Cetak |
KEBUMEN, KOMPAS —
Pemagaran lahan Urut Sewu di pesisir selatan Kabupaten Kebumen, Jawa
Tengah, dilakukan untuk membatasi areal latihan perang dan uji coba
senjata TNI Angkatan Darat dengan tanah milik rakyat. Batas lahan
diyakini tidak akan mengganggu aktivitas petani yang menggarap lahan di
dalam pagar.
Hal itu disampaikan Komandan Komando Distrik Militer 0709/Kebumen Letnan Kolonel (Inf) Putra Widya Winaya, Kamis (9/7), menyikapi protes petani Urut Sewu terhadap aktivitas pemagaran lahan. "Petani masih bisa beraktivitas. Kami membuatkan pintu supaya mereka tidak perlu memutar," ujarnya.
Sebelumnya, ribuan petani Urut Sewu berunjuk rasa di depan Gedung DPRD Kebumen, Rabu (8/7). Mereka menuntut penghentian pemagaran lahan Urut Sewu oleh TNI AD. Petani mengklaim pemagaran dilakukan di atas tanah mereka. Selain itu, pemagaran juga dilakukan sepihak tanpa persetujuan warga.
Kendati membangun tembok pembatas, Putra menegaskan, tidak akan menghalang-halangi petani yang akan menggarap lahan pertanian di bagian dalam tembok. Selain itu, dengan batas yang jelas, ada prosedur hukum jika ada pelanggaran.
"Misalnya ada prajurit yang menginjak lahan pertanian di luar pagar, itu jelas salah. Pemagaran juga untuk melindungi petani saat ada uji coba senjata," katanya.
TNI AD, kata Putra, tetap berargumen bahwa lahan Urut Sewu yang dipagari tersebut merupakan aset TNI. Hal ini diperkuat bahwa lahan tersebut tercatat sebagai aset TNI di Kementerian Keuangan.
Sengketa tanah antara petani dan TNI AD berlangsung sejak 2009. Kawasan yang disengketakan mencakup lebar 500 meter dari garis pantai sepanjang 22,5 kilometer dari Sungai Luk Ulo hingga Sungai Wawar. Pemagaran kawasan tersebut dilakukan sejak akhir 2014.
Koordinator Urut Sewu Bersatu Widodo Sunu Nugroho mengharapkan, pengelolaan kawasan Urut Sewu menjadi kawasan yang hanya untuk pertanian dan pariwisata rakyat. "Kami memiliki bukti sah atas tanah yang diklaim TNI berupa letter C desa. Kami minta Presiden Joko Widodo turun tangan membela hak petani," katanya.
Sementara itu, Nikodemus, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat, yang dihubungi pada Kamis (9/7) menyatakan, besarnya ekspansi perkebunan sawit menimbulkan sengketa lahan antara perusahaan dan masyarakat yang jumlahnya ratusan konflik. Namun, konflik lahan itu belum ada penyelesaian hingga kini. Catatan Walhi, per tahun ada 88 kasus sengketa lahan antara masyarakat dan perusahaan sawit. (GRE/ESA)
0 komentar:
Posting Komentar