakuan Instruksi Kepala Daerah No K 898/I/A/1975 berdampak pada diskriminasi dalam hal hak milik  tanah berdasarkan pertimbangan etnis/ras bukan kelas sosial. Akibatnya, setiap orang yang terbukti keturunan etnis tertentu tidak berkesempatan mempunyai hak milik atas tanah secara turun-temurun. Kebijakan ini hanya berlaku di DIY dan dikukuhkan dengan: Surat Pemda Propinsi DIY  No 593/00531/ROI/2012 (8 Mei 2012); Surat Gubernur No 430/3703 (15 Nopember 2010); Surat Plt Kepala Kanwil BPN DIY No 287/300-34/BPN/2010; Surat Kepala Kanwil BPN DIY No 640.05/24.99/BPN/2000 (26 Oktober 2000); dan Surat Kepala kantor BPN Kabupaten Bantul No 640/922/2000 (9 Nopember 2000). Terkait diskriminasi rasial/etnis ini telah terbit Surat Rekomendasi KOMNAS HAM No 037/R/Mediasi/ VIII/2014 tertanggal 11 Agustus 2014 yang isinya seruan kepada Gubernur untuk mencabut/menyatakan tidak berlaku lagi nstruksi Kepala Daerah 1975. Rekomendasi ini tidak ditanggapi oleh Gubernur.

10. Nama proyek : Perampasan hak tanah milik desa melalui pembalikan nama sertifikat tanah desa (Megaproyek)        
      Lokasi                 : DIY (keseluruhan)       
      Luas/jumlah        : (belum diketahui)       
      Waktu                 : 2014       
      Aktor penyebab : Gubernur       
      Akar rumput       : Masyarakat desa      

UU Desa mengamanatkan tanah desa disertifikatkan sebagai hak milik desa (badan hukum publik). Hal itu tidak terjadi di DIY karena Gubenur menerbitkan Pergub DIY No 112 Tahun 2014 tentang Pemanfaatan Tanah Desa yang mewajibkan pemerintah desa melalui bupati melakukan permohonan balik nama atas sertifikat tanah desa di wilayah masing-masing: dari milik desa menjadi milik Kasultanan/Kadipaten Pakualaman sebagai badan hukum warisan budaya (swasta), dengan alasan asal-usulnya adalah tanah SG/PAG. Akibatnya, kekayaan desa beralih menjadi milik swasta yang dilindungi Gubernur dan akan memengaruhi penataan ruang yang berdampak sosial ekologi secara luas.

http://www.koran-gerak.com/#!Peta-Konflik-Ruang-Hidup-di-Yogyakarta/cjds/5703468b0cf27bf9349b7cc0

0 komentar:

Posting Komentar