oleh Angga Yudhi · September 15, 2015
2013 akan selalu menjadi tahun yang
diingat oleh petani Desa Wiromartan Kecamatan Mirit Kabapaten Kebumen.
Untuk pertama kalinya, sejak sengketa tanah dengan TNI AD akhir 90-an
pecah di Pesisir Urut Sewu, wilayah yang mencakup 3 kecamatan dan 15
desa di kabupaten yang sama, mereka berhasil memenangkan seorang lurah
yang berpihak kepada petani. Kemenangan tersebut lebih dari sekedar
kemenangan politik. Ia sekaligus kemenangan moril bagi petani yang dua
tahun sebelumnya diberondong tembakan oleh TNI AD hanya karena menuntut
hak atas tanah hingga mencederai beberapa orang.
Lurah tersebut adalah Widodo Sunu.
Usianya baru 34 tahun waktu terpilih menjadi lurah. Ia pernah mengenyam
pendidikan tinggi di Yogyakarta sampai kemudian memutuskan pulang ke
kampung halaman setelah muncul upaya penambangan pasir besi oleh PT
Mitra Niagatama Cemerlang sekitar tahun 2007. Saya bertemu Sunu,
demikian ia biasa dipanggil, pertama kali pada pertengahan tahun 2013,
tidak lama setelah ia terpilih sebagai kepala desa.
Sunu adalah satu dari tujuh lurah di
wilayah Urut Sewu yang menjadi simbol perlawanan petani melawan TNI AD.
Ia juga merupakan koordinator Urutsewu Bersatu, sebuah organisasi
masyarakat yang berusaha menyatukan semua Urutsewu (terutama pesisir
selatan Kebumen) dalam menghadapi persoalan konflik tanah dengan TNI.
Posisi ini membuat dirinya senantiasa berada di garis depan dalam setiap
aksi demonstrasi warga.
Sabtu 22 Agustus lalu konflik petani di
desa Wiromartan melawan TNI AD kembali pecah. Para petani melakukan
demonstrasi menolak pemagaran yang dilakukan tentara di sepanjang
pesisir Urut Sewu. Penolakan yang terjadi kesekian kalinya ini berawal
dari klaim TNI AD atas tanah sepanjang 22,5 kilometer dari Kali Mawar
hingga Kali Lok Ulo dan 500 meter dari bibir pantai. Beberapa perwakilan
warga sempat berorasi, temasuk Widodo Sunu, kurang lebih setengah jam
sebelum akhirnya dibubarkan paksa oleh tentara. Pembubaran diwarnai
pemukulan oleh tentara hingga mencederai beberapa warga. Sunu menjadi
salah satu korban yang mengalami luka berat.
Sehari pasca pemukulan, saya bersama
Muhtar Habibi datang ke Urut Sewu untuk menyampaikan dukungan Islam
Bergerak kepada para petani yang menjadi korban. Kami juga bermaksud
mewawancarai Widodo Sunu. Sayangnya, kondisi fisik Sunu tidak
memungkinkan. Ia masih mengalami trauma berat pasca pemukulan.
Kesempatan wawancara akhirnya datang
pada 1 September ketika MAP UGM mengundang Lurah Wiromartan itu dalam
rangkaian acara diskusi sekaligus dukungan kepada warga Urut Sewu. Saya
mewawancarainya setelah acara. Kali ini ia dalam kondisi fisik dan
mental yang jauh lebih baik dari delapan hari sebelumnya.
IB: Bagaimana kondisi Urutsewu saat ini?
Sunu: Sekarang pemagaran terus berlanjut
IB: Kondisi Mas Sunu sendiri?
Sunu: Kondisi saya sehat.
IB: Bisa ceritakan sedikit tentang pemukulan TNI terhadap Anda pada tanggal 22 lalu?
Saya tidak tahu berapa kali dipukul karena beruntun. Banyak pemukul dan banyak kali. Kalau lihat videonya kan kayak dikepung.
Kepala bocor dan jari kelingking patah. Terus dioperasi dan dipasangi
Pen. Butuh enam bulan untuk bisa diambil pen-nya lagi. Jadi untuk
normalnya lagi ini enam bulan. Untuk kondisi teman-teman saat ini, yang
jadi korban kemarin, yang kena pukulan di kepala masih merasakan pusing.
Terus ada yang kena popor senjata, yang punggungnya retak, ia masih
sakit. (Mereka) Belum bisa bekerja sampai sekarang.
IB: Ada tanggapan dari pihak militer setelah kejadian itu?
Sunu: Sampai saat ini tidak ada
tanggapan dari pihak TNI baik atas pemukulan itu maupun konflik
agrarianya. Jadi kemarin Danramil datang. Pas saya tanya program itu
(pemagaran), programnya siapa dan dari mana, dia cuma bisa jawab, “dari
atas”. Tapi dari divisi apa dan sebagainya, ia tidak bisa menjelaskan.
Jadi sampai sekarang saya juga tidak tahu itu. Kita juga tidak ada yang
tahu sebenarnya siapa itu (yang memiliki program). Edan ra? (Gila
tidak?) Haha. Tidak boleh negara seperti itu. Program pemerintah harus
bertanggungjawab dan jelas. Lah ini mengatasnamakan pemerintah tapi
tidak jelas. Harusnya pemerintah memberi contoh tho. Program
itu ya yang baik. Kita saja mau bangun apa-apa dituntut semuanya jelas.
Kalau kita mau bangun gedung, kita dituntut untuk kejelasan status
tanahnya. Tapi TNI membangun tidak ada kejelasan. Soal tanahnya itu
belum jelas. Dokumennya tidak ada.
IB: Pesan Anda atas perlakuan TNI?
Saya pikir ini perlu ada perbaikan yang menyeluruh terhadap TNI. Lho, ternyata
di Indonesia itu struktur militer itu khas, tidak lazim. Harus ada
upaya untuk membenahi. Pembenahan supaya tidak ada lagi benturan. Saya
pernah dengar, lupa di mana, TNI itu ibarat anjing penjaga. Tapi bukan
berarti TNI anjing ya. Ibaratnya, serdadu itu seperti anjing penjaga.
Dan mereka itu dididik destruktif, untuk merusak. Karena perang itu kan
kegiatan merusak. Ora ono perang mbangun mejid, ora ono (tidak
ada perang membangun masjid. tidak ada). Perang itu ya merusak.
Didikannya didikan merusak, makanya mereka kalau ngomong aja keras.
Kalau mbentak orang, enteng. Mbuh itu siapa, mbentak-mbentak sak geleme dewe (Tidak
tahu itu siapa, membentak-bentak seenak sendiri). Dia cetakan pabriknya
untuk merusak. Maka menjadi sangat berbahaya ketika dia bersentuhan
dengan masyarakat sipil. Diibaratkan anjing penjaga itu, dia kan dididik
untuk galak menyerang. Maka dia harus dikerangkeng. Pada saat
dibutuhkan dia dikeluarkan untuk menyerang. Tapi pada saat tidak
diperlukan, ya masuk kandang. Perlu ada batas yang jelas antara wilayah
sipil dan militer. Masak TNI sekarang ngurusi bangun TPQ, ngurusi
pertanian, jadi pendamping pertanian. Kayak nggak ada orang lain aja.
Jangan digabung-gabung seperti itu lah. Disendirikan saja. Spesialis
perang. Mereka dibayar untuk itu. Nanti kalau sudah purnawirawan monggo
berbaur lagi jadi masyarakat biasa. Jadi perlu ada penataan sistem yang
serius di TNI supaya tidak terjadi kekerasan-kekerasan dan sebagainya.
Karena faktanya ketika kondisinya seperti sekarang ini, TNI seolah-olah
pihak yang tidak bisa disentuh oleh siapa pun ketika berbuat salah. Ngono kui faktane, percoyo tho. Jadi ketika kita diserempet sama tentara, ya sudah jangan harap dapat keadilan.
IB: Kawan-kawan Urutsewu kan
sudah mengupayakan banyak hal demi memperjuangkan tanah, dari mediasi
di tingkat kabupaten hingga bertemu presiden Jokowi, apalagi yang
kira-kira kawan-kawan akan lakukan?
Sunu: Prinsipnya kami sebagai warga Nahdhatul Ulama ini ya harus nahdhah.
Harus bangkit. Apapun yang terjadi itu harus bangkit memperjuangkan
kebenaran. Ndak penting kapan itu akan tercapai. Harus diperjuangkan.
Dari perjuangan itu kita dapat banyak hal.
IB: Mengingat warga Urutsewu
adalah mayoritas warga NU, apakah NU secara institusi pernah memberi
tanggapan atau respon terhadap konflik di Urutsewu?
Sunu: Secara institusi tidak. Belum
pernah ada itu dari NU secara institusi. Tapi NU kultural ada. Artinya
warga NU, kyai NU itu mendukung gerakan kita. Tapi NU secara organisasi,
samasekali tidak ada. tidak ada dukungan. Artinya apa? Kita punya
kekuatan itu dari doa-doa yang kita panjatkan bersama para kyai itu. Itu
yang esensi. Kalau perlu PBNU dibubarkan saja. Ora ono gunane kok, nggo ngopo sih. Jal saiki gunane opo PBNU?
(tidak ada gunanya PBNU, buat apa sih. Coba sekarang gunanya PBNU apa?)
Kan tidak ada. Jadi biarlah NU itu kultural saja lah. Tidak perlu
bersaing dengan Muhammadiyah dan PKS. Ora perlu, kultural wae. Organisasi tanpa bentuk kok. Hahaha
IB: Ada rencana sowan ke PBNU terkait masalah di Urutsewu?
Sunu: Tidak! saya menantang PBNU untuk
datang. Kita yang susah kok malah kita yang repot terus sih. Mbok mereka
datang “ada masalah apa mas?” begitu. “Apa yang bisa kami bantu selaku
PBNU yang terhormat”, kan begitu. Saya nggak mau minta tolong ke sana. Ngapain!?
IB: Di tengah tidak berfungsinya negara di Urutsewu khususnya, bagaimana tanggapan Anda sendiri sebagai kepala desa?
IB: Jadi paradigma yang kita bangun itu
memperbaiki Mas. Sepertinya terlalu heroik memang. Rakyat kecil kok
mencoba memperbaiki sistem negara yang sudah busuk. Tapi menurut kami
itu yang harus dilakukan. Sekecil apapun, ketika kita melihat persoalan,
ya kita coba untuk perbaiki. Artinya kalau kita lihat pemerintah ini
tidak berfungsi, maka perjuangan kita bagaimana pemerintah ini
berfungsi. Jadi ketika TNI melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan
semangat TNI itu sendiri, atau fungsi TNI, maka kewajiban kita
mengingatkan supaya dia bisa lurus lagi. Jadi apa yang kita lakukan itu
bukan benci TNI, tapi justru kita berusaha menyelamatkan TNI itu
sendiri. Jangan sampai berlarut-larut. Semakin jahat, semakin jahat,
nanti mau jadi apa?
IB: Ada rencana untuk konsolidasi politik, mencalonkan diri sebagai bupati misalnya?
Sunu: Sejauh ini belum ada agenda
semacam itu. Dan itu menurut saya, kalau pertarungannya hanya perebutan
kekuasaan di level daerah maupun pusat, itu terlalu sederhana.
Sebenarnya yang kita perjuangkan itu semangat untuk membangun peradaban.
Itu lebih besar dan lebih berharga menurut saya. Karena dalam
prakteknya pun nanti akan berat, ketika memilih bupati yang pro rakyat
misalnya, kalau terpilih pun tidak bisa berjalan sendiri. Tapi ketika
kita membangun semangat membangun atau menata peradaban ini akan
permanen. Siapapun bupatinya, siapa pun presidennya. Ya sistem itu
berjalan. Agak abstrak memang. Jadi kita ndak sekedar berebut tanah,
tapi ini semacam campaign untuk memperbaiki sesuatu. Karena
dari persoalan Urutsewu ini semua dibedah, akan ketemu semua. segala
macam persoalan negara Indonesia yang lagunya masih sama ini, Indonesia
Raya itu, ketemu di situ. Unsur korupsinya ada. Unsur premanisme ada.
Unsur politis ada. Ada semua di sana. Saya pikir juga di setiap tempat
ada persoalan itu juga. Hanya mungkin beda level. Ada yang kecil ada
yang besar, dan sebagainya. Mungkin ada persoalan yang jauh lebih gawat,
memprihatinkan, mengerikan tetapi tidak bisa terekspos. Itu mungkin
ada. Karena memang korban ini bener-bener tidak berdaya. Yang mengalami
ini bener-bener dalam posisi terpuruk sehingga untuk bisa terekspos saja
tidak punya akses. Beda dengan teman-teman Urutsewu ini yang punya
kemampuan berjejaring sehingga yang terjadi di Urutsewu ini bisa
terekspos. Artinya ketika kita mencoba membangun gerakan moral, “ini
negara kita busuk loh” tetapi bukan untuk ditinggalkan, tetapi untuk
diobati. Itu akan berdampak luas ke persoalan-persoalan yang selama ini
tidak terekspos tapi sangat melukai rasa keadilan. Dengan begitu mungkin
kita memiliki wakil-wakil yang pro rakyat, memiliki presiden yang pro
rakyat, tanpa kita harus secara sempit memaknai gerakan ini untuk
mendukung salah satu calon.
IB: Bukankah yang dilakukan
oleh Urutsewu Bersatu dengan cara mengkonsolidasikan kawan-kawan
Urutsewu agar mampu menampilkan sosok-sosok kepala desa yang pro rakyat
ini mengimplikasikan sebuah gerakan politik yang sistematis?
Sunu: Betul. Tapi perlu disadari bahwa
merebut kepala desa itu tidak sekedar satu langkah merebut itu saja.
Tetapi juga dilandasi semangat membangun dan memperbaiki keadaan. Kalau
tanpa itu juga tidak akan bunyi. Setelah jadi ya gembos. Gembos artinya
ketika calon yang dianggap pro rakyat ini jadi, gerakan rakyat
tidak muncul kalau tidak dari awal muncul semangat bersama untuk
memperbaiki keadaan. Jadi jangan dibalik. Maksud saya. jangan yang
sempit diperluas. Tapi dari menggalang solidaritas ini (lahir) pemimpin
yang bagus, bukan sebaliknya, dapat pemimpin lalu berharap akan
memobilisasi rakyat agar menjadi bagus. Jadi katakanlah, ayo kita bangun
semangat untuk membangun negara ini, nanti kita otomatis dapat presiden
yang bagus. Tapi dengan semangat mengusung ratu adil presiden yang
diharapkan memperbaiki bangsa ini, itu bullshit. Nek perlu saiki ra ono presiden ra popo (kalau perlu saat ini tidak perlu ada presiden ya tidak apa-apa) hehe.. Kita itu sudah mentok kok mas.
IB: Bagaimana peran agama dalam perjuangan kawan-kawan di Urutsewu yang sering distigma sebagai gerakan PKI?
Sunu: Saya cerita sedikit. Saya pernah menantang salah seorang kyai atau ustadz atau gus gitu ya. Kalau memang agama
tidak boleh untuk menjawab persoalan masyarakat Urutsewu, apa kira-kira
kita lebih baik nglarung sesaji saja, minta tolong ke nyai Roro Kidul?
Kalau memang agama tidak mau menolong. Karena ada kesan para kyai ini
takut kalau kita menggunakan instrumen-instrumen keagamaan itu untuk
melakukan perlawanan. Takut atau enggan begitu. Ada beberapa kyai yang
modelnya seperti itu. Kalau memang instrumen agama tidak boleh dipakai
untuk itu, ya jangan salahkan masyarakat nanti mintanya ke Nyai Roro
Kidul saja, tidak ke agama. Artinya apa, agama harus jadi solusi. Dalam
endapan pikiran saya, agama itu menjadi batas benar dan salah. Saya
pernah dengar kalau kita menggunakan hukum selain hukum agama, kita
berdosa. Kalau ndak salah kita dikatakan celaka atau malah justru
dilaknat. Aku iki wong pemerintahan lho mas. Nah, selama hukum
pemerintahan tidak bertentangan dengan hukum agama, maka boleh. Tapi
kalau hukum pemerintahan itu bertentangan dengan hukum agama, kita
tidak boleh melaksanakan. Agama itu di situ. Bahwa persoalan di Urutsewu
itu, katakanlah, tanah. Itu ada hukumnya mas. Ada kitabnya yang
mengatur tentang itu. Kami juga pelajari itu. Kalau ndak salah itu kitab
Babul-Mawad, mengatur soal tanah-tanah yang tidur. Tanah yang tidak ada
yang punya, misalnya, itu diatur di situ. Kemudian, gampang sekali
sebenarnya kalau kita berbicara hukum agama. Bahwa kita membela
kebenaran itu kan sudah jelas. Nah itu yang menguatkan. Selama kita
yakin bahwa ini benar, ya kita perjuangkan. Ketika kita mempertimbangkan
soal agama itu kita tidak punya rasa takut lagi. Karena dijamin nanti
kalau mati, ya mati syahid, kalau membela kebenaran. Ketika kita
analisis, ternyata TNI ini salah, ya kita bergeraknya mantep. Kita punya
agama, punya pegangan. Di situ peran agama, menurut saya. Ojo mung
ngurusi qunut ra qunut wae (jangan cuma ngurusi qunut atau tidak saja).
Jadi seseorang itu harus merasa bertanggungjawab ketika melihat ada
persoalan. Dia harus tergerak hatinya ketika ada ketidakadilan di depan
matanya. Walaupun dirinya sendiri tidak punya resiko apapun, tapi harus
ikut berpartisipasi walaupun kecil. Wong Islam kui kondange amar makruf
nahi mungkar kok (orang Islam itu terkenalnya karena amar makruf nahi
munkar) Kalau itu tidak muncul ya habislah kita. Ngelarung saja, hahaha.
Keberanian itu tidak datang dengan sendirinya.Itu harus diperjuangkan.
Kalau bicara NU saya yakin bisa. Kekuatan dari pondok itu bisa.
IB: Menurut mas Sunu, kenapa ada kalangan kyai yang melarang menggunakan jargon agama dalam perjuangan kawan-kawan Urutsewu?
Sunu: Saya ndak tahu ya. Mungkin takut
diintimidasi. Bisa jadi takut salah. Tapi takut salah ini menjadi tidak
beralasan juga. Karena kalau takut salah, kamu harus belajar dan
tentukan sikap. Tapi kalau tidak mempelajari, ya salah. Mencari ilmu itu
kan wajib hukumnya toh. Jadi harus dicari, dan itu ada.
IB: Bagaimana dampak dari konflik yang terjadi di Urutsewu terhadap kesadaran politik warga?
Sunu: Saya kira ada. Kalau saya punya
keyakinan bahwa setiap ujian dan masalah itu akan mengangkat derajat
kita. Ibarat ujian itu akan naik kelas. Dan itu masuk akal. Setiap orang
berilmu itu kan akan ditingkatkan derajatnya tho. Janji Tuhan kan
seperti itu. Jadi ketika kita dapat masalah itu kita dapat ilmu,
sehingga otomatis derajat kita akan meningkat. Hanya kesannya yang
kadang salah, seolah-olah ketika kita dapat ujian itu kita harus
bersabar. Seolah hanya menerima dan pasrah. Itu yang menurut saya salah.
Karena pengejawantahan sabar ketika dapat masalah itu ya melawan.
Ketika kita ditindas maka kesabaran kita adalah dengan melawan. Bukan
dengan menyerah. Kalau menyerah itu tidak sabar namanya, tapi putus asa.
Dan putus asa itu dosa besar yang merusak iman, hehehe. Itu yang harus
disadari oleh para kyai, hahaha. Saya berharap semua elemen itu melawan
keadaan ini. Semua elemen itu harus sadar bahwa kita dalam masalah
besar. Iku seng angel mas (Itu yang sulit, mas).
Kyai-kyai itu harus sadar, kalau bicara NU ya, sekarang ini jangan
tenang-tenang. Kita itu dalam masalah. Lah kalau kamu tidak meresakan
bermasalah, berarti kamu yang bermasalah. Ada yang salah dengan dirimu.
Masak di depan mata kok dibilang ndak ada masalah. Itu kan berarti picek matane (buta matanya). Bermata tapi tak melihat. Kalau anak muda NU itu ya harus nahdhah, harus bangkit dan bergerak. Karena peluangnya ada di situ saya kira. Dan gejalanya nampak di Urutsewu. Walaupun aku urung iso nggambarno yo.
http://islambergerak.com/2015/09/widodo-sunu-apapun-yang-terjadi-petani-urut-sewu-harus-bangkit-memperjuangkan-kebenaran/
0 komentar:
Posting Komentar