JAKARTA, KOMPAS.com — Sebanyak tiga lembaga merilis hasil penelitiannya, Selasa (26/4/2011) di Jakarta, soal insiden antara kaum tani dan serdadu di Kebumen, Jawa Tengah.
Ketiganya adalah Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (eLSAM), Institut Studi untuk Penguatan Masyarakat (INDIPT) Kebumen, dan Generasi Muda NU Kebumen.
Jika mengikuti kronologi ketiga LSM itu, akan jelas pihak mana yang membuat kesahalan sehingga terjadi insiden penyerangan terhadap warga sipil.
Disebutkan, bentrok terjadi setelah TNI Angkatan Darat mengirimkan surat pemberitahuan kepada warga tentang rencana uji coba senjata di kawasan Urut Sewu, Setrojenar, Bulus Pesantren, Kebumen, Jawa Tengah, pada 11 April.
Menanggapi surat tersebut, warga Urut Sewu kemudian memblokade akses jalan menuju tempat uji coba senjata di sekitar Distilbang TNI. Blokade itu berujung bentrokan warga dengan TNI pada 16 April dan mengakibatkan 14 orang warga dilarikan ke rumah sakit.
Selama seminggu setelah kejadian itu, ketiga LSM tersebut mengumpulkan fakta berdasarkan keterangan warga. "Pemblokiran akses jalan secara spontan dilakukan di enam titik. Sejumlah pohon dirintangkan sebagai blokade, kemudian warga menjaga titik blokade," ujar peneliti hukum dan HAM di eLSAM, Wahyudi Djafar.
Menurut Wahyudi, sebelumnya situasi masyarakat di Urut Sewu memang memanas karena adanya sejumlah kebijakan Pemerintah Kabupaten Kebumen yang tidak disetujui warga.
Masyarakat Urut Sewo menolak rencana memperluas kawasan latihan militer TNI di Urut Sewu dan menyetujui pembangunan biji besi oleh PT Mitra Niagatama Cemerlang di Urut Sewu.
Selain itu, mereka juga menolak rencana pembangunan jalan lintas selatan yang mengakibatkan 55,87 kilometer lahan warga di Kebumen terancam digusur.
Kondisi tersebut diperburuk dengan pihak TNI yang nekat uji coba senjata di Urut Sewu. Padahal, kata Wahyudi, menurut kesepakatan yang dibuat TNI, warga, dan perwakilan Pemkab Kebumen pada 14 Mei 2009, TNI AD sepakat tidak lagi melakukan aktivitas latihan uji coba senjata di Urut Sewu hingga status tanah di wilayah latihan TNI itu jelas.
"Status tanah diperjelas apakah tanah itu milik TNI atau milik warga," kata Wahyudi. Ia melanjutkan, warga menginginkan sengketa tanah antara TNI dan warga di kawasan latihan militer TNI Urut Sewu diselesaikan terlebih dahulu.
Warga, kata Wahyudi, menginginkan adanya ganti rugi yang sesuai jika memang TNI akan mengambil alih tanah kawasan latihan militer Urut Sewu yang diklaim milik warga itu. "Kalau mau diambil alih, harus ada peralihan hak yang sesuai," katanya.
Terkait kronologi kejadian, seusai memblokade jalan, pada 16 April warga marah ketika mengetahui bahwa sebagian blokade yang dibuatnya dirusak pasukan TNI. Kemudian, kata Wahyudi, warga merusak gapura lapangan uji coba senjata, gudang peluru, dan menara pantai yang terletak di sekitar tempat latihan.
"Sedikitnya 30 pasukan TNI datang dalam posisi berbaris dan siap tembak ke arah warga," ungkapnya. Selain itu, sekitar 30 pasukan TNI juga keluar dari markas Dislitbang dengan posisi siap tembak, berjaga di depan markas Dislitbang.
"Lalu, terdengar tembakan dari pasukan TNI tersebut, kemudian menyerang warga yang tengah duduk-duduk dan berada di tepi jalan menuju Dislitbang," tutur Wahyudi.
Pasukan TNI tersebut, katanya, juga mengeluarkan kata-kata kasar dan menangkap tiga orang warga. Selain itu, pasukan merusak rumah warga dan memuntahkan tembakan ke rumah tersebut.
Saat menjelang magrib, kata Wahyudi, TNI melakukan penyisiran ke rumah-rumah warga dan menangkap empat warga Setrojenar yang dituduh melakukan perusakan. "Akibat penyerangan dan penyisiran itu warga trauma berat, laki-laki tidak berada di rumah malam hari, anak-anak ketakutan melihat TNI," tuturnya.