19 Juli 2015 |
Solidaritas.net – Menteri Perindustrian Republik Indonesia, pada tanggal 21 Agustus 2014, telah mengeluarkan surat keputusan nomor 466/M-IND/Kep/8/2014 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Perindustrian nomor 620/M-IND/Kep/12/2012 tentang Obyek Vital Nasional Sektor Industri.
Dalam surat keputusan ini termuat 63 perusahaan dan kawasan industri yang ditetapkan sebagai obyek vital nasional sektor industri. Beberapa kawasan industri yang ditetapkan sebagai obyek vital nasional adalah sebagai berikut:
1. Modern Cikande Industrial Estate – Kab. Serang, Banten;
2. East Jakarta Industrial Park – Kab. Bekasi, Jawa Barat;
3. Ngoro Industrial Park I – Kab. Mojokerto, Jawa Timur;
4. Ngoro Industrial Park II – Kab. Mojokerto, Jawa Timur;
5. Medan Star Industrial Estate – Kab. Deli Serdang, Sumatera Utara;
6. Panbil Industrial Estate – Kota Batam, Kepulauan Riau;
7. Kaltim Industrial Estate – Kota Bontang, Kalimantan Timur;
8. Kawasan Industri Medan – Kota Medan, Sumatera Utara;
9. Jababeka Industrial Estate – Kab. Bekasi, Jawa Barat;
10. Karawang International Industrial City – Kab. Karawang, Jawa Barat;
11. Batamindo Investment Cakrawala – Kota Batam, Kepulauan Riau;
12. Kawasan Industri Terpadu Kabil – Kota Batam, Kepulauan Riau;
13. Bintan Inti Industrial Estate – Kab. Bintan, Kepulauan Riau;
14. Kawasan Berikat Nusantara – Kota Jakarta Utara dan Kota Jakarta Timur, DKI Jakarta.
Dampak dari diberlakukannya keputusan tersebut di atas bagi gerakan buruh adalah larangan untuk melakukan unjuk rasa atau penyampaian pendapat di muka umum. Sebab 63 perusahaan dan kawasan industri tersebut telah dinyatakan sebagai obyek vital nasional (obvitnas).
Larangan tersebut diatur pada pasal 19 ayat (2) dalam UU no. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Pasal tersebut menyatakan larangan untuk menyampaikan pendapat di muka umum pada lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat dan obyek-obyek vital nasional.
Aturan ini juga mengakibatkan larangan untuk melakukan unjuk rasa pada ratusan perusahan yang berada di dalam kawasan industri sebagaimana disebutkan di atas. Padahal banyak perusahaan di dalam kawasan industri tersebut yang melakukan pelanggaran hukum ketenagakerjaan, seperti pelanggaran perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), outsourcing, upah di bawah UMK, diskriminasi buruh perempuan, dan lain sebagainya.
Dampak lain dari aturan ini adalah pengawasan yang ketat, bahkan dapat terjadi intervensi, oleh aparat kepolisian dan militer terhadap hak mogok buruh. Hal ini dapat dilakukan dengan dalih melaksanakan pasal 6 dalam Keppres no. 63 tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional. Pasal tersebut mengatur bahwa Kepolisian mengerahkan kekuatan pengamanan obyek vital nasional berdasarkan kebutuhan dan perkiraan ancaman dan/atau gangguan yang mungkin timbul.
Aturan ini juga mengakibatkan keterlibatan militer (TNI), sebab pasal 7 dalam Keppres 63/2004 tersebut memperbolehkan Kepolisian melibatkan militer (TNI) dalam melaksanakan pengamanan terhadap obyek vital nasional (obvitnas).
Keberpihakan pemerintah beserta aparat terhadap kepentingan modal, melalui pengamanan aset dan proses produksi, sangat jelas terlihat dalam kasus ini.
Jika mengacu pada Keppres 63/2044, salah satu ciri dari obyek vital nasional adalah menghasilkan kebutuhan pokok sehari-hari. Tetapi lahan pertanian yang dimiliki kaum tani, maupun lahan perikanan, tidak ditetapkan sebagai obyek vital nasional, namun justru kasus perampasan lahan pertanian yang sering terdengar di negeri ini.
http://solidaritas.net/2015/07/penetapan-obyek-vital-nasional-rampas-hak-kaum-buruh.html?subscribe=success#blog_subscription-2
0 komentar:
Posting Komentar