Sabtu, 26 September 2015

Quo Vadis Reforma Agraria?

Sinar Harapan, 26 September 2012 | Noer Fauzi Rachman*]
Pada perayaan Hari Tani 24 September 2012 kemarin, lebih dari sepuluh ribu petani dan aktivis berdemonstrasi, termasuk di depan kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN), Jakarta, menuntut BPN di bawah kepemimpinan Hendarman Supandji untuk tanggap terhadap masalah yang dihadapi oleh petani, khususnya yang hidup dalam konflik-konflik agraria. Lebih dari itu, para demonstran menuntut BPN menjalankan reforma agraria sebagai jawaban atas struktur penguasaan tanah yang semakin hari semakin timpang saja. Menurut penulis, demonstrasi semacam ini akan terus menerus berlangsung karena tidak adanya penyelesaian yang adekuat, menyeluruh dan tuntas terhadap kasus-kasus konflik-konflik agraria yang bersifat struktural, kronis dan berdampak luas.
Artikel pendek ini hendak menunjukkan bahwa apa yang disebut Reforma Agraria telah diagendakan dan dijalankan oleh BPN di bawah kepemimpinan Joyo Winoto (2005-2012), namun tidak memperoleh dukungan yang memadai dari kementerian lainnya, dan juga dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Reforma Agraria” yang dirancang oleh BPN terdahulu mensyaratkan kerjasama lintas kementerian, setidaknya Kementrian Kehutanan dan Kementrian Pertanian. Namun, kerjasama ini tidak berjalan karena masing-masing badan pemerintahan memiliki dan terus memelihara “ego sektoral”, suatu kecenderungan dari suatu badan pemerintah untuk hanya memenuhi kepentingan lembaga/sektornya sendiri-sendiri tanpa perduli dengan kepentingan lembaga/sektor lainnya. Yang juga tidak terjadi adalah upaya Presiden SBY untuk mengkordinasikan dan mensinkronkan kepentingan yang berbeda-beda dari badan-badan pemerintah untuk menjalankan Reforma Agraria tersebut.
Agenda redistribusi tanah 8,15 juta hektar tanah-tanah negara yang berada dalam “kawasan hutan negara” yang tergolong hutan produksi Konversi (HPK) yang terletak di 474 lokasi di 17 provinsi – tak berjalan sama sekali. Menurut Laporan Persiapan Pelaksanaan PPAN BPN 2007, dari keseluruhan Hutan Produksi Konversi (HPK) yang berjumlah 22.140.199 ha, di dalamnya telah dikuasai masyarakat lokal seluas 13.411.025 hektar, atau lebih dari 60 persen (Badan Pertanahan Nasional 2007:56). BPN memiliki detil data dan peta tanah seluas 8.15 juta hektar itu. Sayangnya, komunikasi dan koordinasi BPN dengan Kementerian Kehutanan mengenai agenda tersebut sama sekali tidak memadai. Kementerian Kehutanan tidak bersedia memenuhi agenda ini, dan tetap mempertahankan diri sebagai ‘tuan tanah negara’ terbesar, melalui penguasaan sekitar 70 persen wilayah Republik Indonesia dalam “Kawasan Hutan Negara”.
Kementerian Pertanian pun tidak mendukung program Reforma Agraria yang diinisiasi BPN tersebut. Alih-alih menyokong segala upaya memberdayakan petani penerima tanah-tanah yang diredistribusi oleh BPN dengan segala fasilitas, asistensi, kredit, dan bentuk-bentuk “access reform” lainnya untuk membuat tanahnya produktif, efisien dan berkelanjutan, Kementerian Pertanian menjalankan skema-skema baru untuk menggenjot produksi pangan, terutama beras, dalam program food security, mengagendakan RUU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang kemudian menjadi UU No. 41/2009, hingga memfasilitasi perusahaan-perusahaan raksasa untuk membuat perkebunan-perkebunan baru untuk produksi makanan dan energi, termasuk yang paling luas: Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Selain dari Kementerian Kehutanan dan Pertanian, hambatan utama lainnya adalah tidak disetujuinya usulan BPN untuk membentuk Lembaga Pengelola Reforma Agraria, suatu badan otorita khusus yang dirancang mengurus segala sesuatu berkenaan dengan upaya merencanakan hingga memberdayakan para penerima tanah objek land reform dan membuat tanah-tanah yang diredistribusikan itu produktif dan bisa dikelola secara berlanjutan. Namun, pembentukan Badan yang diancangkan berbentuk “Badan Layanan Umum” (BLU) ini, yakni suatu jenis badan usaha pemerintah yang tidak ditujukan untuk kepentingan profit, tidak berhasil memperoleh otorisasi dari Departemen Keuangan sehubungan dengan keharusan untuk menunjukkan bahwa badan ini tidak akan terus-menerus bergantung pada dana APBN, melainkan sanggup secara terus-menerus hidup dari perputaran uang yang bermula dari modal awal yang akan diberikan pemerintah. Walhasil, ide Lembaga Pengelola Reforma Agraria ini kemudian dihilangkan dari draft RPP Reforma Agraria, yang juga belum tuntas dijadi peraturan pemerintah hingga Joyo Winoto diganti oleh Hendarman Supandji.
Dengan keterbatasan ini, pada prakteknya apa yang disebut Reforma Agraria oleh Joyo Winoto adalah suatu skema legalisasi hak atas tanah melalui jalur “pemberian hak di atas tanah negara”, dimana diagendakan sekitar 1,1 juta hektar tanah negara yang berada di bawah jurisdiksi BPN. Sumber lain untuk “redistribusi tanah” adalah “tanah-tanah terlantar”. “Tanah-tanah terlantar” adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Hasil identifikasi BPN luasan “tanah terlantar” tersebut mencapai 7.386.289 hektar” terdiri dari Hak Guna Usaha 1.925.326 ha, Hak Guna Bangunan 49.030 ha, Hak Pengelolaan 535.682 ha, dan tanah dengan ijin lokasi dan lainnya 4.475.172 ha (Sumber Data: Deputi Pengendalian Tanah dan Pemberdayaan Masyarakat, BPN 2009).
Untuk melakukan pengambilalihan keseluruhan “tanah terlantar” ini, BPN membuat PP No. 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayaguaan Tanah Terlantar. Sebagai pasangannya BPN memprakarsai RPP tentang Reforma Agraria yang memuat ketentuan kategori asal tanah yang akan diredistrribusikan, yang disebut sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), kriteria penerima TORA, dan mekanisme distribusinya, hingga pemberdayaan subjek yang menerima TORA. Namun, berbeda dengan RPP tentang tanah terlantar yang berhasil selesai menjadi PP No 41/2009, RPP RA tidak berhasil menjadi PP.
Penulis kerap bertanya pada pejabat-pejabat di BPN mengenai mengapa RPP ini tidak kunjung dibahas di Rapat Kabinet dan disetujui? Dari waktu ke waktu saya mendapatkan jawaban bahwa dukungan politik atas Reforma Agraria kurang memadai, dan menggantungkan pada hubungan antara Joyo Winoto dengan Presiden. Presiden pun tidak menggunakan kewenangannya untuk membuat RPP itu terwujud menjadi PP.
Quo vadis Reforma Agraria?
___
*] Noer Fauzi Rachman PhD adalah Direktur Sajogyo Institute, Penasehat pada Kemitraan untuk Pembaruan Tata-Pemerintahan, Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria, dan dosen luar biasa di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor (IPB).

0 komentar:

Posting Komentar